Sudah sekitar dua pekan ini Adam jalankan amanatnya
sebagai guru ngaji Shinta. Tak ada yang lebih selain ia hanya lakukan tugasnya
sebagaimana mestinya. Iapun tak tahu gelora apa yang ada dalam hati Shinta
padanya. Tak ada yang aneh, bahkan untuk tahu bagaimana isyarat cinta itu
sendiri. semuanya masih abu-abu tanpa tahu akan domain putih atau gelap.
”Jauhi Shinta bila kau ingin selamat....”
Kedua laki-laki nampak lepaskan cengkeramannya pada kerah
baju Adam. Yang seorang hanya mendengus. Nampak ia adalah bosnya. Mata Adam
bengab. Terasa cahaya kuning menyelimuti ruang penglihatannya. Baru saja tiga
teman-temannya memberikan dia bogem sebagai bentuk peringatan. Adam tak tahu,
Adam tak paham. Apa maksud mereka. Yang ia tahu, bila mereka ingin Adam
menjauhi Shinta. Itu saja. Adam dekap perutnya yang juga mules akibat tamparan
benda tumpul.
”Lho memangnya ada apa antara aku dengan Shinta?” tanya Adam pelan tak mengerti. ”Aku.. aku..”.
”Ah.. jangan banyak bacot kau, setan. Apa yang kau lakukan
dirumah Shinta sampai malam-malam, Ha..!!” bentak seorang anak yang berambut
agak gondrong. Dari pakaian dan gayanya ia bukan anak SMU tugu yang rapi-rapi,
sekilas dari badgenya ia adalah anak SMK yang terkenal anak-anak yang sering
tawuran. Memang, kabar santer Adam memang tahu bila banyak anak-anak yang
rebutan memburu Shinta. Bukan hanya dari anak-anak dalam, tapi temasuk
anak-anak luar sekolah. Maklum saja, predikat Miss sebuah mall terbesar di kota
Malang tersematkan untuknya. Ya. Shinta adalah seorang model.
”Sebentar.. sebentar. Kamu salah paham. Kamu tak tahu apa yang aku lakukan dirumah Shinta. Aku hanya ngajar ngaji saja. Tak lebih” tutur Adam meyakinkan. Ia masih saja meringis menahan sakit.
”Ah.. Alasan. Mulai kapan si cantik itu masuk Islam. Mulai
kapan pula dia insyaf ha?” sergah laki-laki gondrong nyengir. Ia merasa sangat
paham dengan Shinta. ”Berapa kali pula aku dan dia going ke Pub...”
”Terserah kau mau percaya atau tidak. Tapi itulah yang
terjadi. Tak lebih..” potong Adam. Di balik hatinya ia simpan kekagetan.
Seperti itukah pola dan gaya hidup Shinta? Tapi bisa saja ini hanya fitnah. Dan
sebagai orang iman, tak boleh percaya pada orang yang membuka aib sebelum nyata
datang pengakuan atau kesaksian yang lain.
”Ah banyak omong kamu” ucap laki-laki muda itu tak sabar,
satu isyarat tangan ia beri. Dan tiba-tiba sebuah fragmen tingkah kebejatan
anak manusia terulang lagi, ”Bug... bug...”
Sekali lagi hantaman tangan-tangan keras mendarat manis
di perut Adam. Bahkan satu dua kali hantaman itu mendarat manis di mulutnya.
Anyir darah segera ia rasakan dari ujung bibirnya yang sobek. Kembali Adam meringis menahan sakit. Bisa saja ia balas atau berkelit dari pukulan mereka. Tapi apa guna. Ia pun juga tak yakin bila ia
seorang diri berhadapan dengan keroyokan tiga orang akan menang. Adam
terhuyung. Kakinya telah tak sanggup tahan laju tubuhnya yang ambruk. Tubuh
Adam cepat hantam tanah. Adam bercak darah segar mengalir dari bibirnya.
”Ayo bro. Tinggalkan dia. Cukup pelajaran kita padanya” seru Roni pada amtek-anteknya, ”Camkan ini, Dam. Jangan sampai aku akan beri ini untuk yang kedua kali..” ucap Roni pada Adam. Matanya
tajam tatap Adam tanpa perasaan.
Dan Bruumm...
Deru raungan motor merambat cepat menjauhi Adam. Mereka
tinggalkan Adam begitu saja terkapar lemah. Jalanan sunyi. Memang, setiap
pulang ia selalu lewati jalan itu. Jalan memotong agar jarak antara sekolah dan
kampung Sawojajar tak panjang. Apalagi bagi Adam yang hanya berbensin nasi
pecel atau bahkan nasi lauk krupuk dan kecap.
Rasa nyeri dan mulas di perut masih bisa Adam rasakan.
Itu tandanya ia masih sadar dengan apa yang terjadi.
Adam pungut sepedanya yang tergeletak dipinggir jalanan. Angin
merambah cepat menambah desis perih. Adam menolwh. Sepi tak ada yang lewat jalur
jalanan kampung sawojajar. Ia yakin bila beberapa hari ini kegiatannya di rumah
Shinta ada yang mengawasi. Dan itu nyata terbukti.
Pelan Adam kembali kayuh sepedanya. Tak lama ia akan
sampai di pemondokan suci. Masjid ”Nurul Firdaus”. Sebuah tempat dimana ia menjaga dan
memelihara, tapi ia berpikir bila sejatinya Masjidnyalah yang selama ini
mengayomi dan memelihara dia dari perbuatan-perbuatan buruk dan nista. Masjidnyalah
yang buat dia malu bila dia akan berbuat nista dan bodoh.
Adam tengok jam tangannya mengarah pukul 13. 28. Terik surya
masih membakar jagad. Nurul Firdaus nampak lengang. Tak ada aktivitas disana,
hanya beberapa gelintir salesman duduk rehat melepas lelah keliling menawarkan
jasa memberi informasi. Entahkah, mereka mampir ke masjid apakah juga melakukan
tugasnya bersembahyang. Dunia belum tentu, akhirat melayang.
Adam turn dari pelana tumpangannya. Adam tuntun sepedanya
pelan. Ini adalah etika, tak bagus memasuki rumah Allah seenaknya saja ngeloyor
dengan kurang ajar. Adam tatap bangunan indah Nurul Firdaus. Begitu indah ternyata
masjid yang Adam rawat ini. Sebagai anak muda, muncul idealisme. Sungguh
sayang, masjid sebesar ini bila tak dikelola dan dipotensikan dengan baik.
Padahal dengan apa yang ada maka akan bisa menggerakkan segenap potensi umat.
Pendidikkan, kaderisasi, ekonomi. Adam berkerut, bila saja ada pelatihan yang
selalu digelar di masjid itu, andaikata ada koperasi Islam atau BMT yang
berdiri disana, atau andaikata swalayan yang berdiri di tanah kosong masjid itu
maka segalanya tak hanya mengandalkan kotak-kotak amal dan donatur saja.
Mengemis saja. Tapi bukankah itu saja yang mungkin bisa umat Islam lakukan?
Tidak! Terlalu memalukan membawa kendaraan mulia tapi dengan cara yang patut.
Bila Islam ajarkan tangan diatas lebih bagus dari tangan dibawah, tapi kenapa
yang melangga ajaran ini adalah simbol agama sendiri, masjid.
Adam masuk melangkah menuju bilik kecilnya dimana selama
ini ia hidup. Lebih sedikit dari ukuran pekuburan, 2X3 meter saja. Itupun
dibagi berdua dengan Pak Rohim, teman sesama marbot. Tapi ia cukup lega, Adam
hanya berpikir sederhana, masih banyak orang-orang yang kurang beruntung jauh melebihi dirinya yang ngemper di bawah kolong-kolong jembatan kali, kolong fly over, halte atau bahkan mlungker dalam becak, atau bahkan
jalanan kasar. Adam hanya ingin rasa syukurnya buat ia semakin disayang Tuhan.
Ia ingin rasa syukurnya semakin membuatnya dekat dengan kenikmatan yang hakiki.
Kenikmatan yang sejati yang manusia dambakan. Bahagia.
Ia ambil handuk. Ia basahi handuk itu dengan air hangat
dari termos kecilnya. Ia usapkan pada luka di bibirnya yang seakan bergaung
membengkak. Perih sedikit ia rasakan.
”Robbi afrigh alayna shobro...”
"Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami..”desis Adam.
Dan Tuhanpun seakan tersenyum padanya. Bersabar atas musibah. Dan itu tak mudah untuk hamba
lakukan. Karena bertebaran orang yang tak lulus dalam hal sabar atas nikmat
kekayaan, kejayaan dan kesuksesan.
Adam mengaca, ada sedikit bengkak dan sobek di mulut Adam.
”Kenapa, le?” Adam terkaget. Seorang tua. Tak lain Pak Rohim. ”Lho kenapa bibirmu iku?” mata Pak
Rohim melotot.
”Nggak apa-apa, Pak. Jatuh” ungkap Adam berbohong. Ia harus tempuh jalan ini. Ia tak
ingin buat orang tua itu susah. Dan bukankah itu berarti bohongnya dibenarkan.
”Jatuh? Jatuh dimana?”
”Di dekat tegalan tad, Pak. Biasa, ketika saya lihat awan yang berarak begitu indah.. e.. ndilalah
ada batu, dan.. gitulah..”
”O..., ya wes kalau gitu. Aku khawatir aja kalau ada apa-apa denganmu“. Ucap Pak Rohim. Ia
berlalu dari hadapan Adam dengan membawa golok dan asahan.
“Ada yang mau motong kambing, Pak?“ tanya Adam sembari sedikit teriak.
”Ho..oh, lumayan 3 ekor, Dam. Mau aqiqah dua anaknya sekaligus..”. balas Pak Rohim
parau.
* * * *
Bukannya Adam ingin keluar dari ajang dakwah. Bukannya ia tak ingin lagi menghidupkan agama
Allah. Tapi umur yang masih 18 tahun hati seakan masih merasa kurang dan pas bila
ada pada maqom itu. Sebagai guru ngaji, sebagai ustadz. Tak mudah. Guru ngaji
tak bukan adalah cerminan agama. Dan ia tak ingin agama Islam menjadi rusak
akibat ulah atau prilakunya yang masih kurang. Ia tak ingin Islam tercemari. Terkotori
oleh manusia-manusia yang hanya berkutat pada rentetan hawa nafsu belaka. Entah
perasaan ini baik atau tidak. Tapi sebuah keputusan telah Adam ambil. Entah
kapan laku hidup yang Allah muliakan itu akan ia pungut lagi. Mahgrib baru saja
berlalu. Ia tatap rembulan yang mulai terang tampakkan sinarnya. Ia ingin bagai
rembulan, walau tak selamanya dan tak seterang sinari jagad, tapi adanya adalah
kebutuhan bagi anak manusia yang lain. Adanya adalah manfaat bagi kehidupan.
Sesaat ia kayuh sepedanya dari pelataran rumah yang besar bertingkat. Ada hawa
hati yang tak dapat ia lukiskan dengan jelas. Ada gumpalan jiwa yang masih saja
buat ia bertanya-tanya, akankah yang ia perbuat telah benar dan saheh? Ataukah
ini hanya tipuan setan agar baginya berhenti berdakwah.
Adam menghela nafas, ia tarik wajahnya menghadap atas, bulan terang ikut menyalakan lentera kamuflasenya. Ia ingin sibak apa yang ada dibalik tabir langit seakan ingin bertanya dan mengemukakan hasrat yang ingin terpenuhi.
”Allahummah dina..”.
”Duhai Allah tunjuki kami jalan..”.
* * * *
Disisi lain dibawah sorot lampu pelataran masjid yang masih menyala. Dua orang sosok
manusia tengah bergumul dalam sebuah obrolan. Sebuah rencana telah mereka
sepakati. Seorang sosok tua dan seorang wanita muda tengah serius menikmati
arah pembicaraan mereka.
”Jadi begitu, saat pengajian saja kita pertemukan mereka” sang gadis menegaskan.
”Begitulah, Nak. Itu lebih tepat. Bila seusai pengajian, saya takut ayahnya akan cemas.
Mending ketika acara pengajian saja”.
Sang gadis mengeluarkan udara dari dalam mulutnya. Bayangannya berkelebatan.
Tujuannya hanya satu, ia tak ingin lihat sahabat atau anak yang telah ia anggap
adik sendiri terlihat menderita menahan rasa karena membendung ungkapan hati
yang tak segera tertunaikan. Dan begitu pula dengan laki-laki tua itu. Pak Rohim.
”Baiklah, Pak. Nanti aku yang akan bicarakan ini pada Hawa”.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments