Merajut Luka Lampau

Merajut Luka Lampau

Setelah sekian lama

Suara ricuh di depan ruang UGD sebuah rumah sakit di ibukota, membuat seorang dokter bernama Aditya Darmaji, bangkit dan berjalan tergopoh menuju ke ruang UGD.

Lelaki berparas tampan dengan lesung Pipit di kedua pipi itu, Berjalan tegak, mengayunkan kakinya untuk melangkah menyambut pasien barunya. Rambutnya yang rapi dengan kacamata yang bertengger manis diantara kedua matanya, menambah kesan tampan dan berwibawa.

“Maya?” gumam Adit lirih.

Tenggorokan Adit terasa dicekik, saat netranya menatap Mayasari Arsyad, wanita berusia dua puluh delapan tahun, yang pernah ia hancurkan hidupnya sembilan tahun silam.

“Apa yang terjadi padanya, suster?” Tanya Adit kemudian, dengan matanya fokus menatap sekujur tubuh yang tak sadarkan diri itu, dengan pandangan yang berhenti pada Paha kanan pasien yang mengalirkan darah segar.

“Wanita ini seorang Lady Esscort, dokter. Dia berkelahi dengan rekan sesama seprofesinya, dan paha kanannya terluka karena terkena pecahan botol minuman keras,” jawab suster.

“Biar aku yang menangani, suster. Tolong persiapkan semuanya,” vcap Aditya. Lelaki itu lantas meraih peralatan medisnya dan segera mengobati serta menjahit luka wanita yang ia panggil Maya tadi.

Hingga setelah Maya selesai di rawat, wanita itu dibiarkan beristirahat dalam tidak sadarnya oleh Aditya. Aditya kemudian berlalu, meninggalkan si wanita dalam ruang rawat dengan selaksa penyesalan pada netra matanya yang tajam, bak sepasang mata elang yang siap menyergap mangsa.

. . .

Pagi menyapa, mentari mulai merangkak naik meninggalkan peraduannya, menyinari ibukota dengan cahaya hangatnya. Suara kicau burung disertai dengan desau angin, menambah suasana syahdu di pagi yang cerah ini.

Mayasari Arsyad, adalah wanita lugu sembilan tahun lalu seingat Aditya Darmaji, seorang dokter ahli bedah di sebuah rumah sakit yang cukup ternama di ibukota. Keduanya memiliki sebuah rahasia yang saling terhubung dan menyakitkan Maya di masa lalu.

Dengan kesadaran yang mulai kembali, Maya membuka mata secara perlahan, membiarkan kelopak matanya bergerak dan bulu matanya bergetar samar. Wanita berkulit kuning Langsat berambut lurus hitam legam itu, mengitari sepenjuru ruangan yang tampak asing baginya. Bau desinfektan yang ia benci, menyeruak menembus indera penciumannya.

“Selamat pagi. Sudah bangun?” Ucap Aditya, masih menggunakan masker yang menutup sebagian besar wajahnya

Maya menatap Aditya dengan memicingkan mata.

‘Suara itu. Tatapan mata itu. Gesture tubuhnya. Apa dia ... oh tidak, tidak. Ini hanya sebuah kemiripan yang kebetulan. Tetapi hatiku mengatakan demikian.’ Maya membatin.

“Siapa anda?” Tanya Maya dengan suara lirih, namun jelas dengan nadanya yang penuh tekanan.

Perlahan, Adit membuka maskernya, membiarkan Maya mengetahui dirinya. Seketika, mimik wajah Maya berubah penuh dengan amarah dan murka, yang selama sembilan tahun bersemayam dalam hati dan jiwanya.

“Kau ... kau, berani-beraninya kau muncul lagi di hadapanku!” seru Maya dan menatap nyalang pada Adit, dengan sorot mata penuh murka dan wajahnya yang memerah.

“Maya, dengarkan aku dulu. Kita perlu bicara untuk meluruskan permasalahan kita di masa lalu. Aku mohon,” ucap Adit.

“Berhenti di tempatmu dan jangan mendekat. Jangankan untuk melihat wajahmu, bahkan untuk sekedar menghirup udara di satu ruangan yang sama denganmu, aku tak sudi melakukannya!” tegas Maya.

“Aku sudah mengira,” Aditya tersenyum miris sambil lanjut berkata, “kau sangat membenciku, Maya. Aku sadar aku telah bersalah dan tak pantas berada dalam pandangan di pelupuk matamu. Hanya saja, beri aku kesempatan untuk bicara dan biarkan aku menebus segala dosa-dosaku di masa lalu, Maya,” Imbuhnya lagi.

“Sumpah demi tuhan, hingga saat ini kebencianku padamu, bahkan sanggup membelah cakrawala dalam hitungan detik, Aditya. Sembilan tahun aku menjalani hariku dengan penuh penderitaan. Tapi lihatlah sekarang, kau si pemberi luka itu dengan beraninya datang lagi, berdiri angkuh di hadapanku tanpa tahu malu!” ungkap Maya penuh kebencian.

“Aku tahu, pada akhirnya kau akan semarah ini padaku, Maya. Sepertinya, Tuhan memiliki maksud lain dibalik pertemuan kita kali ini,” jawab Ditya menimpali. Matanya sendiri menatap netra penuh luka di hadapannya.

“Berapa lama? Lebih dari satu dasawarsa, kau dengan teganya membuat hidupku menderita. Lihatlah, dengan percaya diri kau mengatakan bahwa pertemuan sialan kali ini, ada maksud lain dari Tuhan. Tak tahu malu!” Ucap Maya dengan nada murka.

Ditya diam tak menjawab. Lelaki itu benar-benar seperti kehabisan kata-kata, namun banyak rasa yang ingin ia sampaikan pada Maya. Ditatapnya lekat seraut wajah cantik dengan bola mata yang jernih dan menghanyutkan. Ada pesona tak main-main yang dimiliki Maya kala itu.Sangat jauh berbeda dengan terakhir kali ia bertemu maya sembilan tahun silam.

“Tidak adakah kesempatan untukku, Maya? Tidak adakah maaf untuk si pendosa ini?” tanya Aditya pelan.

“Jangan terlalu tinggi dalam bermimpi, tuan Aditya Darmaji. Aku membencimu hingga ke sumsum tulang dan sel syaraf terkecil milikku. Andai pun ada maaf untukmu, mungkin bila aku bisa melihatmu menjadi mayat,” jawab Maya.

Aditya tersenyum masam penuh kesakitan. Hatinya teriris menyakitkan, dengan rasa bersalah yang sudah sekian tahun ia rasakan.

Maya. Adalah sebuah nama yang mendadak abadi dalam otak dan hati seorang dokter bernama Aditya itu. Rasa bersalah yang seolah menggunung, nyatanya nyaris membuat pertahanan Ditya lumpuh. Tak salah, Maya memang tak salah karena telah membencinya. Aditya Lah yang menjadi penyebab Maya demikian murka, meski tragedi bilik bambu beratap daun rumbia, telah sembilan tahun berlalu.

“Marahmu tak sudah-sudah. Kebencianmu tak lelah-lelah. Kecewamu tak musnah-musnah. Apakah kau tak ingin berdamai dengan takdir? Hukum aku karena aku memang bersalah, aku bersedia menerima siksa dan kutukanmu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara dan menjelaskan,” pinta Ditya sekali lagi. Nada bicaranya mendadak sendu seketika.

“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kau harus membayar lunas sakit hatiku dan kehancuranku, Aditya. Kau .... bisa-bisanya kau hidup enak bergelimang kebahagiaan selayaknya kaisar dengan bahagia yang sempurna, sementara aku harus menanggung beban seorang diri,” ungkap Maya lagi penuh murka.

“Aku mohon, Maya. Kondisimu sedang tak baik-baik saja. Beristirahatlah dengan baik disini. Aku akan menunggu hingga kau bisa meredakan emosimu,” mohon Ditya dengan suara pelan.

“Kita perlu bicara, Maya. Aku membawakan sarapan pagi untukmu. Lukamu di paha, akan segera sembuh jika kau makan banyak dan cukup nutrisi. Kita harus bicara nanti, tenangkan dulu dirimu,” kata Ditya berlalu pergi, meninggalkan Maya yang menatap nyalang pada seonggok makanan tak berdosa di atas nakas.

“Makan? Saat situasi begini jangankan untuk makan, bahkan melihat wajahmu muncul lagi di hadapanku, adalah sebuah hal yang aku haramkan. Dulu, aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk menghabisimu dengan tanganku sendiri. Pergilah. Jangan membuat diriku menepati janjiku sembilan tahun silam,” hardik Maya kemudian.

Ditya berlalu pergi, hanya menoleh sekilas pada Maya, berniat meninggalkan wanita itu agar Maya bisa lebih tenang. Ditya hanya ingin Maya menenangkan diri lebih dulu.

Mendadak, dunia Maya terasa runtuh kembali, dengan berbagai jenis dan bentuk luka lama yang selama ini Maya sembunyikan sendiri dari siapa pun. Demi sepasang mata tak berdosa itu, Maya bahkan rela berkubang pada dunia gelap penuh dosa, bermandikan lumpur kehinaan.

“Hina dina diriku ini, Aditya. Lihatlah kesuksesanmu dan keterpurukan diriku di masa lalu. Masihkah kau memiliki rasa bersalah, setelah kau meninggalkan aku teronggok begitu saja dalam bilik kehinaan?” Ucap Maya selepas Ditya benar-benar telah pergi.

Maya hanya tak sadar, ada sepasang mata indah yang menatapnya dari balik jendela. Sepasang mata itulah yang menjadi saksi pertengkaran Maya dan Aditya pagi ini. Siapa pemilik sepasang mata indah penuh kecewa itu?

. . .

Terpopuler

Comments

TongTji Tea

TongTji Tea

kak..ko aku baru baca karya mu yang ini ya? kemana bae aku ni 🤔.Btw kak banyak yang berima jadi agak-agak mirip puisi .Jadi kadang aku bacanya agak bersajak 😂

2024-11-24

0

Nani Haryati

Nani Haryati

mirip novel yg judulnya Bilik penyesalan

2023-03-08

1

bintang

bintang

aku datang

2023-01-14

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!