Menikahi Bos Perawan Tua
Meski pengunjung restoran sama padatnya dengan malam-malam kemarin, ruangan VVIP ini sama sekali tidak terpengaruh dengan suara-suara di luar yang memang tidak terlalu berisik. Namun, pelayan laki-laki itu malah berubah tuli mendadak, sehingga menuntut ucapan ulang dari pria senja yang dikenal sebagai ayah dari wanita pemilik restoran ini.
"M—maaf. Apa, Pak?" tanya Ben. Raut wajahnya sama sekali tidak bisa berbohong, pria itu terkejut bercampur panik.
"Kamu mau menikahi putri saya?" Kahar—pria berkacamata persegi panjang itu, mengulang pertanyaannya.
Jika pertanyaan pertama dengan kalimat sama, hanya mendapat respons berupa perhatian lima manusia di dalam ruangan ini menoleh pada Kahar, maka sekarang, 'putri' yang pria itu maksud langsung berdiri. Meski memiliki jarak satu meter dari si wanita, efek kejutnya tetap kuat pada Ben, hingga pemuda itu langsung mundur selangkah karena takut. Tidak lupa menjadikan nampan kosong sebagai pelindung dari amukan kuat sang Mbak bos.
"Papa apa-apaan, sih? Papa bicara kayak nawarin barang ke orang sembarangan!" Wanita itu mengeluh, lalu melarikan lirik tajamnya pada Ben, membuat si pemuda langsung ciut hendak melarikan diri. "Aku nggak mau! Nggak mau! Aku bisa pilih suami sendiri!"
"Bentala jangan ke mana-mana." Kahar menahan, "Duduk di sini." Ia menunjuk melalui lirik matanya sebuah kursi yang berseberangan langsung sang putri.
"Dengerin Papa dulu, De. Duduk sini, duduk." Kahar menenangkan putrinya itu. Ia turut melirik istrinya yang ada di sampingnya, serta kedua putra yang ada di hadapannya. "Papa nggak asal nawarin sembarangan gitu." Kahar melirik Ben lebih dulu, memastikan bahwa pria berseragam itu sudah duduk sempurna. "Papa sudah cari tahu tentang Ben sejak dua bulan lalu. Semua hal tentang dia, sudah Papa tahu. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Dia mungkin