Jingga mengetuk pintu. "Halo?"
Tidak ada jawaban.
"Freak," Jingga bergumam. Lalu ia mencoba membuka pintu. Ia mendorongnya pelan-pelan.
Mestinya aku tidak usah berbuat macam-macam, pikirnya menyadari. Tapi sekarang sudah telanjur.
Pintunya membuka.
Jingga disambut embusan udara hangat.
"Ada orang di sini?" Jingga memanggil lagi. Ia mengintip ke dalam.
Ternyata gelap.
"Halo?" Jingga melangkah masuk. Aku hanya ingin melihat-lihat, pikirnya.
Hamparan taburan bunga-bunga akasia di luar begitu menyilaukan. Jingga perlu waktu agak lama sampai matanya terbiasa dengan suasana remang-remang di dalam pondok.
Tapi sebelum ia bisa memfokuskan mata, ia melihat bayangan putih berkelebat.
Bayangan putih yang menggeram keras. Bayangan itu sekarang menerjang ke arahnya.
Embusan napas panas menerpa wajah Jingga. Dan gadis itu terjatuh ketika sosok putih tadi menerjang tubuhnya sambil menggeram dan meraung keras.
"CUKUP! Gardapati, hentikan!"
Makhluk yang menggeram-geram itu berhenti mencengkeram tubuh Jingga.
Ia mundur sedikit.
"Duduk, Garda!" terdengar suara laki-laki memerintahkan dengan tegas.
Jingga Terengah-engah, ia menyeka air liur yang melekat di wajahnya akibat serangan binatang tadi.
Baru sekarang gadis itu sadar bahwa ia berhadap-hadapan dengan seekor serigala berbulu putih.
Serigala itu juga terengah-engah. Mulutnya terbuka lebar dan lidahnya terjulur hampir sampai ke lantai. Serigala itu menundukkan kepala, seakan akan hendak menyerang lagi. Matanya yang bulat dan berwarna cokelat tua menatap Jingga dengan curiga.
"Duduk, Garda. Duduk!"
Jingga berguling ke samping, lalu berusaha bangkit.
Sepasang tangan meraih tangannya, dan menarik gadis itu sampai berdiri.
"Kamu gak apa-apa?" Seorang laki-laki paruh baya mengamati Jingga dengan matanya yang cokelat keperakan. Ia bertubuh kurus dan jangkung, dan mengenakan celana hitam longgar semata kaki dan atasan lengan panjang sewarna berikat pinggang kain, seperti seragam pencak silat atau pakaian khas suku Baduy. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna kelabu dikuncir sebagian seperti gaya khas pendekar samurai, ia juga mengenakan ikat kepala dari kain hitam bercorak batik warna biru. Dagunya tertutup janggut lebat berwarna putih.
Sepasang matanya seakan-akan membara.
Jingga mengangguk dengan wajah serius. Matanya tak berkedip.
Tatapan pria paruh baya itu seperti membakar Jingga. "Dia gak akan ngelukain kamu," katanya. "Gardapati udah terlatih dengan baik!"
"Tapi dia…" Jingga menelan ludah dengan susah payah, mulutnya mendadak kering kerontang, sampai ia sulit bicara.
"Kamu yang ngusik duluan," ujar laki-laki itu. Ia menatap Jingga dengan tajam, tanpa berkedip. "Saya tadi lagi di belakang," ia menggerakkan dagunya ke arah pintu di dinding belakang pondok itu.
"Maaf," gumam Jingga menyesal. "Saya gak tahu kalau di sini ada orang. Saya kira…"
"Kamu siapa?" laki-laki paruh baya itu bertanya dengan ketus, memotong perkataan Jingga. Ia menatap gadis itu sambil memicingkan mata. Wajahnya tampak merah karena marah. "Siapa nama kamu?"
"Maaf---saya gak maksud…"
"Siapa nama kamu?" laki-laki paruh baya itu bertanya sekali lagi.
"Saya lagi jalan-jalan tadi," Jingga berusaha menjelaskan. Kalau saja jantungnya tidak berdegup begitu kencang. Kalau saja mulutnya tidak terlalu kering.
Serigala putih di hadapannya menggeram pelan. Sikapnya terlihat tegang. Dengan kepala menunduk, serigala itu menatap Jingga, seakan-akan menunggu perintah untuk menyerang.
"Kenapa kamu seenaknya aja masuk ke rumah orang?" tanya laki-laki itu lagi. Ia maju selangkah.
Awas, dia kelihatan berbahaya, pikir Jingga. Ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Dan tampaknya ia sangat marah. "Saya gak bermaksud jahat, " ujarnya terbata-bata. "Saya cuma..."
"Kamu masuk tanpa permisi dulu," laki-laki itu berkeras. "Kamu gak sadar kalau hal itu berbahaya? Gardapati udah dilatih untuk menyerang setiap orang yang tidak dikenal."
"Ma—maaf... ! " Jingga tergagap-gagap.
Laki-laki itu maju selangkah lagi. Matanya yang menyorot tajam seakan tidak berkedip sama sekali.
Dada Jingga terasa sesak karena panik.
Apa yang hendak dilakukan orang itu?
Terus terang, Jingga tak mau menunggu lebih lama lagi. Ia menarik napas dalam-dalam. Lalu berbalik dan menghambur keluar pintu.
Berhasilkah aku meloloskan diri? Jingga bertanya-tanya.
Pintu pondok terbanting keras di belakang Jingga. Ia menoleh ke belakang dan melihat laki-laki itu berlari keluar untuk mengejarnya.
"Mau ke mana kamu, hah?" laki-laki paruh baya itu berseru dengan keras. "Hei—berhenti! Mau ke mana kamu?"
Jingga menunjuk ke atas. "Ke puncak!" sahutnya.
Laki-laki paruh baya itu terperangah. "Oh, gak bisa!" serunya lantang. "Gak boleh! Jangan naik ke sana!"
Dia tak waras! pikir Jingga. Orang itu tak berhak membentak-bentakku seperti itu! Aku bebas pergi ke mana saja! Ia tak waras. Freak!
Hujan sudah mulai turun lagi. Angin masih bertiup kencang.
Laki-laki berjanggut itu mulai mengejar Jingga. Dengan langkah panjang ia menerobos kubangan lumpur. "Kade, Bebegig!" ia berseru.
"Hah?" Jingga berpaling ke arahnya. "Anda bilang apa?"
Untuk kedua kalinya pada hari itu Jingga teringat sajak lama yang suka dibacakan neneknya.
Lamun hujan ngagelebug, komo wanci sambekala…
Kade Bebegig, Anaking!
Kade Bebegig!
Bebegig mawa dodoja.
Ya, ampun! pikir Jingga. Sajak itu tak pernah kudengar lagi sejak aku berumur lima tahun. Tapi sekarang dalam sehari aku teringat dua kali!
Mereka---Jingga dan laki-laki berjanggut putih, berdiri di sisi jalan, berseberangan dan berpandangan.
Laki-laki paruh baya itu tampak menggigil kedinginan. Ia hanya mengenakan pakaian silat, tanpa mantel. Butir-butir gerimis menempel di rambutnya yang kelabu dan di bahunya.
"Anda bilang apa tadi?" tanya Jingga.
"Jurig Bebegig tinggal di gua," seru laki-laki itu. Ia menempelkan tangan di sekeliling mulut supaya suaranya bisa terdengar di tengah deruan angin.
"Apa? Jurig Bebegig?"
Dia benar-benar sinting! pikir Jingga. Lalu kenapa aku masih berdiri di sini dan mendengarkan orang gila itu? Orang itu tinggal sendirian di pondok di puncak gunung, cuma ditemani serigala putih! Dan sekarang ia mengoceh tidak keruan soal hantu orang-orangan sawah!
"Jurig Bebegig tinggal di gua!" laki-laki itu mengulangi. "Jangan naik ke puncak! Pokoknya jangan!"
"Kenapa?" tanya Jingga. Di luar perhitungan suaranya melengking tinggi.
"Jangan sampai kamu ketemu Jurig Bebegig!" laki-laki itu berseru. Butir-butir gerimis mulai memenuhi janggutnya. Matanya yang keperakan tampak bersinar- sinar. "Kalau kamu ketemu Jurig Bebegig," teriaknya, "kamu gak bakal pernah bisa balik lagi!"
Dasar sinting, pikir Jingga. Pantas saja dia hidup sendirian di puncak gunung.
Jingga berbalik. Ia sudah terlalu lama di sini.
Dengan terseok-seok, gadis itu berlari menerobos kubangan lumpur.
Ia berlari sekencang mungkin. Wajahnya yang panas diterpa butir-butir gerimis yang dingin. Jantungnya berdegup kencang.
Ia berlari menyusuri jalan. Menyusuri jalan yang menurun dan berkelok-kelok.
Napasnya tersengal-sengal.
Betulkah aku yang terengah-engah begitu? Jingga bertanya dalam hatinya, tiba-tiba merasa aneh.
Betulkah langkahku yang terdengar berdebam debam?
Ternyata bukan.
Ia melirik ke belakang dan melihat serigala putih tadi mengejarnya. Binatang itu mendekat dengan cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
adi_nata
serigala ? beneran atau jadi jadian ?
karena tidak ada serigala di Indonesia. hewan ini tidak mampu beradaptasi dengan iklim kita. apalagi serigala putih.
2023-11-18
0
NA_SaRi
Jawabannya gak nyambung terus, Neng
2023-01-07
0
NA_SaRi
Melihat yg tidak bisa dilihat, hayoloh
2023-01-07
0