Aku menatap pantulan tubuhku di depan cermin, lumayanlah.
"Pakai baju ini sajalah," ucapku akhirnya setelah lama berkutat di depan lemari untuk memilih baju yang pantas untuk di pakai jalan-jalan.
Selama ini aku memang tidak terlalu banyak memiliki baju yang bagus, mengingat pelitnya mas Fakhri saat kumintai duit untuk beli baju.
Selesai memilih baju, aku menyambar tas sederhana yang biasa aku gunakan untuk pergi ke mana-mana, hanya tas ini yang kupunya walaupun pernah mau di belikan baik tas maupun baju oleh mertuaku tapiku tolak lantaran aku tidak mau menambah biaya hidupku padahal aku tanggunan anaknya.
Memangnya mas Fakhri akan mau memberikan uang untuk membeli tas? Sedangkan untuk meminta uang jatah belanja saja lamanya naudzubilah terkadang aku heran mas Fakhri itu anak siapa, soalnya ibunya royal bangat.
"Mas, Adek sudah siap nih. Ayo berangkat," ucapku pada Mas Fakhri.
Wajah Mas Fakhri yang awalnya terpesona menjadi terlihat berkerut.
"Cantik nya, istri siapa nih, Lah, Dek. Cuma bawa tas kecil itu?" tanya Mas Fakhri.
Aku pun mengangguk saja.
Mas Fakhri masih celingukan melihat belakang tubuhku, entah apa yang tengah di carinya itu.
"Cari apa, sih, mas?" tanyaku penasaran.
"Enggak bawa bekal makan siang untuk jalan-jalan?"
Aku melotot tidak percaya pada apa yang baru saja kudengar.
Heh! Bekal makan siang?
"Maksudnya, kita jalan-jalannya bawa bekal dari rumah, gitu?" tanyaku masih tidak percaya.
Kini giliran Mas Fakhri yang mengangguk.
"Ya ampun, mas. Nanti di mall kan, banyak yang jual makanan minuman, beli di sana aja, kenapa harus bawa bekal dari rumah juga sih," ucapku kesal.
"Loh, Dek. Kan lebih enak makanan dari rumah, higenis yang masak juga kamu, beli makanan di pantai sama di dalam mall nanti tuh mahal tau, kan lebih hemat bawa makanan dan camilan dari rumah." Mas Fakhri berujar sambil mengelap motornya yang baru kering di cuci.
Aku berkacak pinggang, kalau begini caranya mending rekreasi di samping rumah aja kalau gitu, bangun tenda sama bawa camilan dan makanan dari rumah, enggak perlu jauh-jauh ke Mall atau pantai.
"Sudah buruan di siapkan bekalnya, kita udah mau berangkat ini, nanti keburu panas."
Menghentakkan kaki kesal, aku masuk lagi ke dalam rumah dengan wajah masam yang di tekuk seperti kain lap kusut.
...****************...
Bukan Mas Fakhri namanya jika tidak pelit dan perhitungan, uang untuk beli air minum saja di pasnya oleh Mas Fakhri.
Aku berdecak kesal, buru-buru membeli air minum pada Ibu-ibu yang berjualan di pantai ini.
Aku menatap jengah pada kelompok Ibu-ibu yang menatapku dengan tatapan heran.
Baju jalan yang memang baju sejak aku masih gadis dan tentu saja ketinggalan model mengingat tahun berapa aku beli baju ini padahal kulitku glowing, dan itu semua menjadi pusat perhatian mereka.
Bahkan baju Ibu-ibu yang lebih tua dariku lebih keren dan trendi dibandingkan baju yang aku kenakan.
"mas, udah aja jalannya, adek capek mau duduk, gak lihat apa adek bawa tas sebesar ini, isi makanan, minuman sama camilan," ucapku ketus pada Mas Fakhri.
"Oh, ya sudah, kita duduk di situ saja," ajak Mas Fakhri.
Baru saja kami akan duduk di saung-saung, tiba-tiba seorang laki-laki datang meminta uang sewa untuk duduk di saung di dekat pantai itu.
"Loh, masa mau duduk aja harus bayar sih, Bang. Jangan curang dong!" Mas Fakhri marah.
Hanya membayar uang dua ribu rupiah saja Mas Fakhri tidak mau.
"Mas, sudahlah, kasih saja, cuma dua ribu ini aja, yang penting kita bisa duduk," ucapku mulai dongkol pada Mas Fakhri.
"Memang sudah ketentuannya seperti itu, mas. Kalau enggak punya duit enggak usah mau duduk enak di saung dong!" laki-laki muda itu ikut marah.
"Enggak, Dek. Masa duduk aja kudu bayar, enggak deh, saya duduk tepat lain saja,"
Mas Fakhri lalu menarikku pergi ke tempat lain.
Setelah lama berputar-putar, akhirnya aku dan Mas Fakhri duduk di atas kayu yang tumbang sambil memakan bekal dari rumah.
Aku hanya bisa memijit pelipis pening, benar-benar malu.
Kalau tau begini lebih baik diam di rumah, tidak perlu jalan-jalan jika akhirnya seperti ini.
Minuman segar yang terlihat enak, hanya bisa aku pandangi saja, merogoh kantong celana ada uang sekitar lima ribu.
Tetapi aku ingat, lauk di rumah sudah habis, baiknya aku belikan tempe saja besok untuk makan.
Kembali aku simpan uang milikku, dan kini aku hanya bisa menelan ludah saja saat minuman segar itu terlihat di depan mata.
Mas Fakhri masih asyik makan sementara aku sama sekali tidak ada nafsu untuk makan siang kali ini.
Nasib bepergian bersama suami pelit, kisah jalan-jalan yang bikin dongkol setengah mati, batinku terus bermonolog sambil menatap pantai dengan deburan ombak yang kencang.
...****************...
Jalan-jalan ini masih berlanjut masuk ke dalam Mall yang memang dekat dari pantai yang baru saja aku dan Mas Fakhri kunjungi.
Meski aku sudah beralasan lelah, Mas Fakhri masih saja memaksa aku untuk masuk.
Sungguh, aku malu rasanya waktu masuk ke dalam Mall.
Orang-orang dengan gaya trendi dan kekinian menyambar mataku yang saat ini merasa sangat kecil, sendal jepit berwarna hitam dengan merek Indo aret menghiasi kakiku padahal kulitku putih bersih hasil perawatan bersama mertuaku.
"mas, udah ah, ayo pulang, ngapain ke sini kalo enggak beli apa-apa," ucapku jengkel.
Penampilanku terlihat dekil di antara para manusia yang berlalu-lalang di dalam Mall.
"Sebentar, Dek. Ngapain cepet pulang, lagian kan, jarang-jarang Abang ajak Adek jalan," jawabnya sambil melihat-lihat baju diskonan dengan harga dua puluh ribu sampai dua puluh lima ribu.
Ya, kalau jalan-jalan enggak begini, kalau jalan begini modelnya bareng suami pelit mendingan aku tidur di rumah, mas.
Aku memutar bola mata, banyak baju bagus yang hanya membuat mataku sakit karena tidak bisa kubeli.
"Udahlah, mas. Pulang aja, enggak beli juga ngapain liat-liat, bikin sakit mata dongkol hati aja!" seruku kesal.
Kutinggalakan Mas Fakhri untuk keluar dari dalam Mall, berjalan menuju motor yang tadi di parkir.
Sambil menenteng tas ransel besar, aku terlihat seperti orang yang mau pergi mudik dari pada orang jalan-jalan.
"Ck! Benar-benar jalan-jalan terburuk yang pernah aku lalui," ucapku merana.
Rasanya ingin menangis melihat pelitnya Mas Fakhri, uang hasil keuntungannya entah untuk apa di pendam sampai aku tidak tahu di mana Mas Fakhri biasanya meletakkan uang hasil berdagang.
Tidak lama kemudian, Mas Fakhri datang dengan membawa dua plastik es tebu yang dijual di dekat Mall tadi.
"Minum es dulu, Dek seger, panas-panas gini," ucap Mas Fakhri.
Aku menerimanya dengan diam.
Memang aku panas, ya, panas sama kelakuan Mas Fakhri ! mana pergi jalan gak pakai mobil lagi padahal mertua dan tante Asih serta tante Selva sudah sering bilang beli mobil. Aku mengumpat keras dalam hati.
"Buruan pulang, mas. Pusing adek!" aku berseru ketus.
Mas Fakhri masih santai dan meminum es tebunya, ya elah. Mas, mas, sepertinya harus sering-sering mengurut dada untuk bersabar jika jalan-jalan bersama Mas Fakhri.
Aku kembali bungkam, aroma sate, bakso dan makanan lainnya menyeruak menyerbu hidungku.
Tidak bisa begini, aku harus cepat mengajak Mas Fakhri pulang jika tidak ingin mengamuk di depan orang banyak dan mempermalukan diri sendiri.
"Buruan mas!"
Aku menunggu Mas Fakhri yang membayar uang parkir, rasanya tidak sabar untuk pulang dan tidur, melepas penat dan gerutuan yang tertahan.
Ya ampun, jika terus begini, kurus sudah badanku hidup bersama suami pelitnya tingkat dewa, dan anehnya aku pun bisa-bisanya cinta dengan laki-laki modelan Mas Fakhri ini.
Benar-benar laki-laki langka yang pernah aku temui selama hidup di dunia.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments