Andai dirinya bisa menempuh pendidikan sampai kejenjang tertinggi, mungkin pekerjaan yang didapat akan lebih baik dari pada ini. Sebaris toilet kini nampak bersih dengan sentuhan tangan kecilnya. Aroma menyengat yang semula tercium, kini berganti dengan wangi segar lemon khas cairan pembersih.
Cahaya mendaratkan tubuhnya di kursi plastik yang tak jauh dari toilet. Meregangkan otot-otot tubuh yang terasa pegal, juga menyeka tetesan peluh dihampir seluruh permukaan wajah. Tentunya dengan pekerjaan seperti ini pun dirinya sudah bersyukur. Setidaknya dia bisa mengandalkan diri sendiri dan tak meminta bantuan pada orang lain untuk bisa menyambung hidup.
"Akhirnya, selesai juga," ucap sang gadis seraya mengedarkan seluruh pandangan guna mencari sosok perempuan yang selalu ada di dekatnya saat bekerja. Terdengar suara gaduh yang bersumber dari bilik toilet di bagian seberang.
Benar saja, seseorang dengan pakaian cleaning service keluar dari balik pintu.
Perempuan berkulit putih dan berpostur cukup tinggi itu tersenyum ketika pandangan mereka bertemu.
"Kau sudah selesai," tanya Mala yang mendekat masih dengan memegang sikat dan sebotol pembersih lantai dikedua tangan.
"Sudah," jawab Cahaya seraya menganggukkan kepala.
" Huh, aku merasa sangat lapar," keluh Mala seraya mengusap lembut bagian perut. "Apa kau juga membawa bekal?"
"Tentu saja." jawab kemudian mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas, dan keduanya pun makan bersama.
Saat mengunyah makanan Mala melirik pada gadis di sampingnya. Bukankah ia pernah mendengar jika Cahaya membutuhkan pekerjaan tambahan?.
"Kau menginginkan kerja tambahan lagi?." Mala kembali memulai percakapan. Keputusan Cahaya memang Mala anggap benar. Pasalnya jika hanya mengandalkan gaji cleaning service yang tak seberapa, pasti belumlah cukup untuk memenuhi segala keperluan Cahaya dan juga Ibunya.
"Ya, seperti itulah, Kak. Bukankah Kak Mala juga tau jika sumber pendapatanku jika hanya dari tempat ini, belumlah cukup untuk biaya hidup kami." Memang begitulah adanya. Setidaknya biarlah tubuhnya lelah, asalkan kebutuhan sang Ibu tercukupi.
"Kalau kau mau, mungkin aku bisa membantumu. Kebetulan di tempatku bekerja sedang membutuhkan seorang pelayan," tawar Mala.
Gadis itu terkesiap, matanya membulat sempurna dengan ekspresi wajah tak percaya.
"Kak, benarkah?."
Mala mengangguk yang mana membuat senyum di bibir Cahaya terulas sempurna.
"Wah, kenapa selama ini Kakak diam saja?."
Mala berdecak.
"Ck, lagi pula kau diam saja. Mana aku tau jika Kau masih membutuhkan pekerjaan." Selama ini Mala memang memiliki pekerjaan lain selain menjadi cleaning service. Sama sepertinya, Mala pun butuh uang lebih untuk dirinya beserta sang putri. Mengingat Mala adalah seorang single mom.
"Jadi bagaimana, kau mau tidak?."
Cahaya seperti menimang. Memang Mala bekerja, tapi di tempat seperti apa Cahaya pun belum mengetahuinya.
"Tapi aku belum tau tempatnya."
Mala tidak langsung menjawab, dia hanya tersenyum, sebuah senyuman yang tak bisa Cahaya artikan.
"Nanti saja, jika kau benar-benar ingin bekerja maka kita langsung menuju ke tempatnya. Tidak perlu khawatir, kau akan selalu aman bersamaku."
Meski sempat ragu namun Cahaya pun menyanggupinya. Tidak ada jalan lain. Dirinya harus punya penghasilan lebih untuk bisa membahagiakan Ibunya.
"Di sana kau juga akan mendapatkan gaji yang lumayan, belum lagi uang bonus dan lemburan." Mila sedikit menjelaskan. Sebagai salah satu karyawan, tentu dirinya sudah tau akan jumlah penghasilan rata-rata yang ia kantongi setiap bulannya.
Cahaya ternganga. Bayangan lembaran rupiah memenuhi otaknya.
"Lalu, untuk jam kerjanya?."
"Begini, di tempat inikan kita hanya bekerja pada pagi hingga sore hari, nah sedangkan di tempat kerja baru, kita hanya akan bekerja pada malam hari. Tidak susah 'kan? Kita hanya mengatur waktunya saja. Memang kita akan punya sedikit waktu untuk beristirahat, tapi ya seperti apa lagi. Bukankah menghasilkan uang juga perlu pengorbanan?."
Malam hari.
Mala juga menjelaskan jika di tempat itu mereka akan stay bekerja pada jam 8 malam dan berakhir pada jam 12 malam bahkan lebih. Cahaya sontak menelan ludah kasar. Bagaimana dirinya bekerja dalam waktu selama itu. Pagi sampai sore dan berlanjut malam sampai dini hari. Apakah ia sanggup?.
Ah, entahlah. Bukan itu perkara yang sulit baginya, namun yang lebih sulit adalah meminta izin pada Ibunya.
"Kak sepertinya aku harus membuat surat lamaran kerja. Ya, bukankah itu memang sudah prosedurnya."
"Tidak perlu," cegah Mala.
"Lah, kenapa. Memang bisa apa aku tanpa surat lamaran. Yang ada aku di tendang keluar, sebelum bertemu dengan atasan." Ada-ada saja, fikir Cahaya. Mana bisa ia bekerja tanpa surat lamaran.
"Ck, serahkan saja semuanya padaku. Aku berani bertaruh, bila kau bisa diterima bekerja meski tanpa surat lamaran." Begitulah kalimat yang terucap dari bibir Mala yang intinya meminta pada Cahaya untuk tak perlu risau perihal surat lamaran.
💗💗💗💗💗
Cukup lama cahaya berdiri di depan pintu, memegang gagang pintu namun ragu untuk membukanya. Sepanjang perjalanan pulang, dia sibuk menyusun kalimat untuk meminta izin bekerja pada sang Ibu. Mengingat waktu kerjanya pada malam hari, Cahaya menjadi pesimis. Tidak mungkin Ibunya akan memberi izin dengan mudah, mengingat mereka hanya tinggal berdua tanpa adanya sanak saudara.
Rumah nampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Cahaya menyusuri setiap sudut ruangan, berharap lekas menemukan dimana ibunya kini.
Mungkin Ibu sedang beristirahat.
Dibukalah pintu perlahan, dan benar adanya, Citra tengah terlelap, merimgkuk di bawah selimut berlapiskan kasur lepek usang yang tak layak pakai. Di kamar berukuran sempit itulah selama ini dirinya dan sang Ibu melepas lelah.
Wajah Citra nampak damai dalam lelapnya. Gadis itu melangkahkan kaki untuk mendekat kemudian mendaratkan tubuh dan duduk di sisi ibunya. Satu tangannya bergerak hendak menyentuh dan membelai wajah sang Ibu, namun diurungkan sebab tak ingin membuat paruh baya itu terjaga.
Wajah Citra masih terlihat cantik walapun tak terawat. Paras yang mulai di hiasi kerutan halus tersebut masih jelas memperlihatkan pesonanya. Mungkin itulah salah satu yang membuat Sang Ayah dulu menyukai Ibunya. Ah, entahlah. Gadis itu menghela nafas dalam. Perih rasa hati bila mengingat akan sang Ayah yang sedari dulu memang tak pernah perduli padanya.
Buliran bening mulai merembas di ujung matanya. Deru nafas sang gadis naik turun seiring sesak yang mulai melingkupi dadaa. Hal seperti inilah yang membuat tekadnya untuk bekerja semakin kuat. Ia tidak tega melihat kondisi Ibunya terus seperti ini.
Cahaya terkesiap, saat menyadari jika sepasang mata milik sang Ibu sudah terbuka. Mata sembab gadis itu masih tampak basah, dan Citra menyadari akan hal itu. Ia berfikir jika sepertinya ada yang tidak beres dengan anak gadisnya kini. Susah payah Citra berusaha bangkit, membangunkan tubuh dan menyandarkan punggungnya ke dinding.
"Apa yang terjadi nak, apa ada seseorang yang menyakitimu?" Tanya Citra sembari mengusap kedua pipi dengan tatapan mata penuh kekhawatiran.
Apa Cahaya bertemu dengan Ayahnya.
Entah kenapa begitu melihat putrinya bersedih, Citra selalu menyangkutpautkannya dengan Brama. Mengingat selama ini pria itulah yang paling sering membuat hati sang anak terluka.
"Tidak bu," jawab Cahaya cepat. " Aku hanya sedang berfikir, bagaimana jika aku mencari pekerjaan tambahan lain." Gadis itu tertunduk saat Citra. Menatap penuh tanya padanya.
"Nak, apa maksudmu. Pekerjaan tambahan?."
Gadis itu menganggukkan kepala ragu.
"Iya, Ibu. Temanku menawarkan pekerjaan yang gajinya lumayan."
"Tapi nak, bukankah aya sudah bekerja?" Citra masih tak mengerti. Bukankah selama ini putrinya sudah bekerja.
"Ibu tidak perlu khawatir. Temanku mengatakan jika jam kerja kami berlangsung pada malam hari. Jadi pekerjaanku di tempat yang lama pada pagi sampai sore hari sementara yang baru ini hanya pada malam hari. Waktunya tidak akan berbenturan, Ibu. Aku akan bekerja di dua tempat dalam satu hari. Bagaimana, Ibu mengizinkannya 'kan?"
Citra terlihat ragu, wajahnya pun berubah sendu.
"Lalu bagaimana dengan waktu istirahatmu, Nak. Ingatlah, kau butuh tidur."
Cahaya sadar, dengan banyaknya waktu yang ia gunakan untuk bekerja sudah pasti waktu yang ia miliki untuk beristirahat amatlah minim.
Perbincangan itu pun akhirnya tak menemukan keputusan, di mana Citra seakan berat untuk mengizinkan. Cahaya pun hanya bisa pasrah, berharap jika nanti sang Ibu bisa mengerti demi masa depan mereka untuk lebih baik dikedepannya.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Herlan
sepertinya bekerja di club malam
2023-01-25
0
yesi yuniar
takutnya mala akan mengajak cahaya bekerja ditempat yg 'kurang baik' 🤷♀️
2022-12-17
1