"Mau poligami, gak, Pak?"
Pertanyaan yang membuatnya terpana karena tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut wanita cantik yang ada di depannya.
...🌺🌺🌺...
"Mau ke mana hari ini, Mas?"
"Sepulang ngajar, aku akan pergi ke rumah seseorang. Mungkin pulangnya malam. Gak jauh, sih dari sini."
"Oh, ya sudah. Sarapan dulu, ya, Mas."
"Nanti kalau ada apa-apa jangan ragu buat nelpon. Barang kali perutnya udah kerasa mules."
"Iya, Mas. Ya udah, udah siap kan? Ayo kita makan."
Risma menggandeng lengan suaminya saat menuju ruang makan. Meski perutnya sudah begitu besar, dan gerakan dia sudah sangat lambat, Risma tetap melayani suaminya dengan penuh kebahagiaan dan keikhlasan. Mengambilkan piring, lalu dia isi dengan makanan. Tidak lupa juga air teh hangat untuk minum sang suami tercinta.
"Alhamdulillah. Terimakasih, ya, Dik. Mas bahagia dan ridho untuk apa yang kamu lakukan saat ini. Semoga Allah memberikan rahmatnya sama kamu."
"Aamiin. Alhamdulillah kalau mas ridho padaku."
Setelah selesai makan, Risma mengantar suaminya sampai depan. Dengan beban berat di dalam perutnya, tak menghalangi wanita dengan kerudung lebar itu untuk membantu membawakan tas kerja sang suami.
"Adik, Mas aja yang bawa, kamu udah repot bawa bayi kita."
"Jangan, Mas. Ini amalanku. Jangan kamu rebut. Kamu sudah banyak beramal di luar sana. Mengajar, mengobati orang, menafkahi keluarga, dan membantu orang-orang yang dalam kesulitan. Sementara aku? Kalau bukan melayani suami, ladang amalku di mana lagi, Mas?"
"Alhamdulillah Allah memberi istri yang shalihah seperti kamu, Dik."
"Jika aku baik, itu karena kamu juga baik, Mas. Bukankah Allah mengatakan hal seperti itu?"
"Jangan terlalu memuji."
Risma tersenyum manja sambil menyandarkan kepala di lengan suaminya.
"Berangkat, Pak Guru?" tanya Inah tetangga depan rumah.
"Iya, Bu."
"Itu bayinya kapan brojol, Neng? Lihatnya udah ikutan berat. Kembar, sih, ya. Jadinya perutnya lebih gede dari yang biasa-biasa orang hamil."
"Alhamdulillah, Bu."
"Kalian itu orang baik, makanya Allah nguji kalian dulu sebelum punya anak. Tujuh tahun menikah baru hamil."
Farid menggenggam jemari istrinya. Memberikan kekuatan agar Risma selalu bersabar menghadapi berbagai jenis ujian yang dia hadapi. Seperti memiliki tetangga yang rese seperti Inah.
"Mas berangkat dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Jangan keluar rumah jika tidak ada kebutuhan mendesak."
"Iya, Mas. Aku di rumah saja."
"Assalamualaikum wr wb," ucap Farid sambil memegang ubun-ubun istrinya.
Risma menjawab salam suaminya sambil mencium takdim punggung tangan suaminya.
Dengan motor Vixion keluaran lama, Farid pun berangkat kerja sebagai guru MTs di daerahnya. Sekolah gratis yang diperuntukkan untuk anak-anak tidak mampu. Sekolah yang dibangun oleh seorang dermawan kenalan Farid.
Tidak banyak siswa yang sekolah di sana karena dianggap sekolah yang tidak memiliki kualitas yang baik. Hanya beberapa dari mereka yang memang ingin bersekolah dengan kondisi keluarga yang sangat-sangat miskin.
Begitu Farid sampai, anak-anak yang sedang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing langsung berlari menyambut Farid. Mereka berebut ingin mencium tangan Farid.
"Assalamualaikum, Ustad."
Setiap anak yang hendak bersalaman mengucap salam pada Farid. Mendoakan keselamatan untuk gurunya.
Sebelum masuk ke kelas masing-masing, Farid berserta lima guru lainnya mengajak para murid untuk ke mushola. Mereka melakukan salat duha lalu kemudian membaca Al Qur'an bersama. Setelah itu, barulah mereka masuk ke kelas masing-masing untuk belajar.
Pelajaran selesai saat adzan Zuhur tiba. Sebelum pulang, mereka melakukan salat Zuhur berjamaah. Farid juga melakukan ceramah singkat setia setelah salat Zuhur.
"Mau ke mana kita, Pak?" tanya Iwan. Dia salah satu guru di sekolah itu. Iwan biasa ikut pergi bersama Farid melakukan pengobatan pada mereka yang memiliki penyakit di luar jangkauan medis.
"Kita ke desa Singaraja. Mungkin sampai malam. Telpon saja dulu orang rumah. Beritahu istri agar dia tidak cemas."
"Iya, Pak." Iwan mengambil ponsel untuk menelpon istrinya.
Farid dan Iwan pergi ke desa yang dituju dengan motor yang berbeda. Perjalanan tidak memakan waktu yang lama, hanya sekitar 35 menit saja.
Motor berhenti di depan rumah yang berpagar tembok. Rumah itu terlihat sepi meski banyak orang di dalamnya. Terdengar tangisan seorang wanita yang menjerit-jerit kesakitan. Sementara yang lainnya sibuk memegangi sambil membaca ayat-ayat Allah sebisanya. Yang lainnya menangis di pinggir melihat apa yang terjadi pada wanita yang sedang dipegang beberapa orang laki-laki.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum." orang-orang menjawab kompak.
Farid dan Iwan menyimpan tas kerja mereka. Seorang wanita paruh bayar membawa nampan berisi air dan cemilan, dan kemudian disimpan di depan Iwan dan Farid.
"Punten, Bu. Simpan di meja saja."
"Baik, Pak ustad."
"Dilepas dulu, Pak. Kasian itu kesakitan. Meski di dalamnya bukan ibu ini, tapi raganya masih milik si ibu. Nanti pasti akan merasakan sakit."
"Habisnya berontak terus, Pak Ustad."
"Iya, Pak. Kita halangi saja takutnya dia memukul, tapi jangan di gencet atau dipegang terlalu kuat, lihat itu sampai merah."
"Sok, Pak. Lepasin aja, gak akan ngamuk, kok." Iwan mencoba membantu Farid.
Setelah mereka tidak lagi menggenggam tangan, kaki, dan tubuh ibu itu, Farid pun mendekat. Setelah memakai sarung tangan berwarna hitam, Farid mulai berdoa.
"Bismillahirrahmanirrahim ...." Farid membaca beberapa ayat Al Qur'an, dengan perlahan tapi pasti ibu itu memberikan respon. Tangisan kesakitan itu berubah menjadi tawa yang melengking. Suara Farid semakin keras melafalkan ayat-ayat Allah. Wanita itu mulai cekikikan. Orang-orang yang melihatnya pun merinding dibuatnya.
"Sudah, jangan tertawa terus, capek. Ngapain kamu di dalam? Sedang apa?"
Wanita itu masih cekikikan. Tubuhnya bergerak kesana kemari seperti pohon yang tertiup angin kencang.
Farid memegang kepalanya sambil membacakan ayat suci Al Quran. Cekikikan itu berubah menjadi jeritan kesakitan.
"Panaaas ... panaaas."
"Panas? Mau berhenti gak?"
Wanita itu mengangguk. Farid pun melepaskan tangannya dari kepala si pasien.
"Jawab saya. Kamu dari mana?"
Wanita itu cekikikan sambil malu-malu. Tingkahnya seperti wanita yang sedang ditatap gebetan.
"Kenapa mesem-mesem?" tanya Farid lembut.
"Suka."
"Suka? Sama siapa?"
Wanita itu menunjuk ke arah Farid. Lalu dia menutup wajahnya malu-malu.
"Kalau suka sama saya, ikut saya yuk."
"Ke mana? Ke rumah? Kita nikah?"
"Baca syahadat dulu, baru boleh ikut. Gimana?"
"Bohong. Nanti gak bisa lihat kamu lagi."
"Enggak, kok. Saya gak pernah berbohong. Coba aja dulu, yuk. Ikuti saya baca syahadat."
Wanita itu mengangguk.
"Asyhadu ..."
Wanita itu mengikuti dengan terbata-bata dituntun oleh Farid sambil berjabat tangan.
"Coba lihat saya, masih keliatan gak? Kita masih bertemu kan?"
Wanita itu mengangguk.
"Jawab saya, ya. Kamu sedang apa di situ?"
"Nemenin."
"Tinggal di mana?"
Wanita itu menunjuk bagian matanya.
"Oh, di situ? Sedang apa di situ? Kok di mata? Di suruh liat apa gitu?"
"Mantan."
"Mantan? Mantan kamu apa mantan pemilik tubuh ini?"
Wanita itu menunjuk dadanya.
"Oh, pemilik tubuh ini. Gimana cara kamu masuk ke tubuh wanita ini?"
"Makan."
"Oh lewat makanan. Makan apa?"
"Siomay."
Kemudian wanita itu mengangkat tangan seperti orang sedang berdoa. Setelah selesai dia meniupkan sedikit menyembur ke tangannya.
"Oh, dibacain doa terus ditiupin ke makanannya?"
Wanita itu mengangguk.
"Emang mantannya dari mana?"
"Deket rumah itu." Wanita itu menunjuk seseorang yang berada di dalam ruangan. Dia adalah bibi dari wanita yang sedang diobati Farid.
"Wah, jangan-jangan si Riyan. Dia kan mantannya Aini," ucap si bibi.
Wanita itu mengangguk beberapa kali.
"Oh, Riyan? Ya sudah, sekarang kita pergi, yuk. Nanti kamu akan bertemu dengan sebangsa kamu yang lebih ganteng dari saya, mau?"
"Enggak."
Tiba-tiba wanita itu menangis pilu, seperti seorang kekasih yang diputuskan.
"Kenapa nangis? Jangan sedih, nanti kamu akan bertemu dengan sebangsa kamu yang lebih tampan, baik dan Soleh. Mau saya tunjukkan?"
Wanita itu menggelengkan kepala sambil menangis.
Farid mengangkat kedua tangannya lalu membaca doa.
"Lihat di sebelah kanan saya. Ada dia yang ganteng bukan?"
Dia yang semula menundukkan kepala sambil menangis, perlahan bangun dan melihat yang ke arah kanan Farid.
"Ganteng kan?"
"Enggak. Aku gak mau." Dia kembali menangis pilu.
"Ya Allah, atas izinmu datang kan lah jin muslimah untuk menjemput dia ya Allah."
Lalu Farid kembali membaca doa.
"Ikut sama ini, ya."
Tangisannya mulai reda, wajahnya berseri dan dia mengangguk pertanda setuju untuk ikut bersama jin muslimah.
"Pak, tolong sediakan keresek. Sama bantu pegang tangannya siapa tau dia ngamuk."
Farid pindah dari hadapan Aini ke belakang tubuhnya.
"Bismillahirrahmanirrahim ...." Farid mulai membacakan ayat suci serta doa agar jin yang ada di dalam tubuh Aini segera keluar.
Tangan Farid bergerak seolah sedang mengusap tulang ekor hingga pundak Aini. Wanita itu menjerit kesakitan.
"Bu Aini yang ikhlas, biar jin nya cepat keluar."
Farid kembali membaca doa sambil melakukan gerakan yang sama. Kemudian dia menekan cekungan yang ada di tengkuk Aini.
"Aaarghh ...." Aini menjerit-jerit, lalu dia muntah.
Tubuh Aini terkulai lemas. Suaminya segera menghampiri lalu memeluk tubuh istrinya. Perlahan Aini mulai sadar.
"Kasih minum, Pak."
Aini mulai terlihat tenang setelah dia minum.
"Disayang dulu, Pak."
Suami Aini mengelus-elus punggung istrinya yang masih lemas dan terdiam.
"Bu. Ini Bu Aini bukan?" tanya Farid.
"Iya, Pak Ustad." Aini menjawab lirih.
"Alhamdulillah. Kalau begitu suruh istirahat aja, Pak. Ibunya pasti capek."
Setelah Aini masuk ke kamar dan tidur ditemani beberapa sodara dan orang tuanya, Farid memanggil suaminya untuk berbicara di luar.
"Udah sembuh, Pak Ustadz?"
"Alhamdulillah sudah, Pak. Jadi istri bapak itu terkena pelet. Mungkin peletnya udah lama terjadi, tapi baru sekarang jin itu memberikan rekasi pada tubuh Bu Aini. Sepertinya dia sudah lelah berada di dalam tubuh istri bapak."
"Astagfirullah. Pantas saja kalau saya dan istri saya berantem, dia selalu bilang kalau saja dia menikah dengan mantannya itu. Ternyata dia memang masih ingat sama mantannya."
"Pak, kita jangan terlalu percaya sama apa yang dikatakan jin. Bagaimanapun juga mereka itu pintar menipu. Siapa tau dia mengadu domba kita manusia. Intinya kan istri bapak sudah sembuh sama hikmahnya adalah jika kita makan sesuatu harus membaca doa terlebih dahulu. Cukup dengan bismillahirrahmanirrahim la Haula wala kuata Illa Billah. Insya Allah kita terlindungi."
"Baik, Pak ustad."
"Ikhlaskan apa yang mereka perbuat pada kita. Allah juga tidak tidur. Cukup serahkan pada Allah semuanya. Sekarang kita hanya harus mendekatkan diri lagi agar terjauh dari hal-hal jahat seperti itu."
"Terimakasih Pak ustad. Mohon maaf saya cuma bisa ngasih ini." Istrinya Aini memberikan amplop kepada Farid dan Iwan.
Dengan mengucap rasa syukur, Farid menerima amplop itu. Sedekah yang diberikan oleh keluarga pasiennya.
Selepas magrib, Farid dan Iwan diajak makan. Mereka ngobrol hingga tiba salat isya.
"Saya pamit, Pak. Semoga istrinya sehat selalu."
"Aamiin."
Pukul 19.45 Farid dan Iwan pun pulang ke rumah masing-masing.
"Jangan berdoa untuk keburukan orang lain karena sesungguhnya doa itu akan kembali pada pemiliknya."
"Aku hanya meminta pada Allah untuk memberikan imam yang salih padaku. Siapa tau Allah memberikan hidayah pada suamiku. Ada apa? Apa Bapak takut aku mendoakan keburukan untuk istri Bapak?"
...🌺🌺🌺...
"Alhamdulillah." Risma bersyukur saat Farid memberikan amplop semalam. Pemberian keluarga bu Aini. Tiga lembar uang berwarna merah.
"Semoga berkah, ya, Dik."
"Aamiin."
"Aku berangkat ngajak dulu, gak usah mengantar karena sepertinya bu Inah sedang nyapu di halaman depan."
Risma tersenyum.
"Iya, Mas."
Risma mengantar suaminya hanya sampai depan pintu, setelah itu dia langsung menutup pintunya kembali. Risma melihat suaminya dari jendela.
"Istrinya mana, Pak?"
"Ada di dalam, Bu. Alhamdulillah."
"Tumben gak nganter? Oalah, mentang-mentang hamil pertama jadinya manja ya. Maunya leha-leha dan malas-malasan sambil rebahan."
"Gak apa-apa lah, Bu. Saya sebagai suaminya ridho kok. Kalau begitu saya permisi, Bu. Assalamualaikum."
Bu inah menjawab dengan ketus. Risma hanya tersenyum geli melihat kejadian barusan. Bagi Risma, Bu inah itu orangnya baik, hanya saja dia tidak bisa berbicara dengan baik dan benar.
Setelah merapikan bekas sarapan tadi, Risma mencuci piring. Setelah itu dia mencuci baju dan merapikan rumah. Tidak butuh waktu lama untuk merapikan rumah mereka karena ukurannya kecil. Hanya ada dua kamar, ruang tamu sekaligus ruang tv, ruang makan yang menyatu dengan dapur, juga ada kamar mandi.
Pukul 09.30, Risma mengambil air wudhu dan melakukan salat duha. Dia akan membaca Al Qur'an hingga azan Zuhur tiba.
Risma kembali ke dapur untuk masak makan siang setelah salat Zuhur. Hari ini Farid akan pulang ke rumah terlebih dahulu sebelum pergi mengobati pasien lainnya.
Ada ikan nila goreng, sayur asam dan sambal. Sesederhana itu masakan Risma, tapi Farid tidak pernah menyisakannya sedikit pun.
Masakan terhidang di meja, berbarengan dengan suara motor Farid yang memasuki pekarangan kecil rumah mereka. Risma buru-buru ke kamar untuk bercermin dan memakai parfum sebelum menyambut suaminya.
"Assalamualaikum.... "
Risma menjawab salam sambil membukakan pintu, segera dia mengambil tas lalu mencium tangan suaminya.
"Masya Allah, wangi banget, Dik. Setelah panas-panasan jadi seger nyium wangi kamu."
Risma tersipu malu. Dia lantas menggandeng tangan suaminya dan mengajaknya ke meja makan.
"Alhamdulillah, ada ikan sama ayur asem. Tau aja kalau Mas lagi pengen ikan goreng."
"Masa? Berarti aku bisa jadi cenayang, ya, baca isi hati kamu soalnya."
"Sssst, gak ada cenayang, Adik."
"Astaghfirullah. Maaf, Mas. Aku khilaf."
"Ya sudah, ini mas suapin. Buka mulutnya."
Risma membuka mulutnya agar Farid tidak terlalu lama memegang sendok yang diarahkan ke mulutnya.
Farid mengelus perut Risma sambil berdoa. Tentu saja mendoakan janin yang ada di dalam agar menjadi anak yang salihl/salihah, lahir dengan lancar tanpa kendala yang berarti.
Azan ashar berkumandang, Farid pergi ke mushola sementara Risma salat di rumah. Saat masih sedang berzikir, Farid datang. Dengan susah payah Risma berusaha bangun, akan tetapi Farid yang memang tahu apa yang akan dilakukan istrinya, segera berjalan cepat menuju kamar. Dia tidak ingin Risma berusaha berdiri saat perutnya begitu besar. Dia tidak ingin Risma susah.
"Jangan bangun, Dik. Gak apa-apa."
Risma tersenyum, dia kembali duduk.
"Mas, izin ya. Sore ini mau pergi ke kabupaten. Entah pulang jam berapa, Mas juga gak tau." Ucap Farid sambil duduk di hadapan Risma. Dia mengelus-elus kepala istrinya.
"Iya, Mas. Mas jaga diri, hati-hati juga di jalan apalagi pulang malam. Bawa jas hujan juga soalnya sekarang musimnya gak menentu. Siang panas, sorenya bisa hujan deras."
"Iya, Sayang. Mas siap-siap dulu. Jangan kamu bantu apa-apa. Duduk saja di sini sambil zikir. Terus meminta perlindungan pada Allah karena Mas jarang ada di rumah."
"Iya, Mas."
Farid mencium kepala istrinya sebelum berganti pakaian dan siap-siap pergi ke kabupaten untuk mengobati seorang anak gadis.
Gadis itu bernama Riska. Setiap haid dia selalu kesakitan sampai hampir mau pingsan. Sudah periksa ke dokter kandungan akan tetapi dokter menyatakan bahwa Riska baik-baik saja.
Hari ini Farid bersama Iwan pergi untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah Riska mengalami gangguan yang disebabkan karena jin, ataukah ada hal lainnya.
Butuh waktu cukup lama dari rumah Farid untuk sampai ke rumah Riska. Berangkat pukul 16.15, mereka sampai 30 menit menjelang magrib.
Keluarga Riska segera menyambut Farid dan Iwan begitu mereka sampai.
"Alhamdulillah, Pak Ustad. Akhirnya datang juga. Ayo, ayo, tolong sembuhkan anak saya."
Seorang bapak dengan peci lusuh dan sarung yang terlihat kumal menarik tangan Farid bahkan saat Farid belum sempat menyimpan helmnya. Alhasil helm Farid jatuh.
Iwan mengambil sambil geleng-geleng kepala.
Farid melepas jaket dan menyimpan tas di sembarang tempat karena keluarga pasien ingin Farid segera mengobati anaknya.
Tidak terlihat kesakitan. Dia meringkuk sambil meringis memegang perutnya. Katanya hari ini adalah hari ketiga dia seperti itu. Rasa sakitnya akan bertambah saat menjelang magrib. Seperti sekarang ini.
"Pakaikan mukena dan celana panjang, Pak. Kalau ada pakaian kaos kaki juga."
Entah siapa, tapi orang yang ada di sana seorang perempuan agak muda segera berlari mengambil apa yang Farid minta.
Setelah semuanya terpakai, Farid mendekati Riska. Memegang punggungnya lalu membacakan doa. Dalam hitungan menit, Riska tidak lagi meringis. Rintihannya sudah tidak terdengar lagi. Farid pun menjauh.
"Sudah, ustad?" tanya bapak yang sama.
"Belum. Saya hanya menenangkannya sejenak karena sudah mau magrib. Setelah magrib baru akan saya doakan. Semoga Allah mengabulkan dan menyembuhkan Riska. Saya hanya manusia biasa, Pak. Yang menyembuhkan tetap Allah."
"Oh, iya, iya."
"Kasih Riska minum air putih dulu, Bu."
"Iya, ustad."
"Mar, ambilkan kopi dan makanan untuk ustad dan temannya. Pak ustad suka kopi apa?"
"Apa saja yang minum, Pak. Alhamdulillah."
"Oh, iya."
Sambil menunggu azan, Farid dan Iwan minum kopi sambil makan kue gabin tapai. Hingga azan pun tiba. Farid dan Iwan pergi ke mushola terdekat.
"Alhamdulillah." Farid kembali duduk di kursi. Dia minum air putih sambil melihat Riska yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip.
Seperti biasa, Farid memakai sarung tangan sebelum beraksi. Tujuannya agar dia tidak menyentuh kulit pasien terutama untuk kaum wanita.
"Bismillahirrahmanirrahim ...." Farid mulai membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Riska masih belum memberikan reaksi apa-apa. Farid kemudian melanjutkan dengan lantunan ayah lainnya, Riska pun bereaksi. Kepalanya menunduk hingga keningnya hampir menyentuh lantai.
"Siapa kamu? Sedang apa di dalam?"
Tidak ada jawaban.
"Hei, sedang apa di dalam? Ngobrol yuk. Kok diem aja, kenapa? Sariawan ya? Mau adem sari gak?"
Riska tertawa.
"Loh, mau dikasih obat kok malah ketawa. Kenapa? Saya lucu, ya?"
Riska menggelengkan kepala. Tentu saja itu bukan Riska yang sebenarnya.
"Udah, saya bantu keluar aja yuk. Udah lama kamu di sana?"
Riska menggelengkan kepala.
"Berarti baru? Sejak kapan? Mau ngapain kamu di sana?"
"Mau makan." Riska berbisik pelan.
"Makan? Makan apa?"
Riska menunjukkan perutnya di bagian bawah, tepat di bagian rahim.
"Kenapa kamu makan itu? Kasian loh itu yang punya tubuhnya sakit. Kamu masuk lewat apa?"
Riska memperagakan gerakan seperti sedang mencuci.
"Nyuci baju?"
Riska menggelengkan kepala.
"Daleman?"
Jawabnya masih sama.
"Oh, mungkin itu, Pak. Apa itu yang suka dipakai cewek kalau haid." Iwan mencoba menebak.
"Oh, pembalut?"
Riska mengangguk.
"Ya sudah, sekarang saya bantu kamu keluar ya. Kalau ngeyel saya potong rambut kamu. Kamu nyai kukun kan?"
Riska memegang kepala seolah sedang melindungi rambutnya.
"Yuk, ikuti saya. Kamu masuk Islam, ya. Nanti saya akan kasih kamu baju bagus, baju muslimah. Mau?"
Riska masih ngeyel. Dia tertawa seperti sedang meledek Farid.
"Bismillahirrahmanirrahim ...." Farid membaca ayat Alqur'an sembari memegang kepala Riska. Riska menjerit sambil berteriak 'panas'. Tangannya berusaha melepaskan tangan Farid dari kepalanya.
Melihat itu, Iwan dan yang lainnya segera membantu Farid, mereka memegangi tangan Riska.
Oeeeek!
Riska akhirnya muntah, tidak cuma sekali tapi beberapa kali.
Setelah beberapa menit, Riska akhirnya sadar. Dia terlihat bingung dan kekalahan.
"Riska."
Riska menoleh.
"Masih sakit?"
"Enggak."
Semua orang berucap Alhamdulillah karena akhirnya Riska tidak lagi kesakitan. Riska diberikan minum dan dibiarkan istirahat sejenak.
"Riska udah tenang?" tanya Farid.
"Iya, ustad."
"Kita ngobrol dulu, ya. Ini, sih sebenernya untuk semuanya. Terutama untuk kaum wanita, khusunya Riska. Jadi, jika kita sedang haid, jangan mandi setelah magrib apalagi pas magrib. Juga saat mencuci pembalut usahakan airnya jangan mengalir keluar atau ke got. Cuci pakai sabun sampai bersih sebelum dibuang. Sebenarnya makanan bangsa jin itu adalah hal-hal yang kotor termasuk darah haid. Makanya ... usahakan di dalam rumah jangan ada sampah biar jin gak masuk dan makan. Saat masuk ke kamar mandi jangan lupa kaki kiri dulu dan baca doa. Intinya hiduplah seusai anjuran dan sunah Islam. Ya, Riska?"
"Iya ustad."
"Riska tuh kalau lagi haid pembalutnya asal geletak gitu aja di kamar mandi. Kadang masih suka terlihat merah. Buang juga gak pakai plastik, asal buang ke tong sampah," ucap ibunya.
"Nah, itu gak boleh gitu lagi, ya. Mungkin kita sering denger ada kuntilanak sedang menghisap pembalut. Nah, memang begitu. Tapi itu bukan kuntilanak, itu bangsa jin yang sedang menyerupai kunti."
Mereka semua terdiam. Setelah berbicara panjang lebar dengan keluarganya, Farid dan Iwan berpamitan untuk pulang karena sudah larut.
Sesampainya di rumah, Farid terkejut karena Risma masih terjaga.
"Kenapa belum tidur, Dik?"
"Gak ngantuk, Mas." Risma bergelayut manja pada lengan Farid.
Ustad itu hanya tersenyum melihat tingkah istrinya. Dia tahu betul apa yang diinginkan Risma saat ini. Meski begitu lelah dan mengantuk, Farid tidak ingin membuat istrinya kecewa.
"Ya sudah, tunggu Mas mandi dulu ya. Keringetan soalnya."
Risma mengangguk dengan senyum malu-malu. Namun, tidak bisa disembunyikan lagi bagaimana dia sangat bahagia.
"Sedang apa di dalam sana? Keluar yuk. Bukan tempat kamu ada di dalam tubuh manusia. Itu salah."
Ibu rumahtangga bernama Sumini itu menangis saat Farid meminta 'dia' yang ada di dalam raga Sumini untuk keluar.
"Kenapa malah nangis? Sedih banget dengernya. Ada apa? Sok cerita."
Sumini berhenti menangis. Dia menatap Farid dengan tatapan yang begitu nelangsa.
"Aku gak mau keluar, mau di sini aja."
"Kenapa? Itu gak boleh karena tubuh manusia bukan tempat kamu. Kamu keluar nanti saya kasih tempat yang lebih bagus, mau?"
Sumini menggelengkan kepala, dia kembali terisak-isak.
"Ada apa? Kamu sepertinya sedih banget. Sok cerita aja, saya dengerin kok."
Dengan ragu-ragu, Sumini mulai bercerita pada Farid. Selain Farid, ada juga suami Sumini, mertua dan dua anaknya yang berusia tujuh dan sebelas tahun.
"Saya tuh kasian sama dia." Dia adalah Sumini yang asli.
"Kenapa kasian?"
"Dia tuh sendirian di sini, gak ada temen. Gak ada yang suka nemenin."
"Kan ada suaminya. Ada anaknya dan ada mertuanya di sini."
"Mereka tidak bisa diharapkan. Kalau ada masalah, dia selalu memendamnya sendiri. Setiap malam dia nangis sendirian, makanya aku menemani."
"Kamu datang sendiri berarti, bukan disuruh orang?"
"Iya. Saya datang sendiri karena kasian. Saya mau menemani dia di sini."
"Jangan ... itu salah. Kamu makan apa selama di dalam?"
Sumini terdiam.
"Ayo katakan, kamu gak mungkin gak makan kan?"
"Yang merah dan yang suka bunyi."
Farid mengerutkan keningnya.
"Bunyi deg deg deg, gitu bukan?" tanya Iwan.
Sumini mengangguk.
"Tau gak, gara-gara kamu makan itu, Sumini jadinya sering sakit dada. Dia bahkan hampir pingsan gara-gara kamu."
Sumini menunduk kepala. Sepertinya 'Sumini' menyesal.
"Sekarang ikut saya aja. Nanti ada yang akan jemput kamu ke sini. Mau?"
"Gak mau. Kalau saya pergi, nanti dia sendirian."
"Ada suaminya kok. Dia yang lebih berhak dan pantas menjadi temannya, bukan kamu."
"Dia?" tanya Sumini sambil menunjuk suaminya.
Farid mengangguk.
"Apa yang bisa diharapkan dari dia? baik kalau lagi ingin anu di kamar. Setelahnya seperti orang asing, sibuk main apa itu yang dipegang panjang, nyala."
"Hp?"
"Iya. Dia tidak pernah mau bantu istrinya. Istrinya sakit juga sibuk aja main hp. Belum lagi dua orang tua itu." Sumini menunjuk mertua Sumini.
"Mereka bisanya cuma komplain. Rumah berantakan diomong, ini diomong itu diomongin. Padahal Sumini sakit juga tetap harus bekerja. Bisanya ngoreksi tapi gak pernah muji. Suaminya? Pernah dia belain? enggak!"
"Nanti suaminya berubah kok. Mulai hari ini dia akan menjaga Sumini, belain dia dan perhatian sama Sumini. Kamu sekarang keluar. Percuma di dalam juga kalau Sumini kesakitan."
"Bukan sakit sama aku. Sama suaminya."
"Udah, kamu udah terlalu lama di sana. Kalau gak mau masuk Islam sama saya, kamu akan saya hancurkan. Mau?"
Sumini menggelengkan kepala.
"Ikhlaskan hatinya, ikuti ucapan saya."
Dengan diskusi yang alot dan rayuan yang menguras kesabaran, akhirnya dia yang ada di tubuh Sumini pun mengucapkan syahadat dan berhasil dikeluarkan.
Sumini yang sesungguhnya sudah sadar. Dia sudah menjadi seutuhnya Sumini.
Setelah diberi minum dan istirahat beberapa menit, Sumini benar-benar sadar. Dia beristigfar sambil menitikkan air mata.
"Bagaimana perasaannya sekarang, Bu?" tanya Farid.
"Alhamdulillah enakan. Dada saya udah gak sesek dan sakit lagi."
"Alhamdulillah."
Mereka terdiam untuk sesaat. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Jadi, begini. Salah satu yang disukai bang jin adalah mereka yang memiliki perasaan yang lemah dan rapuh. Maksudnya bukan berarti gak boleh sedih dan menangis, hanya saja jangan terlalu baperan. Dalam artian baper itu ya jangan sedih yang berlebih, jangan di dramtisir lah gitu ya."
"Iya ustadz. Saya biasanya sering banget nangis kalau malem. Suka sedih aja gitu bawaannya. Kadang saya suka bicara sendiri tapi berasa sedang bicara sama seseorang."
"Iya, Bu. Yang ngajak ibu ngobrol diluar alam bawah sadar ibu ya itu. Dia yang nempel di raga ibu."
"Habisnya saya bingung pak ustad." Sumini menangis.
"Saya tinggal di sini, ikut suami. Keluarga saya jauh, ibu saya jauh. Kalau ada masalahnya dan curhat sama suami, dia malah suka marah dan gak terima, kalau ada masalah dengan keluarga selalu saya yang disuruh mengalah, suruh sabar terus."
Sumini menangis sesenggukan.
"Ibu boleh sedih, ibu boleh marah tapi jangan salah melampiaskan. Jika kita sedang sedih, sedang marah, coba datang dan memohon pada Allah. Iya memang, Allah tidak bisa kita ajak diskusi seperti apa yang kita lakukan saat ini, tapi pertolongan Allah itu akan datang dengan cara apa saja. Dia akan mendatangkan seseorang yang mungkin bisa mengerti diri ibu, atau bisa membuat hati suami ibu menjadi lembut. Wallahu alam."
Sumini semakin sesenggukan.
"Ini untuk bapak. Untuk kita semua sebenarnya karena saya juga seorang suami. Pak, tugas kita itu bukan hanya mencukupi nafkah saja. Mentang-mentang udah ngasih uang dapur dan jajan, lalu kita lepas tanggung jawab, enggak. Bukan begitu. Istri itu adalah wanita yang kita minta kepada orang tuanya, bersaksi di hadapan orang banyak dan membuat janji dengan Allah untuk menjaga jiwa dan raganya. Kadang, mereka itu gak butuh nasihat atau solusi kok, cukup dengarkan saja apa yang menjadi unek-uneknya. Kita memang lelah bekerja, tapi sesungguhnya pekerjaan istri itu jauh lebih berat, Pak. Gak percaya? Bapak coba saja jadi istri selama tiga hari, mau?"
Suami Sumini menggelengkan kepala. Tentu saja dia tidak mau. Melihat rumah berantakan saja dia tidak suka, belum lagi melihat anaknya bertengkar. Di sisi lain dia juga harus makan, memberi makan pada anaknya. Mengurus pakai mereka. Membayangkan saja membuat suami Sumini merasa sakit kepala.
"Istri itu tulang rusuk bagi suami. Bapak tau artinya tulang rusuk? Tau fungsi tulang rusuk?"
Tentu saja suami Sumini tidak tahu, jika dia tahu maka dia tidak akan membiarkan istrinya sendirian di saat masalah datang menerpa.
"Ini, Pak." Farid menunjukkan dadanya.
"Ini adalah tukang rusuk, di dalam sini juga ada jantung, hari, dan beberapa organ yang fatal jika tidak dilindungi. Artinya, istri itu sebenarnya melindungi bapak, jika istri rusak maka bapak juga akan hancur. Dia bengkok, kalau dipaksa lurus maka akan patah, bisa jadi patahannya itu melukai jantung bapak."
Suami Sumini tersenyum karena dia tidak mengerti apa yang Farid ucapakan.
"Begini, Pak. Kalau istri bapak sakit, bagaimana keadaan rumah?"
"Wah, udah gak karuan ustad. Berantakan, anak gak keurus, makanan saya minta ke orang tua. Rumah kotor."
Farid mengangguk pelan sambil tersenyum, berusaha memberitahu bahwa itulah yang Farid maksud. Menjelaskan bahwa apa yang dikatakan oleh suami Sumini itulah yang harus dia perhatikan.
"Jadi mengerti sekarang ya, Pak?"
Suami Sumini tersenyum kaku, dia menjawab pertanyaan sendiri. Merasa malu dan menyesal.
"Kalau sudah mengerti, dan semuanya sudah kembali seperti semula, saya mohon pamit. Bu, ibu jangan terlalu bersedih ya jika ada apa-apa. Jangan merasa sendiri saat ada masalah. Jika saat ibu butuh teman untuk curhat tapi tidak satu orang pun yang mengerti, itu artinya Allah ingin ibu curhat sama Allah. Kangen Allah diajak ngobrol dan mengadu sama ibu."
Rasa sedih, ingat akan semua beban masalah terutama pada dosa yang telah diperbuat membuat Sumini menangis pilu. Tak hentinya dia beristigfar dalam hati. Berharap dia Allah mengampuni.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!