Aku duduk di teras rumahku. Sudah semingguan acara hajatan di rumah Neneng, baju baru yang ku pakai sempat di pertanyaan oleh mas Fakhri saat akan pergi ke sana tapi untung aku pandai mengkibulinya sehingga dia tidak banyak bertanya.
Akhir- akhir ini aku banyak sekali menginginkan sesuatu dan nafsu makanku makin bertambah selain itu aku sudah hampir dua bulan lebih telat datang bulan, aku takut terjadi penyakit pada diriku dan tak terpikir bahwa aku hamil, aku meminta mas Fakhri menemaniku ke rumah sakit untuk mengecek kesehataanku walaupu awalnya kami berdebat tapi akhirnya ia mau menemaniku, setelah di cek ternyata ada sesuatu yang sudah tumbuh di perutku dan itu membuatku bahagia.
"mas?"
"Iya, Dek, kenapa?"
Aku melirikkan mata pada penjual buah anggur, dan jus mangga.
"Mau buah?" tanya Mas Fakhri.
Aku mengangguk.
"Mas, mas tadi denger sendiri kan, kalau orang hamil perlu banyak makan bergizi dan banyak makan buah," ucapku pada Mas Fakhri.
Mas Fakhri mengangguk.
Di masa kehamilanku ini, aku sama sekali tidak merasakan mual yang berlebihan, malah, selera makan melonjak tinggi.
"Terus, Adek mau beli buah?"
Aku menatap penuh harap pada Mas Fakhri , hari ini rasanya saat melihat buah anggur hijau, aku ingin sekali memakannya.
"Tak usahlah, Dek, mahal. Mana ada mas bawa uang segitu," ucap Mas Fakhri.
Aku berdecak sebal, selalu seperti ini. Rasanya aku ingin menangis mendengar penolakan Mas Fakhri yang tidak mau membelikan buah.
Apakah Ibu hamil memang sesensitiv ini? apa-apa tidak dikabulkan, air mata dengan senang hati akan turun membasahi pipi.
"Lah, lah, Dek. Kenapa pula menangis, sudah diam, ada buah pisang di rumah tadi, makan itu saja, murah tak usah beli tinggal petik di kebun sendiri." Mas Fakhri nyerocos.
Aku emosi rasanya.
"Mas! Tak tau kau rasanya nyidam, kan? Aku ini sedang hamil anak kau juga, tak mau pula kau belikan apa yang anak kau mau ini, oke! Biar saja dia ngences lahir kelak!"
Aku berjalan mendahului Mas Fakhri menuju motor yang sedang diparkir tidak jauh dari rumah Bidan.
Di depan rumah Bidan Yati, memang ada tukang jual buah segar dan aneka jus buah.
"Cepat, Mas. Pulang saja."
Mas Fakhri terlihat lirik sana sini, mungkin malu karena suaraku yang lumayan keras mengundang rasa penasaran para pasien lain yang sedang mengantri.
Mas Fakhri mendekat, lalu berbisik-bisik padaku.
"Ayolah, Dek. Mas belikan kau anggur hijau," ucapnya pelan sekali.
Aku tersenyum penuh kemenangan, rasakan kau Mas! Aku menang kali ini.
Mas Fakhri membeli satu kilogram buah anggur hijau seharga lima puluh lima ribu rupiah, meski dengan wajah yang terlihat berat sekali.
"Ini, Dek. Makannya jangan cepat-cepat, mahal Mas beli ini tau," ucap Mas Fakhri ketus.
Ah, masa bodolah, jarang-jarang aku bisa membuat Mas Fakhri mengabulkan apa yang aku inginkan.
"Makasih, ya, Mas." Senyum manis aku sunggingkan untuk Mas Fakhri.
Sebuah ide melintas di kepala ini, tunggu saja kau mas! Janganlah kau pelit-pelit nanti, karena masa kehamilan ini perlu rutin cek kandungan, USG dan makan makanan bergizi.
Belum lagi membeli peralatan bayi dan lain sebagainya, kini akan aku buat tak ada lagi sejarah jatah uang seratus ribu untuk satu minggu.
"Mas, susu untuk Ibu hamil Adek belum beli," ucapku sepulang dari rumah Bidan.
"Ck, apalagi ini, Dek. Kenapa pula mesti minum susu, orang zaman dulu tak payah minum susu, pun, anaknya tetap sehat."
Aku memutar bola mata malas, tak tahu kah kau Mas, waktu periksa tadi aku sudah ditanya minum susu atau tidak, merek apa susu yang aku minum.
"Mas, Dokter kandungannya marah kalau Ibu hamil tidak minum susu, Ibu hamil harus rajin minum susu, supaya bayi di dalam perut sehat, Mas," ucapku beralasan.
"Ais, ada-ada saja Ibu hamil nih, tak tau ya, sudah habis banyak aku seharian ini mengeluarkan uang.
Aku melotot.
"Mas enggak ikhlas!"
"Bukan begitu, Dek. Tadi kan sudah keluar banyak duit, masa kini masih minta susu lagi."
"Mas, orang hamil memang seperti itu, coba kau tanya ke orang yang sudah pernah hamil, pasti merekan pun sama, minum susu, cek ke Dokter rutin setiap bulan, minum vitamin, makan makanan bergizi, aku ini sudah bawa nyawa lain di dalam perutku yang harus terus sehat sampai lahir kelak Mas," ucapku panjang lebar.
Mas Fakhri mendesah lelah, salah siapa selama ini pelit Mas, timbang menitip belikan cireng saja kau ambil uang receh belanja harianku selama seminggu.
"Iya, iya, Dek. Sudahlah Mas mau tidur lah."
Mas Fakhri melipir masuk ke dalam kamar.
...****************...
Ting ... ting... ting... ting .....
"So, bakso, bakso, bakso!"
Suara Mamang penjual bakso terdengar di telingaku.
Pas sekali, pagi-pagi makan bakso panas, mana lagi malam tadi hujan deras mengguyur bumi jadilah perpaduan yang klop sekali.
Mengingat aroma bakso dan uap panas yang mengepul itu, aku pun memanggil Mas Fakhri yang memang belum berangkat berdagang, sebab sebagian dagangan sedang diantar teman langganan ke rumah.
"Mas, ada tukang bakso," ucapku pada Mas Fakhri.
Mas Fakhri melirik.
"Lantas, kenapa, Dek?" tanyanya sambil masih melihat ponselnya.
"Beli sana, Mas. Adek mau makan bakso kuah pagi ini," pintaku pada Mas Fakhri.
"Bukannya belum lama tadi kau sarapan satu piring penuh, Dek? Masih belum kenyang pula rupanya?"
Aku menggeleng.
"Belum, Mas. Enak sepertinya Mas, makan bakso."
"Ya sudahlah, belilah sana sesuka kau, mau berapa mangkok belilah sesukamu," ucapnya menyodorkan uang berwarna biru tua itu.
Asyik, kalau dulu, boro-boro cepat diberi uang untuk beli bakso, makan bakso saja bisa dihitung pakai jari semenjak menikah dengan Mas Fakhri, sepertinya Mas Fakhri sudah mendapat hidayah dari maknya dan semoga sifat pelitnya hilang di telan bumi.
Dulu, aku tahan meski ingin sekali makan bakso, takut jatah uang seratus ribu itu tidak akan cukup seminggu jika aku belikan bakso.
Aku berjalan menuju teras depan, memanggil tukang bakso yang melintas di depan rumah.
"Mang, baksonya!"
"Bakso, Neng?"
"Iya, Mang, satu mangkok, Mang. Eh sebentar, Mas! Mau beli juga kah!" teriakku dari teras depan.
Terdengar suara Mas Fakhri menjawab iya, hem, ternyata Mas Fakhri juga mau kan.
"Mang, baksonya dua mangkok, eh bentar, mangkoknya belum diambil di dalam, tunggu sebentar ya, Mang."
"Iya, Neng."
Aku masuk lagi ke dalam rumah, mengambil dua buah mangkok putih, setelah itu kembali lagi ke teras depan.
"Ini, Mang. Mangkoknya, yang satu banyakin pentol baksonya, ya, berapa totalnya nanti tidak masalah," ucapku pada Mang bakso
Halah! Gayaku sudah lagaknya seperti sultan banyak duit ini, kwkwkwk.
"Sip, Neng. Mamang siapkan dulu, tunggu sebentar ya, Neng.
Sepanjang bakso itu diracik, aku menelan ludah, tidak sabar rasanya menyatap bakso yang terlihat menggoda mata.
"Ini, Neng." Mamang bakso mengulurkan dua buah mangkok itu padaku, sebelum itu aku sudah memberikan uang untuk membayar bakso dan menerima kembalian dari uang yang kuberikan pada Mamang bakso.
"Hati-hati bawanya, Neng. Itu masih panas."
"Iya, Mang. Makasih, Mang."
Aku masuk ke dalam sambil membawa bakso idaman yang aku impikan, Mas Fakhri langsung mengambil satu mangkok yang ada di tanganku dengan cepat.
"Pelan-pelan itu bawa mangkoknya, panas."
"Makanlah, apa lagi, nah Mas ambilkan sendok."
"Uh, Mas. Makasih Mas sayang."
Aku memakan bakso dengan hati gembira, ah, ternyata tidak perlu makan mewah dengan harga yang wah untuk bisa merasakan bahagia seperti makan malam di restoran bintang lima.
Cukup makan bakso dengan sendok yang sudah diambilkan Mas Fakhri saja, aku sudah begitu bahagia.
Asem, dasar calon Emak bucin.
"Makasih, Mas. Jan pelit-pelit lagi makanya," ucapku pelan sekali.
Mas Fakhri terlihat mengorek kuping, mungkin selintas mendengar ucapan lirihku.
...****************...
Selama masa kehamilan, tidak ada lagi jatah uang belanja seratus ribu selama satu minggu.
Tidak ada lagi aku yang migren memikirkan lauk apa dan sayur apa yang enak dimakan lidah yang sesuai dengan uang belanja hingga cukup sampai satu minggu.
Apa saja yang aku inginkan kini dipenuhi Mas Fakhri meski masih dengan wajah ditekuk dan cemberut.
Ya ampun, Mas. Untuk apa pula kau tumpuk uang untung berdagangmu tanpa bisa dinikmati, aku pun tak akan meminta uang sampai terkuras habis.
Aku pun masih berpikir biaya untuk bersalin nanti, biaya lainnya yang berkaitan dengan perekonomian keluarga kita.
Ketika meminta uang, Mas Fakhri akan cepat memberikan, tidak perlu aku mogok masak dan memperlihatkan baskom yang kosong tanpa ada sayuran hijau.
Kini pun, sudah ada kulkas yang bisa mengawetkan sayuran supaya lebih tahan lama.
Maafkan aku Mas, aku hanya ingin membuatmu tidak lagi pelit terhadap istrimu sendiri.
# bersambung
jangan lupa sedekahnya ya para reader
👇
Kasih like,coment, hadiah, dukungan, dan votenya ya para pembaca ter the bast. Biar Author semangat untuk nulisnya ceritanya
Terima kasih🙏🙏
Jangan lupa follow ig Author @selvi_julianengsih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments