Liburan Kecil

Untuk seterusnya Lilac tidak datang ke padang rumput lagi. Ia menetap di kamar saja. Daripada tidur seperti saat-saat sebelumnya, Lilac menghabiskan waktu dengan banyak menulis—banyak sekali, apa pun akan ia tulis sampai lengannya kebas. Jika sudah begitu, ia baru akan berguling di kamar, meratap langit-langit kosong. 

Seharusnya ia bisa langsung tidur bila mencium bau bantal, namun kelopak matanya tidak mau memberat. Sekalipun Lilac mencoba untuk menutup mata, hanya wajah Sheryl-lah yang terbayang di kegelapan.

Kadang-kadang Lilac ingin kembali ke padang, menjumpai gembala bangsawan itu. Mulutnya gatal ingin menceritakan kejadian apa pun—apa pun itu. Namun memang lebih baik begini saja, batin Lilac. Ia tidak keberatan ditimbun selimut dan tenggelam dalam bantal-bantal yang menggunung. 

Jika tidur bisa mengobati perasaannya, ia bersumpah tidak akan beranjak dari ranjang. Akan tetapi, bila bayang-bayang Sheryl dan tawanya mengerubungi Lilac, rasanya ia ingin lari sekalian meninggalkan kamar.

“Sebenarnya aku sedang memikirkan apa?” Lilac menarik ujung poni. Ia memainkan rambut panjangnya, mengepangnya menjadi dua bagian, lalu membentuk simpul pita di ujung. Gadis itu meraih topi lebarnya kemudian minta izin pergi ke pasar malam.

Begitu membuka pintu, ia melihat Abi dan Ebi digandeng oleh seorang pria yang tidak ingin Lilac temui. “Kebetulan sekali.” Dalfhas membungkuk memberi salam pada Lilacia. “Kata Abi-Ebi ada bazar di pusat kota, jadi kami ingin mengajakmu.”

Lilacia balik badan, tapi lengannya ditarik Ebi. “Ayo, Lilacia! Bukankah kau selalu suka dengan perayaan kota?”

Gadis itu memalingkan badan. “Aku tidak enak badan—“

“Bohong!” Ebi menunjuk-nunjuk topi Lilacia. “Kau tidak kelihatan sakit—kau tidak pernah sakit, Lilacia!”

Ebi menarik kedua tangan Lilacia hingga ia bertemu muka dengan Dalfhas. Pria itu tersenyum menyapa, Lilacia memalingkan mata. Sekilas dilirik, ia tidak lagi mengenakan rompi seperti kemarin, lelaki itu hanya mengenakan kemeja, celana, dan sepatu biasa (meskipun Lilac ragu pakaian Dalfhas ‘biasa saja’).

***

Dalfhas menggendong Abi, sementara Ebi digandeng Lilac. Mereka pergi bersama menuju pusat kota. Satu dua kali Lilac melirik Abi yang bergelayut tenang di leher Dalfhas, anak kecil itu menjadi penunjuk jalan bagi lelaki yang menggendongnya.

Lilac mengernyitkan dahi, ia jadi bertanya-tanya kenapa Abi mau sedekat itu dengan orang yang seharusnya baru dikenal. 

Dalfhas melirik pada Lilac, “Ada apa, Nona Lila?”

Lilac menarik ujung topi untuk menutup kedua matanya. Ia lantas menggendong Ebi. 

Mereka berdua berjalan mendahului. Ebi bertanya pada Lilac kenapa jalannya cepat-cepat, perempuan itu menjawab ia sudah tidak sabar melihat bazar. 

Sementara itu Dalfhas tersenyum menggeleng. 

“Lilac memang labil, jauh lebih labil dari aku,” komentar Abi. “Katanya sakit, tapi jalannya cepat sekali.”

“Itu namanya ia sedang berbohong,” timpal Dalfhas. 

“Kenapa pula harus berbohong?”

“Entahlah, Abi.” Dalfhas membalas lambaian tangan yang diberikan Ebi. Anak kecil itu berteriak agar jangan jauh-jauh darinya. “Siapa yang tahu hati seorang wanita?”

Ebi berlarian kecil, ia menarik-narik lengan Dalfhas agar mau berjalan lebih cepat. Lelaki itu tertawa kecil, ia mengekori Ebi sampai ke taman air mancur. Di sana Lilac memangku dagu, menatap sayu ke bazar-bazar yang digelar di sekitaran. 

Kali ini Ebi-lah yang menjadi tour guide bagi ketiga turisnya. Ia menunjuk-nunjuk ke lapak boneka, tumpukan buku, cinderamata, dan apa pun ia tunjuk sampai burung-burung yang terbang sekaligus. 

Rambut kuncir duanya bergoyang saat ia melompat-lompat—lompatannya jadi jauh lebih tinggi bila Dalfhas membelikannya permen gulali. Abi juga jadi semringah saat dibelikan permen yang sama. 

Tiba-tiba jalanan yang ramai itu mulai membelah. Orang-orang merapat ke tepian. Abi minta diturunkan dari gendongan Dalfhas, lalu ia memberitahu, “Pemimpin kami mau datang kemari, jadi kita harus ikut menunduk.” 

Kemudian anak itu berdiri di samping Ebi, mereka berdiri tertib bersama orang-orang lainnya, tetapi Lilac malah mundur ke belakang.  Perempuan itu tidak mengindahkan tatapan ada apa? Dari Dalfhas. 

Pemimpin kerajaan menyapa para warganya. Ia seorang pria paruh baya yang memiliki senyuman santun, tubuhnya berdiri tegap, lambaian tangannya terkontrol dengan baik. Sama seperti ciri khas para bangsawan lainnya, pria tersebut mengenakan setelan rompi dan jas hitam yang klimis dan elegan dipandang. Di belakangnya ada dua orang penjaga.

Tatapan pria tersebut berhenti pada Dalfhas, dengan cepat senyumannya mengembang dari yang semula. Mereka berjabat tangan, saling sapa, dan melontarkan pertanyaan. “Bagaimana kota ini, Tuan Muda Dalfhas?”

“Jauh lebih indah dari terakhir kali saya berkunjung kemari, Tuan Charles.”

“Kami menunggu kedatanganmu lagi, Tuan Muda Dalfhas. Kau masih berkunjung satu kali.”

“Terima kasih atas perhatiannya, Tuan, tetapi …” Ia melihat Abi dan Ebi.

Pria paruh baya itu mengusap pucuk kepala si kembar itu sejenak. “Baiklah, esok datanglah kemari.”

Pemimpin itu pergi berlalu bersama dua penjaganya. Lalu jalanan pun kembali seperti sedia kala. Dalfhas menengok ke belakang, Lilac bersandar di pohon cemara. Perempuan itu menatap Dalfhas untuk beberapa, kemudian memalingkan mata. Terpancar kesedihan di sana.

***

“Ini kue yang itu?! Kakak sungguhan membelikan kami kue ini?”

Ebi dan Abi mulai menyendok kue stroberi yang baru saja diantar oleh pramusaji. Siku mereka berdua sering saling terantuk, meskipun begitu keduanya tidak saling menyalahkan lantaran keik yang ada di piring terlalu menggiurkan.

Sementara Lilac menopang dagu, ia menatap kerajaan yang berdiri gagah di atas batuan cadas. Lampu-lampunya menyala kekuningan. Di luar kerajaan, orang-orang hilir mudik menikmati pasar malam. Walaupun ini bukan festival akbar perayaan musim semi bunga Asha, pagelaran semacam ini pun masih tampak ramai dipandang.

“Walaupun kita berada di café yang berbeda, tatapanmu tetap pada objek yang sama.”

Lilac menoleh, ia melihat Dalfhas terkunci pada kerajaan yang ada di sana. “Abi-Ebi cepat habiskan makanan kalian, kita pulang sebentar lagi.”

“Kenapa buru-buru?” Ebi menggeleng. “Kueku masih banyak, aku pulang nanti saja bersama Kakak Dalfhas, ya ‘kan Abi?”

Abi mengangguk setuju.

“Kalau begitu aku pulang dulu.”

Seorang pramusaji datang lagi, kali ini dengan dua cangkir kopi cokelat, dua butir buah pir besar, dan sebuah pisau buah.

“Duduklah, kopinya baru datang. Sayang kalau tidak diminum.” Dalfhas meraih cangkir miliknya. “Apa kalian suka buah, Anak-Anak?”

Abi dan Ebi mengangguk kompak.

“Kalau begitu akan kukupaskan untuk kalian, sekaligus membuat bunga.” Dalfhas menatap lamat Lilac. “Jadi kalian jangan pulang dulu, ya.”

Akhirnya—mau tak mau—Lilac menyeruput kopinya. Dalfhas menikmati liburan kecilnya bersama Abi-Ebi, juga Lilacia di depannya.

Terpopuler

Comments

a y a

a y a

dalah sama dhalfas aja sih

2023-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!