NovelToon NovelToon

Prahara Cinta Adam Hawa

Sang Marbot

Masjid ”Nurul Firdaus” berdiri gagah di tengah gegap gempita kampung Sawojajar.

Wajahnya nampak asri dengan polesan warna yang sedemikian artistik. Auranya

kentara betul bila perbawanya inginkan kesejukan dan ketenangan bagi siapa saja

yang datang berkunjung memenuhi shof-shofnya. Memenuhi deretan dakwah dan

aktivitas yang ditawarkannya. Tapi sungguh sayang, diantara ratusan atau bahkan

ribuan jumlah nafas yang bergerak disekitarnya, hanya puluhan gelintir yang

tahu bagaimana hidup diarahkan untuk menyembah Robbnya. Yang lain, lebih banyak

sibuk dengan urusan duniawi yang menggelincirkan dan yang menipu. Ah.. manusia. Kapan kau akan sadar. Kapan kau tak akan tertipu. Sampai nafas terlepas dari dirimukah?

Matahari yang gagah sabar turun dari peraduannya memberi kesempatan bagi makhluk lain

yang akan bertengger menguasai alam dengan pancaran sinarnya yang temaram. Sore itu, nampaklah seorang pemuda dengan kaos tipis lantaran usang dimakan usia bergerak mondar-mandir, ia susuri lorong-lorong dan pelataran rumah Tuhannya dengan besi berpucuk kain pel. Ia bersihkan rumah Allah dengan segala senyuman

yang mengambang di bibirnya. Ia nikmati, ia syukuri. Ia terima apapun garisTuhannya akan dirinya.

Ia yakin bila tak selamanya manusia akan selalu ada di bawah, ia yakin bahwa tak akan seterusnya manusia akan kecap derita dan nestapa, senyampang garis dan jalan yang dilaluinya benar dan saheh, maka kelak ia yakin bila dirinya akan berada di atas putaran roda dunia. Watilkal ayyamu nudawiluha baynannasIa yakin kalam Allah yang seringkali didawuhkan para khotib-khotib atau ustadz masjid yang ngisi di masjid itu suatu saat akan jadi kenyataan.

“Lagi ngepel?” tanya seorang laki-laki berjas hitam yang baru saja datang, Ustadz Farhan, ia adalah pengurus dan pengasuh TPQ  “Nurul Firdaus” seumuran 35 tahun. Ia tepuk lengan sang pemuda pelan. Ada senyum kecut yang ia nyalakan. Senyum sinis. Atau bahkan senyum merendahkan.

Pemuda itu menoleh sembari tersenyum menampakkan giginya, “ Ah.. ustadz Farhan, Biasa ustadz, kan sudah kerjaan saya sebagai penjaga masjid disini” Ujar pemuda itu mengiyakan, badannya agak membungkuk

sedikit menghormat laki-laki dihapannya.

“Lha, siapa lagi disini yang mau ngerjakan pekerjaan hina macam begini, ustadz?” lanjutnya.

Ustadz Farhan setengah meradang, hatinya bergeliat panas, ia merasa tersindir. Sejak dua tahun yang lalu ia mengajar di TPA “Nurul Firdaus” tak sekalipun ia ambil gagang sapu apalagi gagang pel-pelan demi mengusap lantai masjid agar nampak bersih. Minimal untuk sekadar memberi contoh pada santri-santrinya. Kembali ia tersenyum kecut. Getir. Malu ia tahan. Kalimat sederhana dari sang marbot itu begitu menampar dirinya.

”Lha kan ada Pak Rohim juga..” dengus Ustadz Farhan ketus. Berkelit dengan menyodorkan nama marbot yang lain. Marbot tua.

”Ah njenengan ini bagaimana Ustadz. Kasihan beliau sudah tua. Selama ada saya, biar beliau ambil kerjaan masjid yang agak ringan-ringan saja”. Kata Adam tanpa beban sambil menuangkan karbot pewangi lantai dalam ember, “Tumben sudah datang duluan, ustadz? Masih jam 3 lebih dikit” terusnya mengalihkan omongan. Ia tak

ingin larut membahas atau berdebat masalah seperti itu.

Ustadz Farhan memaksakan tersenyum dengan sedikit anggukan kecil. Tak ia jawab

pertanyaan sang marbot itu dengan ulasan kata-katanya. Sesaat ia ngeloyor pergi

meninggalkan sang marbot memasuki ruangan TPQ. Tempat dimana para santri

kecilnya mengais ilmu.

Matahari sore masih hembuskan sinarnya yang meredup memasuki pelataran masjid. Eksotis

tiada tanding dan tiada banding. Angin semilir meniupkan kesejukan menyapa

batin-batin yang mampu resapi keagungan ciptaan Tuhannya. Sesaat sang penjaga

masjid telah teruskan kesibukannya, ia tak ambil pusing, ia tak begitu masukkan

hati sikap ustadz yang kurang nyaman dihatinya yang baru saja berlalu

dihadapannya. Sudah terbiasa baginya sengsara, sudah biasa baginya tersakiti,

sudah menjadi tradisi baginya diinjak kehormatannya. Ia hanya meminta Allah tak

bakal injak kehormatannya sebagai seorang yang yakin akan Allah robbnya.

Anak muda itu masih dalam bilangan 18 tahun, masa dimana anak-anak yang lainnya habiskan

dengan berhura-hura dengan keasyikan masa muda. Masa dimana cengkrama dengan

teman-temannya adalah pilihan yang menggairahkan, pilihan yang mengasyikkan.

Tapi ia tidak, setiap harinya ia selalu saja berkutat dengan masjid dan

pengurusannya. Ia penjaga masjid. Ia marbot.

Seketika gerak tangannya berhenti, langkahnya tersendat, bahkan tatapannya terpaku.

Sesosok yang gemulai nan anggun menawan hati melewati pelataran samping

masjidnya untuk memasuki ruangan TPQ. Ia tercekat. Bidadari dunia yang beberapa

minggu ini mengusik hatinya kembali menebarkan pesona di hatinya. Dalam

kejauhanpun perbawa keindahan telah gadis itu tawrakan tanpa ia bisa berpaling.

Dadanya bergemuruh hebat.

”Masya Allah, Subhanalloh..” ia ucapkan kata-kata ajaban, kata-kata yang pantas sebagai pengungkapan rasa takjub atas karunia Allah yang dilihat. Dan ia merasa telah melihat keajaiban itu.

Sesaat ia hampiri kata-kata istighfar, ia tak ingin noda-noda nafsu terhembus menuju

liang-liang hatinya.

”Astaghfirullohal ’adhim..”

Lalu ia teruskan keasyikannya membuat indah dan kemilau Masjid itu dengan gagang

sapu dan pelnya. Bidadari itu lewat dengan anggunnya, tersenyum tanpa menyapa

sang marbot. Hanya lirikan saja yang sempat ia daratkan pada tukang rawat masjid itu.

Terlahir sebagai anak yang yatim piatu, sejak membuka mata tak pernah lagi ia jumpai

sosok ibu apalagi ayahnya. Kata Bu Hajjah Adnan, pengasuh dan pemilik yayasan

yatim piatu yang semenjak ia membuka mata menaunginya, ibunya meninggal dua

hari semenjak kelahirannya. Kehabisan darah, begitu alasan kematian ibunya. Dan

tragisnya, ayahnyapun meninggal dua tahun sebelum ia sempat tahu bagaimana

aroma tubuh ayahnya. Dan nama Adampun, adalah nama yang  diberikan oleh Bu Hajjah Adnan. Tak lain, karena

ia lahir telah tak berayah dan beribu sebagaimana Nabi Adam.

Dan sejak itulah, tinggallah ia di yayasan itu selama kurang lebih 15 tahun. Cukup lama.

Bahkan termasuk yang paling lama diantara yang lainnya. Dan beberapa waktu  lalu, tatkala ia telah lulus sekolah

SMP, pihak yayasan sudah merasa keberatan bila ia akan meneruskan ke tingkat jenjang

SMU. Tak ada dana yang disiapkan untuk penghuni panti bila sampai jenjang sana.

Tak ada sejarahnya panti menyekolahkan sampai SMA. Maksimal hanya SMP saja.

”Dam, ibu minta maaf sebesarnya pada kamu” ujar Bu hajjah Adnan tenang.

Adam menunduk. Ia sedikit sadar dengan apa yang akan dikatakan oleh wanita bersahaja

didepannya. Ia harus tahu dan nrimo diri bila nanti dugaannya benar. Ia pasrah saja.

“Kami pihak yayasan telah rawat kamu selama 15 tahun, Dam. Mulai kecil, bayi merah

sampai saat ini kau sebesar ini. Cakep, pintar, dan saleh, insya Allah. Seathu

ibu, telah banyak ilmu yang telah kau raup dan dapatkan selama kau disini.

