NovelToon NovelToon

Merajut Luka Lampau

Setelah sekian lama

Suara ricuh di depan ruang UGD sebuah rumah sakit di ibukota, membuat seorang dokter bernama Aditya Darmaji, bangkit dan berjalan tergopoh menuju ke ruang UGD.

Lelaki berparas tampan dengan lesung Pipit di kedua pipi itu, Berjalan tegak, mengayunkan kakinya untuk melangkah menyambut pasien barunya. Rambutnya yang rapi dengan kacamata yang bertengger manis diantara kedua matanya, menambah kesan tampan dan berwibawa.

“Maya?” gumam Adit lirih.

Tenggorokan Adit terasa dicekik, saat netranya menatap Mayasari Arsyad, wanita berusia dua puluh delapan tahun, yang pernah ia hancurkan hidupnya sembilan tahun silam.

“Apa yang terjadi padanya, suster?” Tanya Adit kemudian, dengan matanya fokus menatap sekujur tubuh yang tak sadarkan diri itu, dengan pandangan yang berhenti pada Paha kanan pasien yang mengalirkan darah segar.

“Wanita ini seorang Lady Esscort, dokter. Dia berkelahi dengan rekan sesama seprofesinya, dan paha kanannya terluka karena terkena pecahan botol minuman keras,” jawab suster.

“Biar aku yang menangani, suster. Tolong persiapkan semuanya,” vcap Aditya. Lelaki itu lantas meraih peralatan medisnya dan segera mengobati serta menjahit luka wanita yang ia panggil Maya tadi.

Hingga setelah Maya selesai di rawat, wanita itu dibiarkan beristirahat dalam tidak sadarnya oleh Aditya. Aditya kemudian berlalu, meninggalkan si wanita dalam ruang rawat dengan selaksa penyesalan pada netra matanya yang tajam, bak sepasang mata elang yang siap menyergap mangsa.

. . .

Pagi menyapa, mentari mulai merangkak naik meninggalkan peraduannya, menyinari ibukota dengan cahaya hangatnya. Suara kicau burung disertai dengan desau angin, menambah suasana syahdu di pagi yang cerah ini.

Mayasari Arsyad, adalah wanita lugu sembilan tahun lalu seingat Aditya Darmaji, seorang dokter ahli bedah di sebuah rumah sakit yang cukup ternama di ibukota. Keduanya memiliki sebuah rahasia yang saling terhubung dan menyakitkan Maya di masa lalu.

Dengan kesadaran yang mulai kembali, Maya membuka mata secara perlahan, membiarkan kelopak matanya bergerak dan bulu matanya bergetar samar. Wanita berkulit kuning Langsat berambut lurus hitam legam itu, mengitari sepenjuru ruangan yang tampak asing baginya. Bau desinfektan yang ia benci, menyeruak menembus indera penciumannya.

“Selamat pagi. Sudah bangun?” Ucap Aditya, masih menggunakan masker yang menutup sebagian besar wajahnya

Maya menatap Aditya dengan memicingkan mata.

‘Suara itu. Tatapan mata itu. Gesture tubuhnya. Apa dia ... oh tidak, tidak. Ini hanya sebuah kemiripan yang kebetulan. Tetapi hatiku mengatakan demikian.’ Maya membatin.

“Siapa anda?” Tanya Maya dengan suara lirih, namun jelas dengan nadanya yang penuh tekanan.

Perlahan, Adit membuka maskernya, membiarkan Maya mengetahui dirinya. Seketika, mimik wajah Maya berubah penuh dengan amarah dan murka, yang selama sembilan tahun bersemayam dalam hati dan jiwanya.

“Kau ... kau, berani-beraninya kau muncul lagi di hadapanku!” seru Maya dan menatap nyalang pada Adit, dengan sorot mata penuh murka dan wajahnya yang memerah.

“Maya, dengarkan aku dulu. Kita perlu bicara untuk meluruskan permasalahan kita di masa lalu. Aku mohon,” ucap Adit.

“Berhenti di tempatmu dan jangan mendekat. Jangankan untuk melihat wajahmu, bahkan untuk sekedar menghirup udara di satu ruangan yang sama denganmu, aku tak sudi melakukannya!” tegas Maya.

“Aku sudah mengira,” Aditya tersenyum miris sambil lanjut berkata, “kau sangat membenciku, Maya. Aku sadar aku telah bersalah dan tak pantas berada dalam pandangan di pelupuk matamu. Hanya saja, beri aku kesempatan untuk bicara dan biarkan aku menebus segala dosa-dosaku di masa lalu, Maya,” Imbuhnya lagi.

“Sumpah demi tuhan, hingga saat ini kebencianku padamu, bahkan sanggup membelah cakrawala dalam hitungan detik, Aditya. Sembilan tahun aku menjalani hariku dengan penuh penderitaan. Tapi lihatlah sekarang, kau si pemberi luka itu dengan beraninya datang lagi, berdiri angkuh di hadapanku tanpa tahu malu!” ungkap Maya penuh kebencian.

“Aku tahu, pada akhirnya kau akan semarah ini padaku, Maya. Sepertinya, Tuhan memiliki maksud lain dibalik pertemuan kita kali ini,” jawab Ditya menimpali. Matanya sendiri menatap netra penuh luka di hadapannya.

“Berapa lama? Lebih dari satu dasawarsa, kau dengan teganya membuat hidupku menderita. Lihatlah, dengan percaya diri kau mengatakan bahwa pertemuan sialan kali ini, ada maksud lain dari Tuhan. Tak tahu malu!” Ucap Maya dengan nada murka.

Ditya diam tak menjawab. Lelaki itu benar-benar seperti kehabisan kata-kata, namun banyak rasa yang ingin ia sampaikan pada Maya. Ditatapnya lekat seraut wajah cantik dengan bola mata yang jernih dan menghanyutkan. Ada pesona tak main-main yang dimiliki Maya kala itu.Sangat jauh berbeda dengan terakhir kali ia bertemu maya sembilan tahun silam.

“Tidak adakah kesempatan untukku, Maya? Tidak adakah maaf untuk si pendosa ini?” tanya Aditya pelan.

“Jangan terlalu tinggi dalam bermimpi, tuan Aditya Darmaji. Aku membencimu hingga ke sumsum tulang dan sel syaraf terkecil milikku. Andai pun ada maaf untukmu, mungkin bila aku bisa melihatmu menjadi mayat,” jawab Maya.

Aditya tersenyum masam penuh kesakitan. Hatinya teriris menyakitkan, dengan rasa bersalah yang sudah sekian tahun ia rasakan.

Maya. Adalah sebuah nama yang mendadak abadi dalam otak dan hati seorang dokter bernama Aditya itu. Rasa bersalah yang seolah menggunung, nyatanya nyaris membuat pertahanan Ditya lumpuh. Tak salah, Maya memang tak salah karena telah membencinya. Aditya Lah yang menjadi penyebab Maya demikian murka, meski tragedi bilik bambu beratap daun rumbia, telah sembilan tahun berlalu.

“Marahmu tak sudah-sudah. Kebencianmu tak lelah-lelah. Kecewamu tak musnah-musnah. Apakah kau tak ingin berdamai dengan takdir? Hukum aku karena aku memang bersalah, aku bersedia menerima siksa dan kutukanmu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara dan menjelaskan,” pinta Ditya sekali lagi. Nada bicaranya mendadak sendu seketika.

“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kau harus membayar lunas sakit hatiku dan kehancuranku, Aditya. Kau .... bisa-bisanya kau hidup enak bergelimang kebahagiaan selayaknya kaisar dengan bahagia yang sempurna, sementara aku harus menanggung beban seorang diri,” ungkap Maya lagi penuh murka.

“Aku mohon, Maya. Kondisimu sedang tak baik-baik saja. Beristirahatlah dengan baik disini. Aku akan menunggu hingga kau bisa meredakan emosimu,” mohon Ditya dengan suara pelan.

“Kita perlu bicara, Maya. Aku membawakan sarapan pagi untukmu. Lukamu di paha, akan segera sembuh jika kau makan banyak dan cukup nutrisi. Kita harus bicara nanti, tenangkan dulu dirimu,” kata Ditya berlalu pergi, meninggalkan Maya yang menatap nyalang pada seonggok makanan tak berdosa di atas nakas.

