NovelToon NovelToon

TAKDIR CINTA

Kembalinya masa lalu

Semilir angin berhembus kencang, Hanafis berdiri di tepi pantai menanti sang permaisuri yang sebentar lagi akan datang. Hatinya bimbang dan sakit, ia tidak sanggup mengatakan sesuatu yang akan membuat wanitanya terluka.

"Assalamualaikum Habibi..!"

Senyum merekah terbit di bibir Zahwa, ia berdiri tepat di belakang pujangganya. Ia begitu bahagia bisa bertemu dengan Habibi nya, lelaki yang selalu dia sebut dalam bait doanya di sepertiga malam.

"Wa'alaikumsalam cinta...!"

Hanafis berbalik badan menatap Zahwa yang berdiri tidak jauh darinya, lalu ia kembali menatap sang mentari yang mulai tenggelam ke dasarnya. Zahwa tidak bersama Hanafis saja disana tapi ia di teman Rahel sahabatnya.

"Hanafis, ada apa? Kenapa meminta ku untuk datang kesini".

Zahwa bertanya pada Hanafis, ia berjalan ke bibir pantai untuk bisa menyamai Hanafis yang kini berdiri di pinggir pantai. Sesekali suara ombak terdengar jelas memecahkan kesunyian di antara mereka berdua.

"Zahwa besok aku pulang, mungkin kita tidak bisa bertemu lagi."

Hanafis menatap datar ke depan, ia enggan menatap raut wajah Khumairanya yang dia tahu akan terkejut dengan ucapannya.

"Kenapa secepat ini?"

Zahwa menoleh ke arah Hanafis, lalu kembali menatap ke depan. Ia merasa sesuatu yang ingin di katakan oleh Hanafis, bisa di lihat dari cara ia berbicara tanpa mau menoleh ke arah Zahwa.

"Aku sudah di jodohkan dengan perempuan lain oleh kedua orang tuaku dan aku tidak bisa menolaknya."

Kejujuran Hanafis membuat Zahwa terkejut, seketika ia diam tanpa berbicara. Hatinya sakit, hatinya hancur dan lidahnya kelu untuk bisa berbicara saja ia pun tak sanggup.

Zahwa memalingkan wajahnya, air matanya yang jatuh segera mungkin ia hapus. Ia harus kuat, kuat untuk menerima semua yang terjadi.

Tak bisa di pungkiri kalau hatinya merasa sakit, harapannya untuk bersama hanya buaian semata. Tak ada cinta yang hakiki selain cinta pada alam semesta.

"Jika itu adalah keputusan mu, pergilah! Aku ikhlas, semoga bahagia bersamanya."

2 tahun kemudian....

Angin berhembus kencang di sore hari. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Deburan ombak menghantam karang dan batu. Terdengar jelas di telinga seorang wanita cantik berbalut selendang hijau yang sedang duduk di tepi pantai.

Buih-buih di lautan seakan ikut merasakan pilunya hati yang tak bertuan. Menyembuhkan luka asa dengan menikmati betapa indahnya ciptaan Tuhan. Zahwa tersadar dari lamunannya ketika seseorang memanggil namanya.

"Zahwa ... Zahwa ... !" Seseorang berteriak sambil berlari ke arah gadis yang dipanggilnya.

Si pemilik nama pun bangun dan menatap gadis yang kini tepat berada di belakangnya.

"Rahel, ada apa? Kenapa kamu kemari?"

Zahwa menatap bingung pada sang sahabat. Tidak biasanya gadis manis itu berlari kalau tidak ada sesuatu yang terjadi dengannya. Namun, dari raut wajah Rahel, ia menangkap ada sesuatu yang ingin di sampaikan.

"Dia kembali, Wa! Dia sudah kembali?"

Rahel tersenyum menatap sahabatnya. Mereka bertemu pertama kalinya di pesantren Darussalam dan kini menjadi sahabat layaknya kakak dan adik, berteman bagaikan ulat menjadi kupu-kupu.

"Siapa yang kembali?"

Zahwa bingung dengan ucapan Rahel. Ia tidak mengerti dengan maksud perkataan sahabatnya itu.

Bukannya menjelaskan siapa yang kembali, Rahel malah menarik tangan Zahwa untuk kembali ke ponpes melalui pintu belakang.

