NovelToon NovelToon

Seberkas Cahaya

Prolog

Hubungan pernikahan kedua orang tuanya yang rumit membuat Cahaya Anindya tak dapat merasakan indahnya sebuah keluarga seperti anak-anak pada umumnya. Sedari kecil dirinya hanya hidup bersama seorang Ibu yang hanya seorang pekerja serabutan.

Sementara sosok pria yang ia panggil Ayah, hanya pernah dilihatnya beberapa kali hingga bocah perempuan itu tumbuh dewasa.

Rasa rindu yang terkadang membuncah pada sang Ayah, membuat Cahaya kerap mencuri waktu untuk mencari keberadaan sang Ayah dan menemuinya, meskipun hanyalah Caci dan maki yang ia dapatkan.

Sosok Brama, sang Ayah, sepertinya begitu menjaga jarak dan terkesan tak ingin mengakui Cahaya sebagai putrinya. Segala bentuk penolakan pria paruh baya itu gencarkan, dan bahkan melebeli sang putri dengan sebutan anak pembawa sial.

Mampukah Cahaya berjuang untuk mendapatkan pengakuan sekaligus mempersatukan kembali ke dua orang tuanya?.

Perjuangan Cahaya nyatanya mampu meluluhkan hati seorang Ramon Ferdinand Hafidjaya. Duda tanpa anak dan pebisnis sukses yang pernah dikecewakan oleh perempuan di masa lalunya.

Keluguan serta kesederhaan Cahaya, membuat Seorang Ramon bergerak mengulurkan tangan dan ingin melindungi Cahaya dengan tubuhnya. Ia rela menjadi tameng dan menghajar siapa saja yang berniat untuk menyakiti gadis pujaannya.

Seperti kembali pada masa remaja, Ramon yang sudah berkepala tiga nyatanya mulai mengilai gadis muda yang usianya berbeda jauh darinya. Ia tak perduli pada tatapan orang-orang yang seolah menertawakannya. Baginya, asalkan gadis itu bersedia bersamanya, maka surgalah imbalannya.

💗💗💗💗💗

"Bukankah sudah kuperingatkan padamu untuk tak lagi membawa-bawa namaku dalam kehidupanmu lagi?" Pria bertubuh tegap dengan sepasang mata elang itu mentatap nyalang kearah perempuan di hadapannya. Berdiri tegak dengan melipat kedua tangan di dada, Brama yang merupakan suami dari sang wanita, menunjukan kuasanya.

Sementara perempuan yang ditatap, justru tak sedikitpun gentar. Tubuh kurus itu mendekat, bahkan sepasang mata itu menatap langsung pada pria berpostur tinggi tegap tersebut.

"Tak kusangka jika seorang Brama yang dulu berkharisma juga sopan bertutur kata, berubah menjadi sosok kasar dan tertutup mata hatinya." Setengah mencibir perempuan bernama Citra itu berucap. Tak ada lagi cinta, yang tersisa kini hanyalah dendam pada sosok pria yang dulunya amat ia cinta.

Brama, yang tak lain suami dari sang perempuan, mendengus kesal. Merasa tak terima atas perkataan yang baru saja dilontarkan oleh sanga istri.

"Apa maksudmu?" Pria itu mendekat dan merapatkan tubuh, hingga pandangan dua pasang mata itu saling berpaut.

Citra terdiam sejenak, senyapnya malam di lorong sebuah rumasakit membuat suara tinggi keduanya mampu didengar jelas oleh beberapa pasang mata yang tak sengaja melintas.

"Aku tau jika hubungan kita sudah berakhir, tetapi aku harap kau tak akan melupakan kodratmu sebagai ayah dari seorang putri," ucap Citra dengan suara bergetar.

Brama memalingkah wajah. Terlihat ia menghela nafas dalam dan membuangnya perlahan.

"Anak itu sudah tak ada urusan lagi denganku. Hubungan aku dan anak itu terputus, seiring pernikahan kita yang berakhir." Ucapan itu terdengar tegas dan seakan menampar kesadaran Citra.

"Apa kau sedang tak salah bicara, Brama?"

Pria itu menggeleng tegas.

"Tak kusangka jika inilah watak aslimu yang sebenarnya. Lima tahun lebih aku memilih diam saat kau lalai memberi nafkah pada anak kandungmu sendiri. Tak sekejap pun kau meluangkan waktu hanya untuk melihat putrimu terlahir kedua untuk pertama kali, dan kini saat anak tak berdosa itu meregang nyawa dan membutuhkan darah dari ayahnya sendiri, kau justru mempersulit. Apa sebegitu tak berharganya nyawa putriku bagimu, Brama?." Tak ada lagi lembut kata, Citra yang geram setengah mati meluapkan segala emosi diri pada Brama yang sama sekali tak bernurani.

Semenjak berpisah, Citra memang tak bergantung pada Brama dan memilih pergi menjauh dengan membawa lara hati.

Tuduhan perselingkuhan yang dilayangkan Brama pada Citra, seketika memporak porandakan rumah tangga yang baru dibangun seumur jangung.

Citra terusir, dengan membawa diri dan calon buah hati yang masih dikandungnya.

"Berhenti menyudutkanku, Citra."

"Karna itulah kebenarannya."

Lagi, Brama menghela nafas berat.

"Aku harus pergi. Masih banyak masalah penting yang perlu kuurus dari pada ini." Pria itu bergerak, membalik badan dan hendak berlalu pergi.

"Cahaya putrimu. Tidakkah tergerak sedikit saja nalurimu untuk menyelamatkan nyawanya?" Sepasang netra Citra mulai berkaca-kaca. Membayangkan tubuh mungil sang putri yang tergolek lemas di ranjang perawatan dengan bantuan alat penunjang kehidupan yang terasa menyakitkan.

"Aku tidak bisa," tolak Brama tanpa ragu sedikit pun.

Citra menelan saliva susah payah. Bulir bening yang sedari tadi ditahan, kini meluncur bebas tanpa batas. Membuang seluruh ego diri, Citra ambruk dan lekas bersimpuh di kaki Brama. Perempuan itu mengiba, agar Brama merubah keputusan dan bersedia memberikan darahnya untuk sang putri.

"Aku mohon Brama. Sekali ini saja. Demi nyawa Cahaya aku rela menukarnya dengan apa pun, termasuk nyawaku sendiri." Apalah keinginan terbesar dari seorang ibu selain kebahagian sang buah hati. Walau harus bermandi peluh, atau bahkan menukar nyawapun sejatinya akan dilakukan.

Brama terdiam. Rengkuhan tangan Citra pada sepasang kakinya begitu kuat membuatnya sulit bergerak. "Aku mohon, demi putrimu," sambung Citra tergugu pilu.

"Tidak Citra." Teguh Brama ."Dan enyahlah dari hadapanku." Tanpa iba, Brama mendorong tubuh ringkih Cintra begitu kuat hingga terjatuh dan terjun bebas dari tangga.

Citra meringis menahan sakit. Brama yang tanpak murka pun tak perduli. Memilih lekas pergi dan tak menghiraukan sang mantan istri.

💜💜💜💜💜

Beberapa belas tahun berlalu, nyatanya tak membuat sosok Cahaya melupakan begitu saja kejadiam malam kelam dikehidupan masa lalunya.

Kecelakaan cukup parah yang ia alami hingga membutuhkan banyak darah pada malam itu, membuat Citra, sang Ibu mau tak mau merendahkan harga diri untuk bisa menyelamatkan nyawanya.

Rumasakit tak lagi memiliki stok golongan darah yang cocok untuknya, sebab darah tersebut termasuk langka dan tak bisa didapatkan dalam waktu singkat.

Pil pahit kembali ditelan saat Brama memilih pergi tanpa memikirkan nasibnya. Beruntung, menurut sang ibu, seketika muncul sosok pria sang asing sepeninggal Brama yang berbaik hati mendonorkan darah, menolong sang ibu yang terluka cukup parah pada bagian lutut, juga melunasi seluruh biaya rumasakit.

Mungkin dia malaikat yang sengaja diutus sang pencipta sebagai jawaban doa. Begitulah kata yang terbesit di dalam benak.

Gadis kecil korban kecelakaan itu kini tumbuh menjadi sosok gadis rupawan dengan tutur kata lembut dan bersahaja. Cahaya Anindya, begitulah sang ibu memberinya nama. Nama sederhana yang kelak akan menjadi doa bagi sang putri, untuk memberi sejejak cahaya bagi keluarga kecilnya.

Tubuh lelah itu ia sandarkan pada dinding, melepas penat kala beberapa jam berjibaku dengan berbagai pekerjaan yang cukup menyita tenaga.

Cukup lama gadis itu termenung, hingga satu tepukan ringan di bahu, menyadarkannya.

"Kau melamun?" Mala, salah satu senior Cleaning service di tempatnya bekerja bertanya. Selama ini hanya Mala lah yang menjadi teman untuknya. Cahaya terkesiap atas tindakan tiba-tiba Mala.

"Tidak ka, aku hanya sedang beristirahat saja," dusta Cahaya yang mana membuat Mala berdecak.

"Kau sedang melamun, kan? Ayo jawab?"

Cahaya menghela nafas dalam. Lantas menganggukan kepala sebagai jawaban.

"Masalah apa? Ceritalah kepadaku, kau bisa membagi keluh kesahmu denganku."

Terdiam sesaat, Cahaya mulai memainkan jemarinya yang bertautan. Sementara itu, Mala sudah mengambil posisi senyaman mungkin. Duduk bersila, hingga posisi keduanya saling berhadapan.

"Banyak, kak." Ah, malu rasanya jika harus mengeluh pada orang lain.

"Apa saja? Ayo katakan," desak Mala. Perempuan itu terlihat antusias menunggu kalimat demi kalimat berisikan curahan hati dari gadis di hadapannya kini.

Baiklah. Mungkin dengan berkeluh kesah pada seseorang yang cukup dekat membuat beban dipundaknya sedikit berkurang. Setidaknya Cahaya masih punya seorang teman sebagai sandaran dan juga tempat untuk berbagi.

Tbc

IBU

Assalamualaikum..

Terimakasih teruntuk para pembaca yang senantiasa mengikuti dan meluangkan waktu untuk membaca tulisanku. Curcol dulu ya😄😅 Seberkas Cahaya bukanlah tulisan baru, Ini tulisan lama yang sengaja aku tulis ulang meski dari alur kurang lebih sama.

Seberkas Cahaya adalah tulisan pertama kali begitu aku terjun ke dunia kepenulisan. Di tulisan Seberkas Cahaya, dulu bisa dilihat betapa amburadul puebi dalam tulisanku ( Maklumlah, saat itu otor lagi minim bgt ilmu dalam bidang kepenulisan serta letak tanda baca).

Ada banyak pertimbangan sebelum akhirnya aku menulis ulang dari pada Revisi naskah yang jumlahnya udah puluhan bab diantaranya adalah ada beberapa pembaca yang meminta untuk Seberkas Cahaya dilanjutkan.

Percayalah Kak, setiap komen kalian disetiap novelku pasti aku baca dan ga ada yang terlewatkan. Aku amat senang dan coba merealisasikan keinginan dari setiap komen yang muncul. Jadi, tetap beri dukungan serta cinta kasihnya. Terimakasih, love you sekebon untuk kalian 💗💗💗

💗💗💗💗💗

Senja mulai menyapa di peraduan, Cahaya dan para pekerja pusat perbelanjaan lainya yang menjalankan sift pagi nampak tengah mengemasi barang dan bersiap untuk pulang.

Dengan mengendong ransel di bahu, gadis berseragam khusus itu berjalan keluar menuju tempat parkir.

Seperti biasa, Mala selalu menunggu dan memberinya tumpangan. Cahaya bahkan tak memiliki motor atau kendaraan lain sebagai penunjang aktifitasnya sehari-hari. Baginya dan sang Ibu, bisa makan setiap hari pun sudah lebih dari cukup.

"Maaf, Kak. Aku selalu merepotkanmu. Kurasa, Kakak sudah mulai bosan memberiku tumpangan. Bukan begitu Kak?."

"Kau ini, selalu saja banyak bicara," jawab Mala seraya menjitak helm yang membungkus kepala Cahaya. "Ayo naik, semakin kau banyak bicara maka semakin lambat pula kita sampai di rumah." Perempuan bernama Mala itu memberi perintah pada Cahaya. Kemudian keduanya kini mulai menunggangi motor dan keluar dari area parkir tempat kerja.

Motor melaju cepat membelah jalanan ibukota, tak ada kendala berarti sebab jalanan yang cukup lengang tak berdesakan. Kedua perempuan itu sesekali terlihat berbagi cerita dan tertawa bersama. Mala terkikik geli saat tanpa sengaja Cahaya memeluk bagian pinggangnya hingga menciptakan rasa geli yang membuatnya terbahak.

Beberapa waktu menempuh perjalanan, mereka pun memasuki gang sempit yang merupakan jalan masuk tempat tinggal Cahaya dan sang Ibu selama ini.

