Itu adalah kali terakhir Lilac dan Sheryl bertemu meskipun tempat tinggal mereka tidak pernah berpindah. Lilac akan menghindar sebelum Sheryl menyadari keberadaannya. Bahkan ketika lelaki itu mengunjungi rumahnya sekalipun, Lilac akan pergi mengendap-endap melalui pintu belakang.
Perempuan itu akan berlari menyusuri padang ilalang yang luas, berlindung di bawah pohon apel. Gemerisik daun-daun yang diterpa angin akan membuat Lilac terhanyut, bau asin lautan menghantarkannya pada tidur panjang.
Untuk minggu kesekian, Lilac melakukan hal yang serupa.
Ia baru bangun ketika kerincing lonceng para domba berbunyi. Saat membuka mata, Lilac melihat domba-domba mengembik di depannya sembari menyantap rerumputan. Lantas seorang penggembala yang menggiring domba-domba pasti akan duduk di sebelahnya, "Apa kau tidak merasakan serangga merayapi tubuhmu saat tidur?"
Lilac menggeleng. "Aku tidak merasakan itu," jawabnya. "Mungkin karena tidurku pulas."
"Kau terlalu sering menghabiskan waktu di sini. Bisa-bisa kau tidak tahu informasi apa pun di kota."
Lilac tersenyum kecil, "Hmm aku terdengar seperti seorang pemalas."
Penggelambala itu melepas topi jeraminya. "Aku tidak mengatakan hal itu. Bisa jadi kau tahu lebih daripada aku."
"Soal panen yang mengalami penurunan? Tentu aku tahu itu."
Sudut mata penggembala itu menyipit, ia menyeringai kecil. "Sayangnya bukan itu, Nona Lilac. Tuan Muda Sheryl baru saja pergi ke kota seberang untuk melanjutkan studinya."
Bibir Lilac terbuka, terkatup sejenak, lalu terbuka lagi. "Kapan?"
Penggembala itu mengenakan kembali topi jeraminya. "Baru saja, Nona Lilac."
Lilac lekas-lekas berdiri. Tanpa mengucapkan kata pamit ia berlari menyibak padang ilalang. Dari padang tempat ia berlari, terlihat keramaian orang-orang yang memadati gerbang kota. Beberapa kereta kuda melalui gerbang tersebut.
Sadar waktunya tidak akan cukup, Lilac memacu kakinya begitu cepat dan lantang. Perempuan itu tersandung bongkahan batu, ia jatuh berguling, menghantam kerikil batu dan tanah basah.
Tak mau menyisakan waktu yang tersisa, ia segera bangkit. Tangannya membersihkan noda rumput dan tanah yang menempel di roknya. Lilac mengabaikan lengannya yang tergores, ia malah memacu kedua lengannya bergerak agar mau melencutkan lebih banyak energi saat berlari.
Ketika gadis itu hampir tiba di gerbang kota, orang-orang sudah mulai membubarkan diri. Lilac hendak berlari keluar gerbang, namun sayang kereta kuda bagaikan sebongkah batu yang terus mengecil. Ia akhirnya bersandar di tembok bata, mengusap peluh mengucur di leher, dan menenangkan dada yang berdentum.
"Sayang sekali, Nona, kau ketinggalan kereta," kata penjaga gerbang.
"Tenang saja! Tuan Muda kita akan kembali tiga tahun lagi," sahut lainnya.
Lilac menoleh. "Tiga tahun?"
"Oh lihatlah dirimu, Nona, kau sama seperti para penggemar Tuan Muda yang kecewa berat. Tidak apa, tidak masalah," hibur penjaga tersebut sembari menepuk puncak kepala Lilac. "Saat kembali nanti ia akan jadi pria tampan yang disukai banyak orang, mungkin membawa seorang perempuan dari bangsawan kota seberang bersamanya."
Gadis itu membeliakkan mata.
"Nona belum tahu rumor itu, ya? Rumornya Tuan Muda Sheryl akan dijodohkan dengan bangsawan kota seberang—entah kota yang mana."
Lilac kembali masuk ke dalam kota. Ia tidak mengindahkan tawaran air minum dari penjaga. Langkahnya gontai melalui gang-gang panjang, sesekali pundaknya menubruk beberapa pejalan kaki. Lilac buru-buru meminta maaf, lantas kembali melangkah gontai.
Langkahnya berhenti di persimpangan jalan. Antara ia kembali ke padang ilalang menemui penggembala atau pulang ke rumah saja. Saat akan ingin pulang saja, dua anak kecil, tetangganya, berlari tergesa-gesa menghampiri. "Kau! Ke ... mana saja ... kau!" pekik mereka tersendat-sendat. Mata mereka membulat, "Nenek ... Lilac, Nenek—!"
Lilac berlari mendahului. Jantungnya berdentum lebih cepat dari gerakan diesel. Ia sudah jauh meninggalkan dua bocah yang kepayahan mengekori. Lilac membuka pintu rumah begitu lantang, "Nenek—!"
"Ah! Akhirnya kau kembali, Lilacia."
Sebuah meja makan diletakkan di ruang tengah. Kudapan-kudapan kecil memenuhi hampir seluruh meja, sedangkan makanan utama berada di tengah-tengah. Nenek menata sendok garpu di atas piring.
"Nenek ...." Lilac menurunkan bahu begitu mengetahui neneknya sehat seperti biasa. "Apa ini?"
"Lilac! Kau ... meninggalkan ... kami," kata seorang bocah laki-laki. Ia jatuh terduduk di lantai.
Seorang bocah perempuan juga merebahkan diri di lantai. "Larimu ... gesit," lirihnya. "Padahal kami ... belum selesai ... bicara!"
"Abi dan Ebi ayo minum limun buatan Nenek—dan kau Lilacia, bantu Nenek membawa piring-piring yang ada di dapur."
"T-tunggu, ada perayaan apa ini?" Namun Nenek hanya menyeringai kecil. "Ah! Ulang tahun, Nenek, ya ampun—" Lilac memeluk neneknya "—maafkan aku, Nek! Selamat ulang tahun—"
"Euh, kau kotor, Lilac! Mandilah lalu bantu Nenek memasukkan kue kering ke dalam kotak."
Setelah selesai bebersih diri, Lilac membantu Nenek menyiapkan lebih banyak makanan. Saat gadis itu bertanya ada berapa tamu yang diundang kali ini, neneknya menjawab akan ada lebih banyak wajah-wajah baru yang tidak Lilac kenal.
Beberapa tetangga meminjamkan sebuah meja besar dan meletakkannya di depan rumah. Lilac yang sedikit kebingungan memindahkan beberapa makanan di meja ke luar rumah. "Kupikir makan di ruang tengah," tutur Lilac.
"Kan Nenek bilang bakal ada orang baru, kalau makan di dalam nanti sesak. Lagipun makanan di ruang tengah untuk cadangan saja—Abi-Ebi, tolong bawakan kotak kukis pisang yang ada di meja, ya!"
Menjelang malam, lampu dan lilin-lilin mulai dinyalakan. Para tetangga yang diundang mulai berdatangan, mereka satu persatu menyalami Nenek. Sementara itu Lilac mundur melewati samping rumah dan memilih menyendiri di taman belakang. Kedua siku kaki ditekuk untuk dijadikan sandaran kepala.
Semilir angin laut memainkan anak rambut Lilac, menggelitik leher, dan lengannya. Akan tetapi Lilac tidak mau mengangkat kepala untuk melihat deburan ombak yang mengalun pelan. Ia mulai terbayang potongan adegan di mana kereta kuda Sheryl pergi menjauh dan mengingat perkataan yang diucapkan oleh penjaga tadi siang.
Seorang lelaki berjalan mendekat, ia menggenggam secawan lilin dan korek api. "Kau ternyata memang suka tidur, ya," komentarnya.
Merasa familier dengan suaranya, Lilac mengangkat kepala. "Penggembala, kau ..." dilihat dari manapun ia tidak berpakaian seperti saat menggembala di padang ilalang. Ia berpakaian necis dengan rompi dan tuksedo yang disetrika klimis. "... kau tidak mengenakan topi jeramimu," lanjut Lilac.
Lelaki itu tertawa kecil. "Mungkin aku harus mengenakan topi jeramiku setiap akan bertemu denganmu," tuturnya. Lelaki itu memantik api di dekat sumbu lilin. Ketika cahaya api menyala lembut, tampaklah rupa si penggembala yang selama ini mengiring domba-domba di padang ilalang. Dengan tampilan sama sekali berbeda, si penggembala menjelma menjadi seperti seseorang yang paling berpengaruh di salah satu kota.
Lelaki itu duduk di kursi lain, cawan lilinnya diletakkan di meja yang memisahkan mereka berdua. "Jadi kau tidak berniat menyalakan lampu belakang, Nona Lilac?"
"Biarkan begini, Tuan ... em penggembala?" Tiba-tiba Lilac jadi salah tingkah lantaran ia tidak mengetahui nama orang selama ini menemaninya di padang ilalang.
"Dalfhas ... Dalfhas Sinclaire."
"Kau ... kaukah tamu baru yang disinggung Nenek?" Lilac sekali lagi mengamati penampilan seseorang yang mengaku bernama Dalfhas ini. Sungguh-sungguh khas busana seorang bangsawan. Lilac langsung mengaitkannya dengan lelaki yang baru saja berpisah dengannya, lagi-lagi rupa Sheryl membuat Lilac kembali tenggelam ke dalam pelukannya sendiri. "Terserah apa pun itu ... aku tidak peduli lagi," sambungnya.
Dalfhas bersandar pada kursi, derit kayu terdengar mengisi kekosongan di antara mereka berdua. Dalfhas menaikkan kakinya ke atas kaki lain, siku lengannya bertopang pada meja kecil, sedangkan pandangannya murni menikmati debur tenang ombak yang diterangi kerlap-kerlip lampu rumah penduduk.
Dalfhas tidak mendesak Lilac melanjutkan cerita, ia sendiri pun tidak berniat menyambung obrolan. Sama seperti saat-saat mereka bertemu di padang ilalang, tidak pernah sekalipun Dalfhas mengorek-ngorek hati gadis di sampingnya.
Sama seperti hari-hari sebelumnya Dalfhas menikmati debur ombak bersama dengan Lilac, kali ini bukan di padang ilalang dan tanpa domba-dombanya---hanya ia dan Lilac saja di malam yang tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Minaa Lee💅
wah nama nya unik sekali
2022-12-13
2
Minaa Lee💅
pernah baca kalimat ini gak Thor " orang yang pergi tanpa penjelasan akan kembali dengan penyesalan" n u know, i feel that . Lilac kek aku wkwkkw
2022-12-13
1