NovelToon NovelToon

Lilacia: Gadis Dengan Kembang Lilac

Ratusan Orang Berdesakan

Ratusan orang berdesakan di alun-alun kota. Masing-masing tangan mereka membawa sebuah lampion. Remang cahayanya saling bersahutan seperti kunang-kunang malam. Bila dilihat dari kejauhan tak ubahnya percikan api di pinggiran pantai.

Wajah demi wajah memandang lampion yang mereka bawa sendiri-sendiri. Seorang anak protektif melindungi lampionnya dari tiupan angin laut, kedua orang tua di sampingnya mengingatkan agar jangan terlalu dekat dengan lampion.

Para remaja berlari tergesa-gesa membawa lampion yang belum dinyalakan, sayangnya mereka tidak bisa merangsek masuk ke tengah alun-alun lantaran terlalu padat. Akhirnya mereka agak mundur ke belakang mencari alternatif tempat yang bagus untuk menerbangkan lampion nantinya.

Mereka semua sabar menanti kemunculan pemimpinnya dari balkoni kastil. Sesekali mereka mengecek api lampionnya tetap terjaga saat lonceng menara dibunyikan.

Sementara semua orang--baik tua maupun muda--berkumpul di alun-alun, seorang perempuan mendaki bukit batu yang tidak seberapa tinggi. Begitu sampai di puncaknya, ia melebarkan lipatan lampion lantas memantik api dengan hati-hati, takut-takut angin laut memadamkan korek yang ada di jemari. Sepelan-pelannya angin laut bertiup pun masih bisa menerbangkan anak rambutnya.

Sorak-sorai orang-orang terdengar begitu riuh begitu beberapa bangsawan melangkah ke balkoni dengan lampionnya masing-masing. Orang-orang di bawah sana mendongak tinggi-tinggi, melambai tinggi, dan menyebut-nyebut nama pemimpinnya begitu lepas.

Di sisi lain seorang perempuan yang sedari tadi sibuk menjaga lampionnya dari terpaan angin menoleh cepat ke arah balkoni sebuah kastil. Perempuan itu tidak harus mendongak ke atas layaknya orang di alun-alun. Ia bisa menatap lurus ke arah di mana salah seorang lelaki melambaikan tangan untuk para rakyatnya. Walau jarak antara bukit batu dengan kastil jauh; walau penglihatan perempuan itu tidak tajam, ia bisa membayangkan wajah-wajah pemimpinnya yang ditimpa cahaya lampion--terutama laki-laki itu.

Perempuan itu melambaikan tangan pelan ke kastil. Sudut bibirnya menarik ke atas, sepasang mata cokelatnya berbinar layaknya keramik. Perempuan itu bertanya-tanya apakah lelaki tersebut tahu dirinya ada di bukit batu? Mengingat ia sudah susah-susah mendaki agar terlihat mencolok bila lampionnya menyala sendirian di sebuah bukit.

Sebuah lonceng menara yang berada tak jauh dari alun-alun berbunyi. Bunyinya bergaung dan menyebar ke segala penjuru arah. Para bangsawan di balkoni memulai lebih dulu melepas lampion mereka ke udara, kemudian diikuti orang-orang di bawahnya. Mereka saling bertepuk tangan begitu riuh, mengalahkan kerasnya bunyi lonceng.

Sementara perempuan itu masih menahan lampionnya. Ia memandang dalam ke api yang bersembunyi di balik lingkupan kertas putih. "Katanya kau bisa mengabulkan permintaan," ujar perempuan itu. "Kalau begitu kumohon bantu aku melupakan dia selamanya". Lalu lampion tersebut terbang, menyusul lampion-lampion lain yang sudah jauh terbang ke atas.

Lampu-lampu yang semula mati lantas menyala, maka tampaklah alun-alun kota dipenuhi kios-kios dan para pengunjung yang menyebar ke segala arah menikmati perayaan musim semi. Merah muda kelopak bunga asha bertebaran, melengkapi kemeriahan malam pertama festival tahunan.

"Tuan Muda Sheryl, tolong terimalah pemberian saya ini," ujar seorang pedagang sambil memberi sekeranjang kecil roti beri.