Mala menghentikan laju kendaraan tepat di halaman rumah amat sederhana dengan diding beton dengan warna cat yang nyaris pudar.

"Seperti biasanya, Terimakasih banyak, Kak. Ayo mampir dulu," tawar Cahaya pada mala.

"Tidak, lain kali saja," tolak Mala sembari mengulas senyum simpul dibibir merahnya. Perempuan itu pun berpamitan dan melambaikan tangan sebelum meninggalkan kediaman Cahaya.

"Sore Ibu, Cahaya pulang." Selepas mengucap salam, gadis itu memutar gagang pintu rumah dan membukanya perlahan. Begitu pintu terbuka sempurna Cahaya pun mengedarkan pandangan keseluruh ruangan, hingga mendapati sesosok wanita paruh baya dengan pakaian lusuh tengah duduk menunggunya.

Jika dilihat sekilas, tak ada yang berbeda dari seorang Citra selain wajahnya yang mulai terlihat dihiasi kerutan seiring usianya yang terus bertambah. Rupanya akibat dorong yang dilakukan Brama bertahun lalu, berakibat fatal hingga kedua kaki Citra tak lagi dapat berjalan normal seperti sedia kala. Kedua kaki yang dulunya leluasa bergerak itu seakan terbelenggu. Hanya sebuah tongkatlah benda yang menjadi penopang untuk membantunya beraktifitas jika sang putri sedang tidak bersamanya.

Keterbatasan biaya membuat Citra tak sekalipun memeriksakan kondisi kakinya ke dokter atau pusat kesehatan mana pun. Brama pun sekan menutup mata dan abai dengan kondisi Citra yang kian hari kiam memprihatikan.

Citra tersenyum hangat menyambut sang putri dengan wajah berbinar, tangannya yang bertumpu pada tongkat berusaha keras untuk dapat berdiri tegak, menghampiri sang putri untuk menyambutnya.

Cahaya sontak berteriak dan berhambur menghampiri sang ibu.

"Ibu, jangan bergerak! Cukup disitu saja, lbu bisa terjatuh nanti," titah Cahaya kemudian merengkuh tubuh sang ibu dan memapah tubuh perempuan itu untuk duduk.

"Ibu tidak apa nak. Lihatlah, ibu masih kuat berjalan." Citra berusaha berdiri tegak, meski sisah payah. Setidaknya dia ingin memperlihatkan pada sang putri jika kondisinya tak selemah yang gadis itu kira.

Cahaya menatap miris keadaan sang ibu. Perempuan paruh baya itu selalu memiliki cara guna menutupi dukanya dari sang putri. Akan tetapi Cahaya cukup tau jika kondisi sang sang tidaklah baik-baik saja.

"Makanlah nak, ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," ucap Citra antusias. "Pasti kau akan suka," sambung Citra kembali sembari mengusap puncak kepala putrinya penuh sayang.

Cahaya menghela nafas dalam dan membuangnya perlahan.

"Ibu, bukankan sudah sering Aya bilang, Ibu cukup beristirahat saja sembari menunggu aya pulang. Tidak usah melakukan pekerjaan apa pun yang akan membuat ibu kelelahan." Bagaimana tidak, dalam keterbatasannya Citra selalu meluangkan waktu dan tenaga untuk menghidangkan menu sederhana untuk buah hatinya, dan Cahaya justru kian merasa bersalah dibuatnya.

"Ibu tidak merasa kelelahan, Lagi pula badan ibu terasa kaku jika tidak melakukan aktifitas apapun." Citra menyadari jika putrinya pun pasti kelelahan selepas bekerja. Hanya dengan memasaklah dirasanya sebagai balasan yang sepadan untuk kerja keras sang putri dalam membiayai hidupnya selama ini.

Telur dadar dengan campuran beberapa macam sayuran dan irisan daun bawang tersaji di atas meja kayu beserta sebakul nasi putih hangat yang masih mengepulkan asap.

Sepasang netra bening gadis berbinar, dengan hidangan yang sudah tertata di atas meja. Semua olahan berbahan telur merupakan makanan kesukaan Cahaya. Meski diolah dengan cara sederhana, gadis berkulit putih itu akan melahapnya tanpa sisa.

"Tadi, ayahmu datang." Citra tiba-tiba berucap tanpa berani memandang kearah putrinya.

