Pasca insiden jalan-jalan yang membuat kesal hati, aku berniat untuk membalas Mas Fakhri kali ini.
Suamiku itu tidak pernah suka makan tidak ada lauk, ya, begitulah. Ingin makan selalu enak, tapi istrinya tak pernah diberikan uang lebih.
Maka pagi ini, aku sengaja tidak masak lauk, meski ada tiga butir telur di dalam lemari penyimpanan, di sanalah biasa aku menyimpan, karena kulkas belum punya.
Heran aku, terkadang merasa seperti hidup dengan suami yang hanya bekerja serabutan karena semua serba tidak ada dan tidak punya.
Padahal toko Bang Imron termasuk ramai, pasti uang untungnya banyak, tetapi tidak pernah dikabulkan saat aku meminta dibelikan kulkas selain itu keluarganya orang berada, apalagi setiap ngumpul keluarga pasti di tanya sama keluarga Mas Fakhri kok aku kusam , baju dan tas kok gak bagus.
"Dek, di mana celana bokser yang warna hitam punya mas!" seru Mas Fakhri dari dalam kamar.
Aku yang tengah sibuk menggerutu di dalam hati berdecak kesal lalu balas berteriak dengan keras.
"Ada, mas. Di lemari!"
Aku malas beranjak, sayur tumis kacang dengan irisan tempe kecil-kecil. Hanya itu yang aku masak untuk sarapan.
"Enggak ada, Dek!"
Aku menghela napas.
Kan, jika bukan aku yang menyiapkan semua, mana kan ketemu semua barang yang mau di pakai Mas Fakhri.
Sudah gitu masihlah pelit sama istrinya yang serba bisa ini, huft.
Aku berjalan kesal menuju kamar, terlihat Mas Fakhri yang sedang berdiri di depan lemari dengan bertelanjang dada, handuk melilit pinggangnya dengan erat.
"Mana sih enggak ada, orang di dalam lemari semua mas. Kebiasaan, deh. Nyari apa-apa nggak ketemu," omelku tanpa henti pada Mas Fakhri.
Sedangkan yang diomel hanya nyengir kuda, bener-bener bikin empet.
Kutarik bokser berwarna hitam yang tengah di cari oleh Mas Fakhri, lalu kuangkat di depan wajahnya dengan alis terangkat tinggi.
"Ini apa?"
"Hehehe, celana bokser mas, Dek."
"Lain kali kalo cari apa-apa tuh yang teliti, mas."
"Iya, iya, bawelnya."
"Udahlah, mau lanjut jemur baju dulu."
Lalu aku pun meninggalkan Mas Fakhri di dalam kamar untuk mengambil cucian yang belum dijemur.
Selesai menjemur baju, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk sarapan.
Mas Fakhri juga sudah terlihat rapi siap untuk berangkat ke toko, tinggal sarapan saja.
Saat duduk di kursi makan, Mas Fakhri menekuk wajahnya masam.
"Kenapa, mas?" tanyaku pura-pura tidak tau.
"Enggak ada lauknya, Dek. Cuma ini doang?" tanya Mas Fakhri lesu.
Aku mengangguk dengan senyuman tersungging di wajah.
"Sudah, sukuri apa yang ada, mas. Yang penting masih bisa makan." Aku menjawab sambil tertawa dalam hati.
"Ck, malas makan mas lah, Dek. Beli telur atau apalah dulu sana," perintah Mas Fakhri.
Aku menyodorkan tangan, meminta uang.
"Uang belanja kemarin sudah habis?"
Aku mengangguk lagi.
"Sembako sekarang mahal mas, uang segitu mau makan enak selama satu minggu mana cukup."
Dengan wajah yang semakin tertekuk, Mas Fakhri mengeluarkan uang dari saku
kemejanya, lalu memberikannya padaku. "Kembaliannya jangan lupa di kembalikan." Pesan Mas Fakhri.
Aku melengos saja, pergi ke warung untuk membeli ayam. Biar nanti Mas Fakhri aku gorengkan telur ceplok yang ada di rumah.
Huh! Pembalasan yang menyenangkan.
...****************...
Aku meregangkan otot saat semur ayam buatanku telah selesai, uang kembalian yang tadi pagi ingin di minta kembali oleh Mas Fakhri tidak kuberikan, biar saja.
Siang ini bisa makan semur ayam yang enak.
Suara pintu yang diketuk, membuatku berdiri dari posisi berbaring di kasur santai.
"Eh, Pak Maman, kenapa Pak?" tanyaku setelah membuka pintu dan melihat Pak Maman di sana.
"Oh, ini, Bu. Lusa ada acara di rumah Neneng, katanya mau ada hajatan gitu, bapak diminta untuk undang-undang," ucap Pak Maman sambil memberikan tempat nasi dari plastik yang terlihat berisi nasi dan sayur mi putih.
"Oh, iya, Pak. Makasih ya, lusa ya acarannya?"
"Iya, Neng. Si Bapak Fakhri tolong di kasih tahu juga, Bu."
Aku mengangguk.
"Iya, Pak."
"Monggo, permisi dulu."
"Iya."
Aku pun membawa masuk makanan itu, lalu kemudian menutup pintu.
Kubuka tempat nasi itu yang di dalamnya terdapat nasi, kerupuk, mi putih yang sudah ditumis, lalu ikan ayam dua potong serta telur satu biji.
"Lumayan lah, sayur ayamnya bisa untuk besok, nanti siang bisa makan ayamnya," ucapku senang.
Namun, senyumku memudar saat ingat aku tidak punya baju gamis yang bagus untuk datang ke acara hajatan Neneng.
"Hais, sepertinya malam nanti, aku harus minta Mas Fakhri untuk belikan baju baru, apapun caranya. Masa setiap ada acara hajatan, aku selalu pakai gamis yang itu-itu saja, mana sudah lusuh keseringan di pakai, selain itu mertua perempuanku mengintrogasiku apakah anaknya perhitungan dalam memberi nafkah dan aku selalu menyembunyikannya, ya Allah begini kali hidup."
Aku pun meletakkan sahur dan lauk itu ke dalam lemari.
...****************...
Malam harinya, aku sengaja memakai baju tidur tipis, parfum wangi semerbak di tubuhku.
Mas Fakhri yang juga sudah segar sehabis mandi, kini metapku dengan wajah pengen.
Aku tertawa dalam hati, lalu menyemangati diri.
Ayo Auren! Kamu pasti bisa, besok pokoknya harus beli baju baru.
"Dek ..."
Suara Mas Fakhri terdengar serak.
Aku tersenyum genit, sengaja kulakulan memang.
"Iya, mas. Kenapa?"
Mas Fakhri mendekat, lalu naik ke atas ranjang dengan semangat.
"Ayo kita gali pahala, Dek," ucap Mas Fakhri.
Aku mengangguk, sambil tersenyum malu-malu.
Mas Fakhri bersiap akan pemasangan saat aku menahan laju tangannya.
"Tapi ada syaratnya."
Mas Fakhri mengerutkan kening.
"Syarat, syarat apa itu, Dek?" tanya Mas Fakhri tidak sabaran.
"Lusa ada hajatan di rumah si Neneng, dan Adek enggak punya baju baru mas, masa tiap ke acara Adek harus pakai baju gamis itu-itu terus."
"Lah, menangnya kenapa Dek? Beli baju buat apa, udah, mahal baju-baju gamis cewek itu, pakai aja yang ada," ucap Mas Fakhri .
Ck, sudah kuduga akan seperti ini.
"Oh, gitu, ya. Ya sudah. Gali pahalanya sementara diblokir dulu ya, mas. Adek mau cari pahala sendiri dulu."
"Tapi... Dek."
Kuangkat tangan, lalu menguap dengan cepat.
Aku pun berbaring memunggungi Mas Fakhri yang terlihat menelan ludah, mungkin kecewa karena gagal menggali pahala secara bersama-sama.
Tidak kuhiraukan guncangan tangan Mas Fakhri yang memintaku untuk membatalkan acara pemblokiran.
Aku teguh, sebelum setuju beli baju, aku tidak akan membuka blokiran.
Rasakan dulu, mas. Belikan baju gamis istri saja tidak mau, aku jarang sekali beli baju, dan sekarang hanya meminta satu baju gamis untuk mengganti gamisku yang sudah mulai usang itu Mas Fakhri tidak mau.
Duh, nasib, kenapa harus punya suami pelit sekali, pernah temanku memberi saran untuk meninggalkan mas Fakhri karena aku cantik dan berpendidikan tinggi, tapi tak ku lakukan selain cinta, mertuaku juga baik.
Aku memejamkan mata, mengabaikan Mas Fakhri yang masih sibuk menyenggol lenganku.
Kutarik selimut sampai batas dagu, maaf mas. Blokiran berlaku lama jika masih juga belum dibelikan baju.
Padahal baju gamis seharga lima puluh ribuan saja, aku mau memakainnya. Aku hanya ingin mengganti gamis yang terus aku pakai jika ada acara di komplek tempat tinggal kami.
Ini dobel pembalasan dariku, Mas Fakhri. Nikmati saja malam yang pastinya akan terasa panjang bagi Mas Fakhri.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments