Lamun hujan ngagelebug, komo wanci sambekala…
Kade Bebegig, Anaking!
Kade Bebegig!
Bebegig mawa dodoja.
Kenapa aku tiba-tiba teringat sajak itu? pikir Jingga.
Arti dari sajak itu adalah…
Jika hujan menderu keras, terutama saat senja…
Awas orang-orangan sawah, Anakku!
Awas orang-orangan sawah!
Orang-orangan sawah membawa teror.
Sajak itu sering dibisikkan neneknya ketika ia masih kecil. Seketika ia merasa seolah bisa mendengar suara neneknya yang lembut, suara yang tidak pernah didengarnya lagi sejak ia berusia lima tahun…
Kade Bebegig!
Bebegig mawa dodoja.
Nenek Jingga meninggal dunia sewaktu ia berusia lima tahun, sejak saat itu, ia hanya tinggal berdua dengan ibunya, Ragnala. Sekarang gadis itu sudah delapan belas tahun, dan ibunya tak pernah membacakan sajak itu.
Ia tidak mengerti kenapa ia bisa tiba-tiba teringat pada sajak itu ketika mereka turun dari van yang dicarter ibunya, dan menatap rumah baru mereka yang terselubung tumpukan daun kering akasia bersama taburan bunganya.
"Ada apa, Jingga?" tanya Ragnala. "Kenapa kamu melamun?" Diletakkannya sebelah tangan di pundak mantel putrinya yang berwarna biru. "Apa yang kamu pikirin, Sayang?"
Jingga menggigil. Bukan karena sentuhan tangan ibunya, tapi karena angin dingin yang berembus dari gunung. Ia mengamati pondok beratap rumbia yang akan menjadi tempat tinggal mereka yang baru.
Awas orang-orangan sawah!
Sebenarnya sajak itu masih ada bagian keduanya. Tapi entah kenapa ia tak ingat.
Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia masih menyimpan buku sajak yang sering dibacakan neneknya dulu.
"Pondok ini kelihatannya cukup nyaman," ujar ibunya. Ia masih memegangi pundak Jingga.
Sebenarnya Jingga merasa sangat sedih, sama sekali tidak bahagia. Tapi ia memaksakan senyum. "Ya. Nyaman," ia bergumam.
Serpihan daun-daun kering dan serbuk bunga akasia menumpuk di atap, berserak di ambang-ambang pintu dan jendela, di teras dan di halaman. Membuat seluruh tempat terlihat seperti diselimuti karpet beludru berwarna kuning.
Udara dingin membuat pipi Ragnala yang biasanya pucat terlihat kemerahan.
Usia Ragnala sebetulnya belum terlalu tua, tapi sejak dulu rambutnya sudah putih semua. Rambutnya panjang dan selalu digelung jucung—sanggul tradisional Jawa Barat, seperti wanita-wanita di zaman kolonial Belanda.
Ragnala bertubuh jangkung dan kurus. Dan cukup cantik, dengan wajah bulat dan mata besar berwarna gelap yang sendu.
Jingga tidak mirip ibunya. Ia bahkan tak tahu mirip siapa ia sebenarnya. Wajah neneknya tak dapat diingat dengan jelas, dan ayahnya bahkan tak pernah dikenalnya sama sekali. Ibunya bilang, ayahnya menghilang setelah ia lahir.
Rambut Jingga berombak dan berwarna coklat tua. Matanya juga cokelat. Ia tinggi dan atletis. Ia jadi bintang basket tim cewek di sekolahnya yang dulu, di Jakarta.
Jingga senang mengobrol, berdansa dan bernyanyi. Bertolak belakang dengan ibunya yang pendiam. Kadang-kadang sehari penuh Ragnala tidak mengucapkan sepatah kata pun. Jingga sangat menyayangi ibunya, tapi Ragnala terlalu kaku dan sangat pendiam. Jingga berharap ibunya bisa lebih mudah diajak bicara.
Aku bakal butuh teman ngobrol, pikirnya sedih.
Baru kemarin mereka meninggalkan Jakarta, tapi Jingga sudah rindu pada teman-temannya.
Bagaimana aku bisa menemukan teman baru di desa kecil di pedalaman seperti ini? Jingga bertanya-tanya seraya membantu ibunya menurunkan barang-barang mereka dari van. Sepatu botnya berkeresak di atas hamparan daun-daun kering.
Rumah baru mereka terletak di kaki gunung di pedalaman Banten, di sebuah desa terpencil yang terkenal sebagai Desa Hujan.
Jingga memandang ke arah gunung Kendeng yang tertutup kabut, hingga ia tak dapat melihat dengan pasti di mana batas antara gunung dan awan.
Rumah-rumah mungil di pinggir jalan terlihat seperti rumah mainan yang terbuat dari jerami.
Jingga tiba-tiba merasa dirinya seakan tersesat ke sebuah negeri dongeng.
Tapi itu bukan dongeng!
Itu adalah rumah barunya. Tempat tinggal mereka yang baru dan ajaib.
Jingga tak habis pikir kenapa mereka harus pindah dari kota besar ke desa kecil yang dinginnya minta ampun.
Ragnala tak pernah menjelaskannya hingga tuntas. Hanya, "Udah waktunya buat perubahan," tuturnya dalam gumaman tak jelas. "Udah waktunya kita pindah." Dan itu saja sudah bagus. Biasanya Ragnala tak pernah mengucapkan dua kalimat berturut-turut.
Jingga tahu ibunya dibesarkan di desa seperti ini. Tapi kenapa mereka harus pindah sekarang?
Kenapa aku harus meninggalkan sekolah dan semua temanku?
Cipagenggang.
Nama macam apa itu, Cipagenggang?
Bayangkan saja. Jingga dipaksa pindah dari Jakarta ke Cipagenggang.
Lagi pula desa ini juga bukan desa wisata yang ramai dikunjungi turis untuk berlibur. Desa ini betul-betul sepi.
Jangan-jangan tidak ada anak yang sebaya denganku, pikir Jingga.
Ragnala menyingkirkan timbunan daun-daun kering dan serbuk bunga akasia yang menumpuk di depan pintu rumah baru mereka, kemudian berusaha membuka pintu. "Uhh, daun pintunya udah melengkung," ia menggerung. Ia menempelkan bahunya ke pintu dan mendorongnya hingga terbuka.
Ragnala memang kurus, tapi juga kuat.
Jingga mulai memasukkan tas-tas ke dalam rumah. Tapi sesuatu di halaman yang terselubung kabut di seberang jalan menarik perhatiannya. Ia berbalik dan memandang sembari memicingkan matanya.
Lalu ia memekik tertahan.
Apa itu? pikirnya.
Orang-orangan sawah?
Orang-orangan sawah dengan hoodie sweater?
Dan sementara Jingga menatapnya, orang-orangan sawah itu mulai bergerak.
Jingga mengerjap-ngerjapkan matanya.
Rupanya ia salah lihat!
Orang-orangan sawah itu tidak bergerak.
Segerombol burung gereja bertengger dan berkeriapan di sepanjang tangan orang-orangan sawah yang terbuat dari kayu dan ranting pohon. Burung-burung itu tersentak ketika angin kencang berhembus tiba-tiba, sehingga kelihatannya seperti tangan orang-orangan sawah itu seolah-olah terlipat ke depan. Orang-orangan sawah tidak memiliki sikut, jadi tidak mungkin tangannya terlipat ke depan.
Langkah Jingga berkeresak ketika gadis itu menghampiri orang-orangan sawah itu dan memeriksanya dengan seksama.
Orang-orangan sawah itu benar-benar aneh. Lengannya terbuat dari dahan pohon. Satu lengannya membentang ke samping, sementara satunya lagi terangkat ke atas, seakan-akan melambai pada Jingga. Masing-masing dahan pohon mempunyai tiga ranting sebagai jari. Kepalanya terbuat dari batok kelapa yang dililit kain selubung membentuk kerudung seperti hoodie sweater. Pakaiannya seperti jubah longgar India yang panjangnya sampai menyentuh permukaan tanah, menutup sepenuhnya bagian batang yang ditancapkan sebagai kakinya. Bagian wajahnya digambari dengan arang, membetuk mata dan mulut yang dibuat sedikit memanjang ke satu sisi seperti bekas luka, hingga terkesan seolah sedang mencibir.
Kenapa tampangnya dibuat begitu? pikir Jingga.
Pandangannya terpaku pada bekas luka di wajah orang-orangan sawah itu. "Freak," ia bergumam. Itu memang kata kesukaannya. Ibunya bilang ia perlu menambah perbendaharaan kata.
Tapi apa dong, kata yang tepat untuk menggambarkan orang-orangan sawah bertampang seram dengan bekas luka di wajahnya?
"Jingga---coba tolong bantu Mama!" seruan ibunya membuat Jingga berpaling.
Jingga bergegas menyeberangi jalan, menuju ke rumah baru mereka.
Mereka butuh waktu agak lama untuk membongkar seluruh isi van.
Setelah kardus terakhir mereka gotong ke dalam pondok, Ragnala mengambil panci. Kemudian ia membuatkan minuman—cokelat panas di kompor kecil model kuno di dapur.
"Nyaman," Ragnala berkata sekali lagi dan tersenyum. Tapi matanya yang gelap terus mengamati wajah putrinya. Tampaknya ia sedang berusaha meneliti apakah Jingga senang atau tidak. "Paling nggak lumayan anget di dalem sini," ujarnya sambil menggenggam cangkir cokelat panasnya. Pipinya masih kemerahan karena udara dingin menggigit.
Jingga mengangguk tanpa semangat. Sebenarnya ia ingin lebih gembira. Tapi tidak bisa. Ia terus-terusan memikirkan teman-temannya di Jakarta. Ia bertanya-tanya, apakah mereka akan pergi menonton pertandingan basket nanti malam. Semua temannya gila basket seperti dirinya.
Sekarang aku bakal jarang main basket di sini, pikirnya sedih. Rata-rata penduduk desa keluarga petani. Jangan-jangan anak-anak sebayanya di sini bahkan tak paham apa itu basket. Kalaupun orang-orang di sini suka basket, pasti tak cukup banyak anak untuk membentuk tim.
"Kamu gak bakal kedinginan di atas sana," kata Ragnala pada putrinya. Ucapannya membuyarkan lamunan Jingga. Ia menunjuk ke langit-langit yang rendah.
Di rumah mereka yang baru hanya ada satu kamar tidur. Dan kamar itu akan dipakai ibu Jingga. Kamar Jingga adalah loteng di bawah atap.
"Aku mau lihat ke atas dulu," kata Jingga sambil mendorong kursinya ke belakang.
Satu-satunya cara untuk mencapai kamar Jingga adalah melalui tangga kayu yang bersandar ke dinding. Jingga memanjatnya, mendorong papan penutup lubang di langit-langit, lalu menarik tubuhnya ke atas.
Tempatnya memang nyaman. Ibunya telah memilih kata yang tepat.
Langit-langitnya begitu rendah, hingga ia tak bisa berdiri tegak. Cahaya redup masuk melalui jendela bulat di ujung ruangan.
Sambil membungkuk, Jingga menghampiri jendela itu dan memandang keluar. Sebagian kacanya tertutup embun. Tapi ia masih bisa melihat jalan dan rumah-rumah kecil yang berderet di kedua sisinya.
Tak ada siapa-siapa di luar. Tak tampak seorang pun.
Pasti semuanya sedang bekerja di sawah atau di ladang, pikirnya.
Kebetulan sekarang memang sedang libur akhir semester, sekolah di sini tutup. Ia dan ibunya sempat melewati gedung sekolah ketika mereka baru tiba tadi. Bangunannya kecil dan tidak bertingkat seperti bangunan sekolahnya di Jakarta. Terbuat dari batu kelabu. Luasnya kira-kira sebesar garasi untuk dua mobil.
Berapa teman sekelasku nanti? tanya Jingga dalam hati. Tiga atau empat orang? Atau jangan-jangan muridnya cuma aku sendiri? Apakah orang-orang di sini bisa berbahasa Indonesia?
Jingga menelan ludah. Kemudian memarahi dirinya sendiri karena belum apa-apa sudah berprasangka buruk.
Gembira sedikit dong, Jingga, batinnya menyemangati diri. Cipagenggang adalah desa kecil yang asri. Siapa yang tahu kamu bisa ketemu teman-teman baru yang menyenangkan di sini.
Sambil menunduk, Jingga kembali ke tangga. Langit-langit akan kupenuhi dengan poster, katanya dalam hati. Dengan begitu ruangan ini jadi lebih meriah. Dan siapa tahu aku juga bisa lebih ceria.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya Jingga pada ibunya sambil merayap menuruni tangga. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang.
"Gak. Sebelum bongkar barang-barang, Mama mau berbenah di dapur sembari masak buat makan malam kita. Kamu jalan-jalan aja, biar kamu bisa lebih cepet kenal daerah sini."
Beberapa menit kemudian Jingga sudah berada di luar. Ia menarik tali tudung mantelnya untuk mengencangkannya, lalu menyelipkan tangan ke dalam sarung tangan. Setelah itu ia menunggu sampai matanya terbiasa melihat dalam lapisan kabut yang menyelimuti seluruh tempat.
Hmm, enaknya jalan ke arah mana? Jingga bertanya dalam hati. Ia sudah melihat gedung sekolah, toko serba-ada dan kantor pos di sebelah bawah rumahnya yang baru. Jadi ia memutuskan untuk berjalan ke atas, menuju puncak gunung.
Jalanan basah namun permukaan aspalnya yang hitam terasa kesat saat diinjak. Tumit sepatu bot Jingga terasa seperti lengket di permukaan aspal dan meninggalkan suara berdecak setiap kali ia mengangkatnya ketika ia mencondongkan badan untuk menentang angin dan mulai menanjak.
Di tengah jalan ada dua lubang besar yang nyaris seperti kolam. Jingga berjalan menyisi memutari lubang jalan itu untuk menghindari genangan air.
Ia melewati dua rumah yang ukurannya kira-kira sebesar rumahnya sekarang. Kedua rumah itu terlihat gelap dan kosong.
Di depan rumah batu yang tinggi, terparkir sebuah Jeep. Modelnya kuno. Jingga melihat gerobak di pekarangan depan. Seekor kucing hitam bermata kuning menatap gadis itu dari balik jendela ruang duduk.
Jingga melambaikan tangannya ke arah kucing itu. Tapi kucing itu tidak bereaksi sama sekali.
Ia masih belum melihat seorang pun.
Angin bertiup kencang, semakin lama semakin dingin. Jalan pun bertambah terjal. Rumah-rumah di tepi jalan semakin jarang.
Rumput-rumput di kiri-kanan jalan berkilau-kilau ketika lapisan awan terkuak dan membiarkan matahari menyinari bumi.
Pemandangannya tiba-tiba begitu indah!
Jingga berbalik dan menatap deretan rumah yang telah dilewatinya.
Indah sekali, pikirnya takjub. Bisa jadi aku kerasan tinggal di sini.
"Awww!" Jingga memekik ketika jari-jemari yang dingin bagaikan es mencengkeram lehernya dari belakang. Ia segera berbalik dan melepaskan diri dari cengkeraman tangan yang dingin membeku itu.
Di hadapannya, berdiri seorang cowok yang sedang nyengir lebar. Ia mengenakan jaket kulit domba warna cokelat dan topi rajut berwarna merah-hijau. "Kaget, ya?" Ia bertanya pada Jingga. Senyumnya bertambah lebar.
Dan sebelum Jingga dapat menjawab, seorang cowok lainnya muncul dari balik semak-semak. Ia memakai mantel dan sarung tangan yang sama-sama berwarna hitam. "Gak usah peduliin Dewa," katanya sambil menyibak rambutnya ke belakang. "Dia emang konyol!"
"Thanks atas pujiannya," seloroh Dewa sambil nyengir lagi.
Wajah mereka sangat mirip.
Jingga menduga mereka saudara kembar. Mereka sama-sama berwajah lancip seperti boneka migi, berambut lurus sebahu dan bermata gelap.
"Kamu anak baru?" tanya Dewa. Ia menatap Jingga sembari memicingkan mata.
"Dewa suka nakut-nakutin anak baru," cowok satunya menjelaskan sambil geleng-geleng kepala. "Menurut dia sih, itu lucu."
"Abis ngapain lagi kegiatan di sini selain ngerasa takut?" sahut Dewa. Senyumnya serentak meredup.
Freak, pikir Jingga. Lalu memperkenalkan diri, "Aku Jingga."
Nama mereka Dewangga dan Magenta.
"Kita tinggal di situ," Dewa memberitahu sambil menunjuk rumah putih. "Kamu tinggal di mana?"
Jingga menunjuk ke jalan. "Di bawah," jawabnya. Ia hendak menanyakan sesuatu, tapi langsung terdiam ketika melihat orang-orangan sawah yang sedang mereka buat.
Sebelah lengannya menjulur ke samping, sebelah lagi menunjuk ke atas. Di kepalanya ada kain selubung yang sama, pakaiannya juga sama---jubah longgar India warna hitam yang panjangnya sampai ke permukaan tanah. Wajahnya juga digambari dengan arang. Bibirnya dibuat menyeringai dan seperti bekas luka.
"Orang-orangan sawah itu…" Jingga tergagap-gagap. "Bentuknya persis kayak orang-orangan sawah yang ada di seberang rumahku."
Senyum Dewangga meredup.
Magenta langsung memalingkan wajah dan tertunduk.
"Kenapa sih kalian bikin orang-orangan sawah kayak gitu?" tanya Jingga penasaran. "Tampangnya freak, maksudku, kenapa kalian mesti gambar bekas luka di mukanya?"
Dewangga dan Magenta saling melirik dengan gugup. Mereka tidak menjawab.
Akhirnya Magenta angkat bahu. "Kita juga gak tahu," ia bergumam sambil tersipu-sipu.
Apa mereka sedang berbohong? pikir Jingga. Kenapa mereka enggan menjawab pertanyaanku?
"Kamu mau ke mana, sih?" Dewa bertanya sambil mengencangkan ikatan di leher orang-orangan sawah itu.
"Cuma pengen jalan-jalan aja kok," jawab Jingga. "Kalian mau ikut? Aku mau naik ke puncak gunung."
"Jangan!" pekik Dewa. Matanya yang gelap terbelalak lebar.
"Jangan!" seru Genta nyaris bersamaan. "Jangan naik ke sana!"
"Kenapa?" Jingga menatap mereka dengan tercengang.
Ada apa sih dengan mereka?
"Kenapa aku gak boleh ke sana?" tanya Jingga dengan nada menuntut.
Kesan ngeri di wajah kedua cowok itu segera lenyap. Magenta menyibakkan rambutnya yang hitam mengkilat. Dewa berlagak sibuk dengan tudung si orang-orangan sawah.
"Sebenernya… jalan ke sana lagi ditutup karena lagi ada perbaikan," Dewa akhirnya menyahut.
"Ha ha. Lucu," dengus Magenta sembari mencibir.
"Jadi apa dong alesan yang sebenernya?" Jingga mendesak mereka.
"Ehm… ehm… kami memang gak pernah ke sana," ujar Magenta gugup sambil melirik saudaranya. Ia menunggu Dewa mengatakan sesuatu. Tapi Dewa diam saja.
"Ini semacam tradisi," Genta akhirnya melanjutkan tanpa berani menatap Jingga. "Maksudnya… ehm… pokoknya kita gak pernah ke sana."
"Soalnya terlalu dingin," Dewa menambahkan. Itu alesan yang sebenernya. Di atas sana terlalu dingin untuk manusia. Kamu bisa beku dalam waktu tiga puluh detik."
Jingga tahu mereka berbohong. Ia tahu pasti bukan itu alasan yang sebenarnya. Tapi ia memutar untuk mengalihkan pembicaraan. Mereka tiba-tiba kelihatan begitu tegang dan cemas.
"Asal kamu dari mana, sih?" tanya Dewangga. Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku mantelnya. "Dari desa sebelah?"
"Bukan. Aku dari Jakarta," sahut Jingga. "Sebelumnya aku tinggal di apartemen deket-deket Monas."
"Terus kamu pindah ke sini?" seru Dewa. "Dari Jakarta ke Cipagenggang? Kenapa?"
"Pertanyaan bagus," gumam Jingga. "Begini, aku tinggal cuma berdua sama mamaku. Mama tiba-tiba mutusin buat pindah kemari. Jadi…" Jingga tak sanggup menyembunyikan kesedihannya.
Mereka mengobrol beberapa lama lagi. Dewa dan Magenta ternyata seumur hidup tinggal di Cipagenggang.
"Sebenernya sih lumayan enak tinggal di sini. Lama-lama kita jadi terbiasa sama suasana sepi di sini. Kita juga jadi terbiasa jarang ketemu orang," Magenta menjelaskan.
"Tempat ini lumayan asyik kalau kamu suka hujan," Dewa menimpali. "Yang ada di sini cuma hujan melulu!"
Mereka semua tertawa.
"Oke, deh. Sampai ketemu, ya," ujar Jingga. Kemudian ia berbalik untuk meneruskan perjalanan.
"Kamu gak jadi ke puncak, kan?" Dewa berseru. Tampaknya cowok itu kembali dicekam ketakutan.
"Enggak," sahut Jingga. Ia mengencangkan tudung matelnya. "Anginnya terlalu kenceng. Aku cuma mau naik sedikit lagi."
Jalan yang ia lalui terus menanjak. Jingga melewati sebuah lapangan luas penuh pohon pinus yang batangnya sekurus pensil. Pohon-pohon itu miring ke segala arah. Tak satu pun tumbuh tegak.
Jingga melihat jejak binatang di lapangan di tepi jalan. Mungkin rakun atau tupai. Hmm, rasanya bukan, pikir Jingga. Jejaknya terlalu besar. Barangkali jejak rusa. Entahlah!
Jingga menoleh ke depan—dan memekik terkejut.
Di hadapannya berdiri tegak orang-orangan sawah dengan tudung dan jubah India yang sama. Ujung kain selubung yang meliliti lehernya berkibar-kibar tertiup angin kencang. Jingga juga melihat goresan panjang bekas luka di wajahnya. Lengan rantingnya melambai-lambai seakan menyambut Jingga.
"Kenapa orang-orang di sini suka banget bikin orang-orangan sawah yang mukanya serem kayak gitu?" tanya Jingga yang entah ditujukan pada siapa.
Ia menoleh lagi ke arah lain dan melihat orang-orangan sawah serupa di pekarangan depan sebuah rumah di seberang jalan. Lengannya sama. Selubung kepala dan jubahnya sama. Bekas lukanya sama.
Mungkin ini semacam tradisi di sini, pikir Jingga.
Lalu kenapa Dewangga dan Magenta mengelak ketika aku menanyakan soal itu?
Awan-awan kelabu menutupi matahari. Bayangan si orang-orangan sawah seakan-akan bertambah panjang, sampai akhirnya menyelubungi Jingga.
Tiba-tiba saja gadis itu merinding. Ia langsung mundur selangkah.
Dalam waktu singkat langit telah menggelap.
Jingga memandang ke arah puncak gunung. Puncaknya tidak terlihat karena terhalang kabut dan pohon-pohon pinus.
Hmm, bagaimana sekarang? pikir Jingga. Apakah lebih baik aku berbalik dan pulang, atau meneruskan perjalanan?
Jingga teringat raut wajah Dewa yang ketakutan ketika ia mendengar rencana Jingga pergi ke puncak gunung. Jingga juga ingat bagaimana Magenta memekik, "Jangan!"
Jingga menjadi makin penasaran.
Apa yang mereka takuti? pikirnya. Apa yang ada di atas sana?
Jingga memutuskan untuk mencari tahu jawabannya.
Mobil van tua di depan rumah berikutnya tertutup lapisan tebal daun-daun kering dan serpihan bunga akasia. Tampaknya van itu tidak pernah dijalankan dalam waktu yang lama.
Jingga menyusuri jalan yang membelok dan menjauhi rumah-rumah. Permukaan aspal di jalan bertambah basah dan hitam. Sepatu botnya berdebam dan berdecak mencipratkan lapisan air yang mengalir tipis di atas permukaan aspal setiap kali Jingga melangkah.
Sesaat gadis itu membayangkan dirinya sedang berjalan di planet lain, planet asing yang belum pernah dijelajahi.
Jalanan semakin terjal sekarang. Jalan aspal berakhir, berganti jalan tanah berlubang dan berlumpur. Batu-batu besar berwarna hitam menyembul dari lapisan tanah dan lumpur, juga di sepanjang sisi jalan di antara rerumputan tinggi. Pohon-pohon pinus tumbuh miring ke sana-kemari.
Di ketinggian itu sudah tidak ada rumah lagi. Jingga hanya melihat pohon-pohon dan semak-semak yang terselubung kabut dan batu-batu hitam.
Jalanan kembali membelok. Angin bertiup kencang.
Jingga menggosok pipi dan hidungnya untuk menghangatkan diri. Ia mencondongkan badan menentang angin dan meneruskan perjalanan.
Jingga berhenti ketika sebuah pondok kayu berdinding anyaman bambu beratap rumbia muncul di hadapannya. Ia mengamatinya sambil melindungi matanya. dengan sebelah tangan.
Sebuah pondok? ia bertanya-tanya dalam hatinya. Di atas sini? Siapa yang mau tinggal di tempat terpencil ini, begitu jauh dari orang lain?
Pondok itu berada di tengah lapangan yang di kelilingi pohon-pohon pinus.
Jingga tidak melihat mobil atau gerobak pengangkut padi seperti di rumah-rumah lain. Jejak kaki pun tidak ada.
Mungkin saung Kanekes, pikir Jingga.
Kanekes adalah orang-orang dari suku Baduy. Mereka biasa tinggal di tempat-tempat terpencil untuk menggarap lahan pertanian penduduk di luar Baduy sebagai tani upahan.
Perlahan-lahan Jingga menghampiri pondok itu. Jendela-jendelanya tertutup embun.
Jingga tidak bisa memastikan apakah di dalam ada lampu menyala atau tidak. Lalu ia melangkah maju sedikit lagi. Jantungnya berdegup kencang. Ia bersandar pada ambang jendela dan menempelkan hidungnya ke kaca. Tapi ia tetap tak bisa melihat ke dalam.
"Halo? Ada orang di sini?" seru Jingga.
Hening.
Angin menderu-deru di sekeliling pondok.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!