IBU

Assalamualaikum..

Terimakasih teruntuk para pembaca yang senantiasa mengikuti dan meluangkan waktu untuk membaca tulisanku. Curcol dulu ya😄😅 Seberkas Cahaya bukanlah tulisan baru, Ini tulisan lama yang sengaja aku tulis ulang meski dari alur kurang lebih sama.

Seberkas Cahaya adalah tulisan pertama kali begitu aku terjun ke dunia kepenulisan. Di tulisan Seberkas Cahaya, dulu bisa dilihat betapa amburadul puebi dalam tulisanku ( Maklumlah, saat itu otor lagi minim bgt ilmu dalam bidang kepenulisan serta letak tanda baca).

Ada banyak pertimbangan sebelum akhirnya aku menulis ulang dari pada Revisi naskah yang jumlahnya udah puluhan bab diantaranya adalah ada beberapa pembaca yang meminta untuk Seberkas Cahaya dilanjutkan.

Percayalah Kak, setiap komen kalian disetiap novelku pasti aku baca dan ga ada yang terlewatkan. Aku amat senang dan coba merealisasikan keinginan dari setiap komen yang muncul. Jadi, tetap beri dukungan serta cinta kasihnya. Terimakasih, love you sekebon untuk kalian 💗💗💗

💗💗💗💗💗

Senja mulai menyapa di peraduan, Cahaya dan para pekerja pusat perbelanjaan lainya yang menjalankan sift pagi nampak tengah mengemasi barang dan bersiap untuk pulang.

Dengan mengendong ransel di bahu, gadis berseragam khusus itu berjalan keluar menuju tempat parkir.

Seperti biasa, Mala selalu menunggu dan memberinya tumpangan. Cahaya bahkan tak memiliki motor atau kendaraan lain sebagai penunjang aktifitasnya sehari-hari. Baginya dan sang Ibu, bisa makan setiap hari pun sudah lebih dari cukup.

"Maaf, Kak. Aku selalu merepotkanmu. Kurasa, Kakak sudah mulai bosan memberiku tumpangan. Bukan begitu Kak?."

"Kau ini, selalu saja banyak bicara," jawab Mala seraya menjitak helm yang membungkus kepala Cahaya. "Ayo naik, semakin kau banyak bicara maka semakin lambat pula kita sampai di rumah." Perempuan bernama Mala itu memberi perintah pada Cahaya. Kemudian keduanya kini mulai menunggangi motor dan keluar dari area parkir tempat kerja.

Motor melaju cepat membelah jalanan ibukota, tak ada kendala berarti sebab jalanan yang cukup lengang tak berdesakan. Kedua perempuan itu sesekali terlihat berbagi cerita dan tertawa bersama. Mala terkikik geli saat tanpa sengaja Cahaya memeluk bagian pinggangnya hingga menciptakan rasa geli yang membuatnya terbahak.

Beberapa waktu menempuh perjalanan, mereka pun memasuki gang sempit yang merupakan jalan masuk tempat tinggal Cahaya dan sang Ibu selama ini.

Mala menghentikan laju kendaraan tepat di halaman rumah amat sederhana dengan diding beton dengan warna cat yang nyaris pudar.

"Seperti biasanya, Terimakasih banyak, Kak. Ayo mampir dulu," tawar Cahaya pada mala.

"Tidak, lain kali saja," tolak Mala sembari mengulas senyum simpul dibibir merahnya. Perempuan itu pun berpamitan dan melambaikan tangan sebelum meninggalkan kediaman Cahaya.

"Sore Ibu, Cahaya pulang." Selepas mengucap salam, gadis itu memutar gagang pintu rumah dan membukanya perlahan. Begitu pintu terbuka sempurna Cahaya pun mengedarkan pandangan keseluruh ruangan, hingga mendapati sesosok wanita paruh baya dengan pakaian lusuh tengah duduk menunggunya.

Jika dilihat sekilas, tak ada yang berbeda dari seorang Citra selain wajahnya yang mulai terlihat dihiasi kerutan seiring usianya yang terus bertambah. Rupanya akibat dorong yang dilakukan Brama bertahun lalu, berakibat fatal hingga kedua kaki Citra tak lagi dapat berjalan normal seperti sedia kala. Kedua kaki yang dulunya leluasa bergerak itu seakan terbelenggu. Hanya sebuah tongkatlah benda yang menjadi penopang untuk membantunya beraktifitas jika sang putri sedang tidak bersamanya.

Keterbatasan biaya membuat Citra tak sekalipun memeriksakan kondisi kakinya ke dokter atau pusat kesehatan mana pun. Brama pun sekan menutup mata dan abai dengan kondisi Citra yang kian hari kiam memprihatikan.

Citra tersenyum hangat menyambut sang putri dengan wajah berbinar, tangannya yang bertumpu pada tongkat berusaha keras untuk dapat berdiri tegak, menghampiri sang putri untuk menyambutnya.

Cahaya sontak berteriak dan berhambur menghampiri sang ibu.

"Ibu, jangan bergerak! Cukup disitu saja, lbu bisa terjatuh nanti," titah Cahaya kemudian merengkuh tubuh sang ibu dan memapah tubuh perempuan itu untuk duduk.

"Ibu tidak apa nak. Lihatlah, ibu masih kuat berjalan." Citra berusaha berdiri tegak, meski sisah payah. Setidaknya dia ingin memperlihatkan pada sang putri jika kondisinya tak selemah yang gadis itu kira.

Cahaya menatap miris keadaan sang ibu. Perempuan paruh baya itu selalu memiliki cara guna menutupi dukanya dari sang putri. Akan tetapi Cahaya cukup tau jika kondisi sang sang tidaklah baik-baik saja.

"Makanlah nak, ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," ucap Citra antusias. "Pasti kau akan suka," sambung Citra kembali sembari mengusap puncak kepala putrinya penuh sayang.

Cahaya menghela nafas dalam dan membuangnya perlahan.

"Ibu, bukankan sudah sering Aya bilang, Ibu cukup beristirahat saja sembari menunggu aya pulang. Tidak usah melakukan pekerjaan apa pun yang akan membuat ibu kelelahan." Bagaimana tidak, dalam keterbatasannya Citra selalu meluangkan waktu dan tenaga untuk menghidangkan menu sederhana untuk buah hatinya, dan Cahaya justru kian merasa bersalah dibuatnya.

"Ibu tidak merasa kelelahan, Lagi pula badan ibu terasa kaku jika tidak melakukan aktifitas apapun." Citra menyadari jika putrinya pun pasti kelelahan selepas bekerja. Hanya dengan memasaklah dirasanya sebagai balasan yang sepadan untuk kerja keras sang putri dalam membiayai hidupnya selama ini.

Telur dadar dengan campuran beberapa macam sayuran dan irisan daun bawang tersaji di atas meja kayu beserta sebakul nasi putih hangat yang masih mengepulkan asap.

Sepasang netra bening gadis berbinar, dengan hidangan yang sudah tertata di atas meja. Semua olahan berbahan telur merupakan makanan kesukaan Cahaya. Meski diolah dengan cara sederhana, gadis berkulit putih itu akan melahapnya tanpa sisa.

"Tadi, ayahmu datang." Citra tiba-tiba berucap tanpa berani memandang kearah putrinya.

Seketika tubuh Cahaya menegang begitu mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut sang Ibu. Apa, Ayahnya datang?. Spontan gadis itu pun berbalik badan, mendekat pada sang Ibu dan memeriksa setiap inci tubuh Ibunya.

"Apa ayah memukul ibu lagi?." Rupanya penganiayaan belasan tahun lalu masih membekas dalam ingatan. Ia takut jika kedatangan sang Ayah hanya untuk memukul Ibunya.

"Tidak nak." Paruh baya itu menggeleng kemudian mengusap puncak kepalanya sang putri dengan sayang.

"Lalu, apa ayah mencariku atau menanyakan tentangku?" Bolehkah dirinya berharap? Sepasang matanya bahkan menyiratkan kerinduaan. Sebuah kerinduan yang teramat dari seorang putri pada Ayahnya

Citra menggeleng hingga raut wajah penuh harap Cahaya kini berubah sayu. Rupanya keinginan untuk bisa memeluk sang Ayah tak ubahnya seperti mimpi yang sulit terwujud bahkan mustahil.

"Dia hanya menggambil beberapa barang yang dulu belum sempat ia bawa." Memang seperti itulah adanya. Brama datang dan masuk rumah begitu saja tanpa mengetuk apalagi menyapa. Entah benda apa yang pria itu ambil dari gudang, namun yang pasti selepas menemukan benda yang didapat pria itu pun menghilang.

"Nak," panggil Citra lembut. " Apa semua yang sudah ayahmu lakukan, masih bisa membuatmu untuk tidak membencinya?."

Cahaya terdiam, menimang jawaban yang berdasar dari hati untuk diucap

"Tidak, Ibu." Seperti itulah hati seorang anak yang menginginkan kedua orang tuanya untuk bersatu kembali. Terlebih dirinya sendiri pun tak mengerti alasan apa yang melandasi mereka sampai. Cahaya hanya bisa berdoa jika suatu saat hati sang Ayah akan luluh dan dapat menerima keberadaanya dan juga sang Ibu.

"Kau sudah besar sekarang, Nak. Kau bisa membenci ayahmu sebab dia memang bukanlah sosok seorang ayah yang bisa kau kagumi juga kau banggakan. Tidak ada alasan yang menahanmu untuk selalu menyayanginya, walau itu Ibumu sendiri." Tak ada lagi yang perlu ditutupi. Cahaya pun tau akan sifat serta sikap Brama selama ini padanya.

"Karna bagaimana pun aku adalah anak kandung, Ibu. Didalam tubuhku juga mengalir darahnya." Mungkinkah sebatas itu?. Entahlah.

Tbc.

Terpopuler

Comments

Herlan

Herlan

ayahnya cahaya knp benci banget sama ibunya yah

2023-01-25

0

yesi yuniar

yesi yuniar

IBU.... I LOVE YOU 😍😍😍
kasih ibu kepada anak2nya sampai kapanpun tk akan berkurang

2022-12-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!