Ruqyah

Ruqyah

Pelet

"Mau poligami, gak, Pak?"

Pertanyaan yang membuatnya terpana karena tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut wanita cantik yang ada di depannya.

...🌺🌺🌺...

"Mau ke mana hari ini, Mas?"

"Sepulang ngajar, aku akan pergi ke rumah seseorang. Mungkin pulangnya malam. Gak jauh, sih dari sini."

"Oh, ya sudah. Sarapan dulu, ya, Mas."

"Nanti kalau ada apa-apa jangan ragu buat nelpon. Barang kali perutnya udah kerasa mules."

"Iya, Mas. Ya udah, udah siap kan? Ayo kita makan."

Risma menggandeng lengan suaminya saat menuju ruang makan. Meski perutnya sudah begitu besar, dan gerakan dia sudah sangat lambat, Risma tetap melayani suaminya dengan penuh kebahagiaan dan keikhlasan. Mengambilkan piring, lalu dia isi dengan makanan. Tidak lupa juga air teh hangat untuk minum sang suami tercinta.

"Alhamdulillah. Terimakasih, ya, Dik. Mas bahagia dan ridho untuk apa yang kamu lakukan saat ini. Semoga Allah memberikan rahmatnya sama kamu."

"Aamiin. Alhamdulillah kalau mas ridho padaku."

Setelah selesai makan, Risma mengantar suaminya sampai depan. Dengan beban berat di dalam perutnya, tak menghalangi wanita dengan kerudung lebar itu untuk membantu membawakan tas kerja sang suami.

"Adik, Mas aja yang bawa, kamu udah repot bawa bayi kita."

"Jangan, Mas. Ini amalanku. Jangan kamu rebut. Kamu sudah banyak beramal di luar sana. Mengajar, mengobati orang, menafkahi keluarga, dan membantu orang-orang yang dalam kesulitan. Sementara aku? Kalau bukan melayani suami, ladang amalku di mana lagi, Mas?"

"Alhamdulillah Allah memberi istri yang shalihah seperti kamu, Dik."

"Jika aku baik, itu karena kamu juga baik, Mas. Bukankah Allah mengatakan hal seperti itu?"

"Jangan terlalu memuji."

Risma tersenyum manja sambil menyandarkan kepala di lengan suaminya.

"Berangkat, Pak Guru?" tanya Inah tetangga depan rumah.

"Iya, Bu."

"Itu bayinya kapan brojol, Neng? Lihatnya udah ikutan berat. Kembar, sih, ya. Jadinya perutnya lebih gede dari yang biasa-biasa orang hamil."

"Alhamdulillah, Bu."

"Kalian itu orang baik, makanya Allah nguji kalian dulu sebelum punya anak. Tujuh tahun menikah baru hamil."

Farid menggenggam jemari istrinya. Memberikan kekuatan agar Risma selalu bersabar menghadapi berbagai jenis ujian yang dia hadapi. Seperti memiliki tetangga yang rese seperti Inah.

"Mas berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Jangan keluar rumah jika tidak ada kebutuhan mendesak."

"Iya, Mas. Aku di rumah saja."

"Assalamualaikum wr wb," ucap Farid sambil memegang ubun-ubun istrinya.

Risma menjawab salam suaminya sambil mencium takdim punggung tangan suaminya.

Dengan motor Vixion keluaran lama, Farid pun berangkat kerja sebagai guru MTs di daerahnya. Sekolah gratis yang diperuntukkan untuk anak-anak tidak mampu. Sekolah yang dibangun oleh seorang dermawan kenalan Farid.

Tidak banyak siswa yang sekolah di sana karena dianggap sekolah yang tidak memiliki kualitas yang baik. Hanya beberapa dari mereka yang memang ingin bersekolah dengan kondisi keluarga yang sangat-sangat miskin.

Begitu Farid sampai, anak-anak yang sedang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing langsung berlari menyambut Farid. Mereka berebut ingin mencium tangan Farid.

"Assalamualaikum, Ustad."

Setiap anak yang hendak bersalaman mengucap salam pada Farid. Mendoakan keselamatan untuk gurunya.

Sebelum masuk ke kelas masing-masing, Farid berserta lima guru lainnya mengajak para murid untuk ke mushola. Mereka melakukan salat duha lalu kemudian membaca Al Qur'an bersama. Setelah itu, barulah mereka masuk ke kelas masing-masing untuk belajar.

Pelajaran selesai saat adzan Zuhur tiba. Sebelum pulang, mereka melakukan salat Zuhur berjamaah. Farid juga melakukan ceramah singkat setia setelah salat Zuhur.

"Mau ke mana kita, Pak?" tanya Iwan. Dia salah satu guru di sekolah itu. Iwan biasa ikut pergi bersama Farid melakukan pengobatan pada mereka yang memiliki penyakit di luar jangkauan medis.

