Mereka yang 'sayang'

"Sedang apa di dalam sana? Keluar yuk. Bukan tempat kamu ada di dalam tubuh manusia. Itu salah."

Ibu rumahtangga bernama Sumini itu menangis saat Farid meminta 'dia' yang ada di dalam raga Sumini untuk keluar.

"Kenapa malah nangis? Sedih banget dengernya. Ada apa? Sok cerita."

Sumini berhenti menangis. Dia menatap Farid dengan tatapan yang begitu nelangsa.

"Aku gak mau keluar, mau di sini aja."

"Kenapa? Itu gak boleh karena tubuh manusia bukan tempat kamu. Kamu keluar nanti saya kasih tempat yang lebih bagus, mau?"

Sumini menggelengkan kepala, dia kembali terisak-isak.

"Ada apa? Kamu sepertinya sedih banget. Sok cerita aja, saya dengerin kok."

Dengan ragu-ragu, Sumini mulai bercerita pada Farid. Selain Farid, ada juga suami Sumini, mertua dan dua anaknya yang berusia tujuh dan sebelas tahun.

"Saya tuh kasian sama dia." Dia adalah Sumini yang asli.

"Kenapa kasian?"

"Dia tuh sendirian di sini, gak ada temen. Gak ada yang suka nemenin."

"Kan ada suaminya. Ada anaknya dan ada mertuanya di sini."

"Mereka tidak bisa diharapkan. Kalau ada masalah, dia selalu memendamnya sendiri. Setiap malam dia nangis sendirian, makanya aku menemani."

"Kamu datang sendiri berarti, bukan disuruh orang?"

"Iya. Saya datang sendiri karena kasian. Saya mau menemani dia di sini."

"Jangan ... itu salah. Kamu makan apa selama di dalam?"

Sumini terdiam.

"Ayo katakan, kamu gak mungkin gak makan kan?"

"Yang merah dan yang suka bunyi."

Farid mengerutkan keningnya.

"Bunyi deg deg deg, gitu bukan?" tanya Iwan.

Sumini mengangguk.

"Tau gak, gara-gara kamu makan itu, Sumini jadinya sering sakit dada. Dia bahkan hampir pingsan gara-gara kamu."

Sumini menunduk kepala. Sepertinya 'Sumini' menyesal.

"Sekarang ikut saya aja. Nanti ada yang akan jemput kamu ke sini. Mau?"

"Gak mau. Kalau saya pergi, nanti dia sendirian."

"Ada suaminya kok. Dia yang lebih berhak dan pantas menjadi temannya, bukan kamu."

"Dia?" tanya Sumini sambil menunjuk suaminya.

Farid mengangguk.

"Apa yang bisa diharapkan dari dia? baik kalau lagi ingin anu di kamar. Setelahnya seperti orang asing, sibuk main apa itu yang dipegang panjang, nyala."

"Hp?"

"Iya. Dia tidak pernah mau bantu istrinya. Istrinya sakit juga sibuk aja main hp. Belum lagi dua orang tua itu." Sumini menunjuk mertua Sumini.

"Mereka bisanya cuma komplain. Rumah berantakan diomong, ini diomong itu diomongin. Padahal Sumini sakit juga tetap harus bekerja. Bisanya ngoreksi tapi gak pernah muji. Suaminya? Pernah dia belain? enggak!"

"Nanti suaminya berubah kok. Mulai hari ini dia akan menjaga Sumini, belain dia dan perhatian sama Sumini. Kamu sekarang keluar. Percuma di dalam juga kalau Sumini kesakitan."

"Bukan sakit sama aku. Sama suaminya."

"Udah, kamu udah terlalu lama di sana. Kalau gak mau masuk Islam sama saya, kamu akan saya hancurkan. Mau?"

Sumini menggelengkan kepala.

"Ikhlaskan hatinya, ikuti ucapan saya."

Dengan diskusi yang alot dan rayuan yang menguras kesabaran, akhirnya dia yang ada di tubuh Sumini pun mengucapkan syahadat dan berhasil dikeluarkan.

Sumini yang sesungguhnya sudah sadar. Dia sudah menjadi seutuhnya Sumini.

Setelah diberi minum dan istirahat beberapa menit, Sumini benar-benar sadar. Dia beristigfar sambil menitikkan air mata.

"Bagaimana perasaannya sekarang, Bu?" tanya Farid.

"Alhamdulillah enakan. Dada saya udah gak sesek dan sakit lagi."

"Alhamdulillah."

Mereka terdiam untuk sesaat. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Jadi, begini. Salah satu yang disukai bang jin adalah mereka yang memiliki perasaan yang lemah dan rapuh. Maksudnya bukan berarti gak boleh sedih dan menangis, hanya saja jangan terlalu baperan. Dalam artian baper itu ya jangan sedih yang berlebih, jangan di dramtisir lah gitu ya."

"Iya ustadz. Saya biasanya sering banget nangis kalau malem. Suka sedih aja gitu bawaannya. Kadang saya suka bicara sendiri tapi berasa sedang bicara sama seseorang."

"Iya, Bu. Yang ngajak ibu ngobrol diluar alam bawah sadar ibu ya itu. Dia yang nempel di raga ibu."

"Habisnya saya bingung pak ustad." Sumini menangis.

"Saya tinggal di sini, ikut suami. Keluarga saya jauh, ibu saya jauh. Kalau ada masalahnya dan curhat sama suami, dia malah suka marah dan gak terima, kalau ada masalah dengan keluarga selalu saya yang disuruh mengalah, suruh sabar terus."

Sumini menangis sesenggukan.

"Ibu boleh sedih, ibu boleh marah tapi jangan salah melampiaskan. Jika kita sedang sedih, sedang marah, coba datang dan memohon pada Allah. Iya memang, Allah tidak bisa kita ajak diskusi seperti apa yang kita lakukan saat ini, tapi pertolongan Allah itu akan datang dengan cara apa saja. Dia akan mendatangkan seseorang yang mungkin bisa mengerti diri ibu, atau bisa membuat hati suami ibu menjadi lembut. Wallahu alam."

Sumini semakin sesenggukan.

"Ini untuk bapak. Untuk kita semua sebenarnya karena saya juga seorang suami. Pak, tugas kita itu bukan hanya mencukupi nafkah saja. Mentang-mentang udah ngasih uang dapur dan jajan, lalu kita lepas tanggung jawab, enggak. Bukan begitu. Istri itu adalah wanita yang kita minta kepada orang tuanya, bersaksi di hadapan orang banyak dan membuat janji dengan Allah untuk menjaga jiwa dan raganya. Kadang, mereka itu gak butuh nasihat atau solusi kok, cukup dengarkan saja apa yang menjadi unek-uneknya. Kita memang lelah bekerja, tapi sesungguhnya pekerjaan istri itu jauh lebih berat, Pak. Gak percaya? Bapak coba saja jadi istri selama tiga hari, mau?"

Suami Sumini menggelengkan kepala. Tentu saja dia tidak mau. Melihat rumah berantakan saja dia tidak suka, belum lagi melihat anaknya bertengkar. Di sisi lain dia juga harus makan, memberi makan pada anaknya. Mengurus pakai mereka. Membayangkan saja membuat suami Sumini merasa sakit kepala.

"Istri itu tulang rusuk bagi suami. Bapak tau artinya tulang rusuk? Tau fungsi tulang rusuk?"

Tentu saja suami Sumini tidak tahu, jika dia tahu maka dia tidak akan membiarkan istrinya sendirian di saat masalah datang menerpa.

"Ini, Pak." Farid menunjukkan dadanya.

"Ini adalah tukang rusuk, di dalam sini juga ada jantung, hari, dan beberapa organ yang fatal jika tidak dilindungi. Artinya, istri itu sebenarnya melindungi bapak, jika istri rusak maka bapak juga akan hancur. Dia bengkok, kalau dipaksa lurus maka akan patah, bisa jadi patahannya itu melukai jantung bapak."

Suami Sumini tersenyum karena dia tidak mengerti apa yang Farid ucapakan.

"Begini, Pak. Kalau istri bapak sakit, bagaimana keadaan rumah?"

"Wah, udah gak karuan ustad. Berantakan, anak gak keurus, makanan saya minta ke orang tua. Rumah kotor."

Farid mengangguk pelan sambil tersenyum, berusaha memberitahu bahwa itulah yang Farid maksud. Menjelaskan bahwa apa yang dikatakan oleh suami Sumini itulah yang harus dia perhatikan.

"Jadi mengerti sekarang ya, Pak?"

Suami Sumini tersenyum kaku, dia menjawab pertanyaan sendiri. Merasa malu dan menyesal.

"Kalau sudah mengerti, dan semuanya sudah kembali seperti semula, saya mohon pamit. Bu, ibu jangan terlalu bersedih ya jika ada apa-apa. Jangan merasa sendiri saat ada masalah. Jika saat ibu butuh teman untuk curhat tapi tidak satu orang pun yang mengerti, itu artinya Allah ingin ibu curhat sama Allah. Kangen Allah diajak ngobrol dan mengadu sama ibu."

Rasa sedih, ingat akan semua beban masalah terutama pada dosa yang telah diperbuat membuat Sumini menangis pilu. Tak hentinya dia beristigfar dalam hati. Berharap dia Allah mengampuni.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!