Ustadzahku Milikku (Santri Mafia)

Ustadzahku Milikku (Santri Mafia)

Prolog

"Semuanya, apa di mengerti?" tanya Zahra pada sekumpulan santri yang baru saja menyaksikannya memaparkan materi pembelajaran yang Zahra bawakan hari ini.

Semua santri menjawab serentak pertanyaan Zahra, selain satu orang.

"Iya Ustazah."

"Yang itu, kenapa tidak menjawab? Apa kurang paham dengan penjelasan Ustazah tadi?" tanya Zahra lagi dengan suara lembutnya pada salah seorang santri yang duduk di bangku paling depan.

"Iya," jawab santri itu dengan pelan.

"Bagian mana yang tidak dimengerti?" Zahra kembali bertanya.

Ia akan mengulang pembahasan atau menjelaskan kembali letak ketidak pahaman santrinya itu, karena Zahra ingin semua murid menerima materinya dengan baik.

"Bagaimana agar Ustazah menjadi makmumku?"

Zahra terdiam dan terdiam dengan pertanyaan aneh dari santrinya itu.

'Cara menjadi makmumnya? Ada-ada saja anak-anak ini' Zahra hanya menggeleng dan tersenyum dengan pertanyaan muridnya itu.

Sebagian murid ada yang memandang aneh mendengar pertanyaan Habib, dan ada pula yang senyum seakan ingin ikut mengetahuinya juga.

" Maaf. Namamu siapa? Bertanyalah dengan benar."

Habib malah berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan menghadap Zahra.

"Nama saya Habib, Ustazah. Dan benar-benar ingin tahu cara agar menjadi imam untuk Ustazah Zahra."

Zahra mematung mendengar apa yang anak muridnya itu sampaikan. Apa dia tengah di lamar oleh santrinya sendiri dalam kelas? Eh, bukan! mungkinkah Habib sedang menggodanya? Apalagi saat ini tengah berlangsung pembelajaran. Seperti inikah pengalaman mengajar di hari pertamanya?

1. Mencintainya

"Cepat dong Ubay!"

Ubaydillah ingin melempar pulpen yang tengah ia pegang.

Jika ingin cepat selesai kenapa malah menyuruhnya untuk menulis makalah aneh ini.

"Sedikit lagi," kata Ubaydillah yang tengah berusaha mempercepat gerakan tangannya menulis berbagai kata di atas kertas.

Habib terus melihat pergelangan tangannya yang tengah di kejar oleh waktu.

'Dasar Guru sialan!' umpat Habib dalam hati. Jika ingin mengabari mengapa harus mendadak dan lewat telepon juga. Ia sampai harus meminta Ubaydillah untuk menuliskannya karena Habib sudah tidak sempat lagi dan harus mengerjakan yang lain.

Sebenarnya bukan salah guru itu, melainkan Habib sendiri yang dua hari terakhir ini malas untuk membuka HP nya karena terus di ganggu oleh pesan-pesan yang membuatnya jengah.

Hal itu yang membuat ia tidak mengetahui apa yang guru sampaikan dalam grup mengenai perubahan makalah yang harus di kerjakan dengan tulisan tangan dan baru semalam ia mengetahui hal itu.

"Ini, sekarang keluar dan pergilah ke sekolahmu, sebelum ada yang masuk."

Ubaydillah memberikan barang Habib kepada pemiliknya dan mengusirnya dari sana. Rasanya Ubaydillah ingin tidur sekarang, tetapi itu tidak mungkin karena harus meraih ilmu dulu sampai siang nanti.

Semalam saat Ia tengah enak tidur, Habib malah datang mengganggunya dengan pekerjaan yang seakan membuat tangannya kesemutan karena tidak berhenti menulis yang kini ia lanjutkan dalam kelas.

"Terimakasih," kata Habib setelah mengambil makalahnya.

"Sama-sama."

Setelahnya, Habib pergi dan Ubaydillah merebahkan kepalanya di atas meja.

"Ngantuk sekali."

Ubaydillah menguap dengan mulut lebarnya yang terbuka namun ia tutup goa itu dengan tangan kanan.

"Ubay!"

Ubaydillah yang baru saja ingin menutup mata sesaat, setidaknya sampai Ustaz yang akan mengajar pagi ini datang, tetapi ia harus terganggu lagi dengan Habib yang kembali meneriakkan namanya.

"Kenapa lagi Habib! Astaghfirullah...!"

Rasanya Ubaydillah ingin menangis sekarang, jika bukan saudara sepupunya dan tidak takut akan dosa, mungkin saja kepala Habib sudah ia cekik dari semalam.

"Siapa yang sana?" Habib bertanya akan orang yang berada di luar kelas.

"Yang sana, yang sana apa?"

Mata Ubaydillah seakan susah untuk terbuka dan melihat arah telunjuk Habib.

"Makanya kamu bangun dulu."

Habib malah mengajak paksa Ubaydillah untuk melihat lebih jelas.

"Lihat."

Ubaydillah membuka matanya lebar-lebar setelah di seret oleh Habib.

"Oh. Kayanya Ustazah baru. Kemarin Mbak Nur bilang bakal ada Ustazah baru," kata Ubaydillah saat melihat Nur, Kakaknya berbincang dengan seseorang dari kejauhan.

"Benarkah?" tanya Habib memastikan.

"Iya."

"Selanjutnya kita akan bertemu setiap hari. Pergi cuci mukamu agar tidak mengantuk."

Tiba-tiba Habib memeluk Ubaydillah sambil berkata demikian, membuat yang di peluk bingung sendiri.

"Habib, tunggu dulu!" teriak Ubaydillah karena Habib langsung pergi berlari setelah memberikannya pelukan tadi.

"Habib kenapa lagi? Makin aneh!"

Karena panggilannya tidak dihiraukan, akhirnya Ubaydillah pergi ke toilet untuk mencuci mukanya agar kantuknya menghilang dan bisa fokus mengikuti pembelajaran.

"Kenapa?" tanya Pak Kepala sekolah sembari memperbaiki letak kaca matanya yang mulai merosot.

"Saya ingin pindah, Pak. Makanya saya memerlukan tanda tangan Bapak," kata Habib.

"Ya, saya tidak buta juga bisa membaca dengan baik. Tapi pertanyaan nya, kenapa harus pindah, ada masalah apa?"

Habib adalah salah satu murid berbakat, sangat di sayangkan jika harus melepaskannya saat ujian tinggal beberapa bulan lagi.

"Tidak ada masalah apapun."

Dahi kepala sekolah berkerut dan alisnya yang mulai di tumbuhi uban itu hampir menyatu.

"Lalu? Saya tidak mau memberi tanda tangan jika tanpa alasan yang jelas."

Surat itu disodorkan kembali pada Habib.

"Pak, saya mau bertanya."

Habib menatap serius pria tua yang ada di depannya, yang kini tengah duduk dengan gaya wibawanya.

"Silahkan."

Pria beruban itu mempersilahkan Habib untuk bertanya.

"Siapa nama istri Bapak?"

Sekali lagi, pria tua itu bingung dengan pertanyaan Habib.

"Untuk apa mengetahui nama istriku?" tanyanya.

"Alasan saya untuk pindah akan terjawab jika Bapak kepala sekolah menyebutkan nama istri Bapak."

Karena sangat ingin tahu alasannya akhirnya nama istrinya Ia sebutkan.

"Marni."

"Saya mau bertanya sekali lagi."

Mendengar ucapan Habib membuat kepala sekolah itu berdiri dari duduknya dan mengobrak mejanya sendiri.

"Kamu jangan mempermainkan saya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh mu itu! Nama siapa lagi yang ingin kamu ketahui. Hah?!" tanyanya dengan suara tinggi dan terbatuk-batuk setelahnya. Dengan cepat Habib melangkah maju dan mengambil air dalam gelas yang memang ada di atas meja.

"Minum dulu Pak."

Habib membantunya minum karena melihat pria tua itu kesusahan karena batuk.

Setelah dirasa tenang, Habib kembali bersuara.

"Pak, apa sudah bisa lanjut?"

Kepala sekolah memperbaiki posisi duduk dan letak kaca matanya lalu mempersilahkan tanpa suara. Habib menatap serius orang di depannya namun yang di tatap tak gentar dengan tatapan Habib.

"Saya tau Bapak cuma punya satu istri dan menikah pun baru satu kali selama hidup."

Habib men jeda membuat kepala sekolah ingin berbicara namun tertunda saat Habib kembali melanjutkan.

"Pertanyaan saya adalah, kenapa Bapak bisa se setia itu pada Ibu Marni sampai sekarang?" tanya Habib dengan tampang serius.

"Tentu saja karena dia istri saya dan saya mencintainya, perta_"

"Tepat sekali Pak!" ujar Habib dengan lantang sembari berdiri dengan hentakan tangan pada meja membuat kepala sekolah terkejut dan menghentikan ucapannya.

"Anak kurang ajar! Mau membuat saya jantungan? Hah!" bentaknya setelah selesai dari keterkejutan akan ulah Habib.

"Mana berani saya Pak. Maksud saya itulah alasan kenapa saya ingin pindah."

"Alasan? Alasan apa? Kamu jangan mempermainkan saya ya."

Habib kembali duduk karena sepertinya kepala sekolah mulai di luar kendali.

"Tenang dulu Pak. Kita bicara baik-baik. Saya tidak ada maksud mempermainkan Bapak selalu guru besar saya. Namun, sungguh itulah alasan saya ingin pindah."

Kepala sekolah berusaha menenangkan diri menghadapi murid di tempat pengabdiannya itu.

"Cepat katakan alasanmu, jangan membuat saya seperti orang bodoh dengan pertanyaan-pertanyaan aneh," katanya berusaha sabar.

"Mencintainya Pak," kata Habib dengan sungguh-sungguh.

"Mencintainya?" kepala sekolah memastikan alasan yang lebih aneh lagi dari pertanyaan-pertanyaan Habib sebelumnya.

"Iya, mencintainya. Seperti ucapan Bapak tadi, Bapak mencintai Ibu Marni dan tetap setia sampai sekarang. Sedangkan saya ingin keluar karena mencintainya dan akan memperjuangkan cinta."

"Cepat kemari kan," kata kepala sekolah dengan malas.

"Apa Pak?"

"Itu, kertasnya."

Habib menyodorkan kertas yang tadi kepala sekolah tolak sebelumnya.

"Cepat keluar, dan jangan pernah muncul di depan saya lagi," ucapnya setelah membubuhkan tanda tangan atas nama Darto selalu kepala sekolah.

"Siap Pak."

Setelah kepergian Habib, kepala sekolah mengambil kaca yang biasa dia simpan dalam laci dan berbicara di depan cermin tersebut.

"Anak muda. Sayangnya aku sudah tua," ucapnya sambil membuka beberapa gigi palsu yang membuat giginya nampak penuh dengan benda palsu tersebut.

"Ompong," katanya pada diri sendiri lalu tertawa bodoh dengan kelakuan anehnya, yang menampakkan mulutnya yang sudah tidak di tumbuhi gigi beberapa butir, dan menciptakan celah-celah pada deretan giginya yang tersisa.

Terpopuler

Comments

Atha Diyuta

Atha Diyuta

mampir kesini kk

2024-03-23

1

S. E Kagami

S. E Kagami

Masuk List bacaanku

2024-03-06

1

Anonymous

Anonymous

baru pertama kali baca langsung di buat ngakak thor 🤣

2023-01-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!