Seketika tubuh Cahaya menegang begitu mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut sang Ibu. Apa, Ayahnya datang?. Spontan gadis itu pun berbalik badan, mendekat pada sang Ibu dan memeriksa setiap inci tubuh Ibunya.

"Apa ayah memukul ibu lagi?." Rupanya penganiayaan belasan tahun lalu masih membekas dalam ingatan. Ia takut jika kedatangan sang Ayah hanya untuk memukul Ibunya.

"Tidak nak." Paruh baya itu menggeleng kemudian mengusap puncak kepalanya sang putri dengan sayang.

"Lalu, apa ayah mencariku atau menanyakan tentangku?" Bolehkah dirinya berharap? Sepasang matanya bahkan menyiratkan kerinduaan. Sebuah kerinduan yang teramat dari seorang putri pada Ayahnya

Citra menggeleng hingga raut wajah penuh harap Cahaya kini berubah sayu. Rupanya keinginan untuk bisa memeluk sang Ayah tak ubahnya seperti mimpi yang sulit terwujud bahkan mustahil.

"Dia hanya menggambil beberapa barang yang dulu belum sempat ia bawa." Memang seperti itulah adanya. Brama datang dan masuk rumah begitu saja tanpa mengetuk apalagi menyapa. Entah benda apa yang pria itu ambil dari gudang, namun yang pasti selepas menemukan benda yang didapat pria itu pun menghilang.

"Nak," panggil Citra lembut. " Apa semua yang sudah ayahmu lakukan, masih bisa membuatmu untuk tidak membencinya?."

Cahaya terdiam, menimang jawaban yang berdasar dari hati untuk diucap

"Tidak, Ibu." Seperti itulah hati seorang anak yang menginginkan kedua orang tuanya untuk bersatu kembali. Terlebih dirinya sendiri pun tak mengerti alasan apa yang melandasi mereka sampai. Cahaya hanya bisa berdoa jika suatu saat hati sang Ayah akan luluh dan dapat menerima keberadaanya dan juga sang Ibu.

"Kau sudah besar sekarang, Nak. Kau bisa membenci ayahmu sebab dia memang bukanlah sosok seorang ayah yang bisa kau kagumi juga kau banggakan. Tidak ada alasan yang menahanmu untuk selalu menyayanginya, walau itu Ibumu sendiri." Tak ada lagi yang perlu ditutupi. Cahaya pun tau akan sifat serta sikap Brama selama ini padanya.

"Karna bagaimana pun aku adalah anak kandung, Ibu. Didalam tubuhku juga mengalir darahnya." Mungkinkah sebatas itu?. Entahlah.

Tbc.

Dilema

Andai dirinya bisa menempuh pendidikan sampai kejenjang tertinggi, mungkin pekerjaan yang didapat akan lebih baik dari pada ini. Sebaris toilet kini nampak bersih dengan sentuhan tangan kecilnya. Aroma menyengat yang semula tercium, kini berganti dengan wangi segar lemon khas cairan pembersih.

Cahaya mendaratkan tubuhnya di kursi plastik yang tak jauh dari toilet. Meregangkan otot-otot tubuh yang terasa pegal, juga menyeka tetesan peluh dihampir seluruh permukaan wajah. Tentunya dengan pekerjaan seperti ini pun dirinya sudah bersyukur. Setidaknya dia bisa mengandalkan diri sendiri dan tak meminta bantuan pada orang lain untuk bisa menyambung hidup.

"Akhirnya, selesai juga," ucap sang gadis seraya mengedarkan seluruh pandangan guna mencari sosok perempuan yang selalu ada di dekatnya saat bekerja. Terdengar suara gaduh yang bersumber dari bilik toilet di bagian seberang.

Benar saja, seseorang dengan pakaian cleaning service keluar dari balik pintu.

Perempuan berkulit putih dan berpostur cukup tinggi itu tersenyum ketika pandangan mereka bertemu.

"Kau sudah selesai," tanya Mala yang mendekat masih dengan memegang sikat dan sebotol pembersih lantai dikedua tangan.

"Sudah," jawab Cahaya seraya menganggukkan kepala.

" Huh, aku merasa sangat lapar," keluh Mala seraya mengusap lembut bagian perut. "Apa kau juga membawa bekal?"

"Tentu saja." jawab kemudian mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas, dan keduanya pun makan bersama.

Saat mengunyah makanan Mala melirik pada gadis di sampingnya. Bukankah ia pernah mendengar jika Cahaya membutuhkan pekerjaan tambahan?.

"Kau menginginkan kerja tambahan lagi?." Mala kembali memulai percakapan. Keputusan Cahaya memang Mala anggap benar. Pasalnya jika hanya mengandalkan gaji cleaning service yang tak seberapa, pasti belumlah cukup untuk memenuhi segala keperluan Cahaya dan juga Ibunya.

"Ya, seperti itulah, Kak. Bukankah Kak Mala juga tau jika sumber pendapatanku jika hanya dari tempat ini, belumlah cukup untuk biaya hidup kami." Memang begitulah adanya. Setidaknya biarlah tubuhnya lelah, asalkan kebutuhan sang Ibu tercukupi.

"Kalau kau mau, mungkin aku bisa membantumu. Kebetulan di tempatku bekerja sedang membutuhkan seorang pelayan," tawar Mala.

Gadis itu terkesiap, matanya membulat sempurna dengan ekspresi wajah tak percaya.

"Kak, benarkah?."

Mala mengangguk yang mana membuat senyum di bibir Cahaya terulas sempurna.

"Wah, kenapa selama ini Kakak diam saja?."

Mala berdecak.

"Ck, lagi pula kau diam saja. Mana aku tau jika Kau masih membutuhkan pekerjaan." Selama ini Mala memang memiliki pekerjaan lain selain menjadi cleaning service. Sama sepertinya, Mala pun butuh uang lebih untuk dirinya beserta sang putri. Mengingat Mala adalah seorang single mom.

"Jadi bagaimana, kau mau tidak?."

Cahaya seperti menimang. Memang Mala bekerja, tapi di tempat seperti apa Cahaya pun belum mengetahuinya.

"Tapi aku belum tau tempatnya."

Mala tidak langsung menjawab, dia hanya tersenyum, sebuah senyuman yang tak bisa Cahaya artikan.

"Nanti saja, jika kau benar-benar ingin bekerja maka kita langsung menuju ke tempatnya. Tidak perlu khawatir, kau akan selalu aman bersamaku."

Meski sempat ragu namun Cahaya pun menyanggupinya. Tidak ada jalan lain. Dirinya harus punya penghasilan lebih untuk bisa membahagiakan Ibunya.

"Di sana kau juga akan mendapatkan gaji yang lumayan, belum lagi uang bonus dan lemburan." Mila sedikit menjelaskan. Sebagai salah satu karyawan, tentu dirinya sudah tau akan jumlah penghasilan rata-rata yang ia kantongi setiap bulannya.

Cahaya ternganga. Bayangan lembaran rupiah memenuhi otaknya.

"Lalu, untuk jam kerjanya?."

"Begini, di tempat inikan kita hanya bekerja pada pagi hingga sore hari, nah sedangkan di tempat kerja baru, kita hanya akan bekerja pada malam hari. Tidak susah 'kan? Kita hanya mengatur waktunya saja. Memang kita akan punya sedikit waktu untuk beristirahat, tapi ya seperti apa lagi. Bukankah menghasilkan uang juga perlu pengorbanan?."

Malam hari.

Mala juga menjelaskan jika di tempat itu mereka akan stay bekerja pada jam 8 malam dan berakhir pada jam 12 malam bahkan lebih. Cahaya sontak menelan ludah kasar. Bagaimana dirinya bekerja dalam waktu selama itu. Pagi sampai sore dan berlanjut malam sampai dini hari. Apakah ia sanggup?.

Ah, entahlah. Bukan itu perkara yang sulit baginya, namun yang lebih sulit adalah meminta izin pada Ibunya.

"Kak sepertinya aku harus membuat surat lamaran kerja. Ya, bukankah itu memang sudah prosedurnya."

"Tidak perlu," cegah Mala.

"Lah, kenapa. Memang bisa apa aku tanpa surat lamaran. Yang ada aku di tendang keluar, sebelum bertemu dengan atasan." Ada-ada saja, fikir Cahaya. Mana bisa ia bekerja tanpa surat lamaran.

"Ck, serahkan saja semuanya padaku. Aku berani bertaruh, bila kau bisa diterima bekerja meski tanpa surat lamaran." Begitulah kalimat yang terucap dari bibir Mala yang intinya meminta pada Cahaya untuk tak perlu risau perihal surat lamaran.

💗💗💗💗💗

Cukup lama cahaya berdiri di depan pintu, memegang gagang pintu namun ragu untuk membukanya. Sepanjang perjalanan pulang, dia sibuk menyusun kalimat untuk meminta izin bekerja pada sang Ibu. Mengingat waktu kerjanya pada malam hari, Cahaya menjadi pesimis. Tidak mungkin Ibunya akan memberi izin dengan mudah, mengingat mereka hanya tinggal berdua tanpa adanya sanak saudara.

Rumah nampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Cahaya menyusuri setiap sudut ruangan, berharap lekas menemukan dimana ibunya kini.

Mungkin Ibu sedang beristirahat.

Dibukalah pintu perlahan, dan benar adanya, Citra tengah terlelap, merimgkuk di bawah selimut berlapiskan kasur lepek usang yang tak layak pakai. Di kamar berukuran sempit itulah selama ini dirinya dan sang Ibu melepas lelah.

Wajah Citra nampak damai dalam lelapnya. Gadis itu melangkahkan kaki untuk mendekat kemudian mendaratkan tubuh dan duduk di sisi ibunya. Satu tangannya bergerak hendak menyentuh dan membelai wajah sang Ibu, namun diurungkan sebab tak ingin membuat paruh baya itu terjaga.

Wajah Citra masih terlihat cantik walapun tak terawat. Paras yang mulai di hiasi kerutan halus tersebut masih jelas memperlihatkan pesonanya. Mungkin itulah salah satu yang membuat Sang Ayah dulu menyukai Ibunya. Ah, entahlah. Gadis itu menghela nafas dalam. Perih rasa hati bila mengingat akan sang Ayah yang sedari dulu memang tak pernah perduli padanya.

Buliran bening mulai merembas di ujung matanya. Deru nafas sang gadis naik turun seiring sesak yang mulai melingkupi dadaa. Hal seperti inilah yang membuat tekadnya untuk bekerja semakin kuat. Ia tidak tega melihat kondisi Ibunya terus seperti ini.

Cahaya terkesiap, saat menyadari jika sepasang mata milik sang Ibu sudah terbuka. Mata sembab gadis itu masih tampak basah, dan Citra menyadari akan hal itu. Ia berfikir jika sepertinya ada yang tidak beres dengan anak gadisnya kini. Susah payah Citra berusaha bangkit, membangunkan tubuh dan menyandarkan punggungnya ke dinding.

"Apa yang terjadi nak, apa ada seseorang yang menyakitimu?" Tanya Citra sembari mengusap kedua pipi dengan tatapan mata penuh kekhawatiran.

Apa Cahaya bertemu dengan Ayahnya.

Entah kenapa begitu melihat putrinya bersedih, Citra selalu menyangkutpautkannya dengan Brama. Mengingat selama ini pria itulah yang paling sering membuat hati sang anak terluka.

"Tidak bu," jawab Cahaya cepat. " Aku hanya sedang berfikir, bagaimana jika aku mencari pekerjaan tambahan lain." Gadis itu tertunduk saat Citra. Menatap penuh tanya padanya.

"Nak, apa maksudmu. Pekerjaan tambahan?."

Gadis itu menganggukkan kepala ragu.

"Iya, Ibu. Temanku menawarkan pekerjaan yang gajinya lumayan."

"Tapi nak, bukankah aya sudah bekerja?" Citra masih tak mengerti. Bukankah selama ini putrinya sudah bekerja.

"Ibu tidak perlu khawatir. Temanku mengatakan jika jam kerja kami berlangsung pada malam hari. Jadi pekerjaanku di tempat yang lama pada pagi sampai sore hari sementara yang baru ini hanya pada malam hari. Waktunya tidak akan berbenturan, Ibu. Aku akan bekerja di dua tempat dalam satu hari. Bagaimana, Ibu mengizinkannya 'kan?"

Citra terlihat ragu, wajahnya pun berubah sendu.

"Lalu bagaimana dengan waktu istirahatmu, Nak. Ingatlah, kau butuh tidur."

Cahaya sadar, dengan banyaknya waktu yang ia gunakan untuk bekerja sudah pasti waktu yang ia miliki untuk beristirahat amatlah minim.

Perbincangan itu pun akhirnya tak menemukan keputusan, di mana Citra seakan berat untuk mengizinkan. Cahaya pun hanya bisa pasrah, berharap jika nanti sang Ibu bisa mengerti demi masa depan mereka untuk lebih baik dikedepannya.

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!