“Makan? Saat situasi begini jangankan untuk makan, bahkan melihat wajahmu muncul lagi di hadapanku, adalah sebuah hal yang aku haramkan. Dulu, aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk menghabisimu dengan tanganku sendiri. Pergilah. Jangan membuat diriku menepati janjiku sembilan tahun silam,” hardik Maya kemudian.

Ditya berlalu pergi, hanya menoleh sekilas pada Maya, berniat meninggalkan wanita itu agar Maya bisa lebih tenang. Ditya hanya ingin Maya menenangkan diri lebih dulu.

Mendadak, dunia Maya terasa runtuh kembali, dengan berbagai jenis dan bentuk luka lama yang selama ini Maya sembunyikan sendiri dari siapa pun. Demi sepasang mata tak berdosa itu, Maya bahkan rela berkubang pada dunia gelap penuh dosa, bermandikan lumpur kehinaan.

“Hina dina diriku ini, Aditya. Lihatlah kesuksesanmu dan keterpurukan diriku di masa lalu. Masihkah kau memiliki rasa bersalah, setelah kau meninggalkan aku teronggok begitu saja dalam bilik kehinaan?” Ucap Maya selepas Ditya benar-benar telah pergi.

Maya hanya tak sadar, ada sepasang mata indah yang menatapnya dari balik jendela. Sepasang mata itulah yang menjadi saksi pertengkaran Maya dan Aditya pagi ini. Siapa pemilik sepasang mata indah penuh kecewa itu?

. . .

Si wanita malam

Sepasang mata itu menatap Maya penuh penasaran dan pertanyaan. Ada kilat penuh tanya yang terlihat jelas dalam pendarnya.

Si pemilik mata indah itu mundur dua langkah, lantas berbalik dan berlalu pergi.

Satu tekad dalam hatinya mulai tumbuh, bahwa ia akan mencari tahu apa hubungan Aditya dan wanita malam itu di masa lalu.

**

Seorang suster tengah berusaha membujuk Maya agar bersedia makan pagi ini. Namun sayangnya, Maya tetaplah Maya yang keras kepala. Wanita yang berasal dari desa pelosok itu masih berkeras hati enggan untuk makan dan sama sekali tidak mau menuruti apa yang suster katakan.

“Makanlah barang sebentar, mbak. Jika mbak tidak mau makan, bagaimana bisa sembuh?” bujuk suster.

“Tolong tinggalkan aku disini, Suster. Aku ingin sendiri. Aku tengah menunggu seseorang datang untuk menjengukku pagi ini. Jangan khawatir, jika dalam waktu satu jam aku tak makan, kau bisa kembali memarahiku. Kau bisa pegang kata-kataku,” sahut Maya.

“Baiklah,” Suster mengangguk dan berlalu pergi, setelah meletakkan lagi makanan untuk Maya.

Tinggallah Maya sendiri. Wanita itu tengah memikirkan banyak hal yang baru saja terjadi padanya. Entah mengapa, hatinya terasa sesak bukan main saat bertemu kembali dengan lelaki masa lalunya.

Sakit? Jangan tanya lagi. Bahkan terasa ditusuk ribuan belati dari segala arah.

“Sari? Ya ampun, astaga. Maaf baru bisa menjengukmu pagi ini. Semalam tamuku benar-benar tidak bisa ditinggal. Terpaksa pagi buta aku pulang dan mengambil tasku sebelum kemari,” ucap seorang wanita yang baru saja tiba dan masuk ke dalam ruang rawat Mayasari.

Dialah Shela, wanita seprofesi dengan Mayasari sebagai Lady Esscort di salah satu tempat hiburan malam. Pemilik tubuh sintal dengan kulit sawo matang itu, benar-benar menjadi sahabat terbaik Maya selama ini.

“Tak apa, Shel, semua sudah baik-baik saja. Jangan khawatir, ini akan sembuh dan pulih dalam waktu dekat,” jawab Maya.

“Eh, aku tadi ketemu sama dokter yang katanya menangani kamu. Aduh, cakep nya tak ada obat. Boleh tidak, ya, kalau aku mengajaknya berkenalan. Siapa tahu bisa menjadi imamku,” ucap Shela.

“Sebaiknya jangan. Dia bukan lelaki baik sejauh yang kau kira,” kata Maya sambil menatap tajam Shela.

“Hah? Memangnya kau tahu dari mana?” Tanya Shela penuh penasaran.

“Kau tak melihat id card yang menggantung di dadanya? Dialah Aditya Darmaji,” ungkap Maya dengan tersenyum getir.

“Apa? Jadi, dia . . . ?” tanya Shela terpekik.

“Ya. Dialah orangnya,” Jawab Maya. Wanita itu refleks mengusap sudut matanya yang berair.

Suasana kamar Mayasari Ahmad itu mendadak hening, membiarkan beribu kesakitan menghujaninya lebih dalam. Meski sudah sembilan tahun berlalu, namun sakitnya masih luar biasa menyiksa. Sedikitpun tidak terkikis oleh waktu dan jarak.

Kini, dipertemukan kembali dengan Ditya, dunia Maya terasa porak poranda lagi, setelah sebelumnya Maya susah payah menata hidupnya yang hancur. Sembilan tahun nyatanya bukan waktu yang sebentar untuk Maya jalani.

Ada banyak bara api dan beribu onak duri yang harus Maya lewati, dengan berbagai ranjau yang menghiasi setiap tepi jalan Maya. Rasanya menyakitkan, namun itu berhasil membuat Maya menjadi kuat dan tidak tertandingi.

"Aku tidak mengerti dengan maksud Tuhan kali ini. Mengapa Tuhan memberiku banyak ujian, Shela? Bahkan setelah aku mulai bisa mendamaikan hatiku tanpa bayangan Ditya, dengan mudahnya Tuhan mempertemukan aku kembali dengannya. Apa aku berdosa, jika aku berpikir bahwa Tuhan tidak menyayangi aku? Demi pemilik sepasang mata bening tak berdosa itu, aku masih bertahan meski harus hancur seperti ini, meski harus berkubang dalam dunia nista dan dunia kegelapan," Maya masih saja terisak, membiarkan emosi yang sejak tadi di tahannya, meluap di hadapan Shela.

Tak ada yang bisa Shela lakukan selain mengusap bahu lemah Maya. Bila tentang Aditya, Maya tak memiliki kekuatan sama sekali. Semangatnya seolah tercabik dan musnah tanpa sisa.

"Aku ingin pulang saja, Shela. Aku tidak akan kuat, jika aku terus bertahan dengan luka ini. Pusaran rindu dan angin kebencian ini, kurasa sanggup membunuhku perlahan jika terus aku biarkan bertarung. Lebih baik, aku pindah rumah sakit atau merawat lukaku seorang diri saja di rumah," cicit Mayasari lirih.

Wanita itu lantas membuka paksa jarum infus yang menempel pada pergelangan tangannya, melempar begitu saja infus itu hingga teronggok mengenaskan di lantai.

"Sari, apa yang kau lakukan?" pekik Shela akibat terkejut.

"Aku ingin pulang saja. Kau membawa uang? Pinjami aku uang cash, dan aku akan menggantinya nanti di rumah," ujar Mayasari, setelah dirinya berhasil berdiri, dan melangkah dengan langkah tertatih.

"Ayo, ikut aku ke rung administrasi."

"Tapi kau belum sembuh betul. Ya tuhan, mengapa kau jadi begini, Sari. Kau harus di rawat sampai sembuh," Shela mencegah sari, dengan menarik baju rumah sakit yang khas berwarna hijau.

"Aku bisa menyembuhkan lukaku seorang diri, Shela. Jadi jangan khawatirkan aku," lirih Maya kemudian.

Pada akhirnya, tak ada yang bisa mencegah keputusan Maya, meski Shela sekalipun. Lady Esscort sekaligus pelacur itu, berjalan tertatih, seraya menahan perih di hatinya, serta nyeri akibat luka pada pahanya.

"Maya, kita jangan pulang dulu. Biarkan dirimu dirawat disini lebih dulu, sampai sembuh. Setelahnya jika kau ingin pulang, kita bisa pul .... " Shela mencoba untuk membujuk, namun kalimatnya terhenti saat Mayasari menyela.

"Kalaupun aku bisa dirawat, aku akan mencari rumah sakit lain yang tak memiliki dokter bernama Aditya Darmadji," tegas Maya.

Baru saja keduanya sampai diambang pintu untuk keluar, sosok Ditya muncul dan berhenti tepat di depan Maya yang tertatih.

"Mau kemana?" tanya Ditya pelan. Suaranya bahkan masih semerdu dulu, dengan banyak kepingan kenangan yang berhasil mengingatkan Maya akan bilik bambu kehinaan itu.

Tak menjawab, Maya menerobos keluar dan melewati Ditya, berlalu begitu saja dengan menahan tangis, dan meninggalkan Shela yang bingung harus bereaksi apa. Sejujurnya, Shela tahu betul, bagaimana luka yang dirasakan Maya.

"Maya, tunggu. Kau harus istirahat dan tidak boleh keluar dari rumah sakit ini," tegas Ditya. Lelaki itu lantas menarik dan meraih tangan Maya hingga Maya menghempasnya.

Spontan Maya memecahkan kaca jendela ruang rawat orang lain, dan meraih pecahan kacanya untuk ditodongkan ke arah Ditya.

"Lanjutkan langkahmu, lantas aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku tidak peduli andai setelah ini aku harus mendekam di penjara karena dirimu," Maya menatap Ditya dengan tatapan tak berdaya. Suaranya gemetar dan semakin terdengar pilu. Maya tak peduli sama sekali, meski ia harus menjadi pengunjung dan pasien lain di rumah sakit itu.

Ditya tercenung di tempatnya, menyadari bahwa dirinya yang bersalah dan tidak sanggup bila harus kehilangan wanita yang ia cari selama ini, demi sebuah kata maaf.

Dengan gerakan cepat, Ditya meraih tangan kanan Maya dan menekuknya, hingga pecahan kaca itu jatuh ke lantai, kembali memunculkan bunyi prang kecil.

Saat Maya lengah, Ditya berhasil memeluk Maya dengan erat seraya berbisik, "sedalam apa sebenarnya lukamu itu, Maya? Hingga kau memusuhi aku seperti ini?"

Kenangan buruk menyakitkan itu, kali ini kembali berputar dalam otak Maya hingga menyebabkan nyeri tak tertahankan, pada kepala dan dada Maya.

"Aku bersumpah, Ditya. Bahkan sakitnya, kau tak akan pernah bisa menebusnya dengan dunia dan ragam isinya. Yang paling menyakitkan adalah, saat aku diusir keluar dari rumahmu oleh ibu dan adikmu, dalam kondisi aku mengandung darah dagingmu. Cacian, hinaan, hujatan, semua aku terima dan aku dituduh memfitnah mu saat itu. Hujan deras ... aku tertatih diusir dari kampung, karena mempertahankan anak ... mu. Aku, aku ... terus berjalan terkatung-katung mencari belas kasihan, menjadi gelandangan dan makan nasi sisa orang selama dua bulan lamanya. Kau ... kau tak akan tahu bagaimana rasanya, sakit seperti ... yang aku ... rasa," kata Maya dengan gemetar.

Hingga Maya pingsan setelahnya. Aditya mendadak pucat.

"Mas, dia ... dia siapamu?" Sepasang mata indah misterius itu muncul, dengan sorot mata terluka yang jelas kentara.

. . .

Jujur saja, Saya merasa feel-nya dapet banget pas ngetik kisah ini. Enggak tahu kenapa, rasanya saya yang menjadi Mayasari, mengetik seperti ada di posisi Maya, seolah-olah saya yang terluka.

Tak mau dicerai

"Mas, dia ... dia siapamu?"

Aditya Darmadji hanya bisa meneguk salivanya yang terasa pahit. Merangkul Maya yang tak sadarkan diri, disaksikan oleh istri terkasih, membuat dirinya syok dan nyaris mati. Jantung pria itu menghentak bak petir yang menyambar bumi tanpa henti. Kilat matanya menunjukkan kepanikan yang selama ini tak pernah Aditya tampakkan.

Ditambah lagi, pengakuan Maya yang telah mengandung anaknya lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Itu artinya, Aditya memiliki anak berusia satu dasawarsa. Bukankah ini sesuatu yang mengejutkan.

"Aku akan jelaskan nanti, Citra. Sekarang, pasien butuh penanganan," jawab Ditya pelan. Saat seperti ini, keselamatan dan kondisi kesehatan Maya jauh lebih penting di atas segalanya.

"Astaga, darah!" Pekik Shela yang melihat darah merembes keluar dari paha mulus Maya yang terluka.

Sontak saja, Ditya dan wanita berseragam suster bernama Citra Larasati itu, menoleh ke arah paha Maya yang masih dibalut perban.

Meski terasa berat, namun Ditya seperti tidak merasa terbebani oleh bobot tubuh Mayasari yang sintal itu. Lelaki itu mengangkat Maya tanpa kata, membawanya kembali masuk kamar.

Shela memucat di tempatnya. Wanita itu melihat dengan jelas, raut wajah dan kilat mata penyesalan yang dimiliki oleh Aditya. Sayangnya, semua itu tetap tak akan mampu menebus luka dan penderitaan seorang Mayasari Arsyad.

Lelaki yang selalu tampil Hedon dan terkenal dengan karakter flamboyan itu, seolah tidak memikirkan perasaan seorang wanita yang mengekornya. Ada raut sedih sekaligus kecewa pada Citra, saat tahu, suaminya rupanya tengah bertemu dengan wanita masa lalunya. Terlebih, pasien yang bernama Maya itu pernah mengandung anak suaminya.

Jangan tanya, Citra tentunya hancur berkeping, dengan kemarahan yang masih ia tahan. Satu yang membuat Citra kecewa, mengapa suaminya tidak pernah jujur padanya?

Di luar ruangan Shela merasa tertekan akan kondisi ini. Ia perlu menghubungi mami Jovita untuk memberitahu kabar Maya.

Dalam dunia malam, Maya memang dikenal dengan nama Sari Donna. Nama samaran Maya yang diberikan oleh Mami Jovita.

Usai memberi penanganan pada Maya, Aditya baru tersadar, Citra telah keluar entah sejak kapan. Yang Ditya ingat, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana raut kecewa istrinya itu. Sekali lagi, Ditya menghembuskan napasnya kasar.

Bagaimana nanti dirinya harus menjelaskan pada istri dan juga keluarga istrinya, jika mereka bertanya. Sementara di atas ranjang pesakitan di depan Ditya, wanita yang pernah mengandung anaknya itu, tidak sadarkan diri. Wajah Maya bahkan lebih pucat dari sebelumnya, dan Ditya semakin merasa bersalah.

Diliriknya jam yang bertengger pada pergelangan tangannya, dan jam kerja Ditya sebenarnya telah usai setengah jam yang lalu. Ditya harusnya pulang dan tidur setelah ini.

"Siapa namamu? Kau teman Maya?" Ditya bertanya pada Shela, saat Shela baru saja selesai bicara dengan mami Jovita. Ada selaksa sesal yang Shela tangkap dari netra Ditya.

"Aku Shela, teman seprofesi Sari dalam dunia malam," Shela menjawab jujur apa adanya. Suaranya datar dan biasa saja.

"Panggil aku Ditya. Aku akan pulang sebentar lagi. Aku titip Maya padamu, Shela. setelah ini aku akan datang lagi sebagai pengunjung," lirih Ditya. Ia tahu betul, betapa ia sangat lelah dan tubuhnya perlu mandi agar segar.

"Tidak perlu dititipkan, Dokter Ditya. Sudah menjadi tanggunganku merawat dan menjaga sahabatku. Jadi pulanglah, dan anda tidak perlu meminta izin padaku," jawab Shela kemudian. "Jangan mengusik hidup Sari, aku mohon. Hidupnya sudah banyak menderita selama ini. Jangan merusak perasaan Mayasari lagi, setelah ia bersusah payah memperbaiki setelah kau hancurkan dulu."

Meski nada bicara Shela terdengar biasa saja, namun siapa yang menyangka, hal itu cukup membuat hati Ditya tertampar keras. Ada sejawat bayangan luka masa lalu yang dirasakan Maya, yang kini seolah Aditya rasakan.

"Terima kasih jika begitu. Saya mohon, tolong jangan biarkan Maya pergi sebelum lukanya pulih total," lirih Ditya lagi, sebelum Ia berlalu pergi dari sana.

Ditya pulang, menuju sebuah rumah yang cukup besar, tempat yang selama ini dihuni oleh dirinya dan citra, sang istri. Mungkin, Citra tak ingin menemui dirinya lagi. Namun biar bagaimana pun, menjadi sebuah kewajiban bagi Ditya untuk menjelaskan.

Hingga Ditya tiba di rumahnya, ia masuk, mencari istrinya yang tak bersuara sama sekali. Dan Aditya Darmadji itu mengerutkan alisnya, saat mendapati istrinya yang sedang melamun di dekat wastafel sambil mencuci tangan, dengan pipi yang sudah basah.

"Citra, kau menangis?" Lirih Ditya. Sontak saja, suaranya itu berhasil membuat citra terkejut.

Citra sendiri enggan menjawab, dan lebih memilih mengusap air matanya.

"Ayo duduk, aku akan menjelaskan," Ditya meraih tangan istrinya, dan menuntunnya untuk duduk di meja makan.

"Dia siapamu, Mas? Mengapa dia mengaku telah mengandung anakmu dulu?" Citra mencicit lirih.

Ditya menghela napas panjang, menghalau sesak dan rasa bersalah di hatinya.

"Dia adalah Mayasari Arsyad. Wanita Yang dulu pernah aku rayu untuk menyerahkan kegadisannya padaku, di dalam bilik bambu beratapkan daun Rumbia. Disana pula, aku meninggalkannya dalam kondisi tergeletak. Aku, aku sungguh tidak tahu, jika akibat malam itu, menyebabkan dia mengandung anakku. Aku pun baru tahu tadi," jelas Aditya, sambil menunduk dan memainkan ponselnya.

"Aku tidak tahu jika karena aku, dia diusir dari kampung, terkatung-katung di jalan hingga makan makanan sisa orang lain. Andai aku tahu dia mengandung saat itu, aku bersumpah tidak mungkin aku tega meninggalkannya," tambah Ditya lagi.

"Jangan pernah melibatkan kata sumpah untuk menutupi sifat bajinganmu, Mas. Aku pikir, kau adalah lelaki idaman banyak wanita yang sempurna. Rupanya kau dengan tega menyakiti hati wanita dan meninggalkannya, setelah kau menikmati sari tubuhnya. Ya tuhan, kita berumah tangga baru dua tahun lamanya, dan sekarang datang wanita yang mengaku telah mengandung anakmu dulu. Ini sakit, benar-benar sakit," Citra menangis tersedu-sedu. Wanita itu melipat tangannya di atas meja, dan menelungkupkan wajahnya di atas lipatan tangannya.

"Ya, aku yang bajingan. Aku yang berdosa. Bahkan Maya saja jijik denganku. Aku memang pantas dihukum," keluh Ditya. Terkadang, ada penyesalan yang terlambat.

Rasa cinta untuk Maya, Aditya pikir tidak akan pernah datang padanya. Sayangnya sejak malam itu, Aditya selalu bermimpi buruk, dan wajah Maya yang seolah menahan sakit, seringkali menghantui.

Ego dan prinsipnya yang tidak akan pernah menikahi wanita miskin, seolah tergilas oleh bayangan Maya yang ia tinggalkan begitu saja. Aditya menyesal, ya, meski penyesalan itu terlambat.

"Aku tidak mau kau cerai, Mas. Apapun yang terjadi, ibumu sudah mewanti-wanti diriku untuk menjaga pernikahan kita. Jika kau ingin mengejar Maya, itu terserah padamu karena ada anak diantara kalian. Yang jelas, aku tak akan pernah mau kau cerai," tegas Citra.

Wanita yang bernama Citra itu, begitu sangat memuja dan mendamba Aditya sejak di bangku SMA dulu. Dihadapkan pada kemungkinan mereka berpisah, tentu saja Citra tak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Aku tidak tahu, Ci . . . tetapi yang jelas, aku harus mencari anakku," tandas Aditya kemudian.

**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!