Zahwa dan Rahel duduk di bangku belakang. Melihat itu Hanafis menghembuskan nafas dengan kasar. Rasanya sesak melihat cintanya seakan tak mengenali dirinya. Padahal dulu mereka begitu dekat bahkan hampir saja merajut asa, tapi sayangnya perpisahan menyebabkan dua hati terbelenggu.
Meskipun Zahwa memungkiri bahwa rasa itu pernah ada. Padahal sesungguhnya cinta itu masih tertinggal walaupun bertahun-tahun lamanya. Zahwa hanya diam dan tak mau menoleh ke depan. Apalagi matanya beradu pandang dengan mata Hanafis, ia segera memalingkan muka.
"Ustad, kenapa ustadz Ayyub gak datang?" Salah satu teman Hasna dan Zahwa bertanya. Meskipun pendiam, Lida lebih sedikit cerewet dari pada Rahel dan Sisil yang kadang bersikap seperti anak kecil.
"Beliau ada kesibukan sehingga tidak bisa mengajar dan menyuruh saya untuk menggantikan beliau." Hanafis mengelak dan sengaja berbohong.
Zahwa dan Rahel saling tatap. Mereka tidak berbicara apalagi atau bertanya pada Hanafis.
"Zahwa, Hanafis wajahnya datar kayak papan triplek bikin takut tau gak?" Bisik Rahel. Membuat Zahwa sekilas menoleh kembali depan.
Ruangan tersebut terdengar hening karena tak ada yang bicara juga tak ada pula raut wajah ramah dari Hanafis. Laki-laki itu tampak datar di depan para santriwati. Mereka yang biasanya bercanda malah merasa tegang karena takut melihat wajah pria yang ada di depan mereka.
"Nama, ustad siapa?"
Ulfa melontarkan pertanyaan yang membuat ruangan kembali riuh. Ia masih kecil berumur 14 tahun tapi bersikap seperti layaknya orang dewasa. Kadang Sisil sering mengejeknya karena ia mudah marah.
"Cie ... Ulfa ...!"
Semua anak-anak menyoraki Ulfa. Zahwa yang tadi diam ikut tersenyum melihat tingkahnya. Hanafis yang duduk di depan sedikit kesal karena takut mengganggu kelas yang lain.
"Apa kalian mau tahu nama saya?"
"Iya. Ustadz sudah masuk ke kelas kami jadi kami harus tahu siapa nama ustadz," kata Lida. Gadis itu berterus terang. Hanafis memang sengaja mengajak mereka berbicara untuk memancing Zahwa, tapi sayang wanita itu bungkam seribu bahasa.
"Nama saya Aidil Hanafis."
"Orang mana ustad?" Di antara mereka kembali bertanya.
"Banda Aceh! Ada pertanyaan lagi? Kalau tidak kita mulai mengaji dan sekarang buka kitab kalian." Hanafis berkata datar bagaikan es di kutub Utara. Semua murid membuka kitab karena tidak ada lagi yang bertanya.
Zahwa masih saja diam meski ia penasaran untuk apa Hanafis masuk ke kelas mereka atau itu hanya akal-akalannya saja. Tidak ingin berpikir terlalu panjang, Zahwa membuka kitab dan mulai mengaji bersama yang lain.
******
Suasana malam terasa dingin. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Semua santri baru saja selesai mengaji dan kembali ke asrama masing-masing. Zahwa pun meletakkan kitabnya ke tempat semula lalu mengganti pakaiannya.
"Rahel, kamu kenal gak sama ustadz Hanafis?" tanya Lida. Ia paling suka kalau ngegosip apalagi jika pembahasannya mengenai ustad - ustad tampan.
"Memangnya kenapa?" Rahel bertanya balik.
"Gak kenapa sih! Tapi aku lihatnya. Dari tadi ustadz Hanafis liat ke belakang terus.” Lida penasaran.
"Ah, itu cuma perasaan kamu saja. Tidur yuk! Aku ngantuk banget ini." Rahel berkata sambil menggelar kasur tipis miliknya di samping tempat tidur Zahwa.
Sementara Zahwa yang sudah sampai di asrama, langsung merebahkan tubuhnya karena sudah sangat mengantuk. Banyak para santri yang masih berada di luar untuk mengulang kembali pelajaran pada kakak yang lain atau bersenda gurau untuk melepaskan penat.
🍁🍁🍁
Matahari kembali bersinar tanpa malu-malu keluar di balik celah bukit. Zahwa baru saja selesai memasak lalu kembali ke asrama untuk mengambil handuk dan berjalan ke sumur untuk membersihkan dirinya.
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh. Masih ada waktu untuk bersantai meregangkan otot yang kaku untuk melanjutkan kembali rutinitas di pesantren.
Membangkitkan semangat untuk terus memahami setiap kalimat juga makna dalam belajar kitab. Awalnya terasa susah, tapi seiring berjalannya waktu pemahaman pun mulai terasah.
"Sil, kamu gak mandi?" Zahwa yang baru saja kembali dari sumur bertanya pada temannya.
Di Asrama rayon hanya memiliki 4 sumur dengan 500 orang dalam satu asrama. Air sumur tersebut tak pernah surut, warnanya sendiri tak seperti air bisa. Agak kekuningan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda sehingga dinamakan “ sumur Thailand ".
"Iya, sebentar lagi Wa! Masih ada waktu kok," kata Sisil. Gadis itu masih asik duduk di atas kabilah di depan asrama bersama Lida.
"Ya sudah, kalau begitu aku duluan, ya. Lagian aku piket nyapu hari ini.” Zahwa berkata sambil berjalan memasuki kamar lalu mengambil baju seragam hitam putih untuk pergi mengaji.
Tiba-tiba saja jantungnya kembali berdetak dan tak biasanya seperti itu. Tak ingin terlambat ia pun bergegas memakai hijab dan pergi ke kelas untuk menyapu.
Karena kurang memperhatikan jalan, Zahwa tak sengaja menabrak seorang ustadz yang lewat untuk mengajar ke kelas yang lain.
"Maaf ustadz, saya tidak sengaja?" Zahwa berkata dengan kepala menunduk. Mundur selangkah demi berjalan kembali ke kelasnya yang tak jauh.
"Zahwa ...!"
Tiba-tiba, jantung Zahwa kembali berdetak dan tak biasanya ia akan seperti ini, tak ingin terlambat ia pun bergegas memakai hijab dan pergi ke kelas untuk menyapu kelasnya.
Naasnya, Zahwa kembali tidak sengaja hampir menabrak seseorang ustad yang juga sedang berjalan untuk mengajar ke kelas yang lain.
"Maaf ustadz, saya tidak sengaja?" kata Zahwa menunduk mundur lalu berjalan ke kelas mereka yang hanya butuh beberapa langkah Lagi.
"Zahwa ...!"
Langkahnya terhenti tat kala mendengar seseorang, ia menoleh ke belakang dan baru sadar jika yang dia tabrak adalah Hanafis.
"Bisakah kita bicara?" tanya Hanafis menatap punggung Zahwa yang hanya beberapa jarak dengannya.
"Tidak ada lagi yang harus di bicarakan Ustad, antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi!" Seru Zahwa.
Hanafis menghembuskan nafas dengan kasar, ia tahu mengapa Zahwa begitu dingin terhadapnya mungkin karena kesalahan yang dia perbuat dua tahun yang lalu.
"Aku masih mencintaimu, Zahwa! Perasaan aku ke kamu masih sama,"
Zahwa bergeming mendengar penuturan Hanafis, bagaimana mungkin Hanafis bisa mengatakan cinta pada dirinya setelah apa yang terjadi di antara mereka berdua.
"Tidak, semenjak hari itu perasaan kita tidak lagi sama!" Kata Zahwa kembali melanjutkan langkah kaki menuju kelasnya.
"Aku tidak jadi menikah, Semua itu karena kamu Wa!" Teriak Hanafis tapi Zahwa tak peduli bahkan tak ingin mendengarkan ucapannya. Menikah atau tidaknya bukan urusannya lagi.
Hanafis terdiam, menatap punggung Zahwa yang terus berjalan. Rasa cinta dan bersalah menghantuinya, ingin ia menjelaskan pada Zahwa tapi tak banyak waktu.
Di dalam kelas, Zahwa memikirkan omongan Hanafis yang mengatakan jika dia tidak jadi menikah kalau tidak jadi menikah maka kenapa dia tidak kembali saat itu juga dan kenapa ia harus kembali setelah dua tahun lamanya, apa yang di sembunyikan Hanafis pada Zahwa.
Jam menuju pukul delapan tiga puluh menit, para santri sudah berada di kelas masing-masing dengan kitab di tangan mereka. Zahwa sudah selesai menyapu kelasnya dan meletakkan air Aqua di meja depan tempat duduk gurunya.
"Rahel.... Sini!" Panggil Zahwa melihat sahabatnya sudah datang sendirian.
"Ada apa, Wa?" Tanya Rahel bingung. Mereka berdiri di depan kelas, menatap para santri yang mulai berjalan menuju kelasnya.
"Tadi aku ketemu Hanafis, ia mengajar di kelas 4A dan kamu tahu gak, dia bilang kalau dia tidak jadi menikah," kata Zahwa membuat Rahel membulatkan matanya, lebih tepatnya dia syok karena ucapan Zahwa.
"Yang bener kamu, Wa! Kok bisa, aku rasa ada sesuatu hal yang menyebabkan dia batal menikah atau bisa saja dia berbohong," kata Rahel tidak percaya dengan apa yang dikatakan Zahwa.
"Entahlah, aku juga gak tahu! Lagian juga untuk apa dia memberitahu ku padahal kami sudah tidak punya hubunga apa-apa lagi," kata Zahwa berjalan duduk meja di belakang seperti biasanya karena jika ia mengantuk, dia bisa tidur tanpa ketahuan sama gurunya di belakang.
"Mungkin saja dia masih mencintai mu, Wa!" Rahel kembali mengatakan hal sama.
"Tidak mungkin, Ra! Semuanya tidak akan pernah sama meski rasa ini masih ada."
Rahel terdiam, ia sangat mengerti perasaan sahabatnya. Dulu dia begitu terpuruk setelah berpisah dengan Hanafis, cintanya begitu besar untuk Hanafis sehingga membuat Zahwa lupa kalau Allah-lah sebaik-baiknya penjaga.
Namun Rahel yang selalu memberikan dia kekuatan ketika sahabatnya terlalu berharap pada manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Nana Shin
waaah ingat masa llu, klo ada banin depan kantor langsung lada negok dsri jendela kelas😃😃😃pokoknya klo ada rojul pasti histeris😁
2022-12-15
0
Ahmad Affa
mungkin itu yg di namakan jodoh Wa..... 😅
2022-12-15
0