Takjub

Tak seperti biasa, pagi ini Cahaya nampak tak bersemangat. Semenjak pembicaraan semalam dengan sang Ibu, nyatanya mempengaruhi suasana hati sang gadis yang tak seceria hari biasanya. Citra bisa melihat hal tersebut selepas mengamati gerak gerik dan raut wajah sang putri yang tak banyak senyum.

"Nak, apa karna ucapan ibu semalam membuatmu tak bersemangat dan memilih diam seperti ini?" Citra tak mampu menyembunyikan rasa sedih. Baginya, senyum ceria sang putri layaknya penyemangat untuk dirinya bisa bertahan hidup.

"Bukan seperti itu Bu," kilah Cahaya. "Aya hanya merasa, bahwa apa yang ibu katakan benar adanya. Waktu yang akan kita lalui semakin terbatas, dan tak bisa sepenuhnya merawat dan bisa menjaga ibu seperti biasanya."

Citra menghela nafas dalam. Dia tau ini memang berat tetapi inilah kehidupan. Roda akan terus berputar, dan kehidupan akan terus berjalan. Cahaya adalah tulang punggung keluarga. Semenjak kejadian beberapa tahun lalu yang mengakibatkan satu kakinya retak, Cahaya lah yang mengantikan perannya sebagai pencari nafkah. Mengais rezeki dan mengerjakan apa saja yang bisa ia kerjakan demi selembar rupiah. Sungguh menyedihkan.

"Nak, pada siapa kau akan bekerja? Dan apa kau sudah tau dengan benar pekerjan semacam apa yang akan kau jalani di tempat baru itu?" Citra mampu meraba kemungkinan besar tidak akan jauh dari cleaning service atau pun pelayan, mengingat pendidikan putrinya yang hanya lulus SMA.

"Ka Mala yang menawarkanya padaku, Bu dan dia juga salah satu karyawan ditempat itu. Menurutnya jika ibu mengijinkan maka hari ini juga Kak Mala akan mengajakku menyambangi tempat kerja kami."

Perempuan paruh baya itu nampak berfikir keras. Membuka lembaran memori tentang gadis bernama Mala yang kerap kali disebut dalam pembicaraan putri tunggalnya.

"Bukankah Mala itu teman kerjamu?." Citra sepertinya masih mengingat wajah perempuan yang kerap mengantarkan putrinya pulang.

Cahaya mengangguk kemudian berucap, "Benar, Ibu."

"Baiklah." Citra akhirnya menyerah. "Ibu mengizinkamu, tapi dengan satu syarat," Citra mengangkat satu jarinya. "Jaga kehormatanmu dan jangan pernah berniat untuk mengecewakan Ibu." Sebagai orang tua, tentu hanya sebatas peringatan yang mampu Citra utarakan mengingat keterbatasan yang perempuan itu miliki. Cahaya sudah besar dan berhak memilih tujuan hidupnya sendiri, hanya saja ia selalu berharap jika sang buah hati tak akan salah melangkah apalagi menghancurkan hidupnya sendiri.

Gadis itu pun mengangguk, ia ngengam tangan sang Ibu seolah mengatakan jika tak ada yang perlu khawatirkan darinya.

💗💗💗💗💗

"Bagaimana, apa ibumu mengijinkan?" Disuatu pagi saat kedua gadis itu dipertemukan, Mala lekas melempar tanya pada Cahaya. Perempuan itu seperti tak sabar dan terlihat lebih antusias dibandingkan Cahaya sendiri.

"Ya, Ibu mengizinkan," jawab Cahaya dengan nada pelan.

"Wah, Ibumu benar-benar memberi izin?."

Lagi, gadis berkulit putih itu menganggukkan kepala. Entahlah, Cahaya hanya merasa jika sang Ibu mengizinkan juga karna terpaksa.

"Aya, apa ada sesuatu yang sedang kau fikirkan?." Mala melihat keraguan dalam diri Cahaya. Benarkah jika gadis itu ingin menolak namun tak mampu karna keadaan?.

"Tidak, Kak. Aku baik-baik saja dan siap untuk bekerja. Bila Ibu sudah memberiku izin, tunggu apa lagi?."

Mala tersenyum senang. Sepertinya gadis di hadapannya itu sudah amat bersemangat untuk mengikuti jejaknya. Bekerja di dua tempat, dengan gaji yang lumayan pula. Ah, senangnya.

Mala pun lekas membuat janji untuk mendatangi lokasi baru kerja mereka, selepas jam kerja mereka di pusat berbelanjaan habis. Bagi Mala bukankah lebih cepat, lebih baik.

💗💗💗💗💗

Angin berhembus kencang, udara malam terasa sejuk membelai kulit. gemerlap lampu di segala penjuru menambah keindahan kehidupan malam Ibukota. Motor yang membawa mereka bergerak cepat menyusuri jalan, hingga menepi di sebuah gedung bertingkat nan tinggi menjulang.

Cahaya menatap penuh kekaguman pada bangunan bertingkat nan terstruktur rapi tersebut. Tak henti dirinya berdecak kagum kala disuguhi pemandangan yang untuk pertama kali ia lihat dengan jarak begitu dekat. Sejenak gadis itu masih terpaku di tempat, menatap pada keramaian kota saat malam dengan mata berbinar.

"Cahaya, Ayo." Tepukan ringan di bahu mengembalikan kesadaran Cahaya. Mala lekas menarik lembut lengan sang teman untuk mensejajari langkah kakinya. Sementara Cahaya sendiri tak banyak berkomentar, ia patuh dan akan mengikuti langkah Mala, kemana pun perempuan itu membawanya.

Tempat tersebut cukup ramai. Terbukti dengan beberapa mobil mewah tampak memenuhi area parkir. Ekor mata sang gadis masih melirik kesana kemari. Juga menebak kiranya tempat apa yang sedang mereka kunjungi saat ini. Untuk pekerjaan, Mala belum detail menjelaskan seperti apa pekerjaan dan tempat kerjanya. Entah apa yang ingin perempuan itu tutupi namun yang pasti Mala sendiri hanya mengatakan jika tempat tersebut beroperasi pada petang hingga dini hari.

Begitu mendekati pintu masuk Kedua lelaki yang berdiri tegap dengan mengenakan pakaian serba hitam, mengangguk ramah pada Mala. Mala pun membalas senyum ke dya pria tersebut kemudian menyodorkan sebuah kartu berwarna gold yang digunakan sebagai akses masuk. Kedua pria itu pun memberi jalan, bahkan membukakan pintu untuk Mala. Hal tersebut tentu membuat Cahaya terperangah. Mala pun melenggang masuk dengan santai, tapi berbeda dengan dirinya yang masih dipenuhi rasa kebingungan. Jika Mala hanya bekerja di tempat ini bukankah mereka bisa masuk dari pintu belakang tanpa mengunakan kartu pengenal untuk bisa masuk?. Ah, entahlah.

Cahaya tak bisa menyebutkan tempat seperti apa yang ia masuki saat. Suara musik nan memekakkan telinga menyapa indra pendengaran saat kedua perempuan itu mulai memasuki pintu masuk bangunan.Jajaran kursi mahal tertata rapi, botol- botol minuman dengan berbagai warna dan kemasan yang berbeda tersusun di sebuah tempat penyimpanan khusus berlapiskan kaca transparan. Sementara itu beberapa pria berseragam berdiri di balik meja dengan tangan bergerak, berirama untuk menguncang suatu benda mirip shaker yang sedang ia pegang. Cahaya mengikuti langkah kaki sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mengamati sekaligus mengagumi seisi ruangan yang sebentar lagi akan menjadi tempat kerjanya.

💗💗💗💗💗

Mala terlihat menghela nafas sebelum memberanikan diri untuk mengetuk sebuah pintu yang diyakini sebagai ruangan dari sang atasan.

"Aya, tetap lakukan prosedur seperti biasa saat kita bekerja. Menundukan kepala dan menjawab sopan setiap pertanyaan yang diberikan. Bagaimana, kau faham?."

"Faham, Kak," jawab Cahaya dengan menganggukkan kepala.

"Baiklah, tunggu sebentar." Mala mengetuk pintu hingga beberapa kali sebelum memutuskan untuk membukanya.

"Permisi," ucap Mala sesaat selepas pintu ruangan terbuka. Di dalam Cahaya bisa melihat keberadaan seorang pria bertubuh tegap tengah duduk di kursi kebesarannya.

"Selamat sore, Tuan," sapa Mala setelahnya. Mala menundukkan kepala, begitu pun dengan Cahaya.

"Honey," panggil sang pria yang sontak mengangkat pandangan saat kedua perempuan itu memasuki ruamgannya. "Kau sudah datang," tanya sang pria lagi dengan menatap wajah Mala dengan sepasang bola mata yang berbinar.

"Ya, Tuan. Saya juga datang memba serta Cahaya, calon karyawan baru yang akan bekerja di tempat ini."

Sang pria bangkit. Ia menatap Cahaya kemudian menganggukkan kepala sebagai sapaan.

"Ya, aku akan menerimanya. Untuk sementara waktu hanya tersisa dibagian waiters saja. Bagaimana, apa kau mau?." Sang pria menatap pada Mala dan Cahaya secara bergantian.

"Aya, bagaimana," gumam Mala meminta persetujuan.

"Tidak masalah, yang terpenting gaji yang kudapat akan sesuai."

"Bagaimana?." Suara bariton itu menyentak kedua wanita tersebut hingga Cahaya sontak mengganggukkan kepala dan berucap, " Baik, Tuan. Saya menerima."

"Bagus, dan untuk urusan gaji, kau tak perlu khawatir. Semua tenaga yang kau keluarkan, akan sepadan dengan gaji yang kau dapatkan." Selepas berucap, padangan sang pria itu kini tertuju pada Mala.

"Honey, kemarilah. Aku rindu," ucap sang pria dengan tangan terulur ke arah Mala seolah meminta pada sang pemilik nama untuk mendekat.

Mala terlihat salah tingkah. Ia masih dia di tempat dan menoleh ke arah Cahaya.

"Honey, kemarilah," ucap pria itu lagi yang lebih terdengar seperti sebuah perintah hingga membuat Mala pun berjalan mendekati. Begitu jarak mereka hanya tinggal satu meter, sang pria lekas menarik tangan Mala kemudian mengecup punggung tangan wanita itu hingga menciptakan suara yang cukup khas.

"Cup."

Cahaya terbelalak. Ia menelan ludahnya kasar begitu melihat pemandangan di luar nalar yang tersaji di hadapan mata.

Tbc.

Terpopuler

Comments

Herlan

Herlan

waduh cahaya kaget pasti

2023-01-25

0

yesi yuniar

yesi yuniar

tuh kan tempat kerjanya cukup berbahaya 🤭

2022-12-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!