Suamiku Yang Pelit
Hari ini, aku benar-benar kebingungan, uang jatah belanja telah habis tak bersisa.
Mana lagi gas habis, gula merah dan bumbu-bumbu dapur sama sekali sudah tidak ada alias ludes.
Mendesah kesal, aku terpaksa harus meminta uang pada mas Fakhri, meski aku yakin akan sangat susah meminta uang darinya itu.
Sifat pelitnya membuatku kesal setiap ingin meminta uang untuk belanja, toh, padahal itu juga untuk mengenyangkan perutnya juga.
Kadang suka heran, untuk apa uang hasil bekerja yang lumayan di toko jika jatah belanjaku saja hanya seratus ribu satu minggu.
Jangankan untuk beli baju, kosmetik dan skincare, untuk bisa makan enak dengan uang belanja yang tipis saja sudah untung tapi untung mertua perempuanku bu Ayu orangnya baik terkadang aku di ajak ke salon, katanya untuk merawat diri agar suami tidak kepincut kelain hati.
Akhirnya aku melangkahkan kaki juga untuk meminta uang pada mas Fakhri.
mas Fakhri terlihat serius dan fokus menghitung uang hasil keuntungan tokonya itu, lumayan banyak juga pikirku setelah melihat jumlah uang berwarna biru dan pink itu di atas meja.
Kuhampiri mas Fakhri, lalu dengan susah payah aku berusaha melontarkan kalimat untuk meminta uang belanja.
"Mas, duit yang minggu lalu mas kasih sudah habis, gas tinggal sedikit, gula merah sama bumbu dapur sudah habis," ucapku pada mas Fakhri.
Mas Fakhri tidak mau bekerja kantoran seperti bapaknya Rafi dia ingin punya usaha sendiri, mas Fakhri yang saat ini, kini tengah menghitung keuntungan berdagangnya, ia menghentikan aksinya mengelus uang berwarna pink dan biru tua itu.
"Lah, Dek. Cepat kali habisnya, uang seratus ribu tuh banyak tau, masa bisa secepat itu habis," ucap mas Fakhri.
Aku menghela napas lelah, sudah kuduga akan sulit meminta uang pada suamiku itu.
"Mas, uang seratus ribu yang mas kasih kemarin tuh minggu lalu, uangnya sudah habis Adek belanjakan ke warung," jawabku lagi pada Mas Fakhri.
"Memangnya apa saja yang kamu beli, Dek, hingga uang seratus ribu sampai secepat itu habis?"
Aku berusaha bersabar, dongkol rasanya hanya ingin meminta uang belanja serepot ini.
"Mas pikir saja sendiri, seminggu ini apa saja sayur dan lauk yang aku masuk untuk makan kau, Mas."
Lepas sudah rasa kesal ini, uang di depan mata tinggal sodorkan saja padaku apa susahnya?
Uang itu hasil untung dari berdagang, selama seminggu ini, aku pun berhemat dengan memutar otak bagaimana bisa makan enak dengan sayur dan lauk dengan uang belanja selama satu minggu.
Mas Fakhri setiap makan selalu seperti orang kelaparan, nasi di dalam magic com yang kumasak banyak selalu berkurang banyak jika mas Fakhri makan duluan.
Padahal, aku memasak banyak nasi untuk bisa sampai makan tiga kali sehari.
Karena uang yang kuminta tak kunjung ia sodorkan padaku, aku melenggang masuk kamar dengan dongkol.
Uang banyak di depan mata tadi, sungguh tidak bisa aku meminta lebih dari seratus ribu.
...****************...
Pagi ini aku sengaja tidak memasak, gas habis dan bumbu-bumbu dapur pun habis.
Kubiarkan saja mas Fakhri yang sudah bangun dan bersiap untuk pergi berdagang.
"Loh, Dek. Kok pagi ini kamu enggak masak?" tanya mas Fakhri saat membuka tudung makan.
Aku menoleh sebentar untuk menjawab pertanyaan mas Fakhri, kemudian menjawab sembari mencuci baju di kamar mandi yang pintunya terbuka.
"Memangnya, apa yang bisa Adek masak pagi ini?" tanyaku balik bertanya.
"Ya masak seperti biasa kamu masak, Dek. Masa aku mau berangkat dagang enggak sarapan."
Mengucek baju dengan keras, aku yang kesal karena Mas Fakhri tidak juga peka bahwa di baskom tempat biasa aku menaruh sayur-mayur sama sekali kosong tidak ada sayuran hijau di sana.
Aku berdiri, meninggalkan cucian baju yang tinggal sedikit lagi untuk mendekati mas Fakhri.
