Prahara Cinta Adam Hawa
Masjid ”Nurul Firdaus” berdiri gagah di tengah gegap gempita kampung Sawojajar.
Wajahnya nampak asri dengan polesan warna yang sedemikian artistik. Auranya
kentara betul bila perbawanya inginkan kesejukan dan ketenangan bagi siapa saja
yang datang berkunjung memenuhi shof-shofnya. Memenuhi deretan dakwah dan
aktivitas yang ditawarkannya. Tapi sungguh sayang, diantara ratusan atau bahkan
ribuan jumlah nafas yang bergerak disekitarnya, hanya puluhan gelintir yang
tahu bagaimana hidup diarahkan untuk menyembah Robbnya. Yang lain, lebih banyak
sibuk dengan urusan duniawi yang menggelincirkan dan yang menipu. Ah.. manusia. Kapan kau akan sadar. Kapan kau tak akan tertipu. Sampai nafas terlepas dari dirimukah?
Matahari yang gagah sabar turun dari peraduannya memberi kesempatan bagi makhluk lain
yang akan bertengger menguasai alam dengan pancaran sinarnya yang temaram. Sore itu, nampaklah seorang pemuda dengan kaos tipis lantaran usang dimakan usia bergerak mondar-mandir, ia susuri lorong-lorong dan pelataran rumah Tuhannya dengan besi berpucuk kain pel. Ia bersihkan rumah Allah dengan segala senyuman
yang mengambang di bibirnya. Ia nikmati, ia syukuri. Ia terima apapun garisTuhannya akan dirinya.
Ia yakin bila tak selamanya manusia akan selalu ada di bawah, ia yakin bahwa tak akan seterusnya manusia akan kecap derita dan nestapa, senyampang garis dan jalan yang dilaluinya benar dan saheh, maka kelak ia yakin bila dirinya akan berada di atas putaran roda dunia. Watilkal ayyamu nudawiluha baynannasIa yakin kalam Allah yang seringkali didawuhkan para khotib-khotib atau ustadz masjid yang ngisi di masjid itu suatu saat akan jadi kenyataan.
“Lagi ngepel?” tanya seorang laki-laki berjas hitam yang baru saja datang, Ustadz Farhan, ia adalah pengurus dan pengasuh TPQ “Nurul Firdaus” seumuran 35 tahun. Ia tepuk lengan sang pemuda pelan. Ada senyum kecut yang ia nyalakan. Senyum sinis. Atau bahkan senyum merendahkan.
Pemuda itu menoleh sembari tersenyum menampakkan giginya, “ Ah.. ustadz Farhan, Biasa ustadz, kan sudah kerjaan saya sebagai penjaga masjid disini” Ujar pemuda itu mengiyakan, badannya agak membungkuk
sedikit menghormat laki-laki dihapannya.
“Lha, siapa lagi disini yang mau ngerjakan pekerjaan hina macam begini, ustadz?” lanjutnya.
Ustadz Farhan setengah meradang, hatinya bergeliat panas, ia merasa tersindir. Sejak dua tahun yang lalu ia mengajar di TPA “Nurul Firdaus” tak sekalipun ia ambil gagang sapu apalagi gagang pel-pelan demi mengusap lantai masjid agar nampak bersih. Minimal untuk sekadar memberi contoh pada santri-santrinya. Kembali ia tersenyum kecut. Getir. Malu ia tahan. Kalimat sederhana dari sang marbot itu begitu menampar dirinya.
”Lha kan ada Pak Rohim juga..” dengus Ustadz Farhan ketus. Berkelit dengan menyodorkan nama marbot yang lain. Marbot tua.
”Ah njenengan ini bagaimana Ustadz. Kasihan beliau sudah tua. Selama ada saya, biar beliau ambil kerjaan masjid yang agak ringan-ringan saja”. Kata Adam tanpa beban sambil menuangkan karbot pewangi lantai dalam ember, “Tumben sudah datang duluan, ustadz? Masih jam 3 lebih dikit” terusnya mengalihkan omongan. Ia tak
ingin larut membahas atau berdebat masalah seperti itu.
Ustadz Farhan memaksakan tersenyum dengan sedikit anggukan kecil. Tak ia jawab
pertanyaan sang marbot itu dengan ulasan kata-katanya. Sesaat ia ngeloyor pergi
meninggalkan sang marbot memasuki ruangan TPQ. Tempat dimana para santri
kecilnya mengais ilmu.
Matahari sore masih hembuskan sinarnya yang meredup memasuki pelataran masjid. Eksotis
tiada tanding dan tiada banding. Angin semilir meniupkan kesejukan menyapa
batin-batin yang mampu resapi keagungan ciptaan Tuhannya. Sesaat sang penjaga
masjid telah teruskan kesibukannya, ia tak ambil pusing, ia tak begitu masukkan
hati sikap ustadz yang kurang nyaman dihatinya yang baru saja berlalu
dihadapannya. Sudah terbiasa baginya sengsara, sudah biasa baginya tersakiti,
sudah menjadi tradisi baginya diinjak kehormatannya. Ia hanya meminta Allah tak
bakal injak kehormatannya sebagai seorang yang yakin akan Allah robbnya.
Anak muda itu masih dalam bilangan 18 tahun, masa dimana anak-anak yang lainnya habiskan
dengan berhura-hura dengan keasyikan masa muda. Masa dimana cengkrama dengan
teman-temannya adalah pilihan yang menggairahkan, pilihan yang mengasyikkan.
Tapi ia tidak, setiap harinya ia selalu saja berkutat dengan masjid dan
pengurusannya. Ia penjaga masjid. Ia marbot.
Seketika gerak tangannya berhenti, langkahnya tersendat, bahkan tatapannya terpaku.
Sesosok yang gemulai nan anggun menawan hati melewati pelataran samping
masjidnya untuk memasuki ruangan TPQ. Ia tercekat. Bidadari dunia yang beberapa
minggu ini mengusik hatinya kembali menebarkan pesona di hatinya. Dalam
kejauhanpun perbawa keindahan telah gadis itu tawrakan tanpa ia bisa berpaling.
Dadanya bergemuruh hebat.
”Masya Allah, Subhanalloh..” ia ucapkan kata-kata ajaban, kata-kata yang pantas sebagai pengungkapan rasa takjub atas karunia Allah yang dilihat. Dan ia merasa telah melihat keajaiban itu.
Sesaat ia hampiri kata-kata istighfar, ia tak ingin noda-noda nafsu terhembus menuju
liang-liang hatinya.
”Astaghfirullohal ’adhim..”
Lalu ia teruskan keasyikannya membuat indah dan kemilau Masjid itu dengan gagang
sapu dan pelnya. Bidadari itu lewat dengan anggunnya, tersenyum tanpa menyapa
sang marbot. Hanya lirikan saja yang sempat ia daratkan pada tukang rawat masjid itu.
Terlahir sebagai anak yang yatim piatu, sejak membuka mata tak pernah lagi ia jumpai
sosok ibu apalagi ayahnya. Kata Bu Hajjah Adnan, pengasuh dan pemilik yayasan
yatim piatu yang semenjak ia membuka mata menaunginya, ibunya meninggal dua
hari semenjak kelahirannya. Kehabisan darah, begitu alasan kematian ibunya. Dan
tragisnya, ayahnyapun meninggal dua tahun sebelum ia sempat tahu bagaimana
aroma tubuh ayahnya. Dan nama Adampun, adalah nama yang diberikan oleh Bu Hajjah Adnan. Tak lain, karena
ia lahir telah tak berayah dan beribu sebagaimana Nabi Adam.
Dan sejak itulah, tinggallah ia di yayasan itu selama kurang lebih 15 tahun. Cukup lama.
Bahkan termasuk yang paling lama diantara yang lainnya. Dan beberapa waktu lalu, tatkala ia telah lulus sekolah
SMP, pihak yayasan sudah merasa keberatan bila ia akan meneruskan ke tingkat jenjang
SMU. Tak ada dana yang disiapkan untuk penghuni panti bila sampai jenjang sana.
Tak ada sejarahnya panti menyekolahkan sampai SMA. Maksimal hanya SMP saja.
”Dam, ibu minta maaf sebesarnya pada kamu” ujar Bu hajjah Adnan tenang.
Adam menunduk. Ia sedikit sadar dengan apa yang akan dikatakan oleh wanita bersahaja
didepannya. Ia harus tahu dan nrimo diri bila nanti dugaannya benar. Ia pasrah saja.
“Kami pihak yayasan telah rawat kamu selama 15 tahun, Dam. Mulai kecil, bayi merah
sampai saat ini kau sebesar ini. Cakep, pintar, dan saleh, insya Allah. Seathu
ibu, telah banyak ilmu yang telah kau raup dan dapatkan selama kau disini.
Teman juga berlimpah. Lihatlah adik-adikmu yang masih SD juga berlimpah”
“Dan saat ini, diantara penghuni panti ini, kau yang termasuk paling besar atau
paling tua disini, Le”. Ucap Hajjah Adnan tenang, begitu waskita, hati Adam
masih gemetar, “Begitu bukan..?”
Adam mengangguk pelan, “Injih, Bu..” kata-kata Adam ikut pula bergetar. Cermin hati yang masih
dilanda ketidaktenangan.
Adam masih saja tertunduk. Ia ucapkan itu tanpa berani memandang ibu setengah baya
itu. Adam merasa arah pembicaraan itu semakin jelas. Bila ia tak diusir, itupun
masih keuntungan bagi dirinya. Ia tak tahu kemana kaki akan dia langkahkan. Ia
tak punya siapa-siapa. Ketika melek, ia sudah tahu ia di yayasan situ. Ibunya ya Ibu hajjah Adnan itu.
“Dan kau tahu sendiri, bila kemampuan pihak yayasan adalah menyekolahkan kau sampai
SMP saja, tak pernah ada yang lebih dari itu, le...” Bu Hajjah Adnan terhenti.
Tak tega sebenarnya ia katakan itu pada anak laki-laki dihadapannya. Ia tahu
anak itu cerdas. Dan mungkin kelak ilmunya akan punya manfaat yang besar. Tapi,
keadaan yang memaksanya untuk mentholo. ”Adik-adiknya” Adam yang SD di yayasan itu juga butuh biaya. Bila hanya untuk menyekolahkan Adam saja, maka khawatir akan banyak adik-adiknya yang lain yang
butuh yang akan terbengkalai. Apalagi kelak pasti akan ada kecemburuan yang berbuntut tuntutan agar diperlakukan sama sebagaimana Adam. Dan ia ggak ingin pilih-pilih kasih. Semua sama.
“Maka..” kali ini ibu Hajjah Adnan agak terbata, kata-kata itu kembali terhenti.
“Dengan terpaksa kau harus..” lanjut Hajjah Adnan pelan.
Tubuh Adam bergetaran. Bila kata-kata itu dilajutkan dengan satu kata saja, ”Pergi”.
Maka esok ia akan berkemas dan terseok pergi dari rumah asuhan yang indah itu.
Esok ia tak akan bisa lagi bersenda gurau dengan teman-temannya yang selama ini
bergaul dengannya. Tak bisa lagi tidur bersama sahabat kecilnya yang juga yatim
piatu yang bernama Alif. Dan masalahnya, kemana ia akan melangkah pergi. Ia
berdebar menunggu kata-kata yang mengekor dibelakang kata yang terhenti lagi
itu. Dan sesaat kata-kata itu dilanjutkan,
”Terhenti sekolahmu sampai disini”
Ia lega. Hatinya plong seketika. Bil hanya sekadar sekolah saja maka ia akan masih
bisa terima dan memahaminya, gumamnya. Tapi ia masih tak yakin. Bagaimana
dengan masalah yang lain. Pondokan dia utamanya? Itu yang paling penting. Dan
Adam ingin segera keluar dari kegamangan itu.
”Bagaimana dengan saya ibu. Apakah saya masih boleh tinggal disini?” dan segera saja air
mata nelangsa menuruni pipi anak yatim piatu itu. Ia lirih terisak menanggung
beban hidup yang tak jua berakhir. ”Apakah saya juga harus pergi meninggalkan
teman dan adik-adik saya yang telah saya sayangi, BuHajjah?”
Ibu Hajjah Adnan mendesah berat. Untuk yang satu ini ia tak kuasa untuk berkata
”Itu juga kami tak sanggup, Dam..”, Sungguh ia tak bisa. Begitu sayang ia juga
pada anak laki-laki di depannya itu. ia seakan telah menjadi anaknya sendiri. Perlahan ia katakan pada anak laki-laki dihadapannya. Bu Hajjah Adnan mengulas tersenyum. Ia ingin buat anak itu tetap tersenyum.
”Adam..”