"Kita ke desa Singaraja. Mungkin sampai malam. Telpon saja dulu orang rumah. Beritahu istri agar dia tidak cemas."

"Iya, Pak." Iwan mengambil ponsel untuk menelpon istrinya.

Farid dan Iwan pergi ke desa yang dituju dengan motor yang berbeda. Perjalanan tidak memakan waktu yang lama, hanya sekitar 35 menit saja.

Motor berhenti di depan rumah yang berpagar tembok. Rumah itu terlihat sepi meski banyak orang di dalamnya. Terdengar tangisan seorang wanita yang menjerit-jerit kesakitan. Sementara yang lainnya sibuk memegangi sambil membaca ayat-ayat Allah sebisanya. Yang lainnya menangis di pinggir melihat apa yang terjadi pada wanita yang sedang dipegang beberapa orang laki-laki.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum." orang-orang menjawab kompak.

Farid dan Iwan menyimpan tas kerja mereka. Seorang wanita paruh bayar membawa nampan berisi air dan cemilan, dan kemudian disimpan di depan Iwan dan Farid.

"Punten, Bu. Simpan di meja saja."

"Baik, Pak ustad."

"Dilepas dulu, Pak. Kasian itu kesakitan. Meski di dalamnya bukan ibu ini, tapi raganya masih milik si ibu. Nanti pasti akan merasakan sakit."

"Habisnya berontak terus, Pak Ustad."

"Iya, Pak. Kita halangi saja takutnya dia memukul, tapi jangan di gencet atau dipegang terlalu kuat, lihat itu sampai merah."

"Sok, Pak. Lepasin aja, gak akan ngamuk, kok." Iwan mencoba membantu Farid.

Setelah mereka tidak lagi menggenggam tangan, kaki, dan tubuh ibu itu, Farid pun mendekat. Setelah memakai sarung tangan berwarna hitam, Farid mulai berdoa.

"Bismillahirrahmanirrahim ...." Farid membaca beberapa ayat Al Qur'an, dengan perlahan tapi pasti ibu itu memberikan respon. Tangisan kesakitan itu berubah menjadi tawa yang melengking. Suara Farid semakin keras melafalkan ayat-ayat Allah. Wanita itu mulai cekikikan. Orang-orang yang melihatnya pun merinding dibuatnya.

"Sudah, jangan tertawa terus, capek. Ngapain kamu di dalam? Sedang apa?"

Wanita itu masih cekikikan. Tubuhnya bergerak kesana kemari seperti pohon yang tertiup angin kencang.

Farid memegang kepalanya sambil membacakan ayat suci Al Quran. Cekikikan itu berubah menjadi jeritan kesakitan.

"Panaaas ... panaaas."

"Panas? Mau berhenti gak?"

Wanita itu mengangguk. Farid pun melepaskan tangannya dari kepala si pasien.

"Jawab saya. Kamu dari mana?"

Wanita itu cekikikan sambil malu-malu. Tingkahnya seperti wanita yang sedang ditatap gebetan.

"Kenapa mesem-mesem?" tanya Farid lembut.

"Suka."

"Suka? Sama siapa?"

Wanita itu menunjuk ke arah Farid. Lalu dia menutup wajahnya malu-malu.

"Kalau suka sama saya, ikut saya yuk."

"Ke mana? Ke rumah? Kita nikah?"

"Baca syahadat dulu, baru boleh ikut. Gimana?"

"Bohong. Nanti gak bisa lihat kamu lagi."

"Enggak, kok. Saya gak pernah berbohong. Coba aja dulu, yuk. Ikuti saya baca syahadat."

Wanita itu mengangguk.

"Asyhadu ..."

Wanita itu mengikuti dengan terbata-bata dituntun oleh Farid sambil berjabat tangan.

"Coba lihat saya, masih keliatan gak? Kita masih bertemu kan?"

Wanita itu mengangguk.

"Jawab saya, ya. Kamu sedang apa di situ?"

"Nemenin."

"Tinggal di mana?"

Wanita itu menunjuk bagian matanya.

"Oh, di situ? Sedang apa di situ? Kok di mata? Di suruh liat apa gitu?"

"Mantan."

"Mantan? Mantan kamu apa mantan pemilik tubuh ini?"

Wanita itu menunjuk dadanya.

"Oh, pemilik tubuh ini. Gimana cara kamu masuk ke tubuh wanita ini?"

"Makan."

"Oh lewat makanan. Makan apa?"

"Siomay."

Kemudian wanita itu mengangkat tangan seperti orang sedang berdoa. Setelah selesai dia meniupkan sedikit menyembur ke tangannya.

"Oh, dibacain doa terus ditiupin ke makanannya?"

Wanita itu mengangguk.

"Emang mantannya dari mana?"

"Deket rumah itu." Wanita itu menunjuk seseorang yang berada di dalam ruangan. Dia adalah bibi dari wanita yang sedang diobati Farid.

"Wah, jangan-jangan si Riyan. Dia kan mantannya Aini," ucap si bibi.

Wanita itu mengangguk beberapa kali.

"Oh, Riyan? Ya sudah, sekarang kita pergi, yuk. Nanti kamu akan bertemu dengan sebangsa kamu yang lebih ganteng dari saya, mau?"

"Enggak."

Tiba-tiba wanita itu menangis pilu, seperti seorang kekasih yang diputuskan.

"Kenapa nangis? Jangan sedih, nanti kamu akan bertemu dengan sebangsa kamu yang lebih tampan, baik dan Soleh. Mau saya tunjukkan?"

Wanita itu menggelengkan kepala sambil menangis.

Farid mengangkat kedua tangannya lalu membaca doa.

"Lihat di sebelah kanan saya. Ada dia yang ganteng bukan?"

Dia yang semula menundukkan kepala sambil menangis, perlahan bangun dan melihat yang ke arah kanan Farid.

"Ganteng kan?"

"Enggak. Aku gak mau." Dia kembali menangis pilu.

"Ya Allah, atas izinmu datang kan lah jin muslimah untuk menjemput dia ya Allah."

Lalu Farid kembali membaca doa.

"Ikut sama ini, ya."

Tangisannya mulai reda, wajahnya berseri dan dia mengangguk pertanda setuju untuk ikut bersama jin muslimah.

"Pak, tolong sediakan keresek. Sama bantu pegang tangannya siapa tau dia ngamuk."

Farid pindah dari hadapan Aini ke belakang tubuhnya.

"Bismillahirrahmanirrahim ...." Farid mulai membacakan ayat suci serta doa agar jin yang ada di dalam tubuh Aini segera keluar.

Tangan Farid bergerak seolah sedang mengusap tulang ekor hingga pundak Aini. Wanita itu menjerit kesakitan.

"Bu Aini yang ikhlas, biar jin nya cepat keluar."

Farid kembali membaca doa sambil melakukan gerakan yang sama. Kemudian dia menekan cekungan yang ada di tengkuk Aini.

"Aaarghh ...." Aini menjerit-jerit, lalu dia muntah.

Tubuh Aini terkulai lemas. Suaminya segera menghampiri lalu memeluk tubuh istrinya. Perlahan Aini mulai sadar.

"Kasih minum, Pak."

Aini mulai terlihat tenang setelah dia minum.

"Disayang dulu, Pak."

Suami Aini mengelus-elus punggung istrinya yang masih lemas dan terdiam.

"Bu. Ini Bu Aini bukan?" tanya Farid.

"Iya, Pak Ustad." Aini menjawab lirih.

"Alhamdulillah. Kalau begitu suruh istirahat aja, Pak. Ibunya pasti capek."

Setelah Aini masuk ke kamar dan tidur ditemani beberapa sodara dan orang tuanya, Farid memanggil suaminya untuk berbicara di luar.

"Udah sembuh, Pak Ustadz?"

"Alhamdulillah sudah, Pak. Jadi istri bapak itu terkena pelet. Mungkin peletnya udah lama terjadi, tapi baru sekarang jin itu memberikan rekasi pada tubuh Bu Aini. Sepertinya dia sudah lelah berada di dalam tubuh istri bapak."

"Astagfirullah. Pantas saja kalau saya dan istri saya berantem, dia selalu bilang kalau saja dia menikah dengan mantannya itu. Ternyata dia memang masih ingat sama mantannya."

"Pak, kita jangan terlalu percaya sama apa yang dikatakan jin. Bagaimanapun juga mereka itu pintar menipu. Siapa tau dia mengadu domba kita manusia. Intinya kan istri bapak sudah sembuh sama hikmahnya adalah jika kita makan sesuatu harus membaca doa terlebih dahulu. Cukup dengan bismillahirrahmanirrahim la Haula wala kuata Illa Billah. Insya Allah kita terlindungi."

"Baik, Pak ustad."

"Ikhlaskan apa yang mereka perbuat pada kita. Allah juga tidak tidur. Cukup serahkan pada Allah semuanya. Sekarang kita hanya harus mendekatkan diri lagi agar terjauh dari hal-hal jahat seperti itu."

"Terimakasih Pak ustad. Mohon maaf saya cuma bisa ngasih ini." Istrinya Aini memberikan amplop kepada Farid dan Iwan.

Dengan mengucap rasa syukur, Farid menerima amplop itu. Sedekah yang diberikan oleh keluarga pasiennya.

Selepas magrib, Farid dan Iwan diajak makan. Mereka ngobrol hingga tiba salat isya.

"Saya pamit, Pak. Semoga istrinya sehat selalu."

"Aamiin."

Pukul 19.45 Farid dan Iwan pun pulang ke rumah masing-masing.

Terpopuler

Comments

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

⍣⃝ꉣꉣAndini Andana

iiih etan nya demen sama pak ustadz 🙀🙈

2023-01-13

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!