"Yang mau dimasak tuh apa, mas. Lihat! Sayuran tidak ada, tabung gas habis, bumbu dapur sudah ludes semua, kemarin kan, Adek sudah minta uang untuk belanja, ya kalau pagi ini Abang tidak makan ya bukan salah Adek," ucapku sambil mengambil baskom kosong dan memperlihatkannya pada mas Fakhri.
Mas Fakhri melotot, dengan wajah cemberut diambilnya dompet yang selalu disimpannya di dalam kantong celananya.
"Nah, lima puluh ribu, cukup kan, beli tabung gas sama bumbu dapur, dan sayuran?"
Aku sambar uang yang disodorkan mas Fakhri dengan cepat, harusnya dari kemarin kek, harus nunggu aku enggak masak baru dikasih duit.
"Kalau bisa sama beli daging ayam sekilo, ya Dek." Aku berdecak.
Dasar mas Fakhri, banyak maunya tapi ngasih uang pas-pasan begini, besok hari mau makan sayuran apa lagi? Aku yakin uang lima puluh ribu ini akan ludes saat dibelanjakan di warung.
Tanpa menjawab ucapan mas Fakhri, aku bergegas menukar tabung gas dan membeli sayuran hijau juga bumbu dapur yang sudah habis tak bersisa.
...****************...
"Dek?"
"Hem," jawabku saat mas Fakhri memanggilku.
"Coba lihat sini, deh."
Aku yang sedang asyik menonton televisi pun berusaha mendekat lebih dekat pada mas Fakhri.
Hari ini, mas Fakhri memang libur berdagang, jadi seharian hanya di rumah saja.
"Lihat apa sih, mas?" tanyaku penasaran.
"Bagus ya, Dek."
"Iya, Bang. Bagus itu, mas mau beli?" tanyaku.
Tumben-tumbenan mas Fakhri melihat-lihat baju pasangan yang biasa disebut baju couple.
"Oh itu, enggak kok, Dek. Abang cuma lihat-lihat saja, sayang uangnya buat beli baju, baju kita kan, masih banyak di lemari." Aku memutar bola mata.
Astaga! Beli baju saja setahun sekali saat lebaran, itu pun karena aku yang merengek minta dibelikan baju karena setiap lebaran hanya memakai gamis itu-itu saja.
"Ya kalau enggak minat beli, kenapa pula mas tengok-tengok," ucapku jengkel.
"Lah, enggak apa-apa kan, lihat-lihat saja, sayang, duit cuma buat beli baju begituan, mending di tabung Dek, iya kan?"
"Iyalah, terserah saja mas."
Aku masuk ke dalam kamar, sungguh empet tak terkira mendengar ocehan mas Fakhri.
Bilang saja kau sayang keluarkan uang untuk beli baju itu, mas. Jangankan beli baju, uang lima ratus perak yang jatuh di got pun, kau cari sampai harus nyempung ke dalam lumpur bau.
Ck, ck, ck.
dasar kau mas.
Hari ini aku hanya memasak tumis kangkung yang harganya satu ikat seribu rupiah, aku membeli dua ikat untuk nanti dicampur dengan tahu supaya bisa sekalian untuk lauk.
mas Fakhri yang sudah segar sehabis mandi, langsung duduk di meja makan saat aku sudah menghidangkan nasi, dan sayur serta kerupuk di atas meja.
Dahinya berkerut saat melihat masakanku pagi ini.
"Dek, kok enggak ada lauknya, sih?" tanya mas Fakhri.
Aku hanya bisa menghela napas, jangan sampai kelepasan ngomel panjang lebar karena hari masih pagi untuk bercemberut ria.
"Ya terus mas maunya makan apa? Tuh lauknya sekalian ada di dalam tumis kangkung, hematkan, iya, supaya duit seratus ribu cukup untuk jatah seminggu," jawabku sambil terus mengambil dan menuangkannya ke dalam piringku sendiri.
"Memangnya uang itu tidak cukup untuk beli ayam atau ikan laut?"
Aku geram juga lama-kelamaan.
"Ya kalau begitu tak usah makan sayur, biar makan lauk saja," jawabku ketus.
Wajah mas Fakhri tertekuk masam, rasakanlah mas. Makanlah yang ada salah siapa pelit jadi tak bisalah kau makan enak setiap hari.
Aku makan sambil terus mendumel dalam hati, untung saja sampai nasi habis aku tidak tersedak atau pun salah memasukkan nasi ke dalam hidung misalnya, kan bisa berabe jadinya.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Selvi (IG: selvi_julianengsih)
PENGUMUMAN,
Untuk cerita ini hanya berfokus pada Fakhri dan Auren istrinya tidak ada campur tangan Ayu dan Rafi, karena pengalaman mengajarkan Ayu dan Rafi untuk tidak ikut campur urusan RT anaknya😊
Sekian infonya dan terima kasih🙏
2022-12-09
3