"Semuanya, apa di mengerti?" tanya Zahra pada sekumpulan santri yang baru saja menyaksikannya memaparkan materi pembelajaran yang Zahra bawakan hari ini.
Semua santri menjawab serentak pertanyaan Zahra, selain satu orang.
"Iya Ustazah."
"Yang itu, kenapa tidak menjawab? Apa kurang paham dengan penjelasan Ustazah tadi?" tanya Zahra lagi dengan suara lembutnya pada salah seorang santri yang duduk di bangku paling depan.
"Iya," jawab santri itu dengan pelan.
"Bagian mana yang tidak dimengerti?" Zahra kembali bertanya.
Ia akan mengulang pembahasan atau menjelaskan kembali letak ketidak pahaman santrinya itu, karena Zahra ingin semua murid menerima materinya dengan baik.
"Bagaimana agar Ustazah menjadi makmumku?"
Zahra terdiam dan terdiam dengan pertanyaan aneh dari santrinya itu.
'Cara menjadi makmumnya? Ada-ada saja anak-anak ini' Zahra hanya menggeleng dan tersenyum dengan pertanyaan muridnya itu.
Sebagian murid ada yang memandang aneh mendengar pertanyaan Habib, dan ada pula yang senyum seakan ingin ikut mengetahuinya juga.
" Maaf. Namamu siapa? Bertanyalah dengan benar."
Habib malah berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan menghadap Zahra.
"Nama saya Habib, Ustazah. Dan benar-benar ingin tahu cara agar menjadi imam untuk Ustazah Zahra."
Zahra mematung mendengar apa yang anak muridnya itu sampaikan. Apa dia tengah di lamar oleh santrinya sendiri dalam kelas? Eh, bukan! mungkinkah Habib sedang menggodanya? Apalagi saat ini tengah berlangsung pembelajaran. Seperti inikah pengalaman mengajar di hari pertamanya?
1. Mencintainya
"Cepat dong Ubay!"
Ubaydillah ingin melempar pulpen yang tengah ia pegang.
Jika ingin cepat selesai kenapa malah menyuruhnya untuk menulis makalah aneh ini.
"Sedikit lagi," kata Ubaydillah yang tengah berusaha mempercepat gerakan tangannya menulis berbagai kata di atas kertas.
Habib terus melihat pergelangan tangannya yang tengah di kejar oleh waktu.
'Dasar Guru sialan!' umpat Habib dalam hati. Jika ingin mengabari mengapa harus mendadak dan lewat telepon juga. Ia sampai harus meminta Ubaydillah untuk menuliskannya karena Habib sudah tidak sempat lagi dan harus mengerjakan yang lain.
Sebenarnya bukan salah guru itu, melainkan Habib sendiri yang dua hari terakhir ini malas untuk membuka HP nya karena terus di ganggu oleh pesan-pesan yang membuatnya jengah.
Hal itu yang membuat ia tidak mengetahui apa yang guru sampaikan dalam grup mengenai perubahan makalah yang harus di kerjakan dengan tulisan tangan dan baru semalam ia mengetahui hal itu.
"Ini, sekarang keluar dan pergilah ke sekolahmu, sebelum ada yang masuk."
Ubaydillah memberikan barang Habib kepada pemiliknya dan mengusirnya dari sana. Rasanya Ubaydillah ingin tidur sekarang, tetapi itu tidak mungkin karena harus meraih ilmu dulu sampai siang nanti.
Semalam saat Ia tengah enak tidur, Habib malah datang mengganggunya dengan pekerjaan yang seakan membuat tangannya kesemutan karena tidak berhenti menulis yang kini ia lanjutkan dalam kelas.
"Terimakasih," kata Habib setelah mengambil makalahnya.
"Sama-sama."
Setelahnya, Habib pergi dan Ubaydillah merebahkan kepalanya di atas meja.
"Ngantuk sekali."
Ubaydillah menguap dengan mulut lebarnya yang terbuka namun ia tutup goa itu dengan tangan kanan.
"Ubay!"
Ubaydillah yang baru saja ingin menutup mata sesaat, setidaknya sampai Ustaz yang akan mengajar pagi ini datang, tetapi ia harus terganggu lagi dengan Habib yang kembali meneriakkan namanya.
"Kenapa lagi Habib! Astaghfirullah...!"
Rasanya Ubaydillah ingin menangis sekarang, jika bukan saudara sepupunya dan tidak takut akan dosa, mungkin saja kepala Habib sudah ia cekik dari semalam.
"Siapa yang sana?" Habib bertanya akan orang yang berada di luar kelas.
"Yang sana, yang sana apa?"
Mata Ubaydillah seakan susah untuk terbuka dan melihat arah telunjuk Habib.
"Makanya kamu bangun dulu."
Habib malah mengajak paksa Ubaydillah untuk melihat lebih jelas.
"Lihat."
Ubaydillah membuka matanya lebar-lebar setelah di seret oleh Habib.
"Oh. Kayanya Ustazah baru. Kemarin Mbak Nur bilang bakal ada Ustazah baru," kata Ubaydillah saat melihat Nur, Kakaknya berbincang dengan seseorang dari kejauhan.
"Benarkah?" tanya Habib memastikan.
"Iya."
"Selanjutnya kita akan bertemu setiap hari. Pergi cuci mukamu agar tidak mengantuk."
Tiba-tiba Habib memeluk Ubaydillah sambil berkata demikian, membuat yang di peluk bingung sendiri.
"Habib, tunggu dulu!" teriak Ubaydillah karena Habib langsung pergi berlari setelah memberikannya pelukan tadi.
"Habib kenapa lagi? Makin aneh!"
Karena panggilannya tidak dihiraukan, akhirnya Ubaydillah pergi ke toilet untuk mencuci mukanya agar kantuknya menghilang dan bisa fokus mengikuti pembelajaran.
"Kenapa?" tanya Pak Kepala sekolah sembari memperbaiki letak kaca matanya yang mulai merosot.
"Saya ingin pindah, Pak. Makanya saya memerlukan tanda tangan Bapak," kata Habib.
"Ya, saya tidak buta juga bisa membaca dengan baik. Tapi pertanyaan nya, kenapa harus pindah, ada masalah apa?"
Habib adalah salah satu murid berbakat, sangat di sayangkan jika harus melepaskannya saat ujian tinggal beberapa bulan lagi.
"Tidak ada masalah apapun."
Dahi kepala sekolah berkerut dan alisnya yang mulai di tumbuhi uban itu hampir menyatu.
"Lalu? Saya tidak mau memberi tanda tangan jika tanpa alasan yang jelas."
Surat itu disodorkan kembali pada Habib.
"Pak, saya mau bertanya."
Habib menatap serius pria tua yang ada di depannya, yang kini tengah duduk dengan gaya wibawanya.
"Silahkan."
Pria beruban itu mempersilahkan Habib untuk bertanya.
"Siapa nama istri Bapak?"
Sekali lagi, pria tua itu bingung dengan pertanyaan Habib.
"Untuk apa mengetahui nama istriku?" tanyanya.
"Alasan saya untuk pindah akan terjawab jika Bapak kepala sekolah menyebutkan nama istri Bapak."
Karena sangat ingin tahu alasannya akhirnya nama istrinya Ia sebutkan.
"Marni."
"Saya mau bertanya sekali lagi."
Mendengar ucapan Habib membuat kepala sekolah itu berdiri dari duduknya dan mengobrak mejanya sendiri.
"Kamu jangan mempermainkan saya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh mu itu! Nama siapa lagi yang ingin kamu ketahui. Hah?!" tanyanya dengan suara tinggi dan terbatuk-batuk setelahnya. Dengan cepat Habib melangkah maju dan mengambil air dalam gelas yang memang ada di atas meja.
"Minum dulu Pak."
Habib membantunya minum karena melihat pria tua itu kesusahan karena batuk.
Setelah dirasa tenang, Habib kembali bersuara.
"Pak, apa sudah bisa lanjut?"
Kepala sekolah memperbaiki posisi duduk dan letak kaca matanya lalu mempersilahkan tanpa suara. Habib menatap serius orang di depannya namun yang di tatap tak gentar dengan tatapan Habib.
"Saya tau Bapak cuma punya satu istri dan menikah pun baru satu kali selama hidup."
Habib men jeda membuat kepala sekolah ingin berbicara namun tertunda saat Habib kembali melanjutkan.
"Pertanyaan saya adalah, kenapa Bapak bisa se setia itu pada Ibu Marni sampai sekarang?" tanya Habib dengan tampang serius.
"Tentu saja karena dia istri saya dan saya mencintainya, perta_"
"Tepat sekali Pak!" ujar Habib dengan lantang sembari berdiri dengan hentakan tangan pada meja membuat kepala sekolah terkejut dan menghentikan ucapannya.
"Anak kurang ajar! Mau membuat saya jantungan? Hah!" bentaknya setelah selesai dari keterkejutan akan ulah Habib.
"Mana berani saya Pak. Maksud saya itulah alasan kenapa saya ingin pindah."
"Alasan? Alasan apa? Kamu jangan mempermainkan saya ya."
Habib kembali duduk karena sepertinya kepala sekolah mulai di luar kendali.
"Tenang dulu Pak. Kita bicara baik-baik. Saya tidak ada maksud mempermainkan Bapak selalu guru besar saya. Namun, sungguh itulah alasan saya ingin pindah."
Kepala sekolah berusaha menenangkan diri menghadapi murid di tempat pengabdiannya itu.
"Cepat katakan alasanmu, jangan membuat saya seperti orang bodoh dengan pertanyaan-pertanyaan aneh," katanya berusaha sabar.
"Mencintainya Pak," kata Habib dengan sungguh-sungguh.
"Mencintainya?" kepala sekolah memastikan alasan yang lebih aneh lagi dari pertanyaan-pertanyaan Habib sebelumnya.
"Iya, mencintainya. Seperti ucapan Bapak tadi, Bapak mencintai Ibu Marni dan tetap setia sampai sekarang. Sedangkan saya ingin keluar karena mencintainya dan akan memperjuangkan cinta."
"Cepat kemari kan," kata kepala sekolah dengan malas.
"Apa Pak?"
"Itu, kertasnya."
Habib menyodorkan kertas yang tadi kepala sekolah tolak sebelumnya.
"Cepat keluar, dan jangan pernah muncul di depan saya lagi," ucapnya setelah membubuhkan tanda tangan atas nama Darto selalu kepala sekolah.
"Siap Pak."
Setelah kepergian Habib, kepala sekolah mengambil kaca yang biasa dia simpan dalam laci dan berbicara di depan cermin tersebut.
"Anak muda. Sayangnya aku sudah tua," ucapnya sambil membuka beberapa gigi palsu yang membuat giginya nampak penuh dengan benda palsu tersebut.
"Ompong," katanya pada diri sendiri lalu tertawa bodoh dengan kelakuan anehnya, yang menampakkan mulutnya yang sudah tidak di tumbuhi gigi beberapa butir, dan menciptakan celah-celah pada deretan giginya yang tersisa.
"Assalamualaikum," salam Zahra saat memasuki ruang kelas.
"Waalaikumussalam."
Santri dan santri Wati menjawab serempak salam Zahra.
Zahra begitu antusias dengan aktivitas barunya setelah sibuk dengan kuliah yang ia percepat.
Karena Zahra ingin segera mengajar seperti cita-citanya yang ingin menjadi seorang pengajar, keinginan terbesarnya adalah menjadi guru besar dan memberikan ilmu di sebuah universitas.
"Katanya ada anak pindahan dari SMA, betul?" tanya Zahra memastikan pada semua murid.
"Sebelum pengenalan sesama kita, alangkah baiknya Ustadzah jelaskan dan kalian simak dasar dari materi kita. Apa boleh begitu?" lanjutnya kembali bertanya.
"Boleh Ustadzah," jawab semua murid.
"Semuanya, apa dimengerti?" tanya Zahra setelah mengawali materinya.
Semua murid menjawab serempak pertanyaan Zahra, selain satu orang.
"Yang itu, kenapa tidak menjawab? Apa kurang paham dengan penjelasan Ustadzah tadi?" tanya Zahra lagi dengan suara lembutnya pada salah seorang santri yang duduk di bangku terdepan.
"Iya," jawab santri itu dengan pelan.
"Bagian mana yang tidak di mengerti?"
"Bagaimana caranya agar Ustadzah menjadi makmumku?"
Zahra terdiam dengan pertanyaan aneh santrinya itu.
'cara menjadi makmumnya? Ada-ada saja anak-anak ini.' Zahra hanya menggeleng dan tersenyum dengan pertanyaan tersebut.
Sebagian murid ada yang memandang aneh mendengar pertanyaan Habib dan ada pula yang tersenyum seakan ingin ikut mengetahuinya juga.
"Maaf, namamu siapa? Bertanyalah dengan benar."
Habib malah berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan menghadap Zahra.
"Nama saya Habib, Ustadzah. Saya benar-benar ingin tahu cara agar menjadi imam untuk Ustadzah Zahra."
Zahra tidak bisa menjawab dan mematung beberapa saat mendengar apa yang anak muridnya itu sampaikan. Apakah seorang pengajar baru memang dipermainkan seperti ini oleh sebagian murid?
Zahra mengingat kenangannya di bangku SMA dulu, sepertinya tidak ada kejadian yang seperti dialaminya ini.
"Baiklah Habib, pertanyaanmu tidak ada dalam materi hari ini, jadi silahkan kembali ke bangkumu."
"Apa Ustadzah malu untuk menjawabnya? Saya mengerti, nanti kita bicarakan berdua," kata Habib dan setelahnya pergi kembali ke bangkunya.
"Neng!"
Zahra kaget saat pundaknya di tepuk dan tersadar dari lamunan.
"Eh. Bang. Kaget tau," katanya dengan nada sedikit manja.
"Emang nglamunin apa sampai Abang panggil tidak jawab?" tanya Kamal lalu duduk di samping Zahra.
"Tidak, bukan apa-apa."
"Yakin? Padahal kalau mau kasi tau sebabnya, Abang mau beri tahu tentang Fauzan loh," ucap Kamal dengan bahasa sayangnya.
"Ih, Abang. Memangnya kak Fauzan kenapa?" tanya Zahra pemasaran.
"Kenapa ya? Soalnya ada yang nyembunyiin sesuatu, jadi malas kasih tau," kata Kamal sok cuek walau tetap berdampingan juga.
"Iya, iya...! Cerita, tadi cuma ada kejadian lucu aja Bang, di sekolah."
"Lucu apa lucu, sampai di lamunan gitu?"
Kamal melihat Zahra menerbitkan senyumnya yang seakan sedang mengingat sesuatu.
"Ya pokoknya lucu aja Bang," kata Zahra setelah senyumannya berganti suara.
"Benar, tidak ada masalah kan?" tanya Kamal serius setelah menggombali Zahra.
"Iya kok, lancar-lancar aja. Abang cepat cerita dong, tentang kak Fauzan," desak Zahra.
"Zahra rindu Ayah tidak?" tanya Kamal.
"Rindu."
"Kalau Ibu?" tanya Kamal lagi.
"Rindu juga."
"Adik?" tanya kemal cepat.
"Rindu juga Abang," jawab Zahra mulai kesal dengan pertanyaan Kamal.
"Fauzan?"
"Rindu juga Ab_ eh. Ih Abang!" kaget Zahra dengan jawabannya sendiri setelah menyadari pertanyaan Kamal. Dipukulnya pundak kekar sang Abang dan setelahnya Kamal berdiri menghindari pukulan Zahra yang ingin berturut.
Zahra kesusahan mengejar Kamal karena masih harus memakai sandalnya dulu dikarenakan rumput hijau bagaikan jarum menusuk kulit kakinya jika tanpa alas kaki.
"Fauzan kirim salam, katanya kalau ada waktu pengen ketemu. Abang pergi dulu, ada kerjaan. Jangan lupa tutup pintu rapat-rapat. Assalamualaikum."
Kamal terus berbicara sepanjang jalannya sampai pagar dan meninggalkan Zahra sendirian.
"Waalaikumussalam," ucap Zahra dengan pelan dan perasaan berbunga-bunga. Ia kembali naik ke teras, masuk dalam rumah dan menutup pintu dengan rapat seperti yang Kamal katakan.
'Kak Fauzan mau bicara apa ya, sampai nitip kata kaya gitu ke Abang?' batin Zahra bertanya-tanya dan ia masih berdiri di balik pintu setelah di tutupnya.
"Tidak tau lah, tidur saja. Astaghfirullah Zahra...! Jangan mikirin cowok terus. Ingat dosa," kata Zahra berbicara seorang diri lalu beranjak dari sana menuju kamarnya untuk istirahat, karena besok ia harus kembali mengajar.
"Habib, kamu jangan nyusahin Abah dengan pindah sekolah tanpa sebab kaya gitu," peringat Siti pada Habib di sela sarapan bersama.
"Nyusahin apa, siapa yang pindah?" tanya Abdullah selaku Abah mereka.
"Memangnya Abah tidak tau?" tanya Siti tidak percaya jika Abdullah tidak mengetahui nya.
Yang lain masih diam tidak berkomentar dan masih fokus dengan makanan mereka.
"Apa?" tanya Abdullah kembali setelah menelan semua makanan yang ada dalam mulut.
"Dari kemarin kan Habib sudah belajar di Pondok dan keluar dari tempatnya sekolah sebelumnya, Bah," kata Siti lalu menyendok makanan dalam mulut.
"Benar begitu?" Abdullah melihat Habib yang tetap fokus dengan makanan.
"Siapa yang memberi izin?" Abdullah terus bertanya dan beralih pada putra sulungnya.
"Kamu Mas?"
"Abah, makan dulu baru kita bicara," Rahma Istri Abdullah mengingatkan agar suaminya menikmati makanan yang tersaji tanpa banyak bicara.
"Astaghfirullah, iya sayang," patuhnya
Umur kepala 50 an tidak memudarkan kata sayangnya untuk Rahma.
Habib tertawa dalam hati dengan pikirannya, seandainya bisa menyebut Zahra dengan kata sayang seperti yang biasa Abdullah ucapkan untuk Rahma.
"Atau istriku saja kali ya?" kata Habib pada diri sendiri dan tidak menyadari pandangan aneh dari keluarganya.
"Istri siapa Habib?" tanya Rahma cepat karena terkejut mendengar putra bungsunya menyebut kata istri, sedangkan anak sulungnya saja belum menemukan jodoh sampai sekarang.
Habib kaget dan tersadar setelah mendengar suara Rahma dan baru menyadari bahwa mereka berada di ruang keluarga.
"Abahmu bertanya alasan kamu pindah sekolah. Kenapa malah menyebut istriku, istri siapa yang kamu maksud?" tanya Rahma lagi.
"Salah dengar kali Mi, Aku bilang istirahat dulu otakku ini dari SMA N. Aku pengen mondok sebelum kerja," jelas Habib yang juga kaget karena kata batinnya sampai terdengar oleh yang lain.
"Jelas-jelas tadi aku juga dengarnya kaya yang Umi omongin kok, kamu jangan main-main deh."
Siti tidak terima dengan ucapan Habib. Dari tadi mereka menunggu alasan malah di jawab dengan hal yang tidak masuk akal.
Habib tidak ingin lagi berdebat atau memberitahukan alasannya, dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan.
"Aku hampir telat. Assalamualaikum."
Disalaminya satu-persatu seluruh keluarga dan pergi dengan cepat meninggalkan rumah.
"Ahmad, kenapa tidak membicarakannya dulu dengan Abah?" tanya Abdullah pada Ahmad.
"Maaf Bah. Rencananya memang hari ini baru mau memberitahu," jelas Ahmad.
"Mas Ahmad bilang saja kalau itu usul dari Habib kan?" tebak Siti cepat, ia sudah hafal dengan kelakuan adik ajaibnya itu.
Mereka bukannya marah, hanya saja, kenapa tidak dari dulu Habib mau untuk menuntut ilmu di pondok. mengapa harus di bulan-bulan menjelang ujian.
"Sudah-sudah. Kalian juga sebaiknya pergi mengajar. Jangan membahas Habib lagi, orangnya sudah pergi," kata Rahma ingin menyudahi perdebatan yang ada.
Rahma adalah orang yang tidak bisa di bantah ucapannya. Bukannya karena takut, tetapi itulah yang selalu di ajarkan pada mereka agar patuh pada orang tua
"Belum ada jam, Umi," jawab Siti.
"Kalau kalian?" tanya Rahma pada Abdullah dan Ahmad. Kedua lelaki itu langsung berpamitan karena ada suatu hal yang harus diselesaikan selaku pemilik pondok dan penerusnya.
"Makasih, Bang. Maaf ya, repotin. Soalnya motorku lagi sakit," ucap Zahra setelah melepas helm dan memberikannya pada Kamal.
"Loh, makasih saja?" ujar Kamal.
"Makanya Abang keluar dulu dari motor."
Kamal patuh dan keluar lalu berpelukan dengan Zahra.
"Udah kan? Zahra masuk ya. Assalamualaikum."
Zahra pamit dan meninggalkan Kamal yang juga meninggalkan pondok setelah Zahra menghilang dari pandangan
"Habib," panggil Abdullah saat sampai di pondok dan ternyata ia melihat Habib dari kejauhan yang hendak keluar gerbang, di sampingnya Ahmad juga berdiri melihat apa yang terjadi.
' Ini Abah kenapa manggil segala sih?!' kesalnya.
"Iya Bah," jawabnya dan mendekati Abdullah.
"Mau apa kamu keluar Pondok, bukannya ini sudah mau masuk kelas?" tanya Abdullah berturut pada Habib.
"Ada urusan bentar Bah."
Habib melihat lagi gerbang yang telah ia tinggalkan, gagal sudah..., orangnya pasti sudah pergi jauh.
"Urusan apa memangnya, kamu baru masuk kemarin kan?" Abdullah menghembuskan nafasnya pelan dan kembali berujar.
"Berperilaku lah seperti santri baru pada umumnya Nak. Abah takut akan beban dan tanggung jawabnya jika nanti Abah memilih lebih mencintai kam_"
"Iya Bah, Habib minta maaf. Dimaafin ya Bah? sama Mas Ahmad juga. Tapi Habib harus masuk kelas sekarang," potong Habib, baru tersadar setelah mendengar petuah Abdullah yang baru sepenggal karena sudah di potongnya.
Karena rasa penasaran ia sampai lupa akan masuk kelas dimana akan kembali bertemu dengan Zahra.
"Assalamualaikum," salam Habib dan segera pergi.
"Mungkin rasa sayangku yang membuat adikmu seperti itu," keluh Abdullah setelah Habib berlalu.
Dimas hanya terdiam, Habib memang yang paling di sayangi oleh Abdullah dan Rahma, begitupun dengan dirinya yang juga tidak kalah sayangnya, pun kepada Siti saudara perempuannya.
Ia yang lebih tua dari mereka berdua merasa memiliki tanggung jawab yang berat apalagi terhadap Siti.
"Ubay," panggil Habib pada Ubaydillah dengan bisikkan. Ubaydillah yang hendak pulang menoleh ke belakang. Dilihatnya Habib yang mengikuti dirinya.
"Kenapa?" tanyanya sedikit malas karena sudah ingin pulang namun di ganggu oleh Habib. Dalam kepala sudah membayangkan masakan sang Ibu yang menunggu di rumah, membuat perutnya minta di isi sekarang.
"Aku mau bicara sebentar."
Mendengar itu Ubaydillah menyipitkan matanya melihat Habib, apalagi Habib sudah menarik lengannya untuk bergeser ke pinggir dan mempersilahkan santri lain untuk lewat lebih dahulu.
"Mau bicara apa?"
Entah apa lagi yang Habib inginkan darinya, kalau saja hari ini Habib tidak menolongnya dalam kelas tadi, sudah pasti Ubaydillah akan cuek dan memilih untuk pulang makan saja.
Tapi Ubaydillah adalah orang yang pandai berbalas budi. Maka, sebisa mungkin Ia akan mendengarkan apa yang ingin Habib katakan.
"Bentar, tunggu yang lain pulang dulu," kata Habib.
Mendengar itu Ubaydillah hendak pergi dan tidak mau berlama-lama, apalagi mereka adalah yang pertama keluar.
Belum lagi santri wati yang pastinya berjalan sambil cerita ini itu, kelamaan!
"Mau kemana?" cegah Habib.
"Pulang. Nunggu yang lain terlalu lama, Habib. Kamu tidak lihat mereka masih banyak yang di belakang? Aku mau pulang, sudah lapar."
Ubaydillah tetap ingin pulang, kalau mau bicara kenapa harus yang lain pulang dulu? Makin lama saja. Padahal hanya mereka berdua yang akan tau.
"Ingat loh Ubay, rahasiamu bisa keluar kapan saja," kata Habib santai.
Mendengar itu, Ubaydillah mengurungkan niatnya untuk pergi.
Ia berbalik dan melihat wajah Habib sebentar lalu duduk bersandar pada dinding di ikuti Habib yang melakukan hal yang sama.
"Cepat bicara, yang jalan terakhir sudah tidak jelas wujudnya."
Tiba-tiba Ubaydillah bersuara setelah lama mereka duduk tanpa suara. Padahal kalau dia tidak di cegah oleh Habib, pasti sudah sampai rumah atau mungkin duduk di meja makan.
"Mbak Nur kan ngajar di sini juga, apalagi kayanya dia dekat dengan Ustazah Zahra," kata Habib memulai pembicaraan.
"Lalu?" tanya Ubaydillah yang mulai memiliki perasaan lain, apalagi sudah mendapat rangkulan ala cowok akrab begini.
"Mintain Nomor Handphonenya Ustazah sama Mbak Nur. Pasti ada kan?"
Ubaydillah menghela nafas kasar dan melepaskan tangan Habib yang masih berada di pundaknya.
"Minta sama Mbak Siti saja. Aku nggak mau lah, nanti di tanyain yang aneh-aneh sama Mbak Nur," tolak Ubaydillah.
"Yakin tidak mau?" tanya Habib memastikan.
"Iya iya...," jawab Ubaydillah sambil berdiri pergi tanpa menunggu Habib.
"Duluan, Assalamualaikum," pamitnya langsung pergi cepat.
"Yes!" girang Habib yang telah di tinggalkan oleh Ubaydillah.
"Kenapa?"
Habib kaget begitu mendapat tepukan pada bahunya, ia berbalik dan ternyata Ahmad yang bertanya padanya.
"Eh, Mas Ahmad."
"Kenapa masih di sini? Yang lain sudah pada pulang," kata Ahmad memperjelas pertanyaannya.
"Ini sudah mau pulang Mas," balas Habib.
"Belajar yang baik Dek. Mas tau kamu bisa menyesuaikan diri dengan cepat," tutur Ahmad dengan pelan dan bersahaja.
"Ah, Mas Ahmad. Kaya nggak tau saja," bangga Habib pada dirinya secara tidak langsung.
Ahmad memang tidak meragukan kepintaran Habib dalam belajar karena sedari dulu sampai sekarang Habib selalu mendapat peringkat pertama.
"Ya sudah, Mas masih ada urusan. Kamu pulanglah lebih dulu. Assalamualaikum," ujar Ahmad dan melanjutkan langkahnya yang tertunda.
Ia harus menyelesaikan beberapa masalah yang terjadi di antara beberapa pengajar yang sudah menunggunya di kantor.
"Mas, Abah tidak marah kan?" Ahmad menghentikan langkahnya dan kembali menoleh pada Habib.
"Kita sama-sama tahu Abah seperti apa."
Hanya itu jawaban dari pertanyaan Habib.
"Waalaikumussalam."
Habib memandang kepergian Ahmad yang perlahan semakin menjauh.
Ahmad adalah sosok berwibawa dan bersahaja seperti Abdullah.
"Tapi kenapa belum nikah-nikah sih, Mas Ahmad itu. Masih nyari perempuan seperti apa coba?" kata Habib berbicara pada diri sendiri.
"Aku jadi pengen nikah sama Ustazah Zahra."
Habib berjalan sambil senyum-senyum sendiri.
kelas santri lain yang belum pulang, heran dengan kelakuannya saat ia lewat di depan mereka.
Hanya sebagian orang yang tahu jika Habib adalah putra dari Abdullah karena Habib lebih suka dengan kegiatannya sendiri ketimbang mengikuti kegiatan Abdullah bersama Ahmad yang telah terkenal akan menjadi pengganti Abdullah suatu saat nanti.
Banyak lamaran yang datang ingin menjadikan Ahmad menantu mereka. Namun, Ahmad belum menemukan labuhan hatinya. Ia ingin cinta dan keinginan itu tumbuh dan berbunga dalam dadanya.
Piiip.
Klakson motor terdengar di gerbang. Habib ikut melihat arah suara tersebut.
'Dia lagi?'
Habib begitu penasaran dan ingin mengikuti mereka. Apalagi Zahra tidak sungkan untuk bonceng.
'Apa mungkin Ustazah Zahra sudah menikah?'
Habib tidak pernah memikirkan semua itu, bagaimana jika itu benar-benar terjadi?
"Kalaupun sudah menikah aku akan masuk dan merebutnya," gumamnya dengan telat yang tinggi.
Ia merutuki kebodohannya kenapa lupa mencari tahu lebih dulu.
"Pesonanya membuatku lupa untuk melakukan hal lain selain memilikinya," katanya kembali.
Ya, sedari awal ia memang hanya sampai pada pemikiran agar segera pindah sekolah supaya bisa melihat Zahra setiap hari.
Habib mengurungkan niatnya untuk mengikuti Zahra yang telah naik di atas motor bersama seorang pria, Habib tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas karena helm yang ia kenakan.
Ia memilih untuk segera pulang dan mencari tahu segalanya.
"Assalamualaikum. Umi, Habib pulang."
tidak lupa Habib bersalam sebelum masuk rumah, kalau tidak pasti Rahma akan menceramahinya panjang kali lebar.
"Waalaikumussalam, sudah pulang Nak? Bagaimana sekolah di Pondok? Menyenangkan bukan?" tanya Rahma berturut.
Habib berhenti sejenak karena Rahma telah muncul dari dapur, ia berjalan untuk menyalami Rahma.
"Ya, seperti kemarin," jawab Habib yang memang baru dua hari menimba ilmu di Ponpes.
"Ya sudah, sekarang pergi ganti baju, lalu kita makan. Umi sudah siapkan makanan," kata Rahma sembari mengelus sayang kepala Habib
"Kita tidak tunggu yang lain dulu, Umi?" tanya Habib yang memang biasanya mereka makan bersama.
"Abah sama Mas mu masih ada urusan. Lebih baik kita makan duluan, ini sudah jam dua siang."
Rahma tidak ingin Habib kelaparan, karena Abdullah sudah mengabari akan pulang sore hari.
"Oh. Kalau begitu Habib ganti baju dulu."
"Ia."
Dengan cepat Habib menaiki anak tangga dan menuju kamarnya. tanpa mengganti baju dan hanya meletakkan ranselnya, Habib langsung mencari keberadaan Handphone yang entah ia simpan dimana.
"Mentang-mentang tidak ku pakai dari Kemarin kau pake ngumpat ya," ocehnya setelah mencari ke seluruh kamar dan mendapatkan apa yang di cari.
Segera Habib masuk kontak dan memilih salah satu nama untuk ia hubungi.
Panggilan tersambung dan tidak lama terdengar salam dari seberang.
"Waalaikumussalam," jawab Habib dan lawan bicara bertanya akan maksud dan tujuan Habib menghubunginya.
"Aku ingin mengetahui tentang latar belakang seseorang. Tidak, jangan cuma latar belakangnya, tapi semua. Semua yang ada dan terjadi dalam kesehariannya, bahkan orang-orang di sekitarnya harus di cari tahu."
Diseberang nampak menyimak apa yang Habib inginkan dan setelahnya bertanya nama orang yang akan di cari tahu.
"Zahra."
Habib dapat merasakan dadanya bergemuruh keras hanya dengan menyebut namanya saja.
'Aku ngapain pake nyuruh Ubay segala ya? Padah kan bisa semudah ini' Habib memukul kepalanya sendiri lalu tertawa bodoh.
"Semenjak melihatnya aku jadi kurang waras," gumamnya lalu meletakkan handphone dan membersihkan diri dengan cepat dalam kamar mandi.
****
Mohon dukungan untuk cerita ini ya, teman-teman.
jika suka dengan ceritanya jangan lupa tinggalkan jejaknya.
Yang belum like silahkan pencet jempolnya ya..., agar yang nulis tetap semangat. Hehehh🤭
jangan lupa vote dan pencet favorit juga ya. Pokoknya mohon sisihkan dukungan kalian untuk Author.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!