Hari ini, aku benar-benar kebingungan, uang jatah belanja telah habis tak bersisa.
Mana lagi gas habis, gula merah dan bumbu-bumbu dapur sama sekali sudah tidak ada alias ludes.
Mendesah kesal, aku terpaksa harus meminta uang pada mas Fakhri, meski aku yakin akan sangat susah meminta uang darinya itu.
Sifat pelitnya membuatku kesal setiap ingin meminta uang untuk belanja, toh, padahal itu juga untuk mengenyangkan perutnya juga.
Kadang suka heran, untuk apa uang hasil bekerja yang lumayan di toko jika jatah belanjaku saja hanya seratus ribu satu minggu.
Jangankan untuk beli baju, kosmetik dan skincare, untuk bisa makan enak dengan uang belanja yang tipis saja sudah untung tapi untung mertua perempuanku bu Ayu orangnya baik terkadang aku di ajak ke salon, katanya untuk merawat diri agar suami tidak kepincut kelain hati.
Akhirnya aku melangkahkan kaki juga untuk meminta uang pada mas Fakhri.
mas Fakhri terlihat serius dan fokus menghitung uang hasil keuntungan tokonya itu, lumayan banyak juga pikirku setelah melihat jumlah uang berwarna biru dan pink itu di atas meja.
Kuhampiri mas Fakhri, lalu dengan susah payah aku berusaha melontarkan kalimat untuk meminta uang belanja.
"Mas, duit yang minggu lalu mas kasih sudah habis, gas tinggal sedikit, gula merah sama bumbu dapur sudah habis," ucapku pada mas Fakhri.
Mas Fakhri tidak mau bekerja kantoran seperti bapaknya Rafi dia ingin punya usaha sendiri, mas Fakhri yang saat ini, kini tengah menghitung keuntungan berdagangnya, ia menghentikan aksinya mengelus uang berwarna pink dan biru tua itu.
"Lah, Dek. Cepat kali habisnya, uang seratus ribu tuh banyak tau, masa bisa secepat itu habis," ucap mas Fakhri.
Aku menghela napas lelah, sudah kuduga akan sulit meminta uang pada suamiku itu.
"Mas, uang seratus ribu yang mas kasih kemarin tuh minggu lalu, uangnya sudah habis Adek belanjakan ke warung," jawabku lagi pada Mas Fakhri.
"Memangnya apa saja yang kamu beli, Dek, hingga uang seratus ribu sampai secepat itu habis?"
Aku berusaha bersabar, dongkol rasanya hanya ingin meminta uang belanja serepot ini.
"Mas pikir saja sendiri, seminggu ini apa saja sayur dan lauk yang aku masuk untuk makan kau, Mas."
Lepas sudah rasa kesal ini, uang di depan mata tinggal sodorkan saja padaku apa susahnya?
Uang itu hasil untung dari berdagang, selama seminggu ini, aku pun berhemat dengan memutar otak bagaimana bisa makan enak dengan sayur dan lauk dengan uang belanja selama satu minggu.
Mas Fakhri setiap makan selalu seperti orang kelaparan, nasi di dalam magic com yang kumasak banyak selalu berkurang banyak jika mas Fakhri makan duluan.
Padahal, aku memasak banyak nasi untuk bisa sampai makan tiga kali sehari.
Karena uang yang kuminta tak kunjung ia sodorkan padaku, aku melenggang masuk kamar dengan dongkol.
Uang banyak di depan mata tadi, sungguh tidak bisa aku meminta lebih dari seratus ribu.
...****************...
Pagi ini aku sengaja tidak memasak, gas habis dan bumbu-bumbu dapur pun habis.
Kubiarkan saja mas Fakhri yang sudah bangun dan bersiap untuk pergi berdagang.
"Loh, Dek. Kok pagi ini kamu enggak masak?" tanya mas Fakhri saat membuka tudung makan.
Aku menoleh sebentar untuk menjawab pertanyaan mas Fakhri, kemudian menjawab sembari mencuci baju di kamar mandi yang pintunya terbuka.
"Memangnya, apa yang bisa Adek masak pagi ini?" tanyaku balik bertanya.
"Ya masak seperti biasa kamu masak, Dek. Masa aku mau berangkat dagang enggak sarapan."
Mengucek baju dengan keras, aku yang kesal karena Mas Fakhri tidak juga peka bahwa di baskom tempat biasa aku menaruh sayur-mayur sama sekali kosong tidak ada sayuran hijau di sana.
Aku berdiri, meninggalkan cucian baju yang tinggal sedikit lagi untuk mendekati mas Fakhri.
"Yang mau dimasak tuh apa, mas. Lihat! Sayuran tidak ada, tabung gas habis, bumbu dapur sudah ludes semua, kemarin kan, Adek sudah minta uang untuk belanja, ya kalau pagi ini Abang tidak makan ya bukan salah Adek," ucapku sambil mengambil baskom kosong dan memperlihatkannya pada mas Fakhri.
Mas Fakhri melotot, dengan wajah cemberut diambilnya dompet yang selalu disimpannya di dalam kantong celananya.
"Nah, lima puluh ribu, cukup kan, beli tabung gas sama bumbu dapur, dan sayuran?"
Aku sambar uang yang disodorkan mas Fakhri dengan cepat, harusnya dari kemarin kek, harus nunggu aku enggak masak baru dikasih duit.
"Kalau bisa sama beli daging ayam sekilo, ya Dek." Aku berdecak.
Dasar mas Fakhri, banyak maunya tapi ngasih uang pas-pasan begini, besok hari mau makan sayuran apa lagi? Aku yakin uang lima puluh ribu ini akan ludes saat dibelanjakan di warung.
Tanpa menjawab ucapan mas Fakhri, aku bergegas menukar tabung gas dan membeli sayuran hijau juga bumbu dapur yang sudah habis tak bersisa.
...****************...
"Dek?"
"Hem," jawabku saat mas Fakhri memanggilku.
"Coba lihat sini, deh."
Aku yang sedang asyik menonton televisi pun berusaha mendekat lebih dekat pada mas Fakhri.
Hari ini, mas Fakhri memang libur berdagang, jadi seharian hanya di rumah saja.
"Lihat apa sih, mas?" tanyaku penasaran.
"Bagus ya, Dek."
"Iya, Bang. Bagus itu, mas mau beli?" tanyaku.
Tumben-tumbenan mas Fakhri melihat-lihat baju pasangan yang biasa disebut baju couple.
"Oh itu, enggak kok, Dek. Abang cuma lihat-lihat saja, sayang uangnya buat beli baju, baju kita kan, masih banyak di lemari." Aku memutar bola mata.
Astaga! Beli baju saja setahun sekali saat lebaran, itu pun karena aku yang merengek minta dibelikan baju karena setiap lebaran hanya memakai gamis itu-itu saja.
"Ya kalau enggak minat beli, kenapa pula mas tengok-tengok," ucapku jengkel.
"Lah, enggak apa-apa kan, lihat-lihat saja, sayang, duit cuma buat beli baju begituan, mending di tabung Dek, iya kan?"
"Iyalah, terserah saja mas."
Aku masuk ke dalam kamar, sungguh empet tak terkira mendengar ocehan mas Fakhri.
Bilang saja kau sayang keluarkan uang untuk beli baju itu, mas. Jangankan beli baju, uang lima ratus perak yang jatuh di got pun, kau cari sampai harus nyempung ke dalam lumpur bau.
Ck, ck, ck.
dasar kau mas.
Hari ini aku hanya memasak tumis kangkung yang harganya satu ikat seribu rupiah, aku membeli dua ikat untuk nanti dicampur dengan tahu supaya bisa sekalian untuk lauk.
mas Fakhri yang sudah segar sehabis mandi, langsung duduk di meja makan saat aku sudah menghidangkan nasi, dan sayur serta kerupuk di atas meja.
Dahinya berkerut saat melihat masakanku pagi ini.
"Dek, kok enggak ada lauknya, sih?" tanya mas Fakhri.
Aku hanya bisa menghela napas, jangan sampai kelepasan ngomel panjang lebar karena hari masih pagi untuk bercemberut ria.
"Ya terus mas maunya makan apa? Tuh lauknya sekalian ada di dalam tumis kangkung, hematkan, iya, supaya duit seratus ribu cukup untuk jatah seminggu," jawabku sambil terus mengambil dan menuangkannya ke dalam piringku sendiri.
"Memangnya uang itu tidak cukup untuk beli ayam atau ikan laut?"
Aku geram juga lama-kelamaan.
"Ya kalau begitu tak usah makan sayur, biar makan lauk saja," jawabku ketus.
Wajah mas Fakhri tertekuk masam, rasakanlah mas. Makanlah yang ada salah siapa pelit jadi tak bisalah kau makan enak setiap hari.
Aku makan sambil terus mendumel dalam hati, untung saja sampai nasi habis aku tidak tersedak atau pun salah memasukkan nasi ke dalam hidung misalnya, kan bisa berabe jadinya.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
Aku menatap pantulan tubuhku di depan cermin, lumayanlah.
"Pakai baju ini sajalah," ucapku akhirnya setelah lama berkutat di depan lemari untuk memilih baju yang pantas untuk di pakai jalan-jalan.
Selama ini aku memang tidak terlalu banyak memiliki baju yang bagus, mengingat pelitnya mas Fakhri saat kumintai duit untuk beli baju.
Selesai memilih baju, aku menyambar tas sederhana yang biasa aku gunakan untuk pergi ke mana-mana, hanya tas ini yang kupunya walaupun pernah mau di belikan baik tas maupun baju oleh mertuaku tapiku tolak lantaran aku tidak mau menambah biaya hidupku padahal aku tanggunan anaknya.
Memangnya mas Fakhri akan mau memberikan uang untuk membeli tas? Sedangkan untuk meminta uang jatah belanja saja lamanya naudzubilah terkadang aku heran mas Fakhri itu anak siapa, soalnya ibunya royal bangat.
"Mas, Adek sudah siap nih. Ayo berangkat," ucapku pada Mas Fakhri.
Wajah Mas Fakhri yang awalnya terpesona menjadi terlihat berkerut.
"Cantik nya, istri siapa nih, Lah, Dek. Cuma bawa tas kecil itu?" tanya Mas Fakhri.
Aku pun mengangguk saja.
Mas Fakhri masih celingukan melihat belakang tubuhku, entah apa yang tengah di carinya itu.
"Cari apa, sih, mas?" tanyaku penasaran.
"Enggak bawa bekal makan siang untuk jalan-jalan?"
Aku melotot tidak percaya pada apa yang baru saja kudengar.
Heh! Bekal makan siang?
"Maksudnya, kita jalan-jalannya bawa bekal dari rumah, gitu?" tanyaku masih tidak percaya.
Kini giliran Mas Fakhri yang mengangguk.
"Ya ampun, mas. Nanti di mall kan, banyak yang jual makanan minuman, beli di sana aja, kenapa harus bawa bekal dari rumah juga sih," ucapku kesal.
"Loh, Dek. Kan lebih enak makanan dari rumah, higenis yang masak juga kamu, beli makanan di pantai sama di dalam mall nanti tuh mahal tau, kan lebih hemat bawa makanan dan camilan dari rumah." Mas Fakhri berujar sambil mengelap motornya yang baru kering di cuci.
Aku berkacak pinggang, kalau begini caranya mending rekreasi di samping rumah aja kalau gitu, bangun tenda sama bawa camilan dan makanan dari rumah, enggak perlu jauh-jauh ke Mall atau pantai.
"Sudah buruan di siapkan bekalnya, kita udah mau berangkat ini, nanti keburu panas."
Menghentakkan kaki kesal, aku masuk lagi ke dalam rumah dengan wajah masam yang di tekuk seperti kain lap kusut.
...****************...
Bukan Mas Fakhri namanya jika tidak pelit dan perhitungan, uang untuk beli air minum saja di pasnya oleh Mas Fakhri.
Aku berdecak kesal, buru-buru membeli air minum pada Ibu-ibu yang berjualan di pantai ini.
Aku menatap jengah pada kelompok Ibu-ibu yang menatapku dengan tatapan heran.
Baju jalan yang memang baju sejak aku masih gadis dan tentu saja ketinggalan model mengingat tahun berapa aku beli baju ini padahal kulitku glowing, dan itu semua menjadi pusat perhatian mereka.
Bahkan baju Ibu-ibu yang lebih tua dariku lebih keren dan trendi dibandingkan baju yang aku kenakan.
"mas, udah aja jalannya, adek capek mau duduk, gak lihat apa adek bawa tas sebesar ini, isi makanan, minuman sama camilan," ucapku ketus pada Mas Fakhri.
"Oh, ya sudah, kita duduk di situ saja," ajak Mas Fakhri.
Baru saja kami akan duduk di saung-saung, tiba-tiba seorang laki-laki datang meminta uang sewa untuk duduk di saung di dekat pantai itu.
"Loh, masa mau duduk aja harus bayar sih, Bang. Jangan curang dong!" Mas Fakhri marah.
Hanya membayar uang dua ribu rupiah saja Mas Fakhri tidak mau.
"Mas, sudahlah, kasih saja, cuma dua ribu ini aja, yang penting kita bisa duduk," ucapku mulai dongkol pada Mas Fakhri.
"Memang sudah ketentuannya seperti itu, mas. Kalau enggak punya duit enggak usah mau duduk enak di saung dong!" laki-laki muda itu ikut marah.
"Enggak, Dek. Masa duduk aja kudu bayar, enggak deh, saya duduk tepat lain saja,"
Mas Fakhri lalu menarikku pergi ke tempat lain.
Setelah lama berputar-putar, akhirnya aku dan Mas Fakhri duduk di atas kayu yang tumbang sambil memakan bekal dari rumah.
Aku hanya bisa memijit pelipis pening, benar-benar malu.
Kalau tau begini lebih baik diam di rumah, tidak perlu jalan-jalan jika akhirnya seperti ini.
Minuman segar yang terlihat enak, hanya bisa aku pandangi saja, merogoh kantong celana ada uang sekitar lima ribu.
Tetapi aku ingat, lauk di rumah sudah habis, baiknya aku belikan tempe saja besok untuk makan.
Kembali aku simpan uang milikku, dan kini aku hanya bisa menelan ludah saja saat minuman segar itu terlihat di depan mata.
Mas Fakhri masih asyik makan sementara aku sama sekali tidak ada nafsu untuk makan siang kali ini.
Nasib bepergian bersama suami pelit, kisah jalan-jalan yang bikin dongkol setengah mati, batinku terus bermonolog sambil menatap pantai dengan deburan ombak yang kencang.
...****************...
Jalan-jalan ini masih berlanjut masuk ke dalam Mall yang memang dekat dari pantai yang baru saja aku dan Mas Fakhri kunjungi.
Meski aku sudah beralasan lelah, Mas Fakhri masih saja memaksa aku untuk masuk.
Sungguh, aku malu rasanya waktu masuk ke dalam Mall.
Orang-orang dengan gaya trendi dan kekinian menyambar mataku yang saat ini merasa sangat kecil, sendal jepit berwarna hitam dengan merek Indo aret menghiasi kakiku padahal kulitku putih bersih hasil perawatan bersama mertuaku.
"mas, udah ah, ayo pulang, ngapain ke sini kalo enggak beli apa-apa," ucapku jengkel.
Penampilanku terlihat dekil di antara para manusia yang berlalu-lalang di dalam Mall.
"Sebentar, Dek. Ngapain cepet pulang, lagian kan, jarang-jarang Abang ajak Adek jalan," jawabnya sambil melihat-lihat baju diskonan dengan harga dua puluh ribu sampai dua puluh lima ribu.
Ya, kalau jalan-jalan enggak begini, kalau jalan begini modelnya bareng suami pelit mendingan aku tidur di rumah, mas.
Aku memutar bola mata, banyak baju bagus yang hanya membuat mataku sakit karena tidak bisa kubeli.
"Udahlah, mas. Pulang aja, enggak beli juga ngapain liat-liat, bikin sakit mata dongkol hati aja!" seruku kesal.
Kutinggalakan Mas Fakhri untuk keluar dari dalam Mall, berjalan menuju motor yang tadi di parkir.
Sambil menenteng tas ransel besar, aku terlihat seperti orang yang mau pergi mudik dari pada orang jalan-jalan.
"Ck! Benar-benar jalan-jalan terburuk yang pernah aku lalui," ucapku merana.
Rasanya ingin menangis melihat pelitnya Mas Fakhri, uang hasil keuntungannya entah untuk apa di pendam sampai aku tidak tahu di mana Mas Fakhri biasanya meletakkan uang hasil berdagang.
Tidak lama kemudian, Mas Fakhri datang dengan membawa dua plastik es tebu yang dijual di dekat Mall tadi.
"Minum es dulu, Dek seger, panas-panas gini," ucap Mas Fakhri.
Aku menerimanya dengan diam.
Memang aku panas, ya, panas sama kelakuan Mas Fakhri ! mana pergi jalan gak pakai mobil lagi padahal mertua dan tante Asih serta tante Selva sudah sering bilang beli mobil. Aku mengumpat keras dalam hati.
"Buruan pulang, mas. Pusing adek!" aku berseru ketus.
Mas Fakhri masih santai dan meminum es tebunya, ya elah. Mas, mas, sepertinya harus sering-sering mengurut dada untuk bersabar jika jalan-jalan bersama Mas Fakhri.
Aku kembali bungkam, aroma sate, bakso dan makanan lainnya menyeruak menyerbu hidungku.
Tidak bisa begini, aku harus cepat mengajak Mas Fakhri pulang jika tidak ingin mengamuk di depan orang banyak dan mempermalukan diri sendiri.
"Buruan mas!"
Aku menunggu Mas Fakhri yang membayar uang parkir, rasanya tidak sabar untuk pulang dan tidur, melepas penat dan gerutuan yang tertahan.
Ya ampun, jika terus begini, kurus sudah badanku hidup bersama suami pelitnya tingkat dewa, dan anehnya aku pun bisa-bisanya cinta dengan laki-laki modelan Mas Fakhri ini.
Benar-benar laki-laki langka yang pernah aku temui selama hidup di dunia.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
Pasca insiden jalan-jalan yang membuat kesal hati, aku berniat untuk membalas Mas Fakhri kali ini.
Suamiku itu tidak pernah suka makan tidak ada lauk, ya, begitulah. Ingin makan selalu enak, tapi istrinya tak pernah diberikan uang lebih.
Maka pagi ini, aku sengaja tidak masak lauk, meski ada tiga butir telur di dalam lemari penyimpanan, di sanalah biasa aku menyimpan, karena kulkas belum punya.
Heran aku, terkadang merasa seperti hidup dengan suami yang hanya bekerja serabutan karena semua serba tidak ada dan tidak punya.
Padahal toko Bang Imron termasuk ramai, pasti uang untungnya banyak, tetapi tidak pernah dikabulkan saat aku meminta dibelikan kulkas selain itu keluarganya orang berada, apalagi setiap ngumpul keluarga pasti di tanya sama keluarga Mas Fakhri kok aku kusam , baju dan tas kok gak bagus.
"Dek, di mana celana bokser yang warna hitam punya mas!" seru Mas Fakhri dari dalam kamar.
Aku yang tengah sibuk menggerutu di dalam hati berdecak kesal lalu balas berteriak dengan keras.
"Ada, mas. Di lemari!"
Aku malas beranjak, sayur tumis kacang dengan irisan tempe kecil-kecil. Hanya itu yang aku masak untuk sarapan.
"Enggak ada, Dek!"
Aku menghela napas.
Kan, jika bukan aku yang menyiapkan semua, mana kan ketemu semua barang yang mau di pakai Mas Fakhri.
Sudah gitu masihlah pelit sama istrinya yang serba bisa ini, huft.
Aku berjalan kesal menuju kamar, terlihat Mas Fakhri yang sedang berdiri di depan lemari dengan bertelanjang dada, handuk melilit pinggangnya dengan erat.
"Mana sih enggak ada, orang di dalam lemari semua mas. Kebiasaan, deh. Nyari apa-apa nggak ketemu," omelku tanpa henti pada Mas Fakhri.
Sedangkan yang diomel hanya nyengir kuda, bener-bener bikin empet.
Kutarik bokser berwarna hitam yang tengah di cari oleh Mas Fakhri, lalu kuangkat di depan wajahnya dengan alis terangkat tinggi.
"Ini apa?"
"Hehehe, celana bokser mas, Dek."
"Lain kali kalo cari apa-apa tuh yang teliti, mas."
"Iya, iya, bawelnya."
"Udahlah, mau lanjut jemur baju dulu."
Lalu aku pun meninggalkan Mas Fakhri di dalam kamar untuk mengambil cucian yang belum dijemur.
Selesai menjemur baju, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk sarapan.
Mas Fakhri juga sudah terlihat rapi siap untuk berangkat ke toko, tinggal sarapan saja.
Saat duduk di kursi makan, Mas Fakhri menekuk wajahnya masam.
"Kenapa, mas?" tanyaku pura-pura tidak tau.
"Enggak ada lauknya, Dek. Cuma ini doang?" tanya Mas Fakhri lesu.
Aku mengangguk dengan senyuman tersungging di wajah.
"Sudah, sukuri apa yang ada, mas. Yang penting masih bisa makan." Aku menjawab sambil tertawa dalam hati.
"Ck, malas makan mas lah, Dek. Beli telur atau apalah dulu sana," perintah Mas Fakhri.
Aku menyodorkan tangan, meminta uang.
"Uang belanja kemarin sudah habis?"
Aku mengangguk lagi.
"Sembako sekarang mahal mas, uang segitu mau makan enak selama satu minggu mana cukup."
Dengan wajah yang semakin tertekuk, Mas Fakhri mengeluarkan uang dari saku
kemejanya, lalu memberikannya padaku. "Kembaliannya jangan lupa di kembalikan." Pesan Mas Fakhri.
Aku melengos saja, pergi ke warung untuk membeli ayam. Biar nanti Mas Fakhri aku gorengkan telur ceplok yang ada di rumah.
Huh! Pembalasan yang menyenangkan.
...****************...
Aku meregangkan otot saat semur ayam buatanku telah selesai, uang kembalian yang tadi pagi ingin di minta kembali oleh Mas Fakhri tidak kuberikan, biar saja.
Siang ini bisa makan semur ayam yang enak.
Suara pintu yang diketuk, membuatku berdiri dari posisi berbaring di kasur santai.
"Eh, Pak Maman, kenapa Pak?" tanyaku setelah membuka pintu dan melihat Pak Maman di sana.
"Oh, ini, Bu. Lusa ada acara di rumah Neneng, katanya mau ada hajatan gitu, bapak diminta untuk undang-undang," ucap Pak Maman sambil memberikan tempat nasi dari plastik yang terlihat berisi nasi dan sayur mi putih.
"Oh, iya, Pak. Makasih ya, lusa ya acarannya?"
"Iya, Neng. Si Bapak Fakhri tolong di kasih tahu juga, Bu."
Aku mengangguk.
"Iya, Pak."
"Monggo, permisi dulu."
"Iya."
Aku pun membawa masuk makanan itu, lalu kemudian menutup pintu.
Kubuka tempat nasi itu yang di dalamnya terdapat nasi, kerupuk, mi putih yang sudah ditumis, lalu ikan ayam dua potong serta telur satu biji.
"Lumayan lah, sayur ayamnya bisa untuk besok, nanti siang bisa makan ayamnya," ucapku senang.
Namun, senyumku memudar saat ingat aku tidak punya baju gamis yang bagus untuk datang ke acara hajatan Neneng.
"Hais, sepertinya malam nanti, aku harus minta Mas Fakhri untuk belikan baju baru, apapun caranya. Masa setiap ada acara hajatan, aku selalu pakai gamis yang itu-itu saja, mana sudah lusuh keseringan di pakai, selain itu mertua perempuanku mengintrogasiku apakah anaknya perhitungan dalam memberi nafkah dan aku selalu menyembunyikannya, ya Allah begini kali hidup."
Aku pun meletakkan sahur dan lauk itu ke dalam lemari.
...****************...
Malam harinya, aku sengaja memakai baju tidur tipis, parfum wangi semerbak di tubuhku.
Mas Fakhri yang juga sudah segar sehabis mandi, kini metapku dengan wajah pengen.
Aku tertawa dalam hati, lalu menyemangati diri.
Ayo Auren! Kamu pasti bisa, besok pokoknya harus beli baju baru.
"Dek ..."
Suara Mas Fakhri terdengar serak.
Aku tersenyum genit, sengaja kulakulan memang.
"Iya, mas. Kenapa?"
Mas Fakhri mendekat, lalu naik ke atas ranjang dengan semangat.
"Ayo kita gali pahala, Dek," ucap Mas Fakhri.
Aku mengangguk, sambil tersenyum malu-malu.
Mas Fakhri bersiap akan pemasangan saat aku menahan laju tangannya.
"Tapi ada syaratnya."
Mas Fakhri mengerutkan kening.
"Syarat, syarat apa itu, Dek?" tanya Mas Fakhri tidak sabaran.
"Lusa ada hajatan di rumah si Neneng, dan Adek enggak punya baju baru mas, masa tiap ke acara Adek harus pakai baju gamis itu-itu terus."
"Lah, menangnya kenapa Dek? Beli baju buat apa, udah, mahal baju-baju gamis cewek itu, pakai aja yang ada," ucap Mas Fakhri .
Ck, sudah kuduga akan seperti ini.
"Oh, gitu, ya. Ya sudah. Gali pahalanya sementara diblokir dulu ya, mas. Adek mau cari pahala sendiri dulu."
"Tapi... Dek."
Kuangkat tangan, lalu menguap dengan cepat.
Aku pun berbaring memunggungi Mas Fakhri yang terlihat menelan ludah, mungkin kecewa karena gagal menggali pahala secara bersama-sama.
Tidak kuhiraukan guncangan tangan Mas Fakhri yang memintaku untuk membatalkan acara pemblokiran.
Aku teguh, sebelum setuju beli baju, aku tidak akan membuka blokiran.
Rasakan dulu, mas. Belikan baju gamis istri saja tidak mau, aku jarang sekali beli baju, dan sekarang hanya meminta satu baju gamis untuk mengganti gamisku yang sudah mulai usang itu Mas Fakhri tidak mau.
Duh, nasib, kenapa harus punya suami pelit sekali, pernah temanku memberi saran untuk meninggalkan mas Fakhri karena aku cantik dan berpendidikan tinggi, tapi tak ku lakukan selain cinta, mertuaku juga baik.
Aku memejamkan mata, mengabaikan Mas Fakhri yang masih sibuk menyenggol lenganku.
Kutarik selimut sampai batas dagu, maaf mas. Blokiran berlaku lama jika masih juga belum dibelikan baju.
Padahal baju gamis seharga lima puluh ribuan saja, aku mau memakainnya. Aku hanya ingin mengganti gamis yang terus aku pakai jika ada acara di komplek tempat tinggal kami.
Ini dobel pembalasan dariku, Mas Fakhri. Nikmati saja malam yang pastinya akan terasa panjang bagi Mas Fakhri.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!