Ahmad

"Habib," panggil Abdullah saat sampai di pondok dan ternyata ia melihat Habib dari kejauhan yang hendak keluar gerbang, di sampingnya Ahmad juga berdiri melihat apa yang terjadi.

' Ini Abah kenapa manggil segala sih?!' kesalnya.

"Iya Bah," jawabnya dan mendekati Abdullah.

"Mau apa kamu keluar Pondok, bukannya ini sudah mau masuk kelas?" tanya Abdullah berturut pada Habib.

"Ada urusan bentar Bah."

Habib melihat lagi gerbang yang telah ia tinggalkan, gagal sudah..., orangnya pasti sudah pergi jauh.

"Urusan apa memangnya, kamu baru masuk kemarin kan?" Abdullah menghembuskan nafasnya pelan dan kembali berujar.

"Berperilaku lah seperti santri baru pada umumnya Nak. Abah takut akan beban dan tanggung jawabnya jika nanti Abah memilih lebih mencintai kam_"

"Iya Bah, Habib minta maaf. Dimaafin ya Bah? sama Mas Ahmad juga. Tapi Habib harus masuk kelas sekarang," potong Habib, baru tersadar setelah mendengar petuah Abdullah yang baru sepenggal karena sudah di potongnya.

Karena rasa penasaran ia sampai lupa akan masuk kelas dimana akan kembali bertemu dengan Zahra.

"Assalamualaikum," salam Habib dan segera pergi.

"Mungkin rasa sayangku yang membuat adikmu seperti itu," keluh Abdullah setelah Habib berlalu.

Dimas hanya terdiam, Habib memang yang paling di sayangi oleh Abdullah dan Rahma, begitupun dengan dirinya yang juga tidak kalah sayangnya, pun kepada Siti saudara perempuannya.

Ia yang lebih tua dari mereka berdua merasa memiliki tanggung jawab yang berat apalagi terhadap Siti.

"Ubay," panggil Habib pada Ubaydillah dengan bisikkan. Ubaydillah yang hendak pulang menoleh ke belakang. Dilihatnya Habib yang mengikuti dirinya.

"Kenapa?" tanyanya sedikit malas karena sudah ingin pulang namun di ganggu oleh Habib. Dalam kepala sudah membayangkan masakan sang Ibu yang menunggu di rumah, membuat perutnya minta di isi sekarang.

"Aku mau bicara sebentar."

Mendengar itu Ubaydillah menyipitkan matanya melihat Habib, apalagi Habib sudah menarik lengannya untuk bergeser ke pinggir dan mempersilahkan santri lain untuk lewat lebih dahulu.

"Mau bicara apa?"

Entah apa lagi yang Habib inginkan darinya, kalau saja hari ini Habib tidak menolongnya dalam kelas tadi, sudah pasti Ubaydillah akan cuek dan memilih untuk pulang makan saja.

Tapi Ubaydillah adalah orang yang pandai berbalas budi. Maka, sebisa mungkin Ia akan mendengarkan apa yang ingin Habib katakan.

"Bentar, tunggu yang lain pulang dulu," kata Habib.

Mendengar itu Ubaydillah hendak pergi dan tidak mau berlama-lama, apalagi mereka adalah yang pertama keluar.

Belum lagi santri wati yang pastinya berjalan sambil cerita ini itu, kelamaan!

"Mau kemana?" cegah Habib.

"Pulang. Nunggu yang lain terlalu lama, Habib. Kamu tidak lihat mereka masih banyak yang di belakang? Aku mau pulang, sudah lapar."

Ubaydillah tetap ingin pulang, kalau mau bicara kenapa harus yang lain pulang dulu? Makin lama saja. Padahal hanya mereka berdua yang akan tau.

"Ingat loh Ubay, rahasiamu bisa keluar kapan saja," kata Habib santai.

Mendengar itu, Ubaydillah mengurungkan niatnya untuk pergi.

Ia berbalik dan melihat wajah Habib sebentar lalu duduk bersandar pada dinding di ikuti Habib yang melakukan hal yang sama.

"Cepat bicara, yang jalan terakhir sudah tidak jelas wujudnya."

Tiba-tiba Ubaydillah bersuara setelah lama mereka duduk tanpa suara. Padahal kalau dia tidak di cegah oleh Habib, pasti sudah sampai rumah atau mungkin duduk di meja makan.

"Mbak Nur kan ngajar di sini juga, apalagi kayanya dia dekat dengan Ustazah Zahra," kata Habib memulai pembicaraan.

"Lalu?" tanya Ubaydillah yang mulai memiliki perasaan lain, apalagi sudah mendapat rangkulan ala cowok akrab begini.

"Mintain Nomor Handphonenya Ustazah sama Mbak Nur. Pasti ada kan?"

Ubaydillah menghela nafas kasar dan melepaskan tangan Habib yang masih berada di pundaknya.

"Minta sama Mbak Siti saja. Aku nggak mau lah, nanti di tanyain yang aneh-aneh sama Mbak Nur," tolak Ubaydillah.

"Yakin tidak mau?" tanya Habib memastikan.

"Iya iya...," jawab Ubaydillah sambil berdiri pergi tanpa menunggu Habib.

"Duluan, Assalamualaikum," pamitnya langsung pergi cepat.

"Yes!" girang Habib yang telah di tinggalkan oleh Ubaydillah.

"Kenapa?"

Habib kaget begitu mendapat tepukan pada bahunya, ia berbalik dan ternyata Ahmad yang bertanya padanya.

"Eh, Mas Ahmad."

"Kenapa masih di sini? Yang lain sudah pada pulang," kata Ahmad memperjelas pertanyaannya.

"Ini sudah mau pulang Mas," balas Habib.

"Belajar yang baik Dek. Mas tau kamu bisa menyesuaikan diri dengan cepat," tutur Ahmad dengan pelan dan bersahaja.

"Ah, Mas Ahmad. Kaya nggak tau saja," bangga Habib pada dirinya secara tidak langsung.

Ahmad memang tidak meragukan kepintaran Habib dalam belajar karena sedari dulu sampai sekarang Habib selalu mendapat peringkat pertama.

"Ya sudah, Mas masih ada urusan. Kamu pulanglah lebih dulu. Assalamualaikum," ujar Ahmad dan melanjutkan langkahnya yang tertunda.

Ia harus menyelesaikan beberapa masalah yang terjadi di antara beberapa pengajar yang sudah menunggunya di kantor.

"Mas, Abah tidak marah kan?" Ahmad menghentikan langkahnya dan kembali menoleh pada Habib.

"Kita sama-sama tahu Abah seperti apa."

Hanya itu jawaban dari pertanyaan Habib.

"Waalaikumussalam."

Habib memandang kepergian Ahmad yang perlahan semakin menjauh.

Ahmad adalah sosok berwibawa dan bersahaja seperti Abdullah.

"Tapi kenapa belum nikah-nikah sih, Mas Ahmad itu. Masih nyari perempuan seperti apa coba?" kata Habib berbicara pada diri sendiri.

"Aku jadi pengen nikah sama Ustazah Zahra."

Habib berjalan sambil senyum-senyum sendiri.

kelas santri lain yang belum pulang, heran dengan kelakuannya saat ia lewat di depan mereka.

Hanya sebagian orang yang tahu jika Habib adalah putra dari Abdullah karena Habib lebih suka dengan kegiatannya sendiri ketimbang mengikuti kegiatan Abdullah bersama Ahmad yang telah terkenal akan menjadi pengganti Abdullah suatu saat nanti.

Banyak lamaran yang datang ingin menjadikan Ahmad menantu mereka. Namun, Ahmad belum menemukan labuhan hatinya. Ia ingin cinta dan keinginan itu tumbuh dan berbunga dalam dadanya.

Piiip.

Klakson motor terdengar di gerbang. Habib ikut melihat arah suara tersebut.

'Dia lagi?'

Habib begitu penasaran dan ingin mengikuti mereka. Apalagi Zahra tidak sungkan untuk bonceng.

'Apa mungkin Ustazah Zahra sudah menikah?'

Habib tidak pernah memikirkan semua itu, bagaimana jika itu benar-benar terjadi?

"Kalaupun sudah menikah aku akan masuk dan merebutnya," gumamnya dengan telat yang tinggi.

Ia merutuki kebodohannya kenapa lupa mencari tahu lebih dulu.

"Pesonanya membuatku lupa untuk melakukan hal lain selain memilikinya," katanya kembali.

Ya, sedari awal ia memang hanya sampai pada pemikiran agar segera pindah sekolah supaya bisa melihat Zahra setiap hari.

Habib mengurungkan niatnya untuk mengikuti Zahra yang telah naik di atas motor bersama seorang pria, Habib tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas karena helm yang ia kenakan.

Ia memilih untuk segera pulang dan mencari tahu segalanya.

"Assalamualaikum. Umi, Habib pulang."

tidak lupa Habib bersalam sebelum masuk rumah, kalau tidak pasti Rahma akan menceramahinya panjang kali lebar.

"Waalaikumussalam, sudah pulang Nak? Bagaimana sekolah di Pondok? Menyenangkan bukan?" tanya Rahma berturut.

Habib berhenti sejenak karena Rahma telah muncul dari dapur, ia berjalan untuk menyalami Rahma.

"Ya, seperti kemarin," jawab Habib yang memang baru dua hari menimba ilmu di Ponpes.

"Ya sudah, sekarang pergi ganti baju, lalu kita makan. Umi sudah siapkan makanan," kata Rahma sembari mengelus sayang kepala Habib

"Kita tidak tunggu yang lain dulu, Umi?" tanya Habib yang memang biasanya mereka makan bersama.

"Abah sama Mas mu masih ada urusan. Lebih baik kita makan duluan, ini sudah jam dua siang."

Rahma tidak ingin Habib kelaparan, karena Abdullah sudah mengabari akan pulang sore hari.

"Oh. Kalau begitu Habib ganti baju dulu."

"Ia."

Dengan cepat Habib menaiki anak tangga dan menuju kamarnya. tanpa mengganti baju dan hanya meletakkan ranselnya, Habib langsung mencari keberadaan Handphone yang entah ia simpan dimana.

"Mentang-mentang tidak ku pakai dari Kemarin kau pake ngumpat ya," ocehnya setelah mencari ke seluruh kamar dan mendapatkan apa yang di cari.

Segera Habib masuk kontak dan memilih salah satu nama untuk ia hubungi.

Panggilan tersambung dan tidak lama terdengar salam dari seberang.

"Waalaikumussalam," jawab Habib dan lawan bicara bertanya akan maksud dan tujuan Habib menghubunginya.

"Aku ingin mengetahui tentang latar belakang seseorang. Tidak, jangan cuma latar belakangnya, tapi semua. Semua yang ada dan terjadi dalam kesehariannya, bahkan orang-orang di sekitarnya harus di cari tahu."

Diseberang nampak menyimak apa yang Habib inginkan dan setelahnya bertanya nama orang yang akan di cari tahu.

"Zahra."

Habib dapat merasakan dadanya bergemuruh keras hanya dengan menyebut namanya saja.

'Aku ngapain pake nyuruh Ubay segala ya? Padah kan bisa semudah ini' Habib memukul kepalanya sendiri lalu tertawa bodoh.

"Semenjak melihatnya aku jadi kurang waras," gumamnya lalu meletakkan handphone dan membersihkan diri dengan cepat dalam kamar mandi.

****

Mohon dukungan untuk cerita ini ya, teman-teman.

jika suka dengan ceritanya jangan lupa tinggalkan jejaknya.

Yang belum like silahkan pencet jempolnya ya..., agar yang nulis tetap semangat. Hehehh🤭

jangan lupa vote dan pencet favorit juga ya. Pokoknya mohon sisihkan dukungan kalian untuk Author.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!