"Habib, kamu serius suka sama Ustadzah?" tanya Ubaydillah yang beberapa hari ini memperhatikan Habib semenjak sepupunya itu belajar di sana.
"Menurutmu?" tanya balik Habib.
"Serius? Ustadzah Zahra memang cantik sih. Tapi, kalau soal umur, Ustadzah lebih_"
"Makan saja, tidak usah ikut campur," sumpel Habib pada mulut Ubaydillah dengan gorengan.
Ubaydillah mengunyah cepat makanan yang penuh dalam mulutnya.
"Tidak usah ikut campur? Lalu siapa yang menyuruhku meminta kontak Ustadzah? Aku sampai di tanya ini itu sama Mbak Nur gara-gara kamu," sungut Ubaydillah mengingat kejadian semalam saat ia berbicara dengan Nur.
"Itu deritamu," kata Habib lalu beranjak meninggalkan Ubaydillah.
"Heh! Habib."
Habib tidak mendengarkan teriakan Ubaydillah.
ia ingin hari segera berganti malam agar bisa menghubungi Zahra secepatnya.
Ya Habib berpegang teguh pada kata-katanya, walau ia sudah memiliki kontak Zahra tetapi ia akan menghubunginya nanti malam.
Semangat paginya sangat membara begitu mendapatkan semua bio dan data tentang Zahra. Sepat terguncang saat peristiwa dalam kelas di mana Zahra mengusirnya.
Tapi percayalah, Habib sedikit mensyukurinya karena bisa menunjukkan kepandaiannya dalam belajar, walau ia tahu hal itu belum bisa membuat Zahra meliriknya.
Kring... Kring... Kring...
Bunyi bel berbunyi menandakan jam istirahat telah usai.
Habib masih berada dalam toilet, percikan air terdengar berjatuhan setelah mampir sebentar pada wajah Habib.
"Ku pastikan akan memilikimu," kata Habib sembari melihat pantulan dirinya dalam cermin dengan wajah yang masih di penuhi buliran air.
"Aish!" kesal Zahra lalu bangun dari pembaringannya. Ia berjalan menuju kursi dan kedua sikunya bertumpu pada meja serta kedua telapak tangan pada sesama sisi dagu.
"Kenapa juga aku harus kepikiran terus," katanya dengan arah pandangan yang tidak jelas tertuju kemana, yang jelas Zahra tengah berbicara sendiri.
'Fauzan ingin menemuimu'
Kata-kata Kamal masih melekat dalam pikirannya yang terucap saat mereka makan malam tadi.
"Aku harus bagaimana kalau bertemu nanti?"
Zahra beralih menggigit jari telunjuknya pada tangan kanan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun Zahra belum bisa tidur karena deg-degan dengan apa yang harus ia lakukan saat bertemu dengan Fauzan besok, setelah sekian lama.
"Astaghfirullah, Zahra ka_"
Ddrrrtttt... Ddrrrtttt... Ddrrrtttt....
Dering telepon menghentikan ucapan Zahra yang berbicara seorang diri, apalagi handphone itu tepat berada di depannya.
"Siapa ya?" tanyanya pada diri sendiri sebelum mengangkat panggilan masuk yang belum terdaftar dalam kontaknya.
Zahra membiarkannya sampai bunyi dari handphone terhenti sendiri, tapi setelahnya kembali berdering dan memaksa Zahra beralih pada ikon hijau.
"Assalamualaikum, hallo," ucap Zahra namun tiada balasan dari seberang.
"Maaf, dengan siapa?" tanya Zahra karena tak kunjung ada suara.
"Ini sebenarnya siapa sih?" gumam Zahra hendak mematikannya saja.
"Waalaikumussalam."
saat akan menjauhkan handphone dari telinga ternyata suara mulai terdengar.
"Sepertinya anda salah sambung," ucap Zahra dan akan kembali memutuskan sambungan.
"Bukankah sudah kukatakan akan menghubungimu malam ini? Jangan pura-pura melupakannya."
Seketika Zahra mengingat apa yang Habib ucapkan sewaktu di kantin.
"Habib?"
Dengan pelan Zahra menebak.
Di balik telepon Habib menerbitkan senyumnya saat mendengar namanya di sebut oleh Zahra. Entah mengapa rasanya berbeda dengan sebutan setiap kali Zahra mengabsen namanya dalam kelas.
"Dari mana kamu mengambil kontak ku'?" Zahra kembali bertanya karena Habib kembali tidak bersuara.
"Apa Nur yang memberikannya?"
Selalu tidak ada jawaban.
"Habib," panggil Zahra karena tidak mendengar balasan suara.
"Bukan, aku tidak mengambil dari Ustadz atau Ustadzah manapun," ucap Habib begitu yakin. Namun Zahra tidak mempercayainya.
'Memangnya ini anak, dukun. tidak mungkin bisa menebak angka-angkanya' batin Zahra.
"Lalu? Dengar Habib, saya ini Ustadzah mu jadi jangan mempermainkan saya!"
Zahra tidak ingin menyanjung status di antara mereka, tapi kelakuan Habib padanya sudah keterlaluan.
"Habib, kamu mendengar Ustadzah berbicara atau tidak?!" sahut Zahra kembali. Mulai kesal dengan orang di balik telepon.
"Ustadzah berbicara dengan jelas," kata Habib.
Zahra melihat handphone nya dengan ekspresi tidak percaya.
'Jawaban apa itu' geramnya sembari membawa benda tersebut pada daun telinga kembali.
"Ada urusan apa menghubungi? Sepertinya kamu memahami pelajaran dengan sangat jelas dan baik. Apalagi ini sudah malam. Sebaiknya besok saja jika ingin membalas masalah pelajaran. ***_"
"Ini hanya urusan sesama kita."
Zahra yang hampir bersalam dan menyudahi sambungan terhenti.
"Urusan apalagi? Bukankah sudah saya katakan, besok kita akan membahas pelajaran."
Zahra memijat pelipisnya menghadapi Habib. Walau hanya suaranya saja tapi Zahra sudah tidak sanggup.
Rencananya akan sikap bertemu dengan Fauzan besok malah hilang entah kemana yang sekarang digantikan oleh Habib yang tetiba meneleponnya.
"Besok hari minggu. Yakin ingin membahasnya besok? Baiklah, tunggu aku akan datang besok."
"Eh! Tidak, jangan bes_"
"Assalamualaikum."
Tuut.
"Waalaikumussalam!"
Zahra melempar handphone nya ke atas kasur dan untungnya tidak terpental.
"Itu anak...! Besok kak Fauzan mau datang. Aaaa... Bagaimana ini!" paniknya
Zahra kembali mengambil handphonenya dan mengetik kata pada pesan teks.
"(Tidak perlu datang besok, hari Senin di sekolah jika ingin bertanya soal pelajaran pada jam istirahat)."
Zahra kirimkan pada nomor yang baru saja meneleponnya tadi. Sebenarnya Zahra tidak ingin meladeni Habib. Hanya saja, ia yang seorang pengajar merasa harus menuntut anak didiknya yang bengkok sampai lurus.
"Yayah! Izza udah siap," teriak Izzah semangat berlari keluar dari kamarnya menghampiri Kamal yang tengah menunggu seseorang.
Setelah Izzah naik dalam pangkuan Kamal dengan cerianya, Asma pun muncul dari kamar Izzah.
"Sayang."
Kamal menatap Asma dengan tanya, Asma mengangkat kedua bahunya.
"Putrimu tidak melupakannya. Aku juga sudah berusaha sebisaku untuk membujuk," tutur Asma dan ikut duduk di samping suaminya lalu mengelus kepala sang putri yang di balut jilbab kecil.
Kamal ikut melihat Izzah yang berada di atas pangkuannya dan ingin kembali membujuk.
"Lain Kali ya, sayang. Ayah janji deh," kata Kamal melihat putri kecilnya. Izzah menatap Kamal dengan sendu dan beralih pada Asma dengan mata yang mulai berembun.
"Bundaaa...," adunya memohon agar mereka jadi pergi ketaman bermain seperti yang Kamal harapkan padanya.
"Sayang, bagaimana kalau dengan bunda saja perginya, hmmm? Soalnya Yayah ada kerjaan hari ini, ya," tutur Asma dengan lembut agar Izzah mau dengan ajakkannya.
Bibir imut kecil itu mulai mencebik, ia hanya mau pergi jika Kamal juga ikut.
Perlahan Izzah turun dari pangkuan Kamal dan menepis uluran tangan Asma yang berniat beralih meraihnya.
Izzah berlari ke kamar Zahra dengan air mata yang mulai turun ke pipi cubbynya yang bulat.
"Izzah," cegah Kamal hendak meraih Izzah kembali namun di tahan oleh tangan sang istri.
"Biar aku saja."
Asma mencegah dengan lembutnya dan Kamal kembali duduk, bergantian Asma yang berdiri.
"Mas tungguin Fauzan saja, aku akan memberi pengertian pada Izzah. Tidak mungkin kan kita meninggalkan Zahra berdua dengan Fauzan."
Tuturan lembut dari sang istri selalu bisa membuat Kamal kehilangan bebannya.
"Maafkan Mas, sayang. Mas benar-benar lupa saat kemarin Fauzan ingin datang bertamu hari ini dan langsung menyetujuinya."
Asma tersenyum saat Kamal mengecup tangannya, ia tahu suaminya itu memang tidak sengaja melakukannya.
"Iya, Aku tidak masalah. Mungkin cuma putrimu. Aku mau melihatnya dulu," ucap Asma dengan sebelah tangannya membelai pipi Kamal dan pergi menyusul Izzah.
Kamal hanya memandang sembari melihat pergelangan tangan dan beralih melihat ke arah pintu.
****
terima kasih sudah mampir. jangan lupa dukungannya ya. I Love You Guys😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments