Aku masih dalam mode pemblokiran tidur bersama Mas Fakhri, jika sampai acara Neneng aku belum juga dibelikan baju, maka tidur diluar selama satu bulan akan kuberlakukan.
Pagi ini seperti biasa, aku masak dengan bahan ala kadarnya, tidak ada ayam, maupun daging lainnya, yang ada hanya tempe dan tahu saja.
Mas Fakhri terlihat masih kusut dengan wajah khas bangun tidur, mata yang masih merah karena kantuk masih terlihat jelas di saja.
Mungkin itu efek tegangan listrik yang semalam tidak tersalurkan.
Aku acuh saja, kembali menyusun makanan di atas meja lalu beranjak untuk mencuci piring kotor dan peralatan masak yang tadi kugunakan.
"Dek, kopinya mana!" seru Mas Fakhri dari meja makan.
Aku menghela napas.
"Buat saja sendiri!" Aku balas berseru dari belakang.
Terdengar suara langkah kaki menyusul ke belakang.
"Dek, masa masih di blokir sih?" tanya Mas Fakhri.
Aku mengangguk.
"Iya, mas. Jadi jangan minta layanan maksimal dariku."
"Tapi..."
"Shut, jangan ada tapi, tapian mas, adek lagi ngambek. Pokoknya kalau belum mau belikan baju baru, jangan harap tidur di kamar malam nanti."
Wajah Mas Fakhri terlihat lesu, gontai langkahnya saat telah mendengar ultimatum dariku.
Kasihan sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, sifat pelit Mas Fakhri harus segera di atasi.
Jika tidak, maka aku yang akan terus sengsara.
Aku mencuci piring dengan cepat, lalu beralih mencuci baju, jika saja ada mesin cuci pekerjaanku akan lebih ringan lagi.
Saat akan merendam cucian, deterjen yang biasa kugunakan habis.
Terpaksa aku berteriak dan memanggil Mas Fakhri untuk membelikan sabun cuci baju, karena masih ada ikan asin yang aku jemur di atas jemuran, jika tidak diperhatikan bisa-bisa ikan asin di makan kucing.
"Mas! Mas Fakhri! Tolong belikan adek sabun cuci baju dulu di warung, Bang."
Mas Fakhri terlihat datang lagi ke belakang.
"Apa sih, Dek. Teriak-teriak gitu, mas mau makan nih, mau ke toko bentar lagi," gerutu Mas Fakhri.
Aku melotot.
"Oh jadi enggak mau di mintai tolong istrinya, ya sudah, biar adek minta Jono saja untuk belikan, anak itu biasanya mau dan langsung berangkat jika dimintai tolong."
Aku baru saja akan berjalan mengambil ponsel saat Mas Fakhri dengan wajah tidak terima akhirnya mau membelikan sabun cuci baju.
"Ya sudah, sini mana uangnya," ucap Mas Fakhri.
"Pakai uang mas lah."
Mas Fakhri semakin cemberut tetapi mau tidak mau berangkat juga beli sabun.
"Gitu kek, nurut sama istri sekali-kali, uang belanja seratus ribu satu minggu mana cukup, mas. Beli makanan saja sudah ludes habis tak bersisa."
Aku pun menyapu lantai selagi menunggu Mas Fakhri membeli sabun.
Aku menatap tidak percaya pada apa yang kini tengah di bawa oleh Mas Fakhri.
"Ino sabun buat apa, mas?" tanyaku geram.
"Ya, buat cuci baju lah, Dek. Lumayan, murah itu, cuma dua ribu, hematkan, makanya Adek beli yang beginian saja supaya cukup uang jatah belanjanya."
Aku mendelik.
"Jadi ... mas suruh adek cuci baju pakai sabun colek dan bukan deterjen, oke."
Aku sudah malas berdebat, lalu kusambar sabun colek itu dengan cepat.
Jika bisa menelan manusia, mungkin Mas Fakhri adalah orang pertama yang aku telan.
Tarik napas, hembuskan.
Malas sekali harus terus emosi setiap pagi, sudah capek bereskan rumah di tambah lagi capek melihat tingkah pelit Mas Fakhri.
Aku mencuci baju dengan suara sikat yang segaja aku keraskan serta memukul-mukulkan baju ke lantai semen supaya bersih sekaligus kesal makanya kulampiaskan pada baju.
...****************...
"Dek, mas berangkat ke toko dulu ya," pamit Mas Fakhri.
Aku hanya mengangguk dengan wajah masam.
Wajah Mas Fakhri masih kusut seperti tadi pagi bangun tidur, aku acuh.
Siapa suruh tidak mau membelikan baju selembar saja, padahal bulan-bulan ini toko tidak sepi.
Mas Fakhri keluar dengan langkah sama lesunya dengan wajah, lalu menstater motor dan melaju untuk pergi ke toko.
Aku masuk ke dalam rumah saat sudah melihat Mas Fakhri berangkat, rasa lelah membuatku terduduk di kursi.
"Bagaimana caranya membuat Mas Fakhri mau belikan baju, ya." pikirku bertanya-tanya.
Bosan juga lama-kelamaan jika terus seperti ini di rumah, ah aku ada ide.
Bu Darti ujung komplek biasanya jualan baju gamis kredit, aku akan ke sana nanti, melihat-lihat gamis yang harganya terjangkau saat nanti dicicil dengan uang balanjaku yang juga minim.
Aku bergegas mengganti baju, lalu mengorek isi tas Mas Fakhri siapa tau ada uang yang terselip dan Mas Fakhri tidak ingat.
Aha!
Benar saja, saat tanganku merogoh kantong paling kecil di tas milik Mas Fakhri, selembar uang lima puluhan ribu terselip di sana.
"Yes! Beruntungnya aku, harus cepat pergi ke rumah Bu Darti untuk beli baju ini, siapa tau ada gamis murah dengan harga lima puluh ribu."
Kukunci semua pintu rumah, lalu berjalan menuju rumah Bu Darti, motor hanya punya satu dan itu pun di pakai Mas Fakhri untuk pergi bekerja padahal udah di suruh beli mobil atau nambah motor tapi yang namanya Mas Fakhri ya gitu deh.
Rumah Bu Darti lumayan jauh jaraknya dari rumahku karena lokasinya yang berada di ujung komplek.
"Eh, Bu Auren, mau ke mana, Bu?" tanya salah seorang warga yang sedang mengasuh anaknya.
"Eh, mau ke rumah Bu Darti, Nem. Lagi ngasuh anak?" tanyaku balik untuk sopan santun.
"Iya, Nih. Eh, tumben mau ke sana, mau beli baju, ya?"
Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan juga tidak mengelak.
"Ya sudah, duluan ya."
"Iya."
Aku bergegas mslanjutkan perjalanan menuju rumah Bu Darti, memang sebagian warga komplek mengetahui sifat Mas Fakhri yang pelit maka jangan heran jika banyak yang bertanya-tanya jika aku pergi ke rumah Bu Darti untuk beli baju tapi itu tidak berlaku pada keluarganya, karena aku tidak pernah bercerita bahwa mas Fakhri pelit.
Rumah Bu Darti sudah tampak di depan mata, bangunan yang semua bercat warna ungu itu adalah rumah Bu Darti.
"Asalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu.
"Walaikumsalam."
Lalu pintu terbuka, tampaklah badan lebar Bu Darti kini.
"Auren, tumben ke sini mau beli baju?" tanya Bu Darti.
Aku mengangguk.
"Ya sudah, ayo masuk dulu, pilih-pilih mau baju yang seperti apa."
"Em ... Bu, baju gamis yang harganya lima puluh ribuan ada?" tanyaku pelan.
Bu Dari tampak berpikir.
"Sepertinya masih ada stoknya, sebentar aku ambilkan dulu."
Bu Darti masuk ke dalam kamarnya, lalu tidak lama keluar lagi dengan beberapa baju di tangan.
"Ini, baju gamis yang harganya lima puluhan ribu, bagus-bagus kok bajunya, kalau mau langsung kontan bayarnya lima puluh ribu, kalau kredit, aku minta untung lima ribu ya," ucap Bu Darti menjelaskan.
"Bayar kontan, Bu. Saya pilih-pilih dulu bajunya, Bu."
"Iya, silakan."
Beberapa saat memilih baju, pilihanku jatuh pada baju gamis berwarna mocca.
"Ini saja, Bu. Saya ambil baju yang warna ini, ini uangnya," ucapku sambil menyodorkan uang lima puluh ribuan.
"Terima kasih, kapan-kapan belanja baju ke sini lagi ya, ini plastiknya."
Aku mengangguk, kapan-kapan yang entah kapan lagi, gumamku dalam hati.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu."
"Iya, hati-hati di jalan."
Aku berjalan dengan riang sambil menenteng baju gamis baru, di acara hajatan Neneng nanti, aku bisa pakai baju baru.
Senangnya, jika tidak seperti ini mana mau Mas Fakhri belikan baju.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments