Dalfhas menyejajarkan pundak pada dua anak kembar di depannya. "Nah, sekarang katakan padaku siapa Abi dan Ebi?" Dalfhas membuka keranjang anyaman. Berbagai gulali tertata rapi, di atasnya ada sebuket mawar merah. Dua anak kecil itu sontak mencondongkan badan ke depan. "Eits! Jawab dulu pertanyaanku."
"Aku! Aku Ebi, Kak!" pekik bocah perempuan. Ia meloncat-loncat tinggi, rambut kuncir duanya menari-nari. Ia tersenyum girang ketika menerima hadiah sebungkus permen karamel.
"Aku Abi, Kak," tutur si bocah laki-laki. "Abi Khayla. Karena nama depanku diawali huruf A, maka aku kakaknya E-bi."
"Ah kita lahir bersama! Mana bisa disebut Kakak," protes Ebi.
"Kata Ibu aku yang lahir lebih dulu dibandingkan kau, makanya aku diberi huruf A. Lagipula cocok kalau aku jadi kakak, aku 'kan kelak jadi pemimpin," jawab Abi bangga. Ia membusungkan dada dan menampilkan lesung pipit di kedua pipi. Tapi Ebi tidak peduli karena ia sibuk dengan permen karamelnya. Omongan Abi dianggap angin yang berlalu.
Dalfhas memberikan sebungkus permen karamel untuk Abi, ia kemudian menepuk puncak kepala bocah kembar di depannya. "Aku akan memberi sekeranjang penuh kalau kalian mau."
Tawaran Dalfhas membuat Abi dan Ebi kompak mengangguk cepat. "Mau mau!"
"Kalau begitu tolong antar aku ke kediaman Nona Lilacia Nair dulu."
Abi dan Ebi mengantarkan Dalfhas melewati gang-gang lebar dan sempit; menanjak dan menurun; berliku dan lurus. Sesekali sudut matanya menangkap kastil yang berdiri gagah di tebing pantai dan diterpa sinar matahari.
Ebi menunjuk ke sebuah rumah yang berada lebih tinggi dari rumah-rumah sekitar. Taman depan tampak indah, banyak bunga lonceng berebutan ingin mekar, tapi jauh lebih banyak bunga lilac merambat di dinding rumah. Semakin Dalfhas mendongak ke atas, matanya menangkap seorang gadis bertopi lebar duduk di pojok balkon dengan sebuah buku.
Pada saat itu angin bertiup kencang sehingga helaian buku berkibar tanpa henti. Akhirnya gadis itu masuk ke dalam kamar tanpa mengalihkan pandang dari buku yang dibacanya. Ia masuk ke kamar tanpa menyadari ada seorang tamu mendongak ke gadis itu.
Itu adalah kali pertama Dalfhas berjumpa dengan Lilacia. Dalfhas membungkam bibir yang tidak mau berhenti tersenyum. Abi heran kenapa kakak di sampingnya tersenyum tanpa sebab. Anak kecil itu tidak mengetahui Dalfhas baru saja menjumpai seorang gadis yang telah lama ia nanti.
Ebi menarik bel di dekat pintu. Nenek membuka mata lebar-lebar saat melihat Dalfhas, sontak ia memeluk lelaki tersebut. Nenek bahkan mencium dahi Dalfhas, pemuda tersebut tidak keberatan menerimanya. Abi dan Ebi menatap kebingungan, bagaimana bisa Nenek begitu akrab pada seseorang yang baru dikenal beberapa detik lalu?
Dalfhas memberikan sebuket mawar kepada Nenek. "Maaf, Nek, untuk sementara hanya ini yang bisa kuberikan. Bingkisan lainnya segera menyusul," tuturnya halus.
Nenek mengantar Dalfhas, Abi, dan Ebi ke ruang tamu. Saat mereka hendak melanjutkan obrolan, Nenek tiba-tiba teringat sesuatu. "Aku harus membawa Lilac kemari! Tunggu di sini, ya."
Dalfhas menahan Nenek. "Tidak perlu, Nek. Biarkan aku yang menemuinya sendiri."
Dan Dalfhas menemui Lilac di padang ilalang saat ia sedang menggiring domba-domba. Dalfhas dan Lilacia menjadikan dedaunan pohon apel sebagai atap, ditemani hewan peliharaan yang sesekali mengunyah rerumputan.
Lilacia mana tahu jika si penggembala yang ia kira selama ini ternyata telah menemuinya lebih dulu. Gadis itu sudah lupa kalau ia pernah menggerutu lantaran Nenek terlalu aktif berbicara dengan para tamu. Lilacia berpikir itu pasti teman Nenek yang kesekian dan tidak ada yang spesial dari itu, ternyata Dalfhas adalah salah satu tamu tersebut.
"Kenapa pula Nenek merahasiakannya," komentar Lilacia. Ia berbicara tanpa mengalihkan pandang dari kastil yang berdiri kokoh di tebing itu.
"Karena aku yang menahan Nenek," jawab Dalfhas. Ia memberikan potongan buah pir yang telah dikupas ke Lilac. "Berbicara langsung denganmu di padang ilalang lebih menyenangkan daripada melalui meja makan," sambungnya.
Lilac menerima buah pir yang telah dikupas oleh Dalfhas. "Terima kasih. Kau tidak perlu mengupas lagi—" Gadis itu melihat kulit buah pir disusun di atas piring putih bersih, membentuk bunga krisan yang mekar sempurna "—wah."
"Tak apa, itu potongan terakhir." Dalfhas meletakkan pisau buah di samping piring seperti tengah menaruh porselen, sangat tidak terdengar bunyi ketukan keras di meja. Ia meraih sapu tangan yang berada di sisi lain, membersihkan tangan begitu tenang dan rapi.
Lilac yang melihat tingkah Dalfhas jadi menyipitkan mata. Ia jadi kesal melihat betapa teratur tata krama Dalfhas. "Aku ingin pulang saja."
"Kalau itu keinginanmu, Nona Lila."
"Lilac," koreksi gadis itu. "Lilac saja, tak perlu Nona."
Mereka berdua pergi meninggalkan café. Lilac berjalan mendahului Dalfhas, langkahnya tergesa-gesa ingin meninggalkan lelaki yang ada di belakangnya. Setelah melihat bagaimana Dalfhas berlaku di meja tadi, Lilac merasa lelaki itu tidak akan mengekorinya karena ia pasti berjalan lambat. Saat melirik ke belakang, Dalfhas tersenyum ramah. Rupa-rupanya lelaki itu hanya berjarak tiga meter di belakang Lilac.
Lilac ingat pesan Nenek untuk bersikap ramah pada Dalfhas. Namun saat melihat ia mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Sheryl, muncul rasa ketidaksukaan dan keinginan menjauh darinya.
Lilac sempat membandingkan pakaiannya sendiri dengan rompi Dalfhas, betapa jauh perbedaannya. Setelan yang gadis itu kenakan sudah berulang kali dicuci, telah memudar warnanya. Bila masih baru pun tidak bisa disamakan dengan setelan Dalfhas.
"Dengar, aku ingin kita berpisah di sini. Aku tidak mau kau mengikutiku lagi. Sampai jumpa." Lilacia pergi tanpa membiarkan Dalfhas membalas titahnya. Ia tidak peduli. Gadis itu tidak ingin lebih banyak membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan pemuda tersebut.
Meskipun Lilac tidak menoleh ke belakang, Dalfhas menampilkan senyuman terbaiknya. Lelaki itu meletakkan tangan di dada dan membungkuk sedikit. Ketika Dalfhas mendongak, Lilac sudah belok ke persimpangan gang tanpa meperdulikan perlakuan lelaki itu kepadanya.
Dalfhas melangkah pergi menuju ke kediamannya. Di sepanjang perjalanan pulang, bibirnya enggan berhenti menarik senyum. Senyuman Dalfhas semakin mekar ketika ia mengingat padang ilalang yang menjadi tempat pertama Dalfhas bisa mengobrol dengan Lilac.
Gadis itu tidur bersandar di bawah pohon apel, bekas air mata mengering di kedua sudut matanya. Dalfhas ingat dirinya duduk tak jauh dari Lilacia berada. Sesekali ia mengarahkan domba-domba agar tidak merumput terlalu jauh, sisanya Dalfhas menunggu sampai Lilacia terbangun. Tangan Dalfhas terulur. Ia ingin mengelus kepala gadis itu, namun jemarinya tertahan kaku. Ia menarik tangannya lagi dan menggelengkam kepala seolah-olah berusaha menyadarkan dirinya sendiri yang tengah kerasukan. "Tidak bisa," kata Dalfhas. "Mungkin tidak akan pernah bisa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments