Seberkas Cahaya

Seberkas Cahaya

Prolog

Hubungan pernikahan kedua orang tuanya yang rumit membuat Cahaya Anindya tak dapat merasakan indahnya sebuah keluarga seperti anak-anak pada umumnya. Sedari kecil dirinya hanya hidup bersama seorang Ibu yang hanya seorang pekerja serabutan.

Sementara sosok pria yang ia panggil Ayah, hanya pernah dilihatnya beberapa kali hingga bocah perempuan itu tumbuh dewasa.

Rasa rindu yang terkadang membuncah pada sang Ayah, membuat Cahaya kerap mencuri waktu untuk mencari keberadaan sang Ayah dan menemuinya, meskipun hanyalah Caci dan maki yang ia dapatkan.

Sosok Brama, sang Ayah, sepertinya begitu menjaga jarak dan terkesan tak ingin mengakui Cahaya sebagai putrinya. Segala bentuk penolakan pria paruh baya itu gencarkan, dan bahkan melebeli sang putri dengan sebutan anak pembawa sial.

Mampukah Cahaya berjuang untuk mendapatkan pengakuan sekaligus mempersatukan kembali ke dua orang tuanya?.

Perjuangan Cahaya nyatanya mampu meluluhkan hati seorang Ramon Ferdinand Hafidjaya. Duda tanpa anak dan pebisnis sukses yang pernah dikecewakan oleh perempuan di masa lalunya.

Keluguan serta kesederhaan Cahaya, membuat Seorang Ramon bergerak mengulurkan tangan dan ingin melindungi Cahaya dengan tubuhnya. Ia rela menjadi tameng dan menghajar siapa saja yang berniat untuk menyakiti gadis pujaannya.

Seperti kembali pada masa remaja, Ramon yang sudah berkepala tiga nyatanya mulai mengilai gadis muda yang usianya berbeda jauh darinya. Ia tak perduli pada tatapan orang-orang yang seolah menertawakannya. Baginya, asalkan gadis itu bersedia bersamanya, maka surgalah imbalannya.

💗💗💗💗💗

"Bukankah sudah kuperingatkan padamu untuk tak lagi membawa-bawa namaku dalam kehidupanmu lagi?" Pria bertubuh tegap dengan sepasang mata elang itu mentatap nyalang kearah perempuan di hadapannya. Berdiri tegak dengan melipat kedua tangan di dada, Brama yang merupakan suami dari sang wanita, menunjukan kuasanya.

Sementara perempuan yang ditatap, justru tak sedikitpun gentar. Tubuh kurus itu mendekat, bahkan sepasang mata itu menatap langsung pada pria berpostur tinggi tegap tersebut.

"Tak kusangka jika seorang Brama yang dulu berkharisma juga sopan bertutur kata, berubah menjadi sosok kasar dan tertutup mata hatinya." Setengah mencibir perempuan bernama Citra itu berucap. Tak ada lagi cinta, yang tersisa kini hanyalah dendam pada sosok pria yang dulunya amat ia cinta.

Brama, yang tak lain suami dari sang perempuan, mendengus kesal. Merasa tak terima atas perkataan yang baru saja dilontarkan oleh sanga istri.

"Apa maksudmu?" Pria itu mendekat dan merapatkan tubuh, hingga pandangan dua pasang mata itu saling berpaut.

Citra terdiam sejenak, senyapnya malam di lorong sebuah rumasakit membuat suara tinggi keduanya mampu didengar jelas oleh beberapa pasang mata yang tak sengaja melintas.

"Aku tau jika hubungan kita sudah berakhir, tetapi aku harap kau tak akan melupakan kodratmu sebagai ayah dari seorang putri," ucap Citra dengan suara bergetar.

Brama memalingkah wajah. Terlihat ia menghela nafas dalam dan membuangnya perlahan.

"Anak itu sudah tak ada urusan lagi denganku. Hubungan aku dan anak itu terputus, seiring pernikahan kita yang berakhir." Ucapan itu terdengar tegas dan seakan menampar kesadaran Citra.

"Apa kau sedang tak salah bicara, Brama?"

Pria itu menggeleng tegas.

"Tak kusangka jika inilah watak aslimu yang sebenarnya. Lima tahun lebih aku memilih diam saat kau lalai memberi nafkah pada anak kandungmu sendiri. Tak sekejap pun kau meluangkan waktu hanya untuk melihat putrimu terlahir kedua untuk pertama kali, dan kini saat anak tak berdosa itu meregang nyawa dan membutuhkan darah dari ayahnya sendiri, kau justru mempersulit. Apa sebegitu tak berharganya nyawa putriku bagimu, Brama?." Tak ada lagi lembut kata, Citra yang geram setengah mati meluapkan segala emosi diri pada Brama yang sama sekali tak bernurani.

Semenjak berpisah, Citra memang tak bergantung pada Brama dan memilih pergi menjauh dengan membawa lara hati.

Tuduhan perselingkuhan yang dilayangkan Brama pada Citra, seketika memporak porandakan rumah tangga yang baru dibangun seumur jangung.

Citra terusir, dengan membawa diri dan calon buah hati yang masih dikandungnya.

"Berhenti menyudutkanku, Citra."

"Karna itulah kebenarannya."

Lagi, Brama menghela nafas berat.

"Aku harus pergi. Masih banyak masalah penting yang perlu kuurus dari pada ini." Pria itu bergerak, membalik badan dan hendak berlalu pergi.

"Cahaya putrimu. Tidakkah tergerak sedikit saja nalurimu untuk menyelamatkan nyawanya?" Sepasang netra Citra mulai berkaca-kaca. Membayangkan tubuh mungil sang putri yang tergolek lemas di ranjang perawatan dengan bantuan alat penunjang kehidupan yang terasa menyakitkan.

"Aku tidak bisa," tolak Brama tanpa ragu sedikit pun.

Citra menelan saliva susah payah. Bulir bening yang sedari tadi ditahan, kini meluncur bebas tanpa batas. Membuang seluruh ego diri, Citra ambruk dan lekas bersimpuh di kaki Brama. Perempuan itu mengiba, agar Brama merubah keputusan dan bersedia memberikan darahnya untuk sang putri.

"Aku mohon Brama. Sekali ini saja. Demi nyawa Cahaya aku rela menukarnya dengan apa pun, termasuk nyawaku sendiri." Apalah keinginan terbesar dari seorang ibu selain kebahagian sang buah hati. Walau harus bermandi peluh, atau bahkan menukar nyawapun sejatinya akan dilakukan.

Brama terdiam. Rengkuhan tangan Citra pada sepasang kakinya begitu kuat membuatnya sulit bergerak. "Aku mohon, demi putrimu," sambung Citra tergugu pilu.

"Tidak Citra." Teguh Brama ."Dan enyahlah dari hadapanku." Tanpa iba, Brama mendorong tubuh ringkih Cintra begitu kuat hingga terjatuh dan terjun bebas dari tangga.

Citra meringis menahan sakit. Brama yang tanpak murka pun tak perduli. Memilih lekas pergi dan tak menghiraukan sang mantan istri.

💜💜💜💜💜

Beberapa belas tahun berlalu, nyatanya tak membuat sosok Cahaya melupakan begitu saja kejadiam malam kelam dikehidupan masa lalunya.

Kecelakaan cukup parah yang ia alami hingga membutuhkan banyak darah pada malam itu, membuat Citra, sang Ibu mau tak mau merendahkan harga diri untuk bisa menyelamatkan nyawanya.

Rumasakit tak lagi memiliki stok golongan darah yang cocok untuknya, sebab darah tersebut termasuk langka dan tak bisa didapatkan dalam waktu singkat.

Pil pahit kembali ditelan saat Brama memilih pergi tanpa memikirkan nasibnya. Beruntung, menurut sang ibu, seketika muncul sosok pria sang asing sepeninggal Brama yang berbaik hati mendonorkan darah, menolong sang ibu yang terluka cukup parah pada bagian lutut, juga melunasi seluruh biaya rumasakit.

Mungkin dia malaikat yang sengaja diutus sang pencipta sebagai jawaban doa. Begitulah kata yang terbesit di dalam benak.

Gadis kecil korban kecelakaan itu kini tumbuh menjadi sosok gadis rupawan dengan tutur kata lembut dan bersahaja. Cahaya Anindya, begitulah sang ibu memberinya nama. Nama sederhana yang kelak akan menjadi doa bagi sang putri, untuk memberi sejejak cahaya bagi keluarga kecilnya.

Tubuh lelah itu ia sandarkan pada dinding, melepas penat kala beberapa jam berjibaku dengan berbagai pekerjaan yang cukup menyita tenaga.

Cukup lama gadis itu termenung, hingga satu tepukan ringan di bahu, menyadarkannya.

"Kau melamun?" Mala, salah satu senior Cleaning service di tempatnya bekerja bertanya. Selama ini hanya Mala lah yang menjadi teman untuknya. Cahaya terkesiap atas tindakan tiba-tiba Mala.

"Tidak ka, aku hanya sedang beristirahat saja," dusta Cahaya yang mana membuat Mala berdecak.

"Kau sedang melamun, kan? Ayo jawab?"

Cahaya menghela nafas dalam. Lantas menganggukan kepala sebagai jawaban.

"Masalah apa? Ceritalah kepadaku, kau bisa membagi keluh kesahmu denganku."

Terdiam sesaat, Cahaya mulai memainkan jemarinya yang bertautan. Sementara itu, Mala sudah mengambil posisi senyaman mungkin. Duduk bersila, hingga posisi keduanya saling berhadapan.

"Banyak, kak." Ah, malu rasanya jika harus mengeluh pada orang lain.

"Apa saja? Ayo katakan," desak Mala. Perempuan itu terlihat antusias menunggu kalimat demi kalimat berisikan curahan hati dari gadis di hadapannya kini.

Baiklah. Mungkin dengan berkeluh kesah pada seseorang yang cukup dekat membuat beban dipundaknya sedikit berkurang. Setidaknya Cahaya masih punya seorang teman sebagai sandaran dan juga tempat untuk berbagi.

Tbc

Terpopuler

Comments

Herlan

Herlan

baru mampir

2023-01-25

0

yesi yuniar

yesi yuniar

☝️hadir kak 🤗🤗

2022-12-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!