Teman juga berlimpah. Lihatlah adik-adikmu yang masih SD juga berlimpah”

“Dan saat ini, diantara penghuni panti ini, kau yang termasuk paling besar atau

paling tua disini, Le”. Ucap Hajjah Adnan tenang, begitu waskita, hati Adam

masih gemetar, “Begitu bukan..?”

Adam mengangguk pelan, “Injih, Bu..” kata-kata Adam ikut pula bergetar. Cermin hati yang masih

dilanda ketidaktenangan.

Adam masih saja tertunduk. Ia ucapkan itu tanpa berani memandang ibu setengah baya

itu. Adam merasa arah pembicaraan itu semakin jelas. Bila ia tak diusir, itupun

masih keuntungan bagi dirinya. Ia tak tahu kemana kaki akan dia langkahkan. Ia

tak punya siapa-siapa. Ketika melek, ia sudah tahu ia di yayasan situ. Ibunya ya Ibu hajjah Adnan itu.

“Dan kau tahu sendiri, bila kemampuan pihak yayasan adalah menyekolahkan kau sampai

SMP saja, tak pernah ada yang lebih dari itu, le...” Bu Hajjah Adnan terhenti.

Tak tega sebenarnya ia katakan itu pada anak laki-laki dihadapannya. Ia tahu

anak itu cerdas. Dan mungkin kelak ilmunya akan punya manfaat yang besar. Tapi,

keadaan yang memaksanya untuk mentholo. ”Adik-adiknya” Adam yang SD di yayasan itu juga butuh biaya. Bila hanya untuk menyekolahkan Adam saja, maka khawatir akan banyak adik-adiknya yang lain yang

butuh yang akan terbengkalai. Apalagi kelak pasti akan ada kecemburuan yang berbuntut tuntutan agar diperlakukan sama sebagaimana Adam. Dan ia ggak ingin pilih-pilih kasih. Semua sama.

“Maka..” kali ini ibu Hajjah Adnan agak terbata, kata-kata itu kembali terhenti.

“Dengan terpaksa kau harus..” lanjut Hajjah Adnan pelan.

Tubuh Adam bergetaran. Bila kata-kata itu dilajutkan dengan satu kata saja, ”Pergi”.

Maka esok ia akan berkemas dan terseok pergi dari rumah asuhan yang indah itu.

Esok ia tak akan bisa lagi bersenda gurau dengan teman-temannya yang selama ini

bergaul dengannya. Tak bisa lagi tidur bersama sahabat kecilnya yang juga yatim

piatu yang bernama Alif. Dan masalahnya, kemana ia akan melangkah pergi. Ia

berdebar menunggu kata-kata yang mengekor dibelakang kata yang terhenti lagi

itu. Dan sesaat kata-kata itu dilanjutkan,

”Terhenti sekolahmu sampai disini”

Ia lega. Hatinya plong seketika. Bil hanya sekadar sekolah saja maka ia akan masih

bisa terima dan memahaminya, gumamnya. Tapi ia masih tak yakin. Bagaimana

dengan masalah yang lain. Pondokan dia utamanya? Itu yang paling penting. Dan

Adam ingin segera keluar dari kegamangan itu.

”Bagaimana dengan saya ibu. Apakah saya masih boleh tinggal disini?” dan segera saja air

mata nelangsa menuruni pipi anak yatim piatu itu. Ia lirih terisak menanggung

beban hidup yang tak jua berakhir. ”Apakah saya juga harus pergi meninggalkan

teman dan adik-adik saya yang telah saya sayangi, BuHajjah?”

Ibu Hajjah Adnan mendesah berat. Untuk yang satu ini ia tak kuasa untuk berkata

”Itu juga kami tak sanggup, Dam..”, Sungguh ia tak bisa. Begitu sayang ia juga

pada anak laki-laki  di depannya itu. ia seakan telah menjadi anaknya sendiri. Perlahan ia katakan pada anak laki-laki dihadapannya. Bu Hajjah Adnan mengulas tersenyum. Ia ingin buat anak itu tetap tersenyum.

”Adam..”

Anak itu mendongak. Ia masih saja berdebar tak karuan. Detik-detik itulah yang akan

sangat berarti bagi hidupnya. Ia pasrah bila ia akan hengkang dari naungan

cinta yayasan yang selama ini menampungnya. Bekas air mata masih kentara baru

hinggap merayap dipipinya. Belum kering.

”Kau masih boleh tinggal disini, le”

”Subhanalloh...”. Hati Adam berlompatan riang tak berujung. Terluapkan bagaimana gembira rasa hatinya mendengar kata-kata itu. Ia bagaikan calon caleg yang gidrang-gidrang tak karuan demi

lolos menuju senayan atau balai gedung dewan yang mulia di daerah-daerah.

”Benarkah ibu?” tanpa sadar tubuhnya melorot turun bersimpuh dihadapan Hajjah Adnan,

lupana riang tak tergambarkan nampak dari pemandangan itu, ”Benarkah Adam  masih boleh tinggal disini?”

Hajjah Adnan mengangguk pelan. ”Tapi...” kata- Hajjah.

”Tapi apa ibu..” wajah Adam kembali pasi. Dadanya seakan kembali tak berdetak.

”Tapi sepertinya kau juga tak akan lama tinggal disini, Le”

”Kenapa ibu.. kenapa..?” kata Adam sedemikian pilu. Dadanya tiba-tiba sesak. Kegembiraan

yang sesaat.

Hajjah Adnan segera menyahut, ia tak ingin linangan air mata nampak pada anak yatim

piatu itu, ia tak ingin dianggap dholim pada macam anak yang dicintai Nabi, ”Ada

seorang takmir datang kesini untuk  butuh tenaga seseorang untuk merumat masjid. dia berjanji bila dia akan menyekolahkan siapa yang mau bekerja di masjid sampai SMA” papar Hajjah adnan, ”Dan mungkin

saja kamu mau?”.

Mata Adam bersinar. Senyum merekah dari bibirnya yang kemerahan. Ada harapan bila sekolah

yang lebih tinggi akan tetap dikenyamnya.

”Betulkah ibu Hajjah?” ujar Adam setengah tak percaya. Mimpi apa ia semalam sehingga ia dikabari

berita yang buat ia melayang riang.

Bu Hajjah Adnan mengangguk pelan sembari berkata, “Apa iya ibu dusta padamu, Le”

“Dan ibu rasa kau yang akan sanggup terima tawaran itu..”

“Mau bu, mau. Adam mau..” kontan Adam. Mata anak itu berbinar penuh harapan.

Dan begitulah, kini demi asa dan cita-citanya ia rela untuk jadi marbot, jongos atau apapun

namanya. Dan ia bersyukur bila masjid adalah tempat ia mengabdi dan ngawulo.

Entahkah apa jadinya bila saja datang tawaran untuk jadi pramuwisma atau

pelayan di lokalisasi, bar, pub, diskotik dan semacamnya. Mungkin saja, demi ilmu dan masa depan ia

akan terima dan lakukan juga. Walau ia tahu bila jalan itu adalah jalan beronak

dan beduri. Mafhum, sangat mafhum sekali. Betul kata Nabi kekufuran akan dekat dengan kekafiran.

Tapi dibalik itu, rasa sedih nampak menyeruak. Sebentar lagi, ia akan tinggalkan jua

para sahabat dan adik-adik tersayangnya. Oh.. kawan, getir nian nasib kita.

Setelah kita berpisah dengan para bapak ibu kita, maka saatnya kita akan saling

berpisah.

Mata Adam kembali basah.

Bu hajjah adnan bingung, “Kenapa Le? Koq nangis..”

Adam tersenyum. “Saya hanya sedih akan meningalkan tempat ini dan para adik-adik dan

juga  sahabat, bu. Juga Bu Hajjah Adnan yang sudah bagai ibu sendiri”

Bu Hajjah Adnan membalas senyum. Ia usap rambut Adam dengan kasihnya yang

terhimpun. Ia tahu bila mengusap kepala sayang pada para yatim, maka tak ada

jaminan selain akan diberikan padanya surga. Oh... indahnya... indahnya!!.

”Dam... koq ngelamun. Ada apa?”

Seorang laki-laki tua datang menyapa Adam. Seorang penjaga masjid sepertinya. Pak Rohim

namanya. Dan gagang pel-pelan masih saja melekat dari genggaman tangan Adam.

Ia usap sautu titik air yang baru saja turun merayap.

* *  * *

Ustadah Cantik Itu Hawa Namanya

“Wajada..”

“Wajada..” koor para santri tingkat

Diahdapan anak-anak duduk sopan seorang gadis ayu berjilbab kuning. Hawariyah. Atau Hawa. Itulah namanya.

”Bagus, ayo sekarang buka halaman berikutnya. Bila tadi ada rangkaian tiga huruf maka

Kak Hawa sekarang mengejakan rangkaian empat huruf hijaiyah, nggak sulit koq. Siap..?”

tantang sang ustadzh.

”Siap ustadzah..!!”

”Siapa takut..” seru yang lain menggemaskan. Hawa tersenyum. Bisa saja anak

kecil-kecil itu.

”Waroqotin..” mulai Hawa dengan fasihnya, ”humazatin.. rodhofatun”.

Anak-anak dengan sigap dan tenang mencoba merangkai apa yang diperintahkan ustadzahnya.

Nampak lucu dan menggelikan.

Jam merayap pukul 5 saat para ustadz segera memulangkan para santri.

”Ustadzah hawa..” sebuah panggilan lembut menggetarkan dinding telinga Hawa

Hawa menoleh cepat.

Sosok Ustadz Farhan  ia lihat berdiri tak jauh darinya, ”Ya, ada apa, ustadz ..”

jawab ustadzah Hawa datar. Ia tatap ustadz Farhan yang memanggilnya naum dalam tatapan nakal.

Ia sedikit palingkan muka sebal.

”Ndak, hanya mau ngomong kalau jilbab ustadzah Hawa bagus dan serasi dengan

orangnya...” pujinya tak canggung. Ia tak begitu peduli dengan keadaan sekitar.

”Terima kasih, ustadz. Tapi simpan saja pujian ustadz pada Mbak Aisyah..” jawab Hawa agak kesal.

Mendengar itu, wajah sang ustadz memerah malu. Kata-kata itu bagaikan

tamparan seakan diingatkan bila ia telah beristri.

Hawa segera melangkah keluar. Ustadzah Hanum telah menunggunya untuk pulang bersama.

”Maaf ustadz Farhan. Itu ustadzah Hanum sudah menunggu. Saya pulang dahulu. ” ujar Hawa

ngeles. Ia tak ingin akan ada fitnah. Ia harus segera menyingkir.

Ustadz Farhan hanya bisa pandangi gadis berjilbab kuning itu tanpa berkedip.

Ada kesal namun bercampur cinta menyeruak dipermukaan hatinya. Tapi apa daya.

Kenyataannya, kini ia telah beristri. Hatinya berkerut-kerut kacau.

Sudah 5 tahun dari pernikahannya, ia belum juga dikaruniai momongan.

Ada duka yang membebani diri. Ada gemuruh berpaling berkata dari hatinya.

Ada sebuncah ingin diluar kelaziman yang ingin ia terjang. Tapi dapatkan ia larutkan inginnya?

Bisakah hasrat itu terwujud. Itu yang kini ia pikirkan.

Seorang ustadz berpamitan pula, Hariri namanya. ”Saya pulang juga, tadz” pamitnya.

Farhan mengangguk kecil, ”Ya Har, hati-hati” ucapnya lesu.

”Sebentar..” buru farhan menghentikan langkah Hariri yang keburu melangkah.

Hariri kaget. Langkahnya yang baru beberapa langkah terhenti. Ia menoleh kebelakang.

Ia lihat ustadz Farhan tatap ia dengan ekspresif.

”Apa ustadz Farhan?”

“Aku mau tanya padamu akan sesuatu, Har”, ada senyum nakal merekah dibibirnya,

”Boleh?”

“Bila aku bisa jawab. Tak ada yang bisa aku tolak, ustadz. Tapi masalah agama apa

yang njenengan tak tahu” katanya diplomatis. Iapun merendah. Walau orang sama

tahu bagaimana kemampuan seorang Hariri, seorang jebolan UIN Kalijaga. Bahkan

kini juga meneruskan S2 di UIN Malang.

”Boleh tidakkah menurutmu bila seorang seperti aku menikah lagi?”

Hariri tersentak. Kaget tak terkira. Ia tahu bila laki-laki dihadapannya sedang tak

bercanda. Terlalu bodoh bila ia anggap demikian, sedangkan garis wajah

laki-laki itu tak nampak ada gurau. Tapi bukankah..? Ia beristri.

”Mengapa tidak, Mas. Selama tak ada yang akan terluka. Dan memenuhi apa yang Allah

syaratkan..”

Ustadz farhan mendengus. Ia tahu bila dari kata-kata itu, hanya dua kriteria yang

Hariri sodorkan. Tapi tak ada satupun mungkin yang akan memenuhinya. Apalagi

yang kedua. Walau agak paham, tetap saja ia coba bertanya mencari jawaban.

”Apa itu, Har?” dengusnya dingin.

”Adalah atau adil. Itu saja” ucap Hariri tegas,”

"Tapi ustadz farhan, bukankah Allah sendiri jawab bila manusia tak akan bisa adil

walau bagaimanapun bersikeras dan ingin adil. Maka dalam hal ini saya merasa Allah telah sedikit

melarang walau ada saja buka peluang untuk itu. Tak mudah lakukan itu sebagaimana

mudah mengatakannya,”

Ah.. kenapa harus diskusi masalah poligami. Ia saja masih jomblo. Batin Hariri berujar.

Tak adakah masalah lain yang lebih tepat. Pengembangan TPQ dan para santri misalnya.

”Tapi mengapa sampeyan tanyakan itu, Mas. Memangnya..” Hariri terhenti. Alisnya

terlihat naik. Ia tak sanggup walau hanya menduga sekalipun. Terlalu akan

menyakiti. Ia tahu hati wanita mungkin akan sakit bila dengar itu. Ia bayangkan

bagaimana bila umi’nya yang dibegitukan oleh abanya. Ia melengos.

Farhan terdiam.

Hariri tahu. Hariri sadar dengan jawaban itu.

”Sudahlah mas nggak perlu sampeyan jawab, itu urusan sampeyan. Aku tak cabut dulu..”

Belum lagi Hariri melangkah, adzan bergaung meraung dari suara Adam berpantul dalam ruang indra dengar manusia-manusia beriman. Yang merasa iman, ia akan dengarkan dan jawab,

yang setengah-setengah, maka gaung adzan itu serasa penggangu telinga.

“Sholat Maghrib dulu ayo, mas?” tawar Hariri pada Farhan.

“Kamu aja dulu. Nanti aku nyusul..”  kata Farhan enteng. Gurat

kecewa nampak menyeruak jelas dari wajahnya. Jawaban yang kurang memberinya dukungan.

Hariri hanya mesem. Ia sudah terlalu paham dengan macam manusia didepannya. Sudah

empat tahun ia bergaul dengan orang itu. Ia lalu bergegas saja seorang diri

menuju shaf-shaf yang terhampar.

Dan Farhan masih saja duduk terdiam di emperan masjid menunggu iqomah.

Terlalu dalam lukisan wajah itu menancap dihatinya.

"Hawaa.... "

* *  * *

Jauhi Dia, Dam.

Seorang gadis ayu nampak diam termangu menatap bintang yang baru saja muncul bergemerlapan.

Ada resah dalam hati hinggap begitu saja tanpa ia bayangkan. Tapi sungguh ia malu untuk katakan.

Terlalu naif untuk akui. Bahkan terlalu pongah bagi hati untuk katakan, “aku cinta”, “aku rindu”.

Ketika adzan berkumandang di pelataran hati dan kampungnya, maka bayangan sang muadzin

nampak hadir begitu saja menyapa. Bayangan seorang sosok yang oleh bagian orang

dianggap tak level tak prestisius.

“Ilahi kenapa setiap kali aku dengarkan alunan bait-bait seruanmu hati ini selalu saja

bergetar. Dan setiap lihat dia hati ini berdetak.”

“Robbi, inikah keindahan cinta yang Kau titipkan padaku..”

”Atau inikah nafsu yang seringkali menggelicirkan kami anak manusia.”

Ia mendesah pelan. Ia sendiri tak mampu jawab. Ia hanya hembuskan bulir-bulir nafasnya yang

lembut. Ia tatap kembali langit yang menyala terang Ia buka rukuhnya perlahan. Ia gulung.

Dan ia masukkan dalam sajadahnya dengan rapi.

Jam masih merambat pukul tujuh kurang sepuluh. Kurang lima menit lagi ia akan

bersiap bergetar kembali. Alunan adzan akan segera menyeruak dan getarkan

hatinya yang dicandu cinta.

”Allahu akbar..  Allahu akbar..”

Adzan dengan alunan nada khas mesir segera bergema memasuki hati-hati orang yang

rindu untuk segera menghadap Allah. Demi dengar itu, seorang gadis nampak semakin saja

terperosok dalam pelukan cinta. Cinta pada tuhannya dan juga cinta pada makhluk yang

dititipkannya kesyahduan suara itu.

Kini, ia bergegas menuju masjid ”Nurul Firdaus”. Ia tak sanggup untuk tak

bersua siapa pelantun kumandang itu. Hatinya tak sabar untuk segera reguk

pesona keanggunan sang pelantun syair cinta di awang-awang iman para hamba.

Ia berjalan sejangkah demi sejangkah dengan iringan gerimis asa. Bulan tatap ia

dengan senyumnya. Tak banyak manusia yang mau keluar di hamparan dingin kota Malang. Apalagi untuk

reguk candu cinta dihadapan Tuhannya.

Ia hamparkan sajadah cintanya. Ia sholat dulu tahiyat dan qobliyah. Tak lama

alunan suara indah itu begema kembali getarkan hatinya yang dicandu cinta.

Iqomah berkumandang ringan pertanda ibadah sholat akan segera dilaksanakan. Tak

malu gadis itu sedikit tengok punggung sosok yang buat ia sedemikian kacau. Dan

ia semakin kacau. Kesyahduan alunan bait panggilan sholat itu semakin

mengacaukan ritme hatinya yang gersang tak terusik nafsu.

"Adam...."

Deg..deg..deg... dadanya klojotan.

*  * *

Entahkah ini kepatutan atau tidak. Apakah ini suatu hal yang pantas ataukah tidak. Segenggam

rasa yang baru ia alami begitu saja hingap dalam hatinya. Ketika gadis

itu melintas, maka begitu saja pesona angin asmara menyeruak menyapanya dengan

takdhimnya. Ia terpesona. Ia terkulai tiada daya. Ia jatuh cinta. Sebegitu mudahnya Tuhan menyisipkan rasa.

O.. Robbi,  tolong aku!!.

Malam yang cerah berkilauan gugusan bintang nan rembulan tak sanggup

menentramkan hatinya. Sayangnya, iapun tak tahu harus berbuat apa. Ayat-ayat

Al-Qur'an yang baru saja ia baca ternyata belum juga sanggup mengusir buncah rasa cinta itu.

“Lagi ngelamun, Dam?” ucap pak Rohim dari belakang. Seorang marbot sepuh sebagaimana

dirinya. Seorang penjaga masjid yang 10 tahun yang lalu ia telah jadi seorang duda tanpa anak.

”Ah bapak..” semu Adam tersentak. ”Buat kaget saja..”.

"Ngalamun opo to? Koq koyo serius ngono..?”

Adam tak jawab. Wajah merah yang kiranya bisa mewakili jawabannya. Pak Rohim bisa tangkap itu. Bukankah ia juga pernah merasakan muda.

”Kasmaran ini koyo’e. Yo to?”, goda Pak Rohim.

”Alah.. alah, nggak usah isin. Bapak juga pernah muda koq, le?” ujar Pak Rohim sembari

duduk menjajari anak muda disebelahnya.

”O. .. yo  kalau bapak boleh tahu. Bidadari mana yang lagi jatuh di pangkuan hatimu itu? pasti cua... antik, ya?”

Adam ragu. Akankah ia berterus terang pada laki-laki tua itu. Tapi, adakah alasan untuk tak cerita.

Ia bisa dipercaya. Dan betul, laki-laki itu telah bagaikan ayahnya yang seumur hidup

tak pernah ia lihat. ”Tapi, Pak..”

”Sudahlah dam , kalu kau tak percaya tak apa-apa, itu hakmu. Bapak tak akan memaksa..” kata bapak lirih.

Adam tak enak hati. Di lain sisi ia ingin pendam saja rasa itu sampai akan terkuak

dengan sendirinya, tapi disisi lain, ia juga ingin teman berbagi yang tahu

masalahnya. Mungkin saja akan ada jalan.

”Nggak pak. Adam percaya sama njenengan koq” buru-buru Adam jelaskan. Ia tak ingin

gara-gara hal itu maka akan jadi sekat antara mereka.

”Jangan bilang sama siapa-siapa lho, Pak” mata Adam mendelik, ”Janji?”

Pak Rohim mantuk (mengangguk).

”Adam lagi jatuh cinta sama ustadzah Hawa, Pak” ujar Adam pelan, ia seakan tak ingin

setan atau Malaikat Roqib Atid sekalipun tak boleh tahu akan hal itu.

”Haaaa...” kata Pak Rohim terkesiap. Mataya melotot. Mulutnya lebar menganga

menampakkan giginya yang tanggal sepasang.

Adampun tak kalah kaget. Sebegitu kagetnyakah Pak Rohim dengar nama itu.

”Kenapa, Pak. Ada yang salah..?” ujar Adam meyakinkan. Wajahnya nampak culun. Adahkah

yang keliru apa yang ia ucapkan.

Pak Rohim masih saja terperanjat. Hampir-hampir ia diserang bisu kelas kakap.

”A..a.. pa bapak nggak salah dengar ini?” ujar Pak Rohim tergagap.

Adam menggeleng. Ia yakin seribu persen bahkan sejuta persen dengan ucapannya. ”Memang

kenapa, Pak? Ada yang aneh?”

”Nggak ada. Tapi apa kamu sadar siapa Hawa?”

Adam menggeleng. SEtahu Adam Hawa adalah anak seorang duda bernama Pak Imron.

Seorang pengusaha.

”Bukannya bapak anggap kamu remeh. Sudah berapa tahun bapak pernah bergaul dengannya

sewaktu di desa, dan aku tahu bagaimana dengan watak dan tabiatnya yang keras, Dam”

Adam mendesah. Perasaannya jadi tak enak.

”Lalu apa yang harus saya lakukan, Pak?” lirih Adam.

”Sungguh saya sangat cinta pada ustadzah itu, Pak” lanjut ADam dengan wajah iba penuh harap.

”Lupakan saja dia, Nak. ” meluncur begitu saja saran Pak Rohim.

”Mengapa, Pak? Apakah menurut bapak saya kurang pantas bersanding dengan Hawa?” Ujar Adam

setengah bersungut. ”Dengan kondisi kami yang berbeda?”

”Nggak. Bahkan menurut kata hati bapak, kau adalah yang terbaik di kampung ini.” ucap Pak Rohim menghibur, ”Tapi..?”.

”Tapi apa, Pak?” kejar Adam. Ia sudah kedanan betulan.

“Tapi aku tak akan yakin dengan ayah Ning Hawa. Dan bapak tak ingin kau semakin lara dan nelangsa"”

“Akankah ia akan halangi, Pak?” kejar Adam.

”Bapak sudah tahu bagaimana ayah Hawa. Bukankah semasa masih bujangan ia adalah teman bapak saat dulu kami sama merantau di Jakarta. Ia dari Aceh dan bapak dari Malang. Tapi..”

Kembali ucapan pak rohim terhenti. Ia seakan menggali memori yang lama tak tersumbul di benak pikirnya.

“Tapi ketika keberhasilan, kekayaan dan kesuksesan mampu ia raih. Maka sejak itu pula

ia telah kehilangan nuraninya..”

“Ia seakan lupa bila aku dulu adalah mantan teman karibnya”

”Bapak pernah punya masalah?”

Pak Rohim menggeleng, ”Masalahnya hanya satu. Dunia telah genggam jiwanya sehingga

menjelma menjadi Qorun-qorun kecil’.

”Tapi biarlah, toh bapak juga tak ada tendensi dan niat apa-apa dengan manusia itu”

ujar Pak Rohim dengan nanar.

Adam cukup tahu dengan tuturan itu. Lagi-lagi rasa sombong menelan korbannya.

”Dam..”

Adam menoleh. Ia tatap lembut wajah tua dihadapannya.

”Dulu entah berapa macam kemaksiyatan yang telah kami jalani bersama. Tak terhitung

bagai tak terhitungnya gugusan anugrah Allah pada bapak. Tapi nasib jua yang akhirnya

menentukan pilihannya...” ia mengalun desah.

”Tapi bukankah karena bapak begini agar terhindar dari kesombongan sebagaimana ayah

Hawa?” sela Adam.

Pak Rohim terkekeh, ”Bahkan mungkin saja bapak akan jauh lebih hina dan kotor lagi dari dia, Dam” Pak Rohim tepuk pundak kanan Adam, ”Bapak dulu sewaktu bujangan lebih jago bermaksiyat ketimbang ayah Hawa”.

”Makanya pak. Baik sangka pada Allah. Ada sesuatu hikmah yang tersembunyi, kan?”

”Nah itu yang utama, Le. Itu yang afdhol. Bapak baru sadar itu. Baru sadar”

Malam semakin pekat.

”Tapi bener, Le. Jauhi saja Ning Hawa.. bener..” ujar Pak Rohim memastikan.

Adam tak respon. Galau lagi merambahi dirinya.

Bayangan indah sang ustadzah itu kembali melesat anggun di pelupuk mata Adam.

Ia tersenyum seakan orang gila. Duhai cinta..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!