Marbot Nan Cerdas

Jam 6 pagi.

Seorang laki-laki muda tengah kayuh sepedanya meninggalkan pelataran masjid. Jarak

tempuh sekitar 5 kiloan telah biasa ia jalani setiap hari. Di garis hidup yang

lain, banyak anak-anak dan temannya diantar orang tuanya dengan

giringan-giringan mesin roda empat dan dua. Ia tak surut langkah. Peluh setitik

dua tiik basahi baju putihnya tak terlalu ia gubris.  Tujuannya satu. SMU tugu. Disana ada tiga

sekolah SMU ternama 1, 3 dan 4. Dan namanya ada pada SMU yang pertama. SMU

paling favorit di kota Malang. Dulu di SMP 5 Malang, nilai UANnya menduduki

peringkat 2 sesekolah, dan nomor 9 sekota Malang. Lumayan ekselen dengan segala

keterbatasan yang ia miliki. Tak kalah dengan anak-anak para borjuis dengan

segala yang ada.

Jam pertama adalah pelajaran PAI. Ia telah siap dengan materi yang akan dibuka gurunya. Bahkan

mungkin ia lebih siap dari sang guru sendiri.

”Anak-anak. Kali ini kita masuk pada materi iman pada Allah. Buka halaman 26 buku paket

kalian” Ujar sang guru mengkomando muridnya.

Semua membuka buku masing-masing. Semua sibuk cari apa yang diujarkan sang guru, kecuali

satu orang yang nampak santai atau mengabaikan dengan perintah itu. Sederhana,

ia tak punya buku paket. Tak kuasa ia beli. Mahal dengan ukuran bayarannya

sebagai marbot.

Sang guru menjelaskan sebentar apa yang ada dalam kisaran materi buku itu. Tak

banyak.

”Bapak

kira sudah jelas. Tak terlalu banyak penjelasan. Ada yang mau bertanya?”

Shinta sang muallaff, sang bunga kelas dan juga ketua kelas nampak mengangkat tangan.

”Ya Shinta apa yang mau kau tanyakan..?” sang guru mempersilahkan. Sang guru tersenyum kagum

dengan keberanian muallaf itu.

”Makasih, Pak. Pertanyaan saya mungkin disebagian teman-teman yang lain sederhana, bahkan

terlalu remeh, tapi mungkin tidak bagi saya” kata Shinta membuka ucapan,

”Kenapa Allah hanya tunggal pak.?” tanyanya tanpa ragu, ”Kenapa tak berbilang

sebagaimana ajaran agama yang lain? Bisakah ia ciptakan, rawat dan kelola alam

ini seorang diri?” lanjutnya menukik.

Sang guru mesem. Terlalu mudah baginya. Dan ia tahu kapasitas keilmuan anak itu

memang dalam tataran itu. Tapi bila tak siap iapun juga akan celingukan.

Pertanyaan sederhana yang cukup memusingkan guru bloon. Walau ia tahu apa

jawaban itu, tetap ia sodorkan tanya Shinta pada murid-muridnya. Ia ingin tahu

bagaimana tanggapan teman-temannya. Adakah yang siap dengan sodoran tanya itu.

Atau adakah jawaban cerdas yang bisa memuaskan hati. ”Diantara kalian ada

yang  bisa jawab?” sodor Pak Hasan. Sang guru agama.

Tak ada yang mengangkat tangan kecuali seorang anak berbadan agak kurus segera

merespon. Ia acungkan tangan tinggi. Adam.

”Ya Adam, mau jawab? Silahkan..” sudah mampu ia tebak siapa yang akan unjuk jari.

Dan terlalu sering ia lakukan itu.

”Terima kasih, Pak” sambut Adam ramah, ”Menurut saya, sederhana saja, bila andaikata

Allah berbilang, tidakkah akan rusak alam semesta beserta isinya ini?

Sebagaimana tak akan ada dua atau lebih presiden dalam satu negara yang

mengatur pemerintahan. Sebagaimana tak mungkinnya dua nahkoda dalam satu kapal.

Dalam hal ini Allah berfirman, Sekiranya

ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah

rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai `Arsy daripada apa yang

mereka sifatkan.”Adam baca ayat Allah dengan tenang

”Saya akan ambil contoh kecil. Bila untuk mengurus satu orang saja, bila Tuhan berbilang niscaya akan ada perdebatan, kapan dia akan mati, bagaimana matinya, dan sebagainya. Tuhan satu akan bilang umur 20,

banyak dosanya, Tuhan lain membantah, umur 50 berilah ia waktu bertobat. Bagaimana lagi

akan mengurus alam yang sedemikian kompleks dan lengkap. Tidakkah akan ada

banyak pertikaian antara mereka para dewan Tuhan?” ”Maka sangat tak rasional, tak mungkin dan diluar akal waras bila alam dan seluruh kisaran yang ada didalamnya ini diatur oleh Tuhan yang berbilang?!”

Di sisi lain, Shinta nampak menganguk. Ia paham, bahwa tak akan mungkin bila Allah berbilang.

Ia baru sadar, betul kata Adam, akan rusak alam semesta bila ternyata kebijakan

ditentukan dua atau lebih Tuhan. Sebuah kalam Tuhan yang tak ia jumpai dalam

kitab suciya. Sebuah kalam yang rasional memasuki alam logika sederhana.

”Allah adalah zat Yang Maha. Maha Kuat Maha Perkasa. Andaikata ia masih butuh rival, partner

untuk kawal tugasnya sebagai Tuhan, maka apakah ini tidak menunjukkan kelemahan

sorang Tuhan? Demikian, Pak jawaban singkat saya. Maaf kalau ada yang keliru” ucap Adam lugu. Apa yang

ia bisa ia katakan. Bukankah Rasul katakan ”katakan dariku walau hanya satu penggal ayat”.

Pak Hasan terseyum. Jawaban sederhana tapi pas untuk sekadar jawab apa yang Shinta mau.

”Bagaimana Shinta?” ujar Pak Hasan, ”sudah jelas tuturan atau jawaban temanmu Adam?”

Shinta mengangguk. Cukup baginya dalil yang disebutkan temannya. Tapi satu yang tak

cukup. Hati Shinta bergetar ketika dengar bagaimana ilmu yang Adam tawarkan

begitu masuk direlung-relung hatinya yang paling dalam. Ia terpanah. Dan ia merasa terkulai.

”Oh.. cinta. Datangmu tak ada yang bisa duga. Dari siapapun ia hadir bersemi, kapan

dan dimanapun. Tak pandang bulu”

Putaran jam semakin merangsek maju tiada mau tertunda barang sejengkal. Jam sudah masuk waktu pulang sekolah. Ketika bel berbunyi anak-anak berkemas dan tak lama sama berhambur keluar kelas.  Sang marbot bergegas ambil sepedanya yang ia parkir di area parkir siswa. Ia harus rela tertahan di pintu parkir demi

menunggu surutnya anak-anak yang berjubel memunguti tumpangan mereka. Diantara

kendaraan yang teronggok di rang parkir hanya kendaraan Adam dan tukang kebun saja

yang tiada bermesin. Semua adalah deruman sepeda motor, bahkan tak sedikit yang

membawa mobil hasil keringat moyangnya. Adam memotivasi diri dalam hati, ”Aku

adalah aku, dan bukan moyangku. Tak ada rasa kenikmatan yang diciptakan oleh bapak

dan moyang, bila dibanding dengan tetesan keringat sendiri”.  Ingat itu, Adam tersenyum. Ia merasa paling

kaya diantara teman-temannya. Ia merasa paling sukses. Adam sadar bila mesin

dan bahan bakar sepedanya hanyalah nasi pecel atau lodeh tahu, atau bahkan

hanya kurapan daun luntas yang dicerabuti dari pinggir jalan habis dikencingi

guguk kurang ajar. Ia tersenyum. Inipun juga harus disyukuri, betapa banyak

manusia yang tak bisa kayuhkan sepeda karena tiada berkaki. Atau mungkin betapa

banyak manusia yang dilimpahi mobil berserakan tapi mata kabur bahkan buta tak

lagi bisa melihat karena diabet. ”Alhamdulillah, Ya Allah ..”. Adam menyeret

ucapan syukur Alhamdulillah di ruang-ruang hatinya yang ikhlas. Ia ingin

amalkan ayat, Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya

dengan bersyukur.

Dan sesaat, sebuah kendaraan beroda ceking telah melaju menembus ramai siang hari kota bunga. Sebuah hafalan surat ia hembuskan ditengah dengus nafasnya yang sedikit memburu. Awalan juz

28, surat tabarok atau juga disebur surat al-mulk. Surat motivasi. Surat penggugah dan penyemangat diri.

“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang

Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah

kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.

Adam tersenyum. Ia hayati tiga ayat yang baru saja dilantunkannya. Semua apa yang ada di muka

bumi adalah bagian dari ujian Allah untuk manusia; hidup, mati, senang, sedih,

kaya, mlarat, ningrat, rakyat,. Semua adalah ujian. Manakah yang akan lulus. Manakah yang akan selamat.

Dan yang lebih mengembirakan bila segalanya Allah akan buat hidup manusia ini seimbang

sebagaimana seimbangnya antariksa dan gugusan langit yang berpencar. Ia yakin

bila ada malam, maka niscaya akan ia lihat siang, dan bila ia alami sedih, maka

ia yakin bila suatu saat akan ada pelangi gembira yang berpihak padanya. Ia

yakin itu. Seyakin matahari yang selalu hadir penuhi takdirnya.

* *  * *

”Adam.. Adam..”

Adam  hentikan laju sepeda yang ia genjot perlahan keluar kisaran kota Malang menuju kampung

Sawojajar. Sebuah suara halus berteriak memanggilnya memasuki telinga Adam dari

sebuah mobil sedan kecil warna putih. Ia menoleh. Dan tatkala tahu suara siapa,

hatinya bertalu bertanya, ada apa? Tak adakah hari esok?

“Apa Sin..?” teriaknya dipinggiran jalan raya. Sedan yang dikendarai gadis muda itu berjalan melambat disebelahnya. Ia masih saja genjot sepeda gunungnya kuat-kuat. Wajahnya dekil berpeluh.

“Tiiin… “ suara kendaraan dibelakang sedan Shinta nampak gusar. Mobil Shinta menghambat laju kendaraan yang rapat ada dibelakangnya.

”Bisa nggak berhenti dulu..??” balas gadis itu. Dengan teriakan juga.

Adam turuti apa yang jadi mau kawannya itu. Ia penasaran. Palagi ia tak ingin jadi biang kemacetan. Atau jadi biang kejengkelan dan kemarahan pemakai jalan yang lain.

”Ya, ada apa Sin? Ada yang mau dibicarakan atau ada yang bisa tak bantu..” sodor Adam menebak. Sepeda  ia sandarkan pada badannya. Keringat beberapa titik menghiasi wajahnya yang hitam manis berpadu dengan tahi lalat yang tumbuh eksotis di dagunya. Mungkin ialah Rano Karno muda jaman 2000-an.

”Ya sedikit..” ujar Shinta malu-malu, ”Dam, mau nggak ngajari aku ngaji?” luncur wanita ayu turunan itu sedikit ragu. Tapi itu adalah keberanian. Keberanian membuka diri untuk sebuah ilmu. Benar dia Muallaf. Dan dia sadar

kapan lagi akan mengais ilmu bila bukan dari sekarang. Tapi haruskan pada Adam?

Adam tergagap. Bukannya tak sulit juga untuk mengajari

temannya ini ngaji. Pengajaran yang panti lakukan dahulu kiranya cukup bila

hanya mengajar Al-Qur'an alif, ba’, ta’ dan sedikit ilmu tajwid. Tapi masalahnya

kenapa harus dia, bukannya banyak tebaran ustadz yang betul-betul ustadz

diluaran sana. Apalagi dengan kemapanan orang tuanya. Maka ustadz manakah yang

tak akan bisa “terbeli” olehnya. Paparan tanya begitu saja menghimpit Adam.

”Lho, kenapa aku, Sin. Maaf, apa tak ada ustadz atau guru yang pantas selain aku?” kelit Adam. Ia ragu.

”Sementara ini tak ada” Singkat dan lugas kata itu meluncur begitu saja. Senyumnya terus saja mengambang menghiasi manis bibirnya yang penuh pesona. ”Gimana..?”.

“Waduh gimana ya?” Adam mengalun resah. Ada gumpalan

pikiran yang belum dapat ia jawab. Begitu berat. Tapi.. bukankah tak ada

salahnya.

”E.. e.. kapan mau ngajinya? E... Terus dimana?” ujar Adam gugup. Ia masih saja ragu atas sodoran gadis ayu didepannya.

”Secepatnya lebih baik, Dam. Dan tempatnya..” sejenak Shinta sedikit berpikir. ”Mmm... Di rumahku saja, pulang sekolah, atau malam habis maghrib boleh. Bagaimana?”

”Tapi boleh saya diberi waktu dulu?” ucap Adam sembari

handel sepedanya dengan penyanggahnya. Ia agak geser karena ada motor yang akan

melaluinya. Shintapun ikut minggir.

”Kenapa harus mikir. Sudahlah, kau mau berapa aku gaji. Lima

puluh, seratus sekali datang? Terserah tinggal kau katakan, aku iyakan..”

Shinta tersenyum. Entah kenapa dengan anak ini. Kenapa sedemikian mendadak. Dan

Adam percaya atas sodoran uang  dan materi yang telah dipersiapkan Shinta. Orang tuanya yang pengusaha cukup untuk memenuhi apa yang Shinta ingini.

”Bukan itu yang aku tuju, Sin. Tak sepenuhnya untuk hal itu. Bila aku dapat bantu orang bisa baca Al-Qur'an, maka adakah kegembiraan selain itu”

”Makanya. Kenapa harus mikir” sergah Shinta cepat. Ada momentum untuk banting alibi Adam.

Dan betul juga. Adam tertelan dengan ucapan sendiri. ia mati kutu. Ia tak sanggup berkelit.

”Baiklah. Tapi bukankah orang tuamu masih..” Adam tak teruskan kata-katanya. Tersendat bagaikan ia baru tertelan sendok. Macet.

”Masih kafir begitu...” Ucap Shinta enteng sembari pamerkan gugusan putih giginya yang rapi.

Adam tak jawab. Ia khawatir akan sakititi perasaan Shinta. Dan itu tak  mungkin ia lakukan. Tak

biasa hidupnya dilakukan untuk sakiti orang lain, wanita terutama.

”Jangan Khawatir, tak apa-apa dengan papa dan mami.

Inipun atas ijin dan kemauan mereka. Ia katakan bila masuk agama Islam. Jangan

separuh-separuh. Jangan nanggung. Buktinya juga mereka membiarkan aku masuk

agama yang sama orang sana dicap agama ******* ini kan?”

”Betul?” potong Adam. Alisnya berkerut.

 Shinta manggut. Ia yakin dengan ucapannya. ”Masak nggak percaya se?”

Adam hanya jawab dengan senyum.

”Dan semoga saja mereka akan nyusul aku dapat tenaga

hidayah dari Allah, Dam” ucap Shinta dengan tekanan kosakata ”Allah” yang masih

kaku, pedal.

”Insya Allah. Semoga saja”

”Wes, terus gimana?”

”Apanya?”

”Yah..”

”Oh.. ya..ya, insya Allah... insya Allah” susul Adam

tegas. Kali ini ia tak ragu. Ada keyakinan yang menyusul hatinya.

Shinta mengulum senyum. Jawaban itu bagaikan rangkaian

bunga yang akan ia reguk di jamuan surga. Begitu wangi dan menghangatkan jiwa.

”Ok, kalau gitu. Mulai besok kita ngaji?”

Adam hanya tersenyum. Satu hati telah Allah berkenan tautkan.  Dipancangkannya pada tali agama Allah.

Dan itulah kuasanya yang beri Hidayah pada siapa yang ia kehendaki. Atau bahkan

berkenan untuk sesatkan pada siapa yang Ia kehendaki pula. Shinta masih

beruntung. Lebih baik mantan orang kafir daripada mantan orang beriman. Adam

bergidik, O.. bagaimanakah bila aku disebaliknya shinta., bagaimana bila

awalnya beriman, tapi berkesudahan dengan kekafiran? Na’udzubillah.... Ya Allah.

Sesaat sedan yang ditumpangi Shinta melesat cepat bak

busur panah, sedang Adam kembali kaitkan kakinya pada pedal sepedanya. Genjot

dan lalui jalanan yang kering dengan tetesan keringat demi keringat. Adam

paham, Adakah sukses kan tercapai tanpa adanya perjuangan dan keringat menetes?

Dan ia telah mulai belajar meneteskan keringat.

* *  * *

”Tidak, Om. Agama Islam adalah agama penebar rahmat, kasih sayang dan salam”

”Betapa banyak tebaran ajarannya yang menukilkan secara tersirat atau tersurat tentang adanya komitmen itu”

”Dalam sholatpun kenapa dianjurkan untuk berjamaah dan

tak dilakukan sendiri? Ya, karena ingin memberikan komitmen jelas bahwa kita

saling butuh, dan kita saling ingin menebarkan rahmat”

”Dalam sedekah, zakat, jelas itu tampak nyata, bahkan ciri iman yang paling sederhana adalah adanya kesadaran bila ada duri atau batu di jalanan, maka harus disingkirkan”

”Itu artinya, tak lain Islam adalah agama penebar keselamatan dan kasih sayang”

”Lantas, bagaimana dengan mereka yang mengatasnamakan

jihad? Apakah itu bukan ajaran agama Anda?” bantah orang dihadapan Adam

bersungut. Ada pikiran yang masih Adam benahi dari manusia dihadapannya.

Lumayan berat. Tapi Adam harus lakukan. Ia tahu, bila agama Islam ada

dalam ujian.

Adam menghela nafas berat. Ditatapnya lembut kedua orang tua Shinta bergiliran, ”Itulah, kebenaran dan keangunan Islam ternyata harus rela ditutup dengan umatnya sendiri, dinodai oleh umatnya sendiri, bukan

orang lain. Al-Islam mahjubun bil muslimin, keangguanan Islam tertutup oleh tingkah laku para pemeluknya

sendiri”

”Pak, Bila saja seorang putih terkena panu, apakah

begitu kita serta merta menganggapnya bila ia terkena panu sekujur tubuh? Tidak!

Hanya orang-orang sholihlah yang dipilih Allah untuk menegakkan agamanya dengan

jalur rahmat bukan laknat”

”Yakinlah bahwa hal itu tak akan bisa menutupi ketinggian agama kami, agama Islam, Al-Islamu

ya’lu wala yu’la alaih, Islam adalah agama yang tinggi, dan tak akan ada yang menandinginya”.

Orang tua Shinta berkerut. Masih ada ganjalan yang

serasa ia rasakan. Tapi setitik embun setidaknya telah tertetesi dalam kalbunya

yang sementara ini terliputi gelap gulita. Keingkarannya untuk tak berislam.

Ketundukannya pada akal yang mengada-ada dalam lembar agama yang dangkal nalar

pikiran. Mereka terdiam. Mengecap makna kata yang Adam berusaha

tautkan dalam kalbu mereka.

”Pa..”

Mereka menoleh. Suara Shinta yang agak keras memecah

sunyi yang sesaat terjadi. ”Kapan ini Shinta ngajinya. Sudah Dam, jangan

hiraukan ayah. Malah panjang nanti..” ucap Shinta sewot. ”Kapan-kapan aja

dilanjutkan lagi diskusinya. Kalau perlu bawa aja buku-buku agama Islam kamu.

Biar ayah baca dewe”.

”Aduh anak mama.. ya wes. Ayo dimulai ngajinya. Mama sama papa tak keatas dulu..”

”Silahkan om-tante. Monggo..” persilahkan Adam sopan.

Mata Adam bersinar menyiratkan harapan. Harapan agar mereka akan segera mampu

menguatkan barisan dan menjadi garda terdepan dalam perjuangan Islam. Berjihad atas

nama Islam. Jihad dalam arti bersungguh-sungguh dalam menegakkan agama risalah

Allah dalam apapun yang ada dalam dirinya. Dan, harta materi yang orang tua

Shinta punya akan bisa berbicara nantinya. Insya Allah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!