Pintu belakang asrama santri putri terhubung langsung dengan laut. Jika kita membuka pintunya maka kita akan bisa melihat ombak air laut dari jauh yang hanya berkisar 25 meter dari ponpes. Bahkan saat malam tiba, suara deburan ombak terdengar jelas di telinga para santri.

"Sudah, nanti kamu juga tahu siapa yang kembali?" Rahel tersenyum dan terus menarik tangan Zahwa. Membawanya ke depan Asrama putri yang hanya di batasi pintu gerbang antara laki-laki dan perempuan.

"Ustad Hanafis sudah kembali, Wa!" Seru Rahel membuat Zahwa melihat ke arah tiga orang laki-laki yang sedang berbicara. Salah satu dari mereka adalah Hanafis, ustad yang banyak di gandrungi santriwati karena suaranya yang merdu dan memiliki pemahaman dalam ilmu agama.

Jantungnya berdegup kencang seperti ombak yang saling bekejaran di bibir pantai. Lelaki yang pernah mengisi hatinya kini kembali di saat dia sudah menata hati dan menghilangkan luka asa yang di berikan olehnya dua tahun yang lalu.

"Ayo, kita kembali ke asrama! Tidak enak di lihat sama yang lain."

Zahwa menarik tangan Rahel untuk kembali ke asrama. Ia tidak ingin mengingat lagi tentang masa lalunya. Semua sudah hilang semenjak kepergian laki-laki itu ke Khairo dua tahun yang lalu.

Dari jauh, Hanafis melihat Zahwa saat berbalik kembali ke asrama. Darahnya berdesir hebat. Cinta itu masih sama seperti dua tahun yang lalu. Tidak berubah hanya waktu yang telah merubah segalanya.

'Zahwa ... Kamu masih disini?' batin Hanafis.

"Ustad Hanafis, engkau sudah kembali?" Seseorang menegur Hanafis dari jauh.

"Akhi Khairil, sudah lama kita tidak bertemu! Baru satu jam yang lalu saya tiba disini."

Mereka pun berjabat tangan dan saling tersenyum, sedangkan dua lelaki tadi sudah pergi meninggalkan mereka berdua.

"Dimana istri Ustad? Kok tidak mengajaknya kesini?" tanya Akhi Khairil.

"Saya tidak jadi menikah!"

Kejujuran Hanafis membuat Akhi Khairil terkejut. Dulu ia tersohor di pesantren. Pulang karena ingin menikah, tapi kenapa yang di katakannya malah berbeda.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ustadz?" tanya Akhi Khairil.

"Ceritanya panjang. Bahkan tidak cukup punya waktu jika saya ceritakan sekarang!" Hanafis berkata sambil mengingat tentang pernikahannnya yang gagal. Namun, ia sangat bersyukur tidak jadi menikah dengan wanita yang di jodohkan oleh orang tuanya.

"Baiklah, sebaiknya kita ke kamar saja."

Akhi Khairil mengajak Hanafis ke kamarnya, ia sangat tahu jika temannya butuh untuk istirahat karena perjalanan yang sangat jauh.

Di dalam kamar, Zahwa memikirkan kembalinya Hanafis ke dalam pesantren. Dua tahun lamanya, kini ia kembali mengingat luka lama tentang perpisahan dengan luka yang menganga.

*****

Azan berkumandang dengan indah, suara Muazin terdengar sangat merdu. Suara yang sangat familiar terdengar menggema di Dayah pondok pesantren Darussalam. Semua para santriwati bertanya-tanya siapa pemilik suara tersebut.

"Zahwa, kamu dengar suara azan itu?" Tanya Rahel yang sedang memakai mukena untuk pergi shalat berjamaah.

"Memangnya kenapa? Bukannya azan memang selalu begitu tidak berubah," kata Zahwa mengambil mukena yang di gantung di dalam lemarinya, Rahel yang selesai berjalan ke arah temannya dan membisikkan sesuatu.

"Suara itu sepertinya suara Hanafis,"

Perkataan Rahel membuat Zahwa terdiam, menyimak setiap bait azan yang di lantunkan sedangkan para santri sudah berada di mesjid, duduk mendengar azan.

"Mana mungkin suara Hanafis, mungkin saja suara ustadz Fakhrul," kata Zahwa, ia tidak ingat mengingat tentang Hanafis. Selama ini dia sudah berusaha menata hati dan kini ia kembali di saat semua sudah baik-baik saja.

"No, aku sangat yakin jika itu suara Hanafis."

"Kenapa kamu begitu yakin, Rahel?"

"Karena dia pasti akan membawa shalawat yang sering dia bawakan dua tahun yang lalu,"

Zahwa kembali menatap Rahel tak percaya, bagaimana mungkin sahabatnya lebih mengenal suara Hanafis padahal dulu dari jauh saja ia bisa mengenali suara Hanafis tanpa melihatnya.

"Rahel--,"

Allahumma shalli ala

Sayyidina muhammadin bihi.

Yahsullana...kululmuna....

Yahsullana.... kululmuna....

"Apa kamu ingat shalawat yang selalu di bawakan olehnya dua tahun yang lalu?"

Rahel terus mengingatkan tentang Hanafis, jantung Zahwa kembali berpacu saat mendengar shalawat yang begitu indah. Pikirannya berputar pada kejadian dua tahun yang lalu tapi sayang bayangan itu hilang bersama tepukan Rahel di pundaknya.

"Zahwa kamu kenapa?" tanya Rahel.

"Ah tidak apa-apa! Tolong jangan bahas lagi apapun tentangnya, aku sudah melupakannya Rahel kau lebih tahu tentang aku,"

Zahwa mengingatkan Rahel untuk tidak menyebutkan nama Hanafis, baginya Hanafis adalah masa lalu dan dia datang kembali ke pesantren mungkin saja ada hal yang penting.

"Kamu bener, Wa! Aku minta maaf karena terlalu semangat untuk hal ini!" Seru Rahel meminta maaf sembari tersenyum.

"Iya, gak papa! Ayo kita ke mesjid nanti masbuk lhoe," kata Zahwa, Rahel menganguk lalu mereka berdua bersama-sama ke mesjid untuk ikut shalat berjamaah dengan santri yang lain.

Usai shalat berjamaah, semua santri kembali ke asrama masing-masing dengan kamar berbeda-beda, Ada asrama Rayon dan ada yang tinggal di asrama bunda yang sengaja di sematkan namanya menjadi sebuah nama Asrama.

Zahwa melepaskan mukena lalu kembali melipat dan menggantungnya di dalam lemari, ia kembali memakaikan kerudung lalu keluar bersama Rahel untuk makan ke dapur umum.

"Kak Sisil, makan yok?" Ajak Rahel.

Sisil yang sedang duduk di depan lemarinya menoleh ke asal suara.

"Aku sudah makan tadi, kalian aja yang makan tapi jangan lama-lama nanti terlambat naik ngajinya," kata Sisil.

Dia tidak ikut berjamaah karena datang bulan, ia menghabiskan waktunya dengan membaca kitab sambil menunggu waktunya mengaji

"Ya sudah, kalau begitu kita makan dulu ya?" Kata Rahel diikuti oleh Zahwa, dapur umum berada di depan kamar mereka dan jauh hanya sekitar 7 meter dari kamar mereka.

Zahwa dan Rahel makan dengan lahap, di asrama ini ada kakak asrama yang sudah menjadi dewan guru tinggal bersama mereka di asrama rayon dengan kamar khusus untuk dewan guru.

Usai makan, Zahwa dan Rahel kembali ke kamar menggantikan pakaiannya dengan baju yang lebih panjang untuk pergi mengaji. Kini ia sudah berada di kelas tiga dan mengaji kitab i'anah Thalibin.

"Zahwa, asrama mulai sepi kayaknya kita terlambat deh," kata Rahel gadis hitam manis dengan hidung mancung memakai hijab terlihat sangat cantik. Kini kitab yang berada di dalam lemari sudah beralih ke tangannya.

"Sepertinya begitu! Tapi ustad Ayyub kan selalu terlambat kalau datang, lagian masih ada waktu 15 menit lagi," kata Zahwa mengambil kitab di dalam lemarinya dan kembali menguncinya.

Rahel berjalan cepat, ia memang sudah begitu. Ia paling takut jika terlambat namun tak jauh dari pintu masuk, Rahel membalikkan badan setelah melihat siapa yang ada di dalam kelas melalui jendela. Zahwa berjalan di belakangnya pun berhenti.

"Kok berhenti, kenapa?" tanya Zahwa.

"Di dalam ada Hanafis, Wa!" Kata Rahel.

"Apa! Hanafis ada di kelas kita, ngapain?" tanya Zahwa membulatkan mata meski ia merasakan kembali degup jantung yang berirama.

"Entah, gak tahulah! Ayo kita masuk, kamu gak apa-apa kan," tanya Rahel tak ingin sahabatnya panas dingin melihat cinta di masa lalunya ini semakin mempesona.

"Tidak apa-apa, Ayo!" Kata Zahwa mencoba untuk mengalihkan pemikirannya.

Mereka sampai di depan pintu, ruangan mereka sunyi dan anak-anak pada diam, Rahel melangkah masuk ke dalam lalu disusul Zahwa di belakang.

"Assalamualaikum....!" Zahwa memberikan salam lalu berjalan tanpa menoleh ke arah Hanafis yang dari duduk menatapnya saat berada di depan pintu.

"Wa'alaikumsalam...!" Serentak para santri menjawab salam, Zahwa dan Rahel mulai melangkahkan kakinya menuju meja di belakang.

Hanafis mengalihkan pandangannya karena tak ingin ingin terus menatap cintanya, ia memang sengaja meminta izin pada ustad Ayyub untuk masuk ke kelas 3c dan kebetulan Ustad Ayyub ada halangan tidak bisa mengajar sehingga menjadi kesempatan emas bagi Hanafis.

🍁🍁🍁

Bertemu kembali

Zahwa dan Rahel duduk di bangku belakang. Melihat itu Hanafis menghembuskan nafas dengan kasar. Rasanya sesak melihat cintanya seakan tak mengenali dirinya. Padahal dulu mereka begitu dekat bahkan hampir saja merajut asa, tapi sayangnya perpisahan menyebabkan dua hati terbelenggu.

Meskipun Zahwa memungkiri bahwa rasa itu pernah ada. Padahal sesungguhnya cinta itu masih tertinggal walaupun bertahun-tahun lamanya. Zahwa hanya diam dan tak mau menoleh ke depan. Apalagi matanya beradu pandang dengan mata Hanafis, ia segera memalingkan muka.

"Ustad, kenapa ustadz Ayyub gak datang?" Salah satu teman Hasna dan Zahwa bertanya. Meskipun pendiam, Lida lebih sedikit cerewet dari pada Rahel dan Sisil yang kadang bersikap seperti anak kecil.

"Beliau ada kesibukan sehingga tidak bisa mengajar dan menyuruh saya untuk menggantikan beliau." Hanafis mengelak dan sengaja berbohong.

Zahwa dan Rahel saling tatap. Mereka tidak berbicara apalagi atau bertanya pada Hanafis.

"Zahwa, Hanafis wajahnya datar kayak papan triplek bikin takut tau gak?" Bisik Rahel. Membuat Zahwa sekilas menoleh kembali depan.

Ruangan tersebut terdengar hening karena tak ada yang bicara juga tak ada pula raut wajah ramah dari Hanafis. Laki-laki itu tampak datar di depan para santriwati. Mereka yang biasanya bercanda malah merasa tegang karena takut melihat wajah pria yang ada di depan mereka.

"Nama, ustad siapa?"

Ulfa melontarkan pertanyaan yang membuat ruangan kembali riuh. Ia masih kecil berumur 14 tahun tapi bersikap seperti layaknya orang dewasa. Kadang Sisil sering mengejeknya karena ia mudah marah.

"Cie ... Ulfa ...!"

Semua anak-anak menyoraki Ulfa. Zahwa yang tadi diam ikut tersenyum melihat tingkahnya. Hanafis yang duduk di depan sedikit kesal karena takut mengganggu kelas yang lain.

"Apa kalian mau tahu nama saya?"

"Iya. Ustadz sudah masuk ke kelas kami jadi kami harus tahu siapa nama ustadz," kata Lida. Gadis itu berterus terang. Hanafis memang sengaja mengajak mereka berbicara untuk memancing Zahwa, tapi sayang wanita itu bungkam seribu bahasa.

"Nama saya Aidil Hanafis."

"Orang mana ustad?" Di antara mereka kembali bertanya.

"Banda Aceh! Ada pertanyaan lagi? Kalau tidak kita mulai mengaji dan sekarang buka kitab kalian." Hanafis berkata datar bagaikan es di kutub Utara. Semua murid membuka kitab karena tidak ada lagi yang bertanya.

Zahwa masih saja diam meski ia penasaran untuk apa Hanafis masuk ke kelas mereka atau itu hanya akal-akalannya saja. Tidak ingin berpikir terlalu panjang, Zahwa membuka kitab dan mulai mengaji bersama yang lain.

******

Suasana malam terasa dingin. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Semua santri baru saja selesai mengaji dan kembali ke asrama masing-masing. Zahwa pun meletakkan kitabnya ke tempat semula lalu mengganti pakaiannya.

"Rahel, kamu kenal gak sama ustadz Hanafis?" tanya Lida. Ia paling suka kalau ngegosip apalagi jika pembahasannya mengenai ustad - ustad tampan.

"Memangnya kenapa?" Rahel bertanya balik.

"Gak kenapa sih! Tapi aku lihatnya. Dari tadi ustadz Hanafis liat ke belakang terus.” Lida penasaran.

"Ah, itu cuma perasaan kamu saja. Tidur yuk! Aku ngantuk banget ini." Rahel berkata sambil menggelar kasur tipis miliknya di samping tempat tidur Zahwa.

Sementara Zahwa yang sudah sampai di asrama, langsung merebahkan tubuhnya karena sudah sangat mengantuk. Banyak para santri yang masih berada di luar untuk mengulang kembali pelajaran pada kakak yang lain atau bersenda gurau untuk melepaskan penat.

🍁🍁🍁

Matahari kembali bersinar tanpa malu-malu keluar di balik celah bukit. Zahwa baru saja selesai memasak lalu kembali ke asrama untuk mengambil handuk dan berjalan ke sumur untuk membersihkan dirinya.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh. Masih ada waktu untuk bersantai meregangkan otot yang kaku untuk melanjutkan kembali rutinitas di pesantren.

Membangkitkan semangat untuk terus memahami setiap kalimat juga makna dalam belajar kitab. Awalnya terasa susah, tapi seiring berjalannya waktu pemahaman pun mulai terasah.

"Sil, kamu gak mandi?" Zahwa yang baru saja kembali dari sumur bertanya pada temannya.

Di Asrama rayon hanya memiliki 4 sumur dengan 500 orang dalam satu asrama. Air sumur tersebut tak pernah surut, warnanya sendiri tak seperti air bisa. Agak kekuningan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda sehingga dinamakan “ sumur Thailand ".

"Iya, sebentar lagi Wa! Masih ada waktu kok," kata Sisil. Gadis itu masih asik duduk di atas kabilah di depan asrama bersama Lida.

"Ya sudah, kalau begitu aku duluan, ya. Lagian aku piket nyapu hari ini.” Zahwa berkata sambil berjalan memasuki kamar lalu mengambil baju seragam hitam putih untuk pergi mengaji.

Tiba-tiba saja jantungnya kembali berdetak dan tak biasanya seperti itu. Tak ingin terlambat ia pun bergegas memakai hijab dan pergi ke kelas untuk menyapu.

Karena kurang memperhatikan jalan, Zahwa tak sengaja menabrak seorang ustadz yang lewat untuk mengajar ke kelas yang lain.

"Maaf ustadz, saya tidak sengaja?" Zahwa berkata dengan kepala menunduk. Mundur selangkah demi berjalan kembali ke kelasnya yang tak jauh.

"Zahwa ...!"

Tiba-tiba, jantung Zahwa kembali berdetak dan tak biasanya ia akan seperti ini, tak ingin terlambat ia pun bergegas memakai hijab dan pergi ke kelas untuk menyapu kelasnya.

Naasnya, Zahwa kembali tidak sengaja hampir menabrak seseorang ustad yang juga sedang berjalan untuk mengajar ke kelas yang lain.

"Maaf ustadz, saya tidak sengaja?" kata Zahwa menunduk mundur lalu berjalan ke kelas mereka yang hanya butuh beberapa langkah Lagi.

"Zahwa ...!"

Langkahnya terhenti tat kala mendengar seseorang, ia menoleh ke belakang dan baru sadar jika yang dia tabrak adalah Hanafis.

"Bisakah kita bicara?" tanya Hanafis menatap punggung Zahwa yang hanya beberapa jarak dengannya.

"Tidak ada lagi yang harus di bicarakan Ustad, antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi!" Seru Zahwa.

Hanafis menghembuskan nafas dengan kasar, ia tahu mengapa Zahwa begitu dingin terhadapnya mungkin karena kesalahan yang dia perbuat dua tahun yang lalu.

"Aku masih mencintaimu, Zahwa! Perasaan aku ke kamu masih sama,"

Zahwa bergeming mendengar penuturan Hanafis, bagaimana mungkin Hanafis bisa mengatakan cinta pada dirinya setelah apa yang terjadi di antara mereka berdua.

"Tidak, semenjak hari itu perasaan kita tidak lagi sama!" Kata Zahwa kembali melanjutkan langkah kaki menuju kelasnya.

"Aku tidak jadi menikah, Semua itu karena kamu Wa!" Teriak Hanafis tapi Zahwa tak peduli bahkan tak ingin mendengarkan ucapannya. Menikah atau tidaknya bukan urusannya lagi.

Hanafis terdiam, menatap punggung Zahwa yang terus berjalan. Rasa cinta dan bersalah menghantuinya, ingin ia menjelaskan pada Zahwa tapi tak banyak waktu.

Di dalam kelas, Zahwa memikirkan omongan Hanafis yang mengatakan jika dia tidak jadi menikah kalau tidak jadi menikah maka kenapa dia tidak kembali saat itu juga dan kenapa ia harus kembali setelah dua tahun lamanya, apa yang di sembunyikan Hanafis pada Zahwa.

Jam menuju pukul delapan tiga puluh menit, para santri sudah berada di kelas masing-masing dengan kitab di tangan mereka. Zahwa sudah selesai menyapu kelasnya dan meletakkan air Aqua di meja depan tempat duduk gurunya.

"Rahel.... Sini!" Panggil Zahwa melihat sahabatnya sudah datang sendirian.

"Ada apa, Wa?" Tanya Rahel bingung. Mereka berdiri di depan kelas, menatap para santri yang mulai berjalan menuju kelasnya.

"Tadi aku ketemu Hanafis, ia mengajar di kelas 4A dan kamu tahu gak, dia bilang kalau dia tidak jadi menikah," kata Zahwa membuat Rahel membulatkan matanya, lebih tepatnya dia syok karena ucapan Zahwa.

"Yang bener kamu, Wa! Kok bisa, aku rasa ada sesuatu hal yang menyebabkan dia batal menikah atau bisa saja dia berbohong," kata Rahel tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zahwa.

"Entahlah, aku juga gak tahu! Lagian juga untuk apa dia memberitahu ku padahal kami sudah tidak punya hubunga apa-apa lagi," kata Zahwa berjalan duduk meja di belakang seperti biasanya karena jika ia mengantuk, dia bisa tidur tanpa ketahuan sama gurunya di belakang.

"Mungkin saja dia masih mencintai mu, Wa!" Rahel kembali mengatakan hal sama.

"Tidak mungkin, Ra! Semuanya tidak akan pernah sama meski rasa ini masih ada."

Rahel terdiam, ia sangat mengerti perasaan sahabatnya. Dulu dia begitu terpuruk setelah berpisah dengan Hanafis, cintanya begitu besar untuk Hanafis sehingga membuat Zahwa lupa kalau Allah-lah sebaik-baiknya penjaga.

Namun Rahel yang selalu memberikan dia kekuatan ketika sahabatnya terlalu berharap pada manusia.

Bab 3. Lamaran untuk Zahwa

"Mungkin saja kamu benar, Hel! Ayo duduk di belakang saja soalnya kalau ustad Safari ngajar aku suka ngantuk," kata Zahwa mengajak Rahel ke belakang tempat mereka bisa tidur jika mata mulai mengantuk.

Tiga puluh menit menanti, ustad juga belum datang. Mereka dengan setia masih berada di dalam kelas meski jenuh, memang sudah menjadi kebiasaan ustad Safari datang terlambat sehingga tak menjadi penasaran lagi.

"Pulang Yok, ustad Safari pasti gak datang?" Kata Lida, ia paling bosan kalau menunggu sesuatu yang tak pasti datang. Dari tadi ia uring-uringan sesekali menyela ucapan Sisil.

"Tunggu aja dulu, sebentar lagi juga datang!" Kata Sisil.

"Tapi kakak Sisil...!"

"Tuh Ustad Safari datang!" Kata Sisil bangun begitu juga dengan teman yang lain, Ustad Safari tersenyum manis ke arah anak muridnya. Beliau adalah wali kelas mereka.

"Assalamualaikum...!"

"Wa'alaikumsalam...!"

Para santri menjawab salam setelah itu duduk kembali di tempatnya masing-masing.

"Maaf, saya terlambat datang?" Kata ustad Safari tersenyum.

"Kenapa ustad, hampir saja kami pulang?" Sisil memulai memancing ustad Safari bercerita agar tidak membuka kitab, Kelas 3c di kenal santri paling bandel. Mereka begitu terkenal di sebelah santri laki-laki sehingga ada beberapa guru kewalahan dengan mereka dan ada juga betah meski awalnya bagaikan kutub Utara.

Kekocakan mereka membuat suasana penuh tawa, kadang-kadang mereka tak segan sedikit menjahili jika ada ustad baru yang masuk ke kelas mereka dengan menanyakan nama atau mengajak untuk berbicara.

"Tadi saya terlambat bangun tidur dan lihat jamnya sudah pukul setengah sembilan," kata ustad Safari mulai bercerita, Sisil dan Lida mulai meladeni ustad Safari sedangkan yang lain hanya tertawa sehingga suasana pagi sedikit mengganggu santri yang lain.

********

Matahari sangat terik, Para santriwati kembali ke asrama. Hari ini giliran Zahwa dan Rahel yang berbelanja pesanan mereka, ia hanya menggantikan hijab saja.

"Ada yang mau pesan lagi?" Tanya Zahwa karena sudah ada 10 pesanan di tangannya.

"Sudah... sebagian ada sama Rahel ya!" ujar Lena teman satu kamar tapi tidak sekelas, Zahwa hanya mengangkut lalu berjalan menuju pasar melalui gang sempit di samping rumah tetangga kerena lebih cepat menuju pasar dari lewat jalan yang lain.

Hanya butuh 20 meter dari pesantren menuju pasar sehingga para santri lebih suka berjalan kaki, kadang memang sengaja berlama-lama di pasar agar bisa melihat rumah warga.

"Zahwa, aku kesana dulu soalnya disini gak ada," kata Rahel menuju pesan pada Zahwa, ia hanya mengangguk lalu meninggalkan Zahwa sendiri.

"Bu, Apa ada kantong yang lebih besar?" Tanya Zahwa melihat pesanannya sudah penuh di depannya, ibu tadi mengangguk lalu mengambil kantong yang lebih besar dan mulai memasukkan satu persatu pesanan mereka.

"Terimakasih ya, Bu!" kata Zahwa hendak membalikkan badan tapi dia tak sengaja menabrak seseorang.

Brukk...

"Maaf ustad, saya tidak sengaja!" Zahwa menunduk lalu menggeserkan tubuhnya ke samping hendak memberi jalan untuk ia yang dia tabrak.

"Tidak apa-apa! lain kali hati-hati," kata lelaki tersebut dengan lemah lembut, Zahwa mengangguk lalu meninggalkan lelaki yang dia tabrak tadi. Lelaki tersebut menoleh melihat Zahwa berjalan, ia tersenyum melihat gadis yang membuat ia menarik.

"Kenapa, Wa?" Tanya Rahel selesai berbelanja.

"Gak ada, tadi aku tidak sengaja menabrak seseorang," kata Zahwa.

"Siapa....?"

"Entah, aku juga gak tahu! Ayo, kita pulang nanti takut mereka terlambat masak jika kita lama kali di pasar," kata Zahwa mengambil sebagian kantong kresek yang ads di tangan Rahel.

Setiap hari, para santri mendapat giliran berbelanja punya teman yang lain dan setiap hari hanya boleh dua orang untuk berbelanja. Mereka sampai ke asrama dengan dahaga, rasa haus menyerang tenggorakan mereka.

Jangan tanya bagaimana panasnya tinggal tidak jauh dari laut, tentu sangat panas bahkan keringat mengalir deras. Zahwa mengambil handuk lalu menggantikan baju dengan memakai baju mandi dan kain sarung. Tak lupa jilbab sampai menutupi tangannya, ia berjalan menuju sumur untuk mandi dan di susul oleh santri yang lain.

"Wa, ada orang tuamu di depan?" Kata Rahel yang baru saja berada di depan pintu sumur.

"Apa... Ibuku datang? Kamu temui ibuku sebentar ya soalnya aku belum selesai mandi," kata Zahwa, ia merasa senang karena ibunya datang padahal ia tidak menelepon. Apalagi ia masih ada uang belanja yang berikan oleh orang tuanya seminggu yang lalu.

Setiap seminggu sekali, para orang tua di bolehkan untuk menjenguk putri mereka dan kini Zahwa mandi secepat mungkin Karena ia ingin menghabiskan banyak waktu Ibunya.

Usai mandi dan memakai bajunya, ia Kembali ke kamar meletakkan sabun di depan sumur. Ia langsung berlari ke kamar dan mengganti baju selutut dengan kain sarung sebagai rok.

Dia keluar dari pintu gerbang asrama dan melihat kedua orang tuanya sedang bercengkrama dengan Rahel di atas kabilah tempat bertemunya orang tua dan para santri.

"Ibu, ayah!" Zahwa menyalami kedua orang tuanya dengan takzim, ia tersenyum menatap dua yang begitu ia cintai.

"Bagaimana kabar mu, Nak?" Tanya Bu Henny.

"Baik, Bu! Ibu kesini untuk jenguk Zahwa atau apa ada hal yang lain Bu?" Tanya Zahwa, ia sangat tahu akan kedua orang tuanya. Tidak mungkin datang jika tidak ada kepentingan tanpa memberitahunya dulu.

Ibu dan Ayahnya Zahwa saling menatap seakan ingin berbicara tapi tahu harus memulai dari mana.

"Ada seorang lelaki yang ingin melamar mu, Nak!" Kata Ibunya membuat Zahwa kaget.

"Apa...? Di lamar!" Kata Zahwa syok tapi tidak dengan Rahel, ia malah tersenyum mendengar sahabatnya ada yang lamar.

"Udah, terima aja Wa!" Rahel memprovokasi Zahwa membuat sahabat kesal, beda dengan Bu Henny yang hanya bisa tersenyum melihat tingkah teman putrinya.

"Ibu, aku belum ada keinginan untuk menikah apalagi aku masih ingin menuntut ilmu." Kata Zahwa lembut.

"Zahwa, umur kamu udah 23 tahun loh dan di tempat kita seumuran kamu sudah ada menikah, apa kamu ingin di gunjing orang Nak," kata Ibunya lagi memberi masukkan sedangkan ayah hanya diam, ia tidak bisa ikut campur karena semua tentang kebahagiaan putrinya.

"Ibu, menikah bukan siapa yang cepat dia dapat tapi menikahlah di waktu sudah siap dan tepat, saat ini Zahwa belum memikirkan itu," kata Zahwa menolak lamaran itu, ia sangat yakin jika orang tuanya tidak akan memaksanya untuk menikah.

"Tapi Nak...!"

"Bu, apa yang dikatakan Zahwa benar, kita tidak bisa memaksanya untuk menikah karena yang akan berumah tangga dia bukan kita nantinya," sela pak Andi pada istrinya, Bu Henny menghela napas dan sadar dengan apa yang di katakan suaminya.

"Ya sudah, kalau kamu bilang begitu tapi kamu yakin gak mau lihat dulu lelaki itu?" kata Bu Henny tetap keras menjodohkan putrinya dengan lelaki tampan dan sungguh baik perangainya.

"Tidak, Umi! kalau jodoh kami pasti akan bertemu Ibu tapi kalau tidak jangan paksakan aku Ibu," kata Zahwa.

Rahel hanya diam menjadi pendengar setia di antara mereka, ia sangat paham mengapa Zahwa menolak lamaran itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!