Lilacia: Gadis Dengan Kembang Lilac

Lilacia: Gadis Dengan Kembang Lilac

Ratusan Orang Berdesakan

Ratusan orang berdesakan di alun-alun kota. Masing-masing tangan mereka membawa sebuah lampion. Remang cahayanya saling bersahutan seperti kunang-kunang malam. Bila dilihat dari kejauhan tak ubahnya percikan api di pinggiran pantai.

Wajah demi wajah memandang lampion yang mereka bawa sendiri-sendiri. Seorang anak protektif melindungi lampionnya dari tiupan angin laut, kedua orang tua di sampingnya mengingatkan agar jangan terlalu dekat dengan lampion.

Para remaja berlari tergesa-gesa membawa lampion yang belum dinyalakan, sayangnya mereka tidak bisa merangsek masuk ke tengah alun-alun lantaran terlalu padat. Akhirnya mereka agak mundur ke belakang mencari alternatif tempat yang bagus untuk menerbangkan lampion nantinya.

Mereka semua sabar menanti kemunculan pemimpinnya dari balkoni kastil. Sesekali mereka mengecek api lampionnya tetap terjaga saat lonceng menara dibunyikan.

Sementara semua orang--baik tua maupun muda--berkumpul di alun-alun, seorang perempuan mendaki bukit batu yang tidak seberapa tinggi. Begitu sampai di puncaknya, ia melebarkan lipatan lampion lantas memantik api dengan hati-hati, takut-takut angin laut memadamkan korek yang ada di jemari. Sepelan-pelannya angin laut bertiup pun masih bisa menerbangkan anak rambutnya.

Sorak-sorai orang-orang terdengar begitu riuh begitu beberapa bangsawan melangkah ke balkoni dengan lampionnya masing-masing. Orang-orang di bawah sana mendongak tinggi-tinggi, melambai tinggi, dan menyebut-nyebut nama pemimpinnya begitu lepas.

Di sisi lain seorang perempuan yang sedari tadi sibuk menjaga lampionnya dari terpaan angin menoleh cepat ke arah balkoni sebuah kastil. Perempuan itu tidak harus mendongak ke atas layaknya orang di alun-alun. Ia bisa menatap lurus ke arah di mana salah seorang lelaki melambaikan tangan untuk para rakyatnya. Walau jarak antara bukit batu dengan kastil jauh; walau penglihatan perempuan itu tidak tajam, ia bisa membayangkan wajah-wajah pemimpinnya yang ditimpa cahaya lampion--terutama laki-laki itu.

Perempuan itu melambaikan tangan pelan ke kastil. Sudut bibirnya menarik ke atas, sepasang mata cokelatnya berbinar layaknya keramik. Perempuan itu bertanya-tanya apakah lelaki tersebut tahu dirinya ada di bukit batu? Mengingat ia sudah susah-susah mendaki agar terlihat mencolok bila lampionnya menyala sendirian di sebuah bukit.

Sebuah lonceng menara yang berada tak jauh dari alun-alun berbunyi. Bunyinya bergaung dan menyebar ke segala penjuru arah. Para bangsawan di balkoni memulai lebih dulu melepas lampion mereka ke udara, kemudian diikuti orang-orang di bawahnya. Mereka saling bertepuk tangan begitu riuh, mengalahkan kerasnya bunyi lonceng.

Sementara perempuan itu masih menahan lampionnya. Ia memandang dalam ke api yang bersembunyi di balik lingkupan kertas putih. "Katanya kau bisa mengabulkan permintaan," ujar perempuan itu. "Kalau begitu kumohon bantu aku melupakan dia selamanya". Lalu lampion tersebut terbang, menyusul lampion-lampion lain yang sudah jauh terbang ke atas.

Lampu-lampu yang semula mati lantas menyala, maka tampaklah alun-alun kota dipenuhi kios-kios dan para pengunjung yang menyebar ke segala arah menikmati perayaan musim semi. Merah muda kelopak bunga asha bertebaran, melengkapi kemeriahan malam pertama festival tahunan.

"Tuan Muda Sheryl, tolong terimalah pemberian saya ini," ujar seorang pedagang sambil memberi sekeranjang kecil roti beri.

Sheryl menerima dengan senang hati. Ia menghirup dalam-dalam wangi roti beri pemberian, "Roti buatanmu selalu wangi, Ben," pujinya.

"Tuan Muda Sheryl! Tolong terimalah hasil panen saya," sahut pedagang lainnya.

Sapaan dan lambaian tangan diterima Sheryl seiring langkahnya berlalu mengelilingi alun-alun kota. Lelaki itu telaten melempar sapaan rakyatnya dengan senyuman ramah. Ia baru berhenti menyunggingkan senyuman saat tiba di air mancur kota. Sheryl duduk di salah satu bangkunya. Ia meluruskan kaki sedangkan tangannya sibuk mengarahkan roti beri ke mulut.

Mata Sheryl sibuk mengamati satu persatu orang yang berlalu-lalang. Ia mengeryitkan dahi agak ke dalam karena saking seriusnya mengamati. Alisnya baru terangkat ke atas ketika ia melihat seorang perempuan berlalu tanpa menghiraukan kehadirannya. "Lilac!" panggil Sheryl.

Perempuan yang bernama Lilac terhenyak sebentar. Ia kemudian kembali berjalan, kali ini lebih cepat. Lehernya terkunci, ia tidak mau menoleh ke lelaki yang memanggil namanya berulang kali.

Sheryl tidak mau diam saja, ia pergi menyusul Lilac. Sisa roti dimasukkan ke dalam mulut, sedangkan roti-roti lainnya bergoyang di dalam keranjang begitu Sheryl mempercepat langkahnya.

Lilac berlari kali ini. Ia pergi meninggalkan kios-kios, melalui gang-gang tikus. Di belakangnya Sheryl gigih mengejar, kemejanya jadi basah; pelipisnya apalagi. Ia seperti tengah mengejar seorang pencuri kendatipun sebenarnya itu kawannya sendiri.

Melihat Lilac semakin jauh dari jangkauan Sheryl, lelaki itu memilih jalan alternatif agar bisa menghadang Lilac. Ia melalui gang-gang lain. Sheryl melompati drum-drum, tanaman tinggi, berjalan di atas dinding beton, kemudian melompat tepat di depan Lilac.

Lilac memekik, ia menekan dadanya yang berdentum kencang. Sheryl mengeluarkan roti dari keranjang, "Roti dari Ben--" Sheryl terdiam sejenak untuk menenangkan dadanya "--makanlah."

Sebuah roti sudah terjulur, namun Lilac memilih menunduk. "Saya tidak lapar, Tuan Muda," ucapnya lirih. "Saya izin pamit."

"Hei hei, kenapa kau jadi bilang 'saya' dan 'Tuan Muda'?" Sheryl terkekeh geli. "Panggil saja seperti biasa."

Namun Lilac masih menundukkan kepala. "Saya izin pamit, Tuan Muda, Nenek sudah menunggu di rumah," tegasnya. Pandangan mereka saling bertumbukan. Sheryl melihat kemarahan di mata Lilac. Alis perempuan itu menukik, sudut bibirnya menurun ke bawah.

Lilac berjalan cepat melalui Sheryl yang terdiam di tempat. Roti pemberian dengan berat ia masukkan lagi ke dalam keranjang. Ketika Sheryl menoleh ke belakang, punggung Lilac menjauh begitu cepat. Ketukan sepatunya yang bertalu-talu terdengar tergesa-gesa. Perempuan itu menghilang di balik persimpangan gang.

Sheryl mengusap leher belakangnya, ia mendesah lemah, matanya menyorot ke jalanan. Perlahan Sheryl mulai meninggalkan gang tersebut meskipun langkah kaki seakan ingin membawanya kembali mengejar Lilac yang semakin menjauh. Namun mengingat baru saja Sheryl mendapatkan tatapan seperti itu, ia memilih kembali ke alun-alun saja.

Akan tetapi, Sheryl berjalan melewati air mancur. Ia terus berjalan pulang ke rumah besarnya, pergi ke kamar, dan merebahkan diri di atas kasur.

Jauh dari kediaman Tuan Muda Sheryl, Lilac lebih dulu mengunci kamar dan meringkuk di atas kasur. Bantalnya basah oleh air mata yang tiada hentinya menetes. Nenek Lilac mengetuk pintu kamar Lilac, tetapi diabaikan olehnya.

Sama halnya dengan Nenek, Ibunda Sheryl pun khawatir apakah ada sesuatu yang terjadi dengan anak laki-lakinya itu. Padahal tadi ia bilang tidak sabar melepaskan lampion di balkoni dan berjanji mengelilingi kios sampai tengah malam, tapi sekarang malah mengunci kamar saat pagelaran festival sedang meriah-meriahnya.

Itu adalah kali terakhir Lilac dan Sheryl bertemu. Lilacia tidak tahu Sheryl akan pergi sampai ia mengerti ada sebuah kereta kuda mewah meninggalkan kota dengan sangat lama.

Terpopuler

Comments

Minaa Lee💅

Minaa Lee💅

penyusunan kata kata nya keren banget thor, apik banget . Dapat banget juga feel nya di pembaca, semangat thor

2022-12-13

2

Minaa Lee💅

Minaa Lee💅

ada yang typo sedikit nih Thor tanda baca nya

2022-12-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!