Istriku

"Assalamualaikum," salam Zahra saat memasuki ruang kelas.

"Waalaikumussalam."

Santri dan santri Wati menjawab serempak salam Zahra.

Zahra begitu antusias dengan aktivitas barunya setelah sibuk dengan kuliah yang ia percepat.

Karena Zahra ingin segera mengajar seperti cita-citanya yang ingin menjadi seorang pengajar, keinginan terbesarnya adalah menjadi guru besar dan memberikan ilmu di sebuah universitas.

"Katanya ada anak pindahan dari SMA, betul?" tanya Zahra memastikan pada semua murid.

"Sebelum pengenalan sesama kita, alangkah baiknya Ustadzah jelaskan dan kalian simak dasar dari materi kita. Apa boleh begitu?" lanjutnya kembali bertanya.

"Boleh Ustadzah," jawab semua murid.

"Semuanya, apa dimengerti?" tanya Zahra setelah mengawali materinya.

Semua murid menjawab serempak pertanyaan Zahra, selain satu orang.

"Yang itu, kenapa tidak menjawab? Apa kurang paham dengan penjelasan Ustadzah tadi?" tanya Zahra lagi dengan suara lembutnya pada salah seorang santri yang duduk di bangku terdepan.

"Iya," jawab santri itu dengan pelan.

"Bagian mana yang tidak di mengerti?"

"Bagaimana caranya agar Ustadzah menjadi makmumku?"

Zahra terdiam dengan pertanyaan aneh santrinya itu.

'cara menjadi makmumnya? Ada-ada saja anak-anak ini.' Zahra hanya menggeleng dan tersenyum dengan pertanyaan tersebut.

Sebagian murid ada yang memandang aneh mendengar pertanyaan Habib dan ada pula yang tersenyum seakan ingin ikut mengetahuinya juga.

"Maaf, namamu siapa? Bertanyalah dengan benar."

Habib malah berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan menghadap Zahra.

"Nama saya Habib, Ustadzah. Saya benar-benar ingin tahu cara agar menjadi imam untuk Ustadzah Zahra."

Zahra tidak bisa menjawab dan mematung beberapa saat mendengar apa yang anak muridnya itu sampaikan. Apakah seorang pengajar baru memang dipermainkan seperti ini oleh sebagian murid?

Zahra mengingat kenangannya di bangku SMA dulu, sepertinya tidak ada kejadian yang seperti dialaminya ini.

"Baiklah Habib, pertanyaanmu tidak ada dalam materi hari ini, jadi silahkan kembali ke bangkumu."

"Apa Ustadzah malu untuk menjawabnya? Saya mengerti, nanti kita bicarakan berdua," kata Habib dan setelahnya pergi kembali ke bangkunya.

"Neng!"

Zahra kaget saat pundaknya di tepuk dan tersadar dari lamunan.

"Eh. Bang. Kaget tau," katanya dengan nada sedikit manja.

"Emang nglamunin apa sampai Abang panggil tidak jawab?" tanya Kamal lalu duduk di samping Zahra.

"Tidak, bukan apa-apa."

"Yakin? Padahal kalau mau kasi tau sebabnya, Abang mau beri tahu tentang Fauzan loh," ucap Kamal dengan bahasa sayangnya.

"Ih, Abang. Memangnya kak Fauzan kenapa?" tanya Zahra pemasaran.

"Kenapa ya? Soalnya ada yang nyembunyiin sesuatu, jadi malas kasih tau," kata Kamal sok cuek walau tetap berdampingan juga.

"Iya, iya...! Cerita, tadi cuma ada kejadian lucu aja Bang, di sekolah."

"Lucu apa lucu, sampai di lamunan gitu?"

Kamal melihat Zahra menerbitkan senyumnya yang seakan sedang mengingat sesuatu.

"Ya pokoknya lucu aja Bang," kata Zahra setelah senyumannya berganti suara.

"Benar, tidak ada masalah kan?" tanya Kamal serius setelah menggombali Zahra.

"Iya kok, lancar-lancar aja. Abang cepat cerita dong, tentang kak Fauzan," desak Zahra.

"Zahra rindu Ayah tidak?" tanya Kamal.

"Rindu."

"Kalau Ibu?" tanya Kamal lagi.

"Rindu juga."

"Adik?" tanya kemal cepat.

"Rindu juga Abang," jawab Zahra mulai kesal dengan pertanyaan Kamal.

"Fauzan?"

"Rindu juga Ab_ eh. Ih Abang!" kaget Zahra dengan jawabannya sendiri setelah menyadari pertanyaan Kamal. Dipukulnya pundak kekar sang Abang dan setelahnya Kamal berdiri menghindari pukulan Zahra yang ingin berturut.

Zahra kesusahan mengejar Kamal karena masih harus memakai sandalnya dulu dikarenakan rumput hijau bagaikan jarum menusuk kulit kakinya jika tanpa alas kaki.

"Fauzan kirim salam, katanya kalau ada waktu pengen ketemu. Abang pergi dulu, ada kerjaan. Jangan lupa tutup pintu rapat-rapat. Assalamualaikum."

Kamal terus berbicara sepanjang jalannya sampai pagar dan meninggalkan Zahra sendirian.

"Waalaikumussalam," ucap Zahra dengan pelan dan perasaan berbunga-bunga. Ia kembali naik ke teras, masuk dalam rumah dan menutup pintu dengan rapat seperti yang Kamal katakan.

'Kak Fauzan mau bicara apa ya, sampai nitip kata kaya gitu ke Abang?' batin Zahra bertanya-tanya dan ia masih berdiri di balik pintu setelah di tutupnya.

"Tidak tau lah, tidur saja. Astaghfirullah Zahra...! Jangan mikirin cowok terus. Ingat dosa," kata Zahra berbicara seorang diri lalu beranjak dari sana menuju kamarnya untuk istirahat, karena besok ia harus kembali mengajar.

"Habib, kamu jangan nyusahin Abah dengan pindah sekolah tanpa sebab kaya gitu," peringat Siti pada Habib di sela sarapan bersama.

"Nyusahin apa, siapa yang pindah?" tanya Abdullah selaku Abah mereka.

"Memangnya Abah tidak tau?" tanya Siti tidak percaya jika Abdullah tidak mengetahui nya.

Yang lain masih diam tidak berkomentar dan masih fokus dengan makanan mereka.

"Apa?" tanya Abdullah kembali setelah menelan semua makanan yang ada dalam mulut.

"Dari kemarin kan Habib sudah belajar di Pondok dan keluar dari tempatnya sekolah sebelumnya, Bah," kata Siti lalu menyendok makanan dalam mulut.

"Benar begitu?" Abdullah melihat Habib yang tetap fokus dengan makanan.

"Siapa yang memberi izin?" Abdullah terus bertanya dan beralih pada putra sulungnya.

"Kamu Mas?"

"Abah, makan dulu baru kita bicara," Rahma Istri Abdullah mengingatkan agar suaminya menikmati makanan yang tersaji tanpa banyak bicara.

"Astaghfirullah, iya sayang," patuhnya

Umur kepala 50 an tidak memudarkan kata sayangnya untuk Rahma.

Habib tertawa dalam hati dengan pikirannya, seandainya bisa menyebut Zahra dengan kata sayang seperti yang biasa Abdullah ucapkan untuk Rahma.

"Atau istriku saja kali ya?" kata Habib pada diri sendiri dan tidak menyadari pandangan aneh dari keluarganya.

"Istri siapa Habib?" tanya Rahma cepat karena terkejut mendengar putra bungsunya menyebut kata istri, sedangkan anak sulungnya saja belum menemukan jodoh sampai sekarang.

Habib kaget dan tersadar setelah mendengar suara Rahma dan baru menyadari bahwa mereka berada di ruang keluarga.

"Abahmu bertanya alasan kamu pindah sekolah. Kenapa malah menyebut istriku, istri siapa yang kamu maksud?" tanya Rahma lagi.

"Salah dengar kali Mi, Aku bilang istirahat dulu otakku ini dari SMA N. Aku pengen mondok sebelum kerja," jelas Habib yang juga kaget karena kata batinnya sampai terdengar oleh yang lain.

"Jelas-jelas tadi aku juga dengarnya kaya yang Umi omongin kok, kamu jangan main-main deh."

Siti tidak terima dengan ucapan Habib. Dari tadi mereka menunggu alasan malah di jawab dengan hal yang tidak masuk akal.

Habib tidak ingin lagi berdebat atau memberitahukan alasannya, dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan.

"Aku hampir telat. Assalamualaikum."

Disalaminya satu-persatu seluruh keluarga dan pergi dengan cepat meninggalkan rumah.

"Ahmad, kenapa tidak membicarakannya dulu dengan Abah?" tanya Abdullah pada Ahmad.

"Maaf Bah. Rencananya memang hari ini baru mau memberitahu," jelas Ahmad.

"Mas Ahmad bilang saja kalau itu usul dari Habib kan?" tebak Siti cepat, ia sudah hafal dengan kelakuan adik ajaibnya itu.

Mereka bukannya marah, hanya saja, kenapa tidak dari dulu Habib mau untuk menuntut ilmu di pondok. mengapa harus di bulan-bulan menjelang ujian.

"Sudah-sudah. Kalian juga sebaiknya pergi mengajar. Jangan membahas Habib lagi, orangnya sudah pergi," kata Rahma ingin menyudahi perdebatan yang ada.

Rahma adalah orang yang tidak bisa di bantah ucapannya. Bukannya karena takut, tetapi itulah yang selalu di ajarkan pada mereka agar patuh pada orang tua

"Belum ada jam, Umi," jawab Siti.

"Kalau kalian?" tanya Rahma pada Abdullah dan Ahmad. Kedua lelaki itu langsung berpamitan karena ada suatu hal yang harus diselesaikan selaku pemilik pondok dan penerusnya.

"Makasih, Bang. Maaf ya, repotin. Soalnya motorku lagi sakit," ucap Zahra setelah melepas helm dan memberikannya pada Kamal.

"Loh, makasih saja?" ujar Kamal.

"Makanya Abang keluar dulu dari motor."

Kamal patuh dan keluar lalu berpelukan dengan Zahra.

"Udah kan? Zahra masuk ya. Assalamualaikum."

Zahra pamit dan meninggalkan Kamal yang juga meninggalkan pondok setelah Zahra menghilang dari pandangan

Terpopuler

Comments

Elzi Lamoz

Elzi Lamoz

semangat bang... karya kamu memberi ku sedikit insprirasi

2024-02-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!