Masa Kecil

Sejak kecil Sheryl disekolahkan bersama anak biasa. Letak sekolahnya jauh. Rumah Sheryl di ujung sementara sekolahnya berada di ujung lainnya. Pada ulang tahun yang keenam, Sheryl diberikan sepeda untuk kendaraan pulang-pergi sekolah.

Ia tidak diperbolehkan memakai pakaian mencolok. Sheryl ditempatkan di sebuah kelas bersama lima belas siswa yang tidak tahu menahu ada seorang bangsawan di antara mereka. Layaknya cerminan anak kecil, yang mereka ketahui hanyalah bermain dan menjahili kawan-kawannya. Bagi anak laki-laki, Lilacia adalah sasaran paling empuk di antara semua anak yang dijahili.

Lilacia pasti akan menangis. Tangisannya kecil, namun awet sampai berjam-jam. Matanya jadi sering memerah dan membengkak parah. Para anak laki-laki akhirnya mengejek Lilacia dengan sebutan mata ikan lantaran mata cokelat madunya tampak begitu besar dan bulat. Walhasil lebih banyak tangisan yang Lilacia ciptakan.

Sheryl yang duduk tepat di depan Lilacia jadi jengkel mendengar kesedihan perempuan itu. Awalnya Sheryl cukup yakin ia bisa mengabaikan perempuan cengeng di belakangnya, tetapi anak itu malah semakin menjadi-jadi. Sheryl jadi sering mendengar tangisan Lilacia daripada ceramah guru.

Sheryl membicarakan hal gawat ini ke ibunya. Ia merutuki Lilacia yang berhati serapuh jaring laba-laba—begitu mudahnya disentuh dan dihancurkan dengan jari telunjuk. Lantas Ibunda Sheryl mengelus lembut puncak kepala anak terakhirnya, “Sheryl Sayang, ingat apa kata Kakek kenapa kau disekolahkan di tempat umum?”

Sheryl menjawab, “Bergaul dengan kawan-kawan.” Anak itu menunggu balasan. Lama menanti, tatapan ibunya tak kunjung mengendur. “Iya, ‘kan?”

“Bergaul baik dengan kawan-kawan, Sayang,” koreksi wanita itu. “Bergaul baik.”

Sheryl diingatkan kembali. Pertemuannya dengan Kakek kembali terngiang-ngiang. Sheryl memeluk kakeknya, anak kecil itu memohon-mohon agar disekolahkan di kota lain saja. Tetapi kakeknya menolak, dengan kuasa mutlak anak lelaki itu dikirim ke sekolah umum alih-alih di luar kota.

Sheryl ditempatkan di tengah-tengah kelas yang ramai. Teman sebangkunya tipe orang yang tidak punya modal, selalu saja meminjam alat-alat tulisnya. Lalu ada anak yang hobi menangis duduk tepat di belakang bangku. Tangisan anak gadis itu seperti bunyi dengung lebah, betapa sumbang dan berdengung di kepala.

“Hei, kalau kau tidak melawan, sampai lulus sekolah pun kau akan tetap ditindas,” tutur Sheryl.

Akan tetapi Lilacia tetap memeras lebih banyak air mata dan kecengengan yang membuat Sheryl angkat tangan. Tanpa memperdulikan apa kata Kakek dan ibunya, Sheryl minta dipindahkan di pojok belakang saja.

Nyaris tidak ada obrolan lagi setelah itu. Jika jalanan yang biasa Sheryl lewati tidak rusak, kemungkinan besar selamanya ia tidak mengenal Lilacia ….

***

Saat itu Sheryl tidak diperkenankan pulang. Seluruh laki-laki di kelasnya dihukum membersihkan dua kelas tak terpakai. Sheryl menggerutu dalam hati, padahal ia tidak ikut membolos tetapi disuruh mengelap jendela pula.

Sheryl baru bisa pulang ketika matahari sudah setengah tenggelam di lautan sana.

Jalan-jalan disinari cahaya matahari yang merah menyala, menyapu seluruh rumah penduduk yang telah tertutup rapat. Sekelompok burung terbang melintasi langit, hendak kembali ke hutan. Mereka berciap-ciap menyelingi suara ombak yang berdebur pelan.

Mendadak Sheryl mengerem sepedanya, ia hampir terjengkang ke depan. Mata anak itu terbuka lebar, ia melihat jalan yang menjadi jalur tercepat untuk sampai ke rumah malah ambrol terkena ombak. Sebuah papan besar dipasang, isinya larangan melintasi jalan tersebut.

Pada waktu Sheryl masih anak-anak, kota yang ia tinggali masih belum sebagus sekarang. Masih banyak jalan yang belum dipaving, tapi lebih banyak tanah-tanah bergeronjal. Nasib badan, Sheryl mau tidak mau melintasi hutan mengingat itu satu-satunya jalan pulang.

Setelah melewati dua gang, ia melihat seorang anak perempuan duduk di atas batu besar. Anak itu menekuk kedua lutut, kepalanya bersandar di lutut. Bahunya bergetar, saat didekati sudah pasti itu Lilacia, si Tukang Nangis.

“Sedang apa kau di sini?”

Lilacia mengangkat kepala, matanya sembab. “Aku tidak bisa pulang …. Jalan ditutup,” ujarnya lirih.

“Kan bisa lewat hutan,” timpal Sheryl enteng. Tidak ada anak kecil yang mau berjalan melalui hutan jika sudah sore begini, kecuali ia punya sepeda.

Lilacia menilik di dalam hutan. Ia tidak dapat melihat apa pun di sana. Begitu gelap; begitu sunyi. Ia takut sesuatu menerkam Lilacia dari belakang.

Sheryl tidak kunjung mendengar balasan Lilacia. Ia mengingat masa-masa di mana betapa susahnya mengajak Lilacia mengobrol. Sheryl menggaruk-garuk kepala, ia mendesah panjang. Kakinya kembali mengayuh sepeda, meninggalkan Lilacia yang tergugu di tempat.

Anak laki-laki itu inginnya tidak ambil pusing, tetapi ia mendengar isakan. Saat menoleh, Lilacia sedang menatap lamat-lamat Sheryl. Sudut matanya tidak berhenti mengalirkan lebih banyak air, sementara itu tangan anak perempuan itu terjulur seperti meminta Sheryl berhenti.

Sheryl memalingkan pandang. Ia berdecak kecil. “Ayo,” katanya. Sheryl tidak kunjung mendengar balasan dari Lilacia, ia kembali menoleh. “Ayo, cepat naik,” ulangnya.

Lilacia turun dari batu. Ia berlari kecil mendekati Sheryl. Langkahnya melambat begitu jarak mereka terpisah satu depa saja. Anak laki-laki itu jadi gemas, ia berdecak cepat. Dengan dagunya, ia memerintah anak perempuan itu untuk segera duduk di belakang.

Ketika Lilac duduk menyamping, otomatis tangannya mengalun di perut Sheryl.

“Hei, apa yang kau lakukan?!” pekik Sheryl.

Lilacia sontak menarik tangannya. “Oh maaf. Kupikir itu tidak apa. Nenek bilang kalau mau naik sepeda harus pegangan ….”

Sheryl memalingkan pandang. Ia menutup sebagian wajahnya dengan lengan. “Tapi jangan di perutku,” katanya.

“Terima kasih, Sheryl.”

Sheryl mengarahkan dinamonya di dekat ban sepeda agar lampu mau menyala. Tanpa ada perasaan apa pun, Sheryl mengayuh santai sepedanya ke dalam hutan. Ia fokus menatap di depannya, sementara Lilac tidak bisa berhenti membayangkan tangan-tangan panjang yang tiba-tiba datang dari kegelapan dan menangkapnya diam-diam. Telinga anak perempuan itu bergerak sensitif ketika suara gemerisik daun bergoyang.

Lilacia menundukkan kepalanya, dan ia tidak sadar kepalanya menempel di punggung Sheryl. Anak lelaki itu tersentak sedikit, jantungnya berdegup aneh, dan ia tidak bisa fokus melihat jalan. Kali ini Sheryl tidak protes meminta Lilacia menjauh, ia menganggap tindakan anak perempuan itu tidak disengaja.

“Kukira kau tidak tahu namaku karena sibuk menangis,” komentar Sheryl.

Lilacia mengangkat kepalanya. “Aku tahu … kau anak paling pintar di kelas.”

Anak laki-laki itu mengangat dagu, tiba-tiba dadanya mengembang, dan ia spontan tersenyum bangga. “Oh begitu.” Sheryl tidak bisa mengendalikan cengirannya.

“Namamu Cecilia, ‘kan?”

“Lilacia,” sanggahnya. “Lilacia Nair.”

Sheryl tidak lagi membalas tanggapan Lilacia. Ia tengah berfokus menghindari batu-batu besar yang menghadang jalan. Ia agak kesulitan menggerakkan setir lantaran semakin minim cahaya yang menerangi jalan, dan lagi dinamo sepeda tidak akan menghasilkan energi cahaya jika laju Sheryl terlalu lambat. Di antara pepohonan pinus yang tinggi menjulang, merahnya langit sudah hampir memudar.

Di ujung hutan, Sheryl memperingatkan penumpang di belakangnya, “Hati-hati Nona Lilacia, kita akan meluncur ke bawah!”

Lilacia sontak berpegangan pada perut Sheryl untuk kesekian. Tepat setelah itu mereka meluncur cepat meniti jalan landai. Angin bertiup sangat kencang sampai-sampai Lilacia harus menahan roknya agar tak berkibar.

Sheryl bermanuver, dengan cepat stang sepedanya belok ke kanan. Mereka akhirnya melihat perumahan warga sekitar di kejauhan. Lilacia juga melepaskan pegangannya pada anak itu. "Hei, Sheryl. Kau bisa menurunkanku di sini,” Lilacia meminta.

“Beri tahu aku di mana rumahmu.”

“Kau tidak perlu repot-repot, aku bisa jalan sendiri.”

Sheryl mendadak mengerem sepeda. Lilacia membentur punggung Sheryl. Anak laki-laki itu menoleh ke belakang. “Tidak kau lihat rumah penduduk masih jauh dari sini? Lagi pula Bunda akan memarahi jika aku membiarkanmu di sini. Aku tidak ingin kau melapor pada Bunda.” Sheryl kembali mengayuh sepedanya. “Cepat katakan di mana rumahmu.”

Lilacia memberi arahan di mana rumahnya. Mereka melewati gang-gang yang berliku, dan tiba menjelang malam. Nenek Lilacia mondar-mandir di depan rumah. Begitu melihat Lilacia telah pulang, ia sontak tergopoh-gopoh memeluk cucunya. “Oh ya ampun! Kau terlambat pulang.” Begitu menatap siapa yang menolong cucunya, Nenek membeliakkan mata. “Oh Tuhan! Tuan Muda Sheryl!”

Pada hari itu Lilacia baru tahu orang yang menolongnya adalah anak seorang bangsawan penguasa tanah pesisir ini.

Terpopuler

Comments

a y a

a y a

cerita nya bagus, kok yg like dikit, sabar ya kk author

2023-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!