Sheryl menerima dengan senang hati. Ia menghirup dalam-dalam wangi roti beri pemberian, "Roti buatanmu selalu wangi, Ben," pujinya.

"Tuan Muda Sheryl! Tolong terimalah hasil panen saya," sahut pedagang lainnya.

Sapaan dan lambaian tangan diterima Sheryl seiring langkahnya berlalu mengelilingi alun-alun kota. Lelaki itu telaten melempar sapaan rakyatnya dengan senyuman ramah. Ia baru berhenti menyunggingkan senyuman saat tiba di air mancur kota. Sheryl duduk di salah satu bangkunya. Ia meluruskan kaki sedangkan tangannya sibuk mengarahkan roti beri ke mulut.

Mata Sheryl sibuk mengamati satu persatu orang yang berlalu-lalang. Ia mengeryitkan dahi agak ke dalam karena saking seriusnya mengamati. Alisnya baru terangkat ke atas ketika ia melihat seorang perempuan berlalu tanpa menghiraukan kehadirannya. "Lilac!" panggil Sheryl.

Perempuan yang bernama Lilac terhenyak sebentar. Ia kemudian kembali berjalan, kali ini lebih cepat. Lehernya terkunci, ia tidak mau menoleh ke lelaki yang memanggil namanya berulang kali.

Sheryl tidak mau diam saja, ia pergi menyusul Lilac. Sisa roti dimasukkan ke dalam mulut, sedangkan roti-roti lainnya bergoyang di dalam keranjang begitu Sheryl mempercepat langkahnya.

Lilac berlari kali ini. Ia pergi meninggalkan kios-kios, melalui gang-gang tikus. Di belakangnya Sheryl gigih mengejar, kemejanya jadi basah; pelipisnya apalagi. Ia seperti tengah mengejar seorang pencuri kendatipun sebenarnya itu kawannya sendiri.

Melihat Lilac semakin jauh dari jangkauan Sheryl, lelaki itu memilih jalan alternatif agar bisa menghadang Lilac. Ia melalui gang-gang lain. Sheryl melompati drum-drum, tanaman tinggi, berjalan di atas dinding beton, kemudian melompat tepat di depan Lilac.

Lilac memekik, ia menekan dadanya yang berdentum kencang. Sheryl mengeluarkan roti dari keranjang, "Roti dari Ben--" Sheryl terdiam sejenak untuk menenangkan dadanya "--makanlah."

Sebuah roti sudah terjulur, namun Lilac memilih menunduk. "Saya tidak lapar, Tuan Muda," ucapnya lirih. "Saya izin pamit."

"Hei hei, kenapa kau jadi bilang 'saya' dan 'Tuan Muda'?" Sheryl terkekeh geli. "Panggil saja seperti biasa."

Namun Lilac masih menundukkan kepala. "Saya izin pamit, Tuan Muda, Nenek sudah menunggu di rumah," tegasnya. Pandangan mereka saling bertumbukan. Sheryl melihat kemarahan di mata Lilac. Alis perempuan itu menukik, sudut bibirnya menurun ke bawah.

Lilac berjalan cepat melalui Sheryl yang terdiam di tempat. Roti pemberian dengan berat ia masukkan lagi ke dalam keranjang. Ketika Sheryl menoleh ke belakang, punggung Lilac menjauh begitu cepat. Ketukan sepatunya yang bertalu-talu terdengar tergesa-gesa. Perempuan itu menghilang di balik persimpangan gang.

Sheryl mengusap leher belakangnya, ia mendesah lemah, matanya menyorot ke jalanan. Perlahan Sheryl mulai meninggalkan gang tersebut meskipun langkah kaki seakan ingin membawanya kembali mengejar Lilac yang semakin menjauh. Namun mengingat baru saja Sheryl mendapatkan tatapan seperti itu, ia memilih kembali ke alun-alun saja.

Akan tetapi, Sheryl berjalan melewati air mancur. Ia terus berjalan pulang ke rumah besarnya, pergi ke kamar, dan merebahkan diri di atas kasur.

Jauh dari kediaman Tuan Muda Sheryl, Lilac lebih dulu mengunci kamar dan meringkuk di atas kasur. Bantalnya basah oleh air mata yang tiada hentinya menetes. Nenek Lilac mengetuk pintu kamar Lilac, tetapi diabaikan olehnya.

Sama halnya dengan Nenek, Ibunda Sheryl pun khawatir apakah ada sesuatu yang terjadi dengan anak laki-lakinya itu. Padahal tadi ia bilang tidak sabar melepaskan lampion di balkoni dan berjanji mengelilingi kios sampai tengah malam, tapi sekarang malah mengunci kamar saat pagelaran festival sedang meriah-meriahnya.

Itu adalah kali terakhir Lilac dan Sheryl bertemu. Lilacia tidak tahu Sheryl akan pergi sampai ia mengerti ada sebuah kereta kuda mewah meninggalkan kota dengan sangat lama.

Itu Adalah Kali Terakhir

Itu adalah kali terakhir Lilac dan Sheryl bertemu meskipun tempat tinggal mereka tidak pernah berpindah. Lilac akan menghindar sebelum Sheryl menyadari keberadaannya. Bahkan ketika lelaki itu mengunjungi rumahnya sekalipun, Lilac akan pergi mengendap-endap melalui pintu belakang.

Perempuan itu akan berlari menyusuri padang ilalang yang luas, berlindung di bawah pohon apel. Gemerisik daun-daun yang diterpa angin akan membuat Lilac terhanyut, bau asin lautan menghantarkannya pada tidur panjang.

Untuk minggu kesekian, Lilac melakukan hal yang serupa.

Ia baru bangun ketika kerincing lonceng para domba berbunyi. Saat membuka mata, Lilac melihat domba-domba mengembik di depannya sembari menyantap rerumputan. Lantas seorang penggembala yang menggiring domba-domba pasti akan duduk di sebelahnya, "Apa kau tidak merasakan serangga merayapi tubuhmu saat tidur?"

Lilac menggeleng. "Aku tidak merasakan itu," jawabnya. "Mungkin karena tidurku pulas."

"Kau terlalu sering menghabiskan waktu di sini. Bisa-bisa kau tidak tahu informasi apa pun di kota."

Lilac tersenyum kecil, "Hmm aku terdengar seperti seorang pemalas."

Penggelambala itu melepas topi jeraminya. "Aku tidak mengatakan hal itu. Bisa jadi kau tahu lebih daripada aku."

"Soal panen yang mengalami penurunan? Tentu aku tahu itu."

Sudut mata penggembala itu menyipit, ia menyeringai kecil. "Sayangnya bukan itu, Nona Lilac. Tuan Muda Sheryl baru saja pergi ke kota seberang untuk melanjutkan studinya."

Bibir Lilac terbuka, terkatup sejenak, lalu terbuka lagi. "Kapan?"

Penggembala itu mengenakan kembali topi jeraminya. "Baru saja, Nona Lilac."

Lilac lekas-lekas berdiri. Tanpa mengucapkan kata pamit ia berlari menyibak padang ilalang. Dari padang tempat ia berlari, terlihat keramaian orang-orang yang memadati gerbang kota. Beberapa kereta kuda melalui gerbang tersebut.

Sadar waktunya tidak akan cukup, Lilac memacu kakinya begitu cepat dan lantang. Perempuan itu tersandung bongkahan batu, ia jatuh berguling, menghantam kerikil batu dan tanah basah.

Tak mau menyisakan waktu yang tersisa, ia segera bangkit. Tangannya membersihkan noda rumput dan tanah yang menempel di roknya. Lilac mengabaikan lengannya yang tergores, ia malah memacu kedua lengannya bergerak agar mau melencutkan lebih banyak energi saat berlari.

Ketika gadis itu hampir tiba di gerbang kota, orang-orang sudah mulai membubarkan diri. Lilac hendak berlari keluar gerbang, namun sayang kereta kuda bagaikan sebongkah batu yang terus mengecil. Ia akhirnya bersandar di tembok bata, mengusap peluh mengucur di leher, dan menenangkan dada yang berdentum.

"Sayang sekali, Nona, kau ketinggalan kereta," kata penjaga gerbang.

"Tenang saja! Tuan Muda kita akan kembali tiga tahun lagi," sahut lainnya.

Lilac menoleh. "Tiga tahun?"

"Oh lihatlah dirimu, Nona, kau sama seperti para penggemar Tuan Muda yang kecewa berat. Tidak apa, tidak masalah," hibur penjaga tersebut sembari menepuk puncak kepala Lilac. "Saat kembali nanti ia akan jadi pria tampan yang disukai banyak orang, mungkin membawa seorang perempuan dari bangsawan kota seberang bersamanya."

Gadis itu membeliakkan mata.

"Nona belum tahu rumor itu, ya? Rumornya Tuan Muda Sheryl akan dijodohkan dengan bangsawan kota seberang—entah kota yang mana."

Lilac kembali masuk ke dalam kota. Ia tidak mengindahkan tawaran air minum dari penjaga. Langkahnya gontai melalui gang-gang panjang, sesekali pundaknya menubruk beberapa pejalan kaki. Lilac buru-buru meminta maaf, lantas kembali melangkah gontai.

Langkahnya berhenti di persimpangan jalan. Antara ia kembali ke padang ilalang menemui penggembala atau pulang ke rumah saja. Saat akan ingin pulang saja, dua anak kecil, tetangganya, berlari tergesa-gesa menghampiri. "Kau! Ke ... mana saja ... kau!" pekik mereka tersendat-sendat. Mata mereka membulat, "Nenek ... Lilac, Nenek—!"

Lilac berlari mendahului. Jantungnya berdentum lebih cepat dari gerakan diesel. Ia sudah jauh meninggalkan dua bocah yang kepayahan mengekori. Lilac membuka pintu rumah begitu lantang, "Nenek—!"

"Ah! Akhirnya kau kembali, Lilacia."

Sebuah meja makan diletakkan di ruang tengah. Kudapan-kudapan kecil memenuhi hampir seluruh meja, sedangkan makanan utama berada di tengah-tengah. Nenek menata sendok garpu di atas piring.

"Nenek ...." Lilac menurunkan bahu begitu mengetahui neneknya sehat seperti biasa. "Apa ini?"

"Lilac! Kau ... meninggalkan ... kami," kata seorang bocah laki-laki. Ia jatuh terduduk di lantai.

Seorang bocah perempuan juga merebahkan diri di lantai. "Larimu ... gesit," lirihnya. "Padahal kami ... belum selesai ... bicara!"

"Abi dan Ebi ayo minum limun buatan Nenek—dan kau Lilacia, bantu Nenek membawa piring-piring yang ada di dapur."

"T-tunggu, ada perayaan apa ini?" Namun Nenek hanya menyeringai kecil. "Ah! Ulang tahun, Nenek, ya ampun—" Lilac memeluk neneknya "—maafkan aku, Nek! Selamat ulang tahun—"

"Euh, kau kotor, Lilac! Mandilah lalu bantu Nenek memasukkan kue kering ke dalam kotak."

Setelah selesai bebersih diri, Lilac membantu Nenek menyiapkan lebih banyak makanan. Saat gadis itu bertanya ada berapa tamu yang diundang kali ini, neneknya menjawab akan ada lebih banyak wajah-wajah baru yang tidak Lilac kenal.

Beberapa tetangga meminjamkan sebuah meja besar dan meletakkannya di depan rumah. Lilac yang sedikit kebingungan memindahkan beberapa makanan di meja ke luar rumah. "Kupikir makan di ruang tengah," tutur Lilac.

"Kan Nenek bilang bakal ada orang baru, kalau makan di dalam nanti sesak. Lagipun makanan di ruang tengah untuk cadangan saja—Abi-Ebi, tolong bawakan kotak kukis pisang yang ada di meja, ya!"

Menjelang malam, lampu dan lilin-lilin mulai dinyalakan. Para tetangga yang diundang mulai berdatangan, mereka satu persatu menyalami Nenek. Sementara itu Lilac mundur melewati samping rumah dan memilih menyendiri di taman belakang. Kedua siku kaki ditekuk untuk dijadikan sandaran kepala.

Semilir angin laut memainkan anak rambut Lilac, menggelitik leher, dan lengannya. Akan tetapi Lilac tidak mau mengangkat kepala untuk melihat deburan ombak yang mengalun pelan. Ia mulai terbayang potongan adegan di mana kereta kuda Sheryl pergi menjauh dan mengingat perkataan yang diucapkan oleh penjaga tadi siang.

Seorang lelaki berjalan mendekat, ia menggenggam secawan lilin dan korek api. "Kau ternyata memang suka tidur, ya," komentarnya.

Merasa familier dengan suaranya, Lilac mengangkat kepala. "Penggembala, kau ..." dilihat dari manapun ia tidak berpakaian seperti saat menggembala di padang ilalang. Ia berpakaian necis dengan rompi dan tuksedo yang disetrika klimis. "... kau tidak mengenakan topi jeramimu," lanjut Lilac.

Lelaki itu tertawa kecil. "Mungkin aku harus mengenakan topi jeramiku setiap akan bertemu denganmu," tuturnya. Lelaki itu memantik api di dekat sumbu lilin. Ketika cahaya api menyala lembut, tampaklah rupa si penggembala yang selama ini mengiring domba-domba di padang ilalang. Dengan tampilan sama sekali berbeda, si penggembala menjelma menjadi seperti seseorang yang paling berpengaruh di salah satu kota.

Lelaki itu duduk di kursi lain, cawan lilinnya diletakkan di meja yang memisahkan mereka berdua. "Jadi kau tidak berniat menyalakan lampu belakang, Nona Lilac?"

"Biarkan begini, Tuan ... em penggembala?" Tiba-tiba Lilac jadi salah tingkah lantaran ia tidak mengetahui nama orang selama ini menemaninya di padang ilalang.

"Dalfhas ... Dalfhas Sinclaire."

"Kau ... kaukah tamu baru yang disinggung Nenek?" Lilac sekali lagi mengamati penampilan seseorang yang mengaku bernama Dalfhas ini. Sungguh-sungguh khas busana seorang bangsawan. Lilac langsung mengaitkannya dengan lelaki yang baru saja berpisah dengannya, lagi-lagi rupa Sheryl membuat Lilac kembali tenggelam ke dalam pelukannya sendiri. "Terserah apa pun itu ... aku tidak peduli lagi," sambungnya.

Dalfhas bersandar pada kursi, derit kayu terdengar mengisi kekosongan di antara mereka berdua. Dalfhas menaikkan kakinya ke atas kaki lain, siku lengannya bertopang pada meja kecil, sedangkan pandangannya murni menikmati debur tenang ombak yang diterangi kerlap-kerlip lampu rumah penduduk.

Dalfhas tidak mendesak Lilac melanjutkan cerita, ia sendiri pun tidak berniat menyambung obrolan. Sama seperti saat-saat mereka bertemu di padang ilalang, tidak pernah sekalipun Dalfhas mengorek-ngorek hati gadis di sampingnya.

Sama seperti hari-hari sebelumnya Dalfhas menikmati debur ombak bersama dengan Lilac, kali ini bukan di padang ilalang dan tanpa domba-dombanya---hanya ia dan Lilac saja di malam yang tenang.

Pertemuan Pertama

Dalfhas menyejajarkan pundak pada dua anak kembar di depannya. "Nah, sekarang katakan padaku siapa Abi dan Ebi?" Dalfhas membuka keranjang anyaman. Berbagai gulali tertata rapi, di atasnya ada sebuket mawar merah. Dua anak kecil itu sontak mencondongkan badan ke depan. "Eits! Jawab dulu pertanyaanku."

"Aku! Aku Ebi, Kak!" pekik bocah perempuan. Ia meloncat-loncat tinggi, rambut kuncir duanya menari-nari. Ia tersenyum girang ketika menerima hadiah sebungkus permen karamel.

"Aku Abi, Kak," tutur si bocah laki-laki. "Abi Khayla. Karena nama depanku diawali huruf A, maka aku kakaknya E-bi."

"Ah kita lahir bersama! Mana bisa disebut Kakak," protes Ebi.

"Kata Ibu aku yang lahir lebih dulu dibandingkan kau, makanya aku diberi huruf A. Lagipula cocok kalau aku jadi kakak, aku 'kan kelak jadi pemimpin," jawab Abi bangga. Ia membusungkan dada dan menampilkan lesung pipit di kedua pipi. Tapi Ebi tidak peduli karena ia sibuk dengan permen karamelnya. Omongan Abi dianggap angin yang berlalu.

Dalfhas memberikan sebungkus permen karamel untuk Abi, ia kemudian menepuk puncak kepala bocah kembar di depannya. "Aku akan memberi sekeranjang penuh kalau kalian mau."

Tawaran Dalfhas membuat Abi dan Ebi kompak mengangguk cepat. "Mau mau!"

"Kalau begitu tolong antar aku ke kediaman Nona Lilacia Nair dulu."

Abi dan Ebi mengantarkan Dalfhas melewati gang-gang lebar dan sempit; menanjak dan menurun; berliku dan lurus. Sesekali sudut matanya menangkap kastil yang berdiri gagah di tebing pantai dan diterpa sinar matahari.

Ebi menunjuk ke sebuah rumah yang berada lebih tinggi dari rumah-rumah sekitar. Taman depan tampak indah, banyak bunga lonceng berebutan ingin mekar, tapi jauh lebih banyak bunga lilac merambat di dinding rumah. Semakin Dalfhas mendongak ke atas, matanya menangkap seorang gadis bertopi lebar duduk di pojok balkon dengan sebuah buku.

Pada saat itu angin bertiup kencang sehingga helaian buku berkibar tanpa henti. Akhirnya gadis itu masuk ke dalam kamar tanpa mengalihkan pandang dari buku yang dibacanya. Ia masuk ke kamar tanpa menyadari ada seorang tamu mendongak ke gadis itu.

Itu adalah kali pertama Dalfhas berjumpa dengan Lilacia. Dalfhas membungkam bibir yang tidak mau berhenti tersenyum. Abi heran kenapa kakak di sampingnya tersenyum tanpa sebab. Anak kecil itu tidak mengetahui Dalfhas baru saja menjumpai seorang gadis yang telah lama ia nanti.

Ebi menarik bel di dekat pintu. Nenek membuka mata lebar-lebar saat melihat Dalfhas, sontak ia memeluk lelaki tersebut. Nenek bahkan mencium dahi Dalfhas, pemuda tersebut tidak keberatan menerimanya. Abi dan Ebi menatap kebingungan, bagaimana bisa Nenek begitu akrab pada seseorang yang baru dikenal beberapa detik lalu?

Dalfhas memberikan sebuket mawar kepada Nenek. "Maaf, Nek, untuk sementara hanya ini yang bisa kuberikan. Bingkisan lainnya segera menyusul," tuturnya halus.

Nenek mengantar Dalfhas, Abi, dan Ebi ke ruang tamu. Saat mereka hendak melanjutkan obrolan, Nenek tiba-tiba teringat sesuatu. "Aku harus membawa Lilac kemari! Tunggu di sini, ya."

Dalfhas menahan Nenek. "Tidak perlu, Nek. Biarkan aku yang menemuinya sendiri."

Dan Dalfhas menemui Lilac di padang ilalang saat ia sedang menggiring domba-domba. Dalfhas dan Lilacia menjadikan dedaunan pohon apel sebagai atap, ditemani hewan peliharaan yang sesekali mengunyah rerumputan.

Lilacia mana tahu jika si penggembala yang ia kira selama ini ternyata telah menemuinya lebih dulu. Gadis itu sudah lupa kalau ia pernah menggerutu lantaran Nenek terlalu aktif berbicara dengan para tamu. Lilacia berpikir itu pasti teman Nenek yang kesekian dan tidak ada yang spesial dari itu, ternyata Dalfhas adalah salah satu tamu tersebut.

"Kenapa pula Nenek merahasiakannya," komentar Lilacia. Ia berbicara tanpa mengalihkan pandang dari kastil yang berdiri kokoh di tebing itu.

"Karena aku yang menahan Nenek," jawab Dalfhas. Ia memberikan potongan buah pir yang telah dikupas ke Lilac. "Berbicara langsung denganmu di padang ilalang lebih menyenangkan daripada melalui meja makan," sambungnya.

Lilac menerima buah pir yang telah dikupas oleh Dalfhas. "Terima kasih. Kau tidak perlu mengupas lagi—" Gadis itu melihat kulit buah pir disusun di atas piring putih bersih, membentuk bunga krisan yang mekar sempurna "—wah."

"Tak apa, itu potongan terakhir." Dalfhas meletakkan pisau buah di samping piring seperti tengah menaruh porselen, sangat tidak terdengar bunyi ketukan keras di meja. Ia meraih sapu tangan yang berada di sisi lain, membersihkan tangan begitu tenang dan rapi.

Lilac yang melihat tingkah Dalfhas jadi menyipitkan mata. Ia jadi kesal melihat betapa teratur tata krama Dalfhas. "Aku ingin pulang saja."

"Kalau itu keinginanmu, Nona Lila."

"Lilac," koreksi gadis itu. "Lilac saja, tak perlu Nona."

Mereka berdua pergi meninggalkan café. Lilac berjalan mendahului Dalfhas, langkahnya tergesa-gesa ingin meninggalkan lelaki yang ada di belakangnya. Setelah melihat bagaimana Dalfhas berlaku di meja tadi, Lilac merasa lelaki itu tidak akan mengekorinya karena ia pasti berjalan lambat. Saat melirik ke belakang, Dalfhas tersenyum ramah. Rupa-rupanya lelaki itu hanya berjarak tiga meter di belakang Lilac.

Lilac ingat pesan Nenek untuk bersikap ramah pada Dalfhas. Namun saat melihat ia mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Sheryl, muncul rasa ketidaksukaan dan keinginan menjauh darinya.

Lilac sempat membandingkan pakaiannya sendiri dengan rompi Dalfhas, betapa jauh perbedaannya. Setelan yang gadis itu kenakan sudah berulang kali dicuci, telah memudar warnanya. Bila masih baru pun tidak bisa disamakan dengan setelan Dalfhas.

"Dengar, aku ingin kita berpisah di sini. Aku tidak mau kau mengikutiku lagi. Sampai jumpa." Lilacia pergi tanpa membiarkan Dalfhas membalas titahnya. Ia tidak peduli. Gadis itu tidak ingin lebih banyak membanding-bandingkan dirinya sendiri dengan pemuda tersebut.

Meskipun Lilac tidak menoleh ke belakang, Dalfhas menampilkan senyuman terbaiknya. Lelaki itu meletakkan tangan di dada dan membungkuk sedikit. Ketika Dalfhas mendongak, Lilac sudah belok ke persimpangan gang tanpa meperdulikan perlakuan lelaki itu kepadanya.

Dalfhas melangkah pergi menuju ke kediamannya. Di sepanjang perjalanan pulang, bibirnya enggan berhenti menarik senyum. Senyuman Dalfhas semakin mekar ketika ia mengingat padang ilalang yang menjadi tempat pertama Dalfhas bisa mengobrol dengan Lilac.

Gadis itu tidur bersandar di bawah pohon apel, bekas air mata mengering di kedua sudut matanya. Dalfhas ingat dirinya duduk tak jauh dari Lilacia berada. Sesekali ia mengarahkan domba-domba agar tidak merumput terlalu jauh, sisanya Dalfhas menunggu sampai Lilacia terbangun. Tangan Dalfhas terulur. Ia ingin mengelus kepala gadis itu, namun jemarinya tertahan kaku. Ia menarik tangannya lagi dan menggelengkam kepala seolah-olah berusaha menyadarkan dirinya sendiri yang tengah kerasukan. "Tidak bisa," kata Dalfhas. "Mungkin tidak akan pernah bisa."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!