Anak itu mendongak. Ia masih saja berdebar tak karuan. Detik-detik itulah yang akan
sangat berarti bagi hidupnya. Ia pasrah bila ia akan hengkang dari naungan
cinta yayasan yang selama ini menampungnya. Bekas air mata masih kentara baru
hinggap merayap dipipinya. Belum kering.
”Kau masih boleh tinggal disini, le”
”Subhanalloh...”. Hati Adam berlompatan riang tak berujung. Terluapkan bagaimana gembira rasa hatinya mendengar kata-kata itu. Ia bagaikan calon caleg yang gidrang-gidrang tak karuan demi
lolos menuju senayan atau balai gedung dewan yang mulia di daerah-daerah.
”Benarkah ibu?” tanpa sadar tubuhnya melorot turun bersimpuh dihadapan Hajjah Adnan,
lupana riang tak tergambarkan nampak dari pemandangan itu, ”Benarkah Adam masih boleh tinggal disini?”
Hajjah Adnan mengangguk pelan. ”Tapi...” kata- Hajjah.
”Tapi apa ibu..” wajah Adam kembali pasi. Dadanya seakan kembali tak berdetak.
”Tapi sepertinya kau juga tak akan lama tinggal disini, Le”
”Kenapa ibu.. kenapa..?” kata Adam sedemikian pilu. Dadanya tiba-tiba sesak. Kegembiraan
yang sesaat.
Hajjah Adnan segera menyahut, ia tak ingin linangan air mata nampak pada anak yatim
piatu itu, ia tak ingin dianggap dholim pada macam anak yang dicintai Nabi, ”Ada
seorang takmir datang kesini untuk butuh tenaga seseorang untuk merumat masjid. dia berjanji bila dia akan menyekolahkan siapa yang mau bekerja di masjid sampai SMA” papar Hajjah adnan, ”Dan mungkin
saja kamu mau?”.
Mata Adam bersinar. Senyum merekah dari bibirnya yang kemerahan. Ada harapan bila sekolah
yang lebih tinggi akan tetap dikenyamnya.
”Betulkah ibu Hajjah?” ujar Adam setengah tak percaya. Mimpi apa ia semalam sehingga ia dikabari
berita yang buat ia melayang riang.
Bu Hajjah Adnan mengangguk pelan sembari berkata, “Apa iya ibu dusta padamu, Le”
“Dan ibu rasa kau yang akan sanggup terima tawaran itu..”
“Mau bu, mau. Adam mau..” kontan Adam. Mata anak itu berbinar penuh harapan.
Dan begitulah, kini demi asa dan cita-citanya ia rela untuk jadi marbot, jongos atau apapun
namanya. Dan ia bersyukur bila masjid adalah tempat ia mengabdi dan ngawulo.
Entahkah apa jadinya bila saja datang tawaran untuk jadi pramuwisma atau
pelayan di lokalisasi, bar, pub, diskotik dan semacamnya. Mungkin saja, demi ilmu dan masa depan ia
akan terima dan lakukan juga. Walau ia tahu bila jalan itu adalah jalan beronak
dan beduri. Mafhum, sangat mafhum sekali. Betul kata Nabi kekufuran akan dekat dengan kekafiran.
Tapi dibalik itu, rasa sedih nampak menyeruak. Sebentar lagi, ia akan tinggalkan jua
para sahabat dan adik-adik tersayangnya. Oh.. kawan, getir nian nasib kita.
Setelah kita berpisah dengan para bapak ibu kita, maka saatnya kita akan saling
berpisah.
Mata Adam kembali basah.
Bu hajjah adnan bingung, “Kenapa Le? Koq nangis..”
Adam tersenyum. “Saya hanya sedih akan meningalkan tempat ini dan para adik-adik dan
juga sahabat, bu. Juga Bu Hajjah Adnan yang sudah bagai ibu sendiri”
Bu Hajjah Adnan membalas senyum. Ia usap rambut Adam dengan kasihnya yang
terhimpun. Ia tahu bila mengusap kepala sayang pada para yatim, maka tak ada
jaminan selain akan diberikan padanya surga. Oh... indahnya... indahnya!!.
”Dam... koq ngelamun. Ada apa?”
Seorang laki-laki tua datang menyapa Adam. Seorang penjaga masjid sepertinya. Pak Rohim
namanya. Dan gagang pel-pelan masih saja melekat dari genggaman tangan Adam.
Ia usap sautu titik air yang baru saja turun merayap.
* * * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments