TAKDIR CINTA

TAKDIR CINTA

Kembalinya masa lalu

Semilir angin berhembus kencang, Hanafis berdiri di tepi pantai menanti sang permaisuri yang sebentar lagi akan datang. Hatinya bimbang dan sakit, ia tidak sanggup mengatakan sesuatu yang akan membuat wanitanya terluka.

"Assalamualaikum Habibi..!"

Senyum merekah terbit di bibir Zahwa, ia berdiri tepat di belakang pujangganya. Ia begitu bahagia bisa bertemu dengan Habibi nya, lelaki yang selalu dia sebut dalam bait doanya di sepertiga malam.

"Wa'alaikumsalam cinta...!"

Hanafis berbalik badan menatap Zahwa yang berdiri tidak jauh darinya, lalu ia kembali menatap sang mentari yang mulai tenggelam ke dasarnya. Zahwa tidak bersama Hanafis saja disana tapi ia di teman Rahel sahabatnya.

"Hanafis, ada apa? Kenapa meminta ku untuk datang kesini".

Zahwa bertanya pada Hanafis, ia berjalan ke bibir pantai untuk bisa menyamai Hanafis yang kini berdiri di pinggir pantai. Sesekali suara ombak terdengar jelas memecahkan kesunyian di antara mereka berdua.

"Zahwa besok aku pulang, mungkin kita tidak bisa bertemu lagi."

Hanafis menatap datar ke depan, ia enggan menatap raut wajah Khumairanya yang dia tahu akan terkejut dengan ucapannya.

"Kenapa secepat ini?"

Zahwa menoleh ke arah Hanafis, lalu kembali menatap ke depan. Ia merasa sesuatu yang ingin di katakan oleh Hanafis, bisa di lihat dari cara ia berbicara tanpa mau menoleh ke arah Zahwa.

"Aku sudah di jodohkan dengan perempuan lain oleh kedua orang tuaku dan aku tidak bisa menolaknya."

Kejujuran Hanafis membuat Zahwa terkejut, seketika ia diam tanpa berbicara. Hatinya sakit, hatinya hancur dan lidahnya kelu untuk bisa berbicara saja ia pun tak sanggup.

Zahwa memalingkan wajahnya, air matanya yang jatuh segera mungkin ia hapus. Ia harus kuat, kuat untuk menerima semua yang terjadi.

Tak bisa di pungkiri kalau hatinya merasa sakit, harapannya untuk bersama hanya buaian semata. Tak ada cinta yang hakiki selain cinta pada alam semesta.

"Jika itu adalah keputusan mu, pergilah! Aku ikhlas, semoga bahagia bersamanya."

2 tahun kemudian....

Angin berhembus kencang di sore hari. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Deburan ombak menghantam karang dan batu. Terdengar jelas di telinga seorang wanita cantik berbalut selendang hijau yang sedang duduk di tepi pantai.

Buih-buih di lautan seakan ikut merasakan pilunya hati yang tak bertuan. Menyembuhkan luka asa dengan menikmati betapa indahnya ciptaan Tuhan. Zahwa tersadar dari lamunannya ketika seseorang memanggil namanya.

"Zahwa ... Zahwa ... !" Seseorang berteriak sambil berlari ke arah gadis yang dipanggilnya.

Si pemilik nama pun bangun dan menatap gadis yang kini tepat berada di belakangnya.

"Rahel, ada apa? Kenapa kamu kemari?"

Zahwa menatap bingung pada sang sahabat. Tidak biasanya gadis manis itu berlari kalau tidak ada sesuatu yang terjadi dengannya. Namun, dari raut wajah Rahel, ia menangkap ada sesuatu yang ingin di sampaikan.

"Dia kembali, Wa! Dia sudah kembali?"

Rahel tersenyum menatap sahabatnya. Mereka bertemu pertama kalinya di pesantren Darussalam dan kini menjadi sahabat layaknya kakak dan adik, berteman bagaikan ulat menjadi kupu-kupu.

"Siapa yang kembali?"

Zahwa bingung dengan ucapan Rahel. Ia tidak mengerti dengan maksud perkataan sahabatnya itu.

Bukannya menjelaskan siapa yang kembali, Rahel malah menarik tangan Zahwa untuk kembali ke ponpes melalui pintu belakang.

Pintu belakang asrama santri putri terhubung langsung dengan laut. Jika kita membuka pintunya maka kita akan bisa melihat ombak air laut dari jauh yang hanya berkisar 25 meter dari ponpes. Bahkan saat malam tiba, suara deburan ombak terdengar jelas di telinga para santri.

"Sudah, nanti kamu juga tahu siapa yang kembali?" Rahel tersenyum dan terus menarik tangan Zahwa. Membawanya ke depan Asrama putri yang hanya di batasi pintu gerbang antara laki-laki dan perempuan.

"Ustad Hanafis sudah kembali, Wa!" Seru Rahel membuat Zahwa melihat ke arah tiga orang laki-laki yang sedang berbicara. Salah satu dari mereka adalah Hanafis, ustad yang banyak di gandrungi santriwati karena suaranya yang merdu dan memiliki pemahaman dalam ilmu agama.

Jantungnya berdegup kencang seperti ombak yang saling bekejaran di bibir pantai. Lelaki yang pernah mengisi hatinya kini kembali di saat dia sudah menata hati dan menghilangkan luka asa yang di berikan olehnya dua tahun yang lalu.

"Ayo, kita kembali ke asrama! Tidak enak di lihat sama yang lain."

Zahwa menarik tangan Rahel untuk kembali ke asrama. Ia tidak ingin mengingat lagi tentang masa lalunya. Semua sudah hilang semenjak kepergian laki-laki itu ke Khairo dua tahun yang lalu.

Dari jauh, Hanafis melihat Zahwa saat berbalik kembali ke asrama. Darahnya berdesir hebat. Cinta itu masih sama seperti dua tahun yang lalu. Tidak berubah hanya waktu yang telah merubah segalanya.

'Zahwa ... Kamu masih disini?' batin Hanafis.

"Ustad Hanafis, engkau sudah kembali?" Seseorang menegur Hanafis dari jauh.

"Akhi Khairil, sudah lama kita tidak bertemu! Baru satu jam yang lalu saya tiba disini."

Mereka pun berjabat tangan dan saling tersenyum, sedangkan dua lelaki tadi sudah pergi meninggalkan mereka berdua.

"Dimana istri Ustad? Kok tidak mengajaknya kesini?" tanya Akhi Khairil.

"Saya tidak jadi menikah!"

Kejujuran Hanafis membuat Akhi Khairil terkejut. Dulu ia tersohor di pesantren. Pulang karena ingin menikah, tapi kenapa yang di katakannya malah berbeda.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ustadz?" tanya Akhi Khairil.

"Ceritanya panjang. Bahkan tidak cukup punya waktu jika saya ceritakan sekarang!" Hanafis berkata sambil mengingat tentang pernikahannnya yang gagal. Namun, ia sangat bersyukur tidak jadi menikah dengan wanita yang di jodohkan oleh orang tuanya.

"Baiklah, sebaiknya kita ke kamar saja."

Akhi Khairil mengajak Hanafis ke kamarnya, ia sangat tahu jika temannya butuh untuk istirahat karena perjalanan yang sangat jauh.

Di dalam kamar, Zahwa memikirkan kembalinya Hanafis ke dalam pesantren. Dua tahun lamanya, kini ia kembali mengingat luka lama tentang perpisahan dengan luka yang menganga.

*****

Azan berkumandang dengan indah, suara Muazin terdengar sangat merdu. Suara yang sangat familiar terdengar menggema di Dayah pondok pesantren Darussalam. Semua para santriwati bertanya-tanya siapa pemilik suara tersebut.

"Zahwa, kamu dengar suara azan itu?" Tanya Rahel yang sedang memakai mukena untuk pergi shalat berjamaah.

"Memangnya kenapa? Bukannya azan memang selalu begitu tidak berubah," kata Zahwa mengambil mukena yang di gantung di dalam lemarinya, Rahel yang selesai berjalan ke arah temannya dan membisikkan sesuatu.

"Suara itu sepertinya suara Hanafis,"

Perkataan Rahel membuat Zahwa terdiam, menyimak setiap bait azan yang di lantunkan sedangkan para santri sudah berada di mesjid, duduk mendengar azan.

"Mana mungkin suara Hanafis, mungkin saja suara ustadz Fakhrul," kata Zahwa, ia tidak ingat mengingat tentang Hanafis. Selama ini dia sudah berusaha menata hati dan kini ia kembali di saat semua sudah baik-baik saja.

"No, aku sangat yakin jika itu suara Hanafis."

"Kenapa kamu begitu yakin, Rahel?"

"Karena dia pasti akan membawa shalawat yang sering dia bawakan dua tahun yang lalu,"

Zahwa kembali menatap Rahel tak percaya, bagaimana mungkin sahabatnya lebih mengenal suara Hanafis padahal dulu dari jauh saja ia bisa mengenali suara Hanafis tanpa melihatnya.

"Rahel--,"

Allahumma shalli ala

Sayyidina muhammadin bihi.

Yahsullana...kululmuna....

Yahsullana.... kululmuna....

"Apa kamu ingat shalawat yang selalu di bawakan olehnya dua tahun yang lalu?"

Rahel terus mengingatkan tentang Hanafis, jantung Zahwa kembali berpacu saat mendengar shalawat yang begitu indah. Pikirannya berputar pada kejadian dua tahun yang lalu tapi sayang bayangan itu hilang bersama tepukan Rahel di pundaknya.

"Zahwa kamu kenapa?" tanya Rahel.

"Ah tidak apa-apa! Tolong jangan bahas lagi apapun tentangnya, aku sudah melupakannya Rahel kau lebih tahu tentang aku,"

Zahwa mengingatkan Rahel untuk tidak menyebutkan nama Hanafis, baginya Hanafis adalah masa lalu dan dia datang kembali ke pesantren mungkin saja ada hal yang penting.

"Kamu bener, Wa! Aku minta maaf karena terlalu semangat untuk hal ini!" Seru Rahel meminta maaf sembari tersenyum.

"Iya, gak papa! Ayo kita ke mesjid nanti masbuk lhoe," kata Zahwa, Rahel menganguk lalu mereka berdua bersama-sama ke mesjid untuk ikut shalat berjamaah dengan santri yang lain.

Usai shalat berjamaah, semua santri kembali ke asrama masing-masing dengan kamar berbeda-beda, Ada asrama Rayon dan ada yang tinggal di asrama bunda yang sengaja di sematkan namanya menjadi sebuah nama Asrama.

Zahwa melepaskan mukena lalu kembali melipat dan menggantungnya di dalam lemari, ia kembali memakaikan kerudung lalu keluar bersama Rahel untuk makan ke dapur umum.

"Kak Sisil, makan yok?" Ajak Rahel.

Sisil yang sedang duduk di depan lemarinya menoleh ke asal suara.

"Aku sudah makan tadi, kalian aja yang makan tapi jangan lama-lama nanti terlambat naik ngajinya," kata Sisil.

Dia tidak ikut berjamaah karena datang bulan, ia menghabiskan waktunya dengan membaca kitab sambil menunggu waktunya mengaji

"Ya sudah, kalau begitu kita makan dulu ya?" Kata Rahel diikuti oleh Zahwa, dapur umum berada di depan kamar mereka dan jauh hanya sekitar 7 meter dari kamar mereka.

Zahwa dan Rahel makan dengan lahap, di asrama ini ada kakak asrama yang sudah menjadi dewan guru tinggal bersama mereka di asrama rayon dengan kamar khusus untuk dewan guru.

Usai makan, Zahwa dan Rahel kembali ke kamar menggantikan pakaiannya dengan baju yang lebih panjang untuk pergi mengaji. Kini ia sudah berada di kelas tiga dan mengaji kitab i'anah Thalibin.

"Zahwa, asrama mulai sepi kayaknya kita terlambat deh," kata Rahel gadis hitam manis dengan hidung mancung memakai hijab terlihat sangat cantik. Kini kitab yang berada di dalam lemari sudah beralih ke tangannya.

"Sepertinya begitu! Tapi ustad Ayyub kan selalu terlambat kalau datang, lagian masih ada waktu 15 menit lagi," kata Zahwa mengambil kitab di dalam lemarinya dan kembali menguncinya.

Rahel berjalan cepat, ia memang sudah begitu. Ia paling takut jika terlambat namun tak jauh dari pintu masuk, Rahel membalikkan badan setelah melihat siapa yang ada di dalam kelas melalui jendela. Zahwa berjalan di belakangnya pun berhenti.

"Kok berhenti, kenapa?" tanya Zahwa.

"Di dalam ada Hanafis, Wa!" Kata Rahel.

"Apa! Hanafis ada di kelas kita, ngapain?" tanya Zahwa membulatkan mata meski ia merasakan kembali degup jantung yang berirama.

"Entah, gak tahulah! Ayo kita masuk, kamu gak apa-apa kan," tanya Rahel tak ingin sahabatnya panas dingin melihat cinta di masa lalunya ini semakin mempesona.

"Tidak apa-apa, Ayo!" Kata Zahwa mencoba untuk mengalihkan pemikirannya.

Mereka sampai di depan pintu, ruangan mereka sunyi dan anak-anak pada diam, Rahel melangkah masuk ke dalam lalu disusul Zahwa di belakang.

"Assalamualaikum....!" Zahwa memberikan salam lalu berjalan tanpa menoleh ke arah Hanafis yang dari duduk menatapnya saat berada di depan pintu.

"Wa'alaikumsalam...!" Serentak para santri menjawab salam, Zahwa dan Rahel mulai melangkahkan kakinya menuju meja di belakang.

Hanafis mengalihkan pandangannya karena tak ingin ingin terus menatap cintanya, ia memang sengaja meminta izin pada ustad Ayyub untuk masuk ke kelas 3c dan kebetulan Ustad Ayyub ada halangan tidak bisa mengajar sehingga menjadi kesempatan emas bagi Hanafis.

🍁🍁🍁

Terpopuler

Comments

Ahmad Affa

Ahmad Affa

Bismillah hadir thor...... 🥰

2022-12-14

1

Khayra

Khayra

terimakasih kak😊😊

2022-12-12

0

Nana Shin

Nana Shin

semangat, sekuntum mawar untukmu.

2022-12-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!