"Kaya gitu doang?" ucap Elisa sinis pada suaminya. Jika beberapa wanita akan tersanjung, beda dengan Elisa yang merasa apa yang dilakukan suaminya adalah hal yang sangat biasa saja.
Mobil dengan pita bunga itu hanya menjadi barang biasa setelah mendapat penolakan terhadap dari dia yang dibanggakan. Hanya karena mobil itu bekas, Elisa memandang hina hadiah ulang tahun dari suaminya.
Sakit? Sudah pasti. Harga diri dan hari Aldo diiris pada saat yang bersamaan.
Susah payah dia mengumpulkan uang untuk membeli mobil karena Elisa selalu mengeluh jika naik motor. Debu lah, panas lah, hujan lah.
"Percuma pakai skincare merek apa pun kalau tetep kepanasan," ucapnya ketus setiap habis pulang entah dari mana pun.
"Tuh, liat kan? Muka aku kusam jadinya."
Resiko memiliki istri artis yang selalu mengutamakan penampilan dan tubuh adalah ini. Perawatan wajah, wajah, dan wajah. Jangan sampai ada cela sedikit baginya.
"Ibu kurang setuju kamu nikah sama Elisa, Al. Lihat penampilan dia. Baju pendek-pendek kayak kurang bahan, rambut merah kadang biru. Riasan menor, kuku panjang. Goyang-goyang di depan banyak orang."
Ucapan ibunya dulu sebelum Aldo menikahi Elsa, tak digubrisnya. Cinta yang begitu menggebu membuat dia tidak mendengar nasihat seorang ibu.
Elisa tidak ingin punya anak. Katanya akan membuat tubuhnya rusak. Aldo mengiyakan karena rasa cintanya yang begitu dalam.
Kerja banting tulang tanpa melihat siang atau malam, panas atau hujan demi mencukupi kebutuhan makeup, skincare dan pakaian istri tercinta.
Namun, belakangan ini ada yang berbeda dari Elisa. Dia tidak seperti dulu saat pertama mereka menikah. Elisa yang juga mencintai Aldo, rela melakukan apa saja untuknya kini entah hilang ke mana.
Di mata Elisa, Aldo adalah kesalahan yang utama. Tidak ada yang benar baginya meski di mata orang lain adalah kebahagiaan yang Aldo berikan.
Aldo sudah tidak tahan, bertahun-tahun menikah dia sudah sabar menghadapi Elisa dengan segala tingkah yang mungkin bagi orang adalah salah. Yakni artis organ dengan saweran yang kadang diselipkan di belahan dada.
"Aku sudah lelah. Jika memang aku salah, aku menyerah. Aku pulang dan silakan hidup dengan siapa saja yang bisa membuat kamu lebih bahagia."
Ucapan Aldo membuat Elisa terkejut. Wanita itu bukan tidak mencintai suaminya, dia hanya tidak bisa melihat kebaikan Aldo yang akhirnya membuat pertikaian di dalam biduk rumah tangganya.
Elisa menangis meminta ampun. Bagi Aldo itu hanyalah akting yang biasa dilakukan saat Aldo mulai kesal. Kini, Aldo tidak ingin termakan kebohongan Elisa lagi. Dia pergi dengan mobil yang masih terpasang pita dengan bunga di depannya.
Satu pekan sudah Aldo meninggalkan Elisa. Rindu? Sudah pasti. Sebanyak apa pun luka yang Elisa beri, tidak bisa begitu saja menghapus rasa cinta dalam hati.
Rasa itu masih sama.
Di angkringan Aldo memenuhi perut saat lapas karena belum makan malam. Selepas salat Isa dia mampir ke angkringan.
Makan pun selesai, tapi Aldo tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Pandangan lurus ke depan tanpa arah pasti apa yang sedang dia pandang. Hal itu membuat perhatian seseorang tertuju padanya.
Morgan namanya. Kurir sebuah ekspedisi yang baru selesai melaksanakan tugasnya. Dia mampir dengan alasan yang sama. Mengisi perut yang kosong.
"Makan, Mas." Awalan basa-basi.
Aldo menoleh. Dia tersenyum ramah sambil menggerakkan tangan, sebuah penolakan halus atau dia sedang memberitahu kalau dia sudah kenyang.
"Untung ya hari ini cerah. Banyak banget paket yang harus saya antar. Beuuuuh, kalau hujan bisa besok lagi kerjaan saya."
"Mas kurir?"
"Iya, Mas."
Aldo mengangguk.
"Sendirian, Mas?" tanya Morgan.
Aldo mengangguk. Dengan tidak sengaja, Aldi mulai menceritakan sedikit demi sedikit apa yang dialaminya saat ini. Morgan mengangguk sambil mendengarkan hingga akhirnya dia memberikan sebuah solusi.
"Coba aja rukiyah, Mas. Ya, namanya artis banyak yang suka. Siapa tau ada gangguan dari yang gak kasat mata."
"Ke dukun?"
"Yeee, namanya rukiyah ya ke ustad, Mas. Mau ngapain ke dukun? Nanti dibongkar pesulap merah loh."
Mereka tertawa.
"Ustad mana? Yang di tv pasti mahal."
Morgan menyeruput teh hangat yang tinggal setengah hingga tandas.
"Gak semua ustad minta bayaran mahal, Mas. Jika ustad beneran ustad, dia tidak akan meminta mahar. Gak dibayar pun mereka gak akan ngeluh dan gak akan kapok nolong."
"Hari gini masih ada orang yang kayak gitu, Mas?"
"Mau hari gini atau hari gitu, jika manusia sudah ikhlas menyerahkan diri hanya untuk Allah, mereka sudah tidak akan peduli pada urusan dunia, terutama harta. Cukup untuk makan saja Alhamdulillah, cukup untuk biaya sekolah saja Alhamdulillah. Gak ada keinginan lebih untuk hal-hal kemewahan. Yaaah, buat apa ngejar dunia, Mas? Kita ini loh, sedang antri menuju kematian."
"Mas tau ustad itu siapa?"
Morgan menoleh sambil mengangguk.
...***...
"Keluar! Kalau tidak, akan saya musnahkan sekarang juga."
"Ampuuun, sakit."
"Sakit? Iya sakit? Sok, mau keluar atau mau syahadat sama saya?"
"Lepas dulu, mau duduk. Cape." Elisa yang bukan Elisa itu merengek-rengek seperti anak kecil.
Farid melepaskan tangannya yang menyentuh pangkal hidup Elisa. Jari jempol dan ibu jarinya menekan sedikit ujung mata yang dirasakan begitu sakit oleh makhluk yang ada di dalam mata Elisa.
Setelah duduk, Farid kembali bernegosiasi.
"Jadi maunya gimana? Masuk Islam yuk dengan saya. Nanti saya bantu keluar."
"Tapi tugas saya belum selesai," rengek Elisa.
"Tugas apa memangnya? Ditugaskan untuk melakukan apa kamu di dalam tubuh manusia ini?"
"Biduan. Nyanyi bareng."
"Maksudnya ... biduan yang suka nyanyi bareng gitu?"
Elisa mengangguk dengan bibir monyong manja menjengkelkan.
"Disuruh ngapain kamu di sini?"
"Celakain. Biar gak nyanyi lagi. Biar gak bareng suaminya lagi."
Farid mengangguk.
"Dikasih apa kamu sama dia? Itu tangannya kenapa nyilang di dada terus?"
"Kan diiket."
"Kamu yang kalau jalan suka loncat-loncat ya?"
"Ya kan kaki aku juga diiket, masa jalannya harus merangkak? Kotor baju baru aku."
"Kamu itu ditipu. Baju kamu gak baru. lihat saja."
Elisa melihat sekujur tubuhnya.
"Bagus kok.. Putih kebiru-biruan."
"Masa? Nih, coba ya."
Farid membaca doa lalu ditiupkan pada tubuh Elisa. Seketika Elisa menangis kembali layaknya anak kecil yang mainannya diambil paksa teman.
"Baju kamu masih jelek, masih kotor. Kamu ditipu. Mendingan sekarang kamu ikut saya baca syahadat, nanti saya kasih baju bagus."
"Peci juga?"
"Boleh."
"Warna putih?"
"Lengkap pokoknya. Tapi ikut saya dulu baca syahadat. Nanti akan ada temen kamu yang pake peci juga buat jemput. Gimana?"
Elisa mengangguk.
Farid kembali membaca doa dan membuat Elisa menjerit kesakitan. Jeda berapa menit, Elisa terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Farid dan Morgan, serta Iwan menunggu di ruang tamu sampai Elisa sadar. Setelah sadar, Farid mengajak Elisa berbicara. Memastikan jika pengaruh makhluk yang semula ada, sudah tidak ada.
Elisa meminta maaf kepada suaminya sambil sungkem.
"Itu apa?" tanya Farid sambil memperlihatkan mobil yang kembali dihias. Mata Elisa berbinar. Dia terlihat begitu senang karena mendapat hadiah mobil dari Aldo.
Mereka bertiga pulang setelah selesai mengobati Elisa. Farid mengajak Morgan dan Iwan ke rumahnya untuk makan sore dulu.
Makanan pun terhidang.
"Seadanya, ya. Ini request dari Mas Farid semua soalnya. Gak tau suka atau enggak, Pak Iwan, Mas Morgan." Risma meminta maaf pada teman-teman Farid.
"Wah, menunya sama kayak kemarin."
Ucapan Iwan membuat Farid terdiam. Dia ingin meminta Iwan untuk diam, tapi Risma memperhatikan.
"Menu sama gimana?" tanya Morgan yang memang tidak tahu apa-apa.
"Minggu kemarin, kalau gak salah hari Jum'at. Kita ngobatin perempuan, dia cantik. Istri bos. Pas sebelum pulang kita diminta makan, menunya sama kayak gini. Ada perkedel, terong balado, lele goreng sama tempe mendoan."
"Padahal Mas Farid itu gak suka terong loh," ucap Risma.
"Masa? Orang pas makan di sana lahap kok."
"Pantesan sekarang minta dibuatkan terong balado lagi. Ternyata udah doyan, toh?"
"Masakan Teh Khadijah memang enak sih waktu itu. Beuuuuh, udah cantik, pintar masak juga."
Morgan yang mengerti situasinya langsung menyenggol kaki Iwan di bawah meja. Iwan menoleh. Saat itu Morgan memelototinya.
"Ayo silakan dimakan. Saya tinggal ke kamar dulu, ya. Mau nyiapin pelengkapan lahiran dulu."
"Kenapa, Dik?" tanya Farid cemas.
"Dari pagi udah mulai mules soalnya. Tadi pas masak makin kenceng mulesnya."
"Alhamdulillah. Ya sudah, ayo kita ke bidan."
Farid membantu Risma mempersiapkan perlengkapan bayi dan segala sesuatunya. Tanpa makan, Farid segera membawa Risma ke bidan terdekat. Meninggalkan Iwan dan Morgan di rumahnya.
"Pak Iwan, Pak Iwan. Gak peka banget jadi orang. Ngapain coba cerita masalah kemarin di depan istrinya."
"Kenapa memang? Salah, ya?"
"Enggak, sih. Cuma salah besar doang."
Iwan menoleh sambil tersenyum. Tanpa rasa bersalah, dia kembali menghabiskan makanannya sebelum pergi menyusul Farid.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
hadeeeew...yg di dalem ini si poci ceritanya 🙈🙈
2023-01-13
4