"Assalamualaikum!" salam Habib girang membahana sembari menuruni tangga untuk sarapan bersama.
Habib bahkan berlari kecil menuju meja makan dan menghampiri Rahma lebih dulu.
Muach
Rahma kaget mendapat ciuman di pipi dari Habib, yang langsung duduk di kursinya setelah mengagetkan Rahma.
Yang lain diam dengan kebingungan mereka begitupun dengan Rahma. Ia mengingat terakhir kali memberi ciuman pada Habib, dan kejadian itu sudah lama terjadi. Rahma tidak bisa melupakan kejadian 11 tahun yang lalu dalam benaknya.
"Ih, Umi!"
Dengan kesal Habib menghapus bekas ciuman Rahma pada pipinya yang bakpaw lalu tangannya ia lap pada seragam SD nya.
"Kenapa?" tanya Rahma sembari sebelah tangan menutup mulut dan tertawa lucu dengan tingkah Habib.
Sebelum menjawab, Habib kecil menengok ke kanan dan kirinya untuk memastikan tidak ada yang melihat.
"Habib udah gede. Nggak mau di cium lagi," ujarnya merajuk dengan apa yang telah Rahma lakukan padanya.
"Masya Allah...! Anak Umi sudah gede rupanya," gemasnya sembari mencubit kedua pipi Habib.
"Huwaaa...! Habib nggak mau lihat Umi!"
sembari menangis dan berteriak, Habib meninggalkan Rahma dan masuk dalam gerbang dengan rasa kesalnya.
Rahma hanya tertawa dan memandang Habib sampai anak itu benar-benar berada di dalam lingkungan sekolah.
Setelahnya ia masuk dalam mobil untuk pulang dan akan menjemput Habib jika pulang tiba nanti.
"Habib, kamu kenapa? Jangan bikin kami merinding di pagi hari ya," ucap Siti yang melihat Habib masih senyum-senyum tidak jelas.
"Hehehehhh," tawa Habib semakin membuat mereka kaget. Apalagi saat mereka melihat piring makanan yang penuh.
"Habib, jangan seperti itu. Mbak benar-benar takut."
Siti benar dan tidak berbohong dengan sikap Habib pagi ini.
'Ini anak semalam mimpi apa sih?' batinnya.
Siti sudah terbiasa dengan Habib yang kemarin-kemarin. Habib yang tidak banyak tingkah namun tidak ada kata selain menyayanginya.
Siti tentu saja tetap menyayanginya sampai hari ini, tapi tingkahnya ini..., sangat.... Entahlah. Siti ingin menyebutkannya.
Sedangkan Ahmad, pria bersahaja itu hanya menyembunyikan senyumnya melihat kelakuan Habib barusan.
Sikap inilah yang membedakannya dengan Abdullah, Ahmad hanya akan berbicara bila itu suatu hal yang harus dibicarakan. Selebihnya biarkan orang lain yang memahami dan mengerti.
Ahmad juga tidak suka dengan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Namun, saat ia berbicara tiada siapapun yang tidak mendengarkan ucapannya.
"Ternyata dengan belajar di pondok membuatmu lebih bahagia ya?" tanya Abdullah ikut bersuara.
"Abi, doakan saja supaya Habib mendapatkan keinginan Habib," pinta Habib yang masih dengan kebahagiaannya sendiri.
Siti merinding mendengar perkataan Habib, ia memilih melanjutkan makannya begitupun dengan yang lain setelah Abdullah mendoakan Habib. Jarang-jarang anak bungsunya itu meminta doa darinya.
"Semua pasti sudah tau dan hafal 5W+1H. Atau ada juga yang belum tau? Hal itu sangat penting dalam wawancara ya."
Semua Santri mendalami pemaparan Zahra dengan suara khasnya yang lembut.
Rata-rata semua santri menantikannya untuk masuk dalam kelas karena Zahra salah satu Ustadzah atau guru yang tidak keras pada anak didiknya.
"Hush! Bib. Habib," greget Ubaydillah lalu mencolek kepala Habib dari belakang yang terhalang oleh meja karena Habib duduk di bangku depan sedangkan Ubaydillah di belakangnya.
Habib tersadar dan langsung menoleh ke belakang dengan ekspresi tanya tanpa suara pada Ubaydillah.
"Itu Ustadzah bertanya," kata Ubaydillah mengecilkan suaranya.
Habib kembali memutar ke depan dan benar saja Zahra sudah berdiri di depannya yang terhalang oleh meja.
Cling...!
Habib terhipnotis, bayangan dalam benaknya adalah Zahra tengah menari-nari dan berlenggak lenggok.
"Habib."
Habib tersenyum karena Zahra menariknya untuk menari bersama dengan suara mendayu.
"Kamu dengar saya tidak?!"
Habib tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara kasar dari Zahra.
"Iya."
Habib deg-degan jika Zahra sedekat ini, apalagi mendengar helaan nafasnya yang nampak lelah.
"Saya tidak tau harus berkata apa. Sepertinya kamu memang tidak suka mengikuti pelajaran saya. Sebaiknya keluar saja," kata Zahra lalu menjauh dari meja Habib dan kembali ke tempat duduknya.
Ia memijat pelipisnya, ternyata seperti ini jika mengajar. Ia sungguh lelah bertanya pada Habib yang terus terbengong.
Santri lain terdiam, karena baru tadi mendengar Zahra bersuara keras.
"Tidak Ustadzah. Pelajaran Ustadzah adalah penantian saya selama saya bersekolah di sini."
Habib berdiri dan bersuara saat mendengat Zahra mengusirnya.
'Aish!' kesalnya pada diri sendiri kenapa bisa membuat Zahra membencinya.
"Baiklah, kalau memang seperti itu, saya ingin kamu, Habib. Mengulang materi tadi tanpa terkecuali, dari awal sampai akhir," tantang Zahra ingin memberikan hukuman pada santri yang bernama Habib itu.
Ia tidak ingin kelakuan Habib yang hanya melamun dalam kelas menular pada santri-santri lain.
Santri dan santri Wati yang mendengar perintah Zahra pada Habib serentak menoleh pada si pemilik nama, secara mereka semua lihat bahwa Habib memang hanya terbengong dari tadi.
"Baik Ustadzah," jawab Habib membuat yang lain melirik tidak yakin.
"Oke, silahkan maju ke depan dan menghadap teman-temanmu seperti yang saya lakukan tadi."
Dengan semangat Habib berdiri dari duduknya dan berjalan ke depan. Zahra menyaksikan dari samping.
"Baiklah teman-teman, silahkan di bukan halaman 118, di sana di garis besari oleh kata Wawancara. Hari ini kita akan membahas mengenai wawancara. Wawancara merupakan percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara. Bla... bla... bla..."
Habib terus berbicara sampai lembar-lembar berikutnya.
Semua santri tercengang dengan apa yang ada di depan mereka, ucapan Zahra seolah terulang kembali oleh Habib.
Habib bahkan tidak menunjukkan ekspresi ketidak mampuannya, ia menerangkan dengan penuh percaya diri tanpa rasa takut atau salah dalam berucap.
"Sudah Ustadzah," kata Habib mengakhiri pembahasan.
"Baiklah. Ternyata kamu memang memahami materinya. Berikan tepuk tangan kalian untuk Habib."
Prok Prok Prok
Semua santri serentak bertepuk tangan setelah mendengar arahan Zahra.
Habib tersenyum bahagia. Ia tahu, hal ini tentu belum akan membuat Zahra terpikat padanya.
Ya, karena hal ini wajar terjadi dalam sebuah kelas.
"Ubay, Habib. Sini," panggil Nur melihat Habib dan Ubaydillah jalan beriringan dengan tentengan piring berisi makanan pada tangan mereka.
Kedua remaja itu menoleh serempak dan berjalan menuju si pemanggil.
"Ubay, kenapa Mbak Nur manggil kita," bisik Habib pada orang di sampingnya. Ubaydillah mengangkat kedua bahunya.
"Tidak tau," jawabnya.
Mereka beriringan melewati santri dan juga beberapa pengajar lain yang juga tengah mengisi energi mereka dengan makan berbagai menu yang di sediakan oleh kantin pondok.
"Duduk," perintah Nur kepada santri sekaligus adik-adiknya itu.
Habib dan Ubaydillah patuh dan duduk berdampingan.
Habib tidak lepas memandangi wanita yang ada di samping Nur dan tepat di hadapannya. Zahra sampai risih mendapat tatapan seperti itu dari Habib.
'Kenapa ini anak melihatku seperti itu' batinnya tidak suka cara Habib melihatnya. Zahra melihat hal lain untuk menghindari pandangan Habib.
Makanannya bahkan sudah tidak terasa nikmat saat mendapat tatapan lekat di depannya.
"Habib, kenapa kamu menyuruh Ubay untuk meminta nomor handpone Zahra pada, Mbak?" tanya Nur pada Habib.
'Kenapa lagi dia menginginkan nomorku?' kaget Zahra tidak tahu apa yang sebenarnya Habib inginkan darinya.
"Kenapa kamu malah bilang dan bawa-bawa namaku."
Sikut Habib pada Ubaydillah yang sudah menyuapkan beberapa gigit gorengan kedalam mulutnya.
"Lalu? Maaf, aku tidak pintar berbohong," balas Ubaydillah santai dan melanjutkan langkahnya.
Habib tidak mempermasalahkan Nur mengetahui ia yang menginginkan nomor Zahra, hanya saja ia tidak ingin Zahra berprasangka buruk padanya akan hal ini.
"Habib, kenapa tidak menjawab?" Nur kembali bersuara.
"Menurut Mbak, untuk apa? Tentu saja aku menginginkannya untuk urusan laki-laki dan perempuan," jelas Habib membalas ucapan Nur namun matanya tertuju pada Zahra.
"Ini di sekolah, Habib. Mbak juga_"
"Nur, sudahlah," potong Zahra yang sudah tidak tahan dengan mata terus melihatnya.
"Kamu belum memberikan nomornya kan?" tanya Zahra memastikan.
"Belum. Aku ingin memastikan alasannya dulu dan memberitahu kamu tentunya," kata Nur.
"Sudah tidak usah, kita pergi saja. Jangan ganggu mereka makan, nanti jam istirahat habis."
Zahra berdiri setelah merapikan barangnya.
"Sudah selesai?" tanyanya pada Nur, takut teman sesama Ustadzahnya itu belum selesai dengan makannya
"Kamu tidak lihat? piringku sudah kosong," tunjuk Nur pada piring di depannya.
"Ya sudah, ayo," ajak Zahra kembali tanpa melihat kedua santrinya yang memperhatikan mereka dari tadi.
"Tunggu Ustadzah Zahra," ucap Habib saat Zahra dan Nur sudah melangkah pergi.
Ucapan Habib tentu saja di dengar oleh orang-orang yang ada di kantin.
Kedua Ustadzah itu berhenti, Nur berbalik namun Zahra tidak.
"Urusan laki-laki dan perempuan antara kita akan di mulai. Aku akan menghubungi nanti malam," ujar Habib kembali.
Zahra menarik tangan Nur agar tidak berhenti lagi dan meneruskan langkah mereka.
Orang-orang yang tengah makan dalam kantin dan mendengar percakapan mereka memiliki banyak tanya dalam benak.
'Menghubungi apa yang di maksud anak itu. Laki-laki dan perempuan, apa juga maksudnya?' batin Zahra bertanya-tanya sepanjang jalannya, mengingat ucapan Habib tadi.
'Sudahlah, yang penting Nur tidak memberikan kontakku' batinnya lagi tidak ingin memikirkannya terus.
Pada para pembaca, jangan lupa dukungannya ya🙏 I Love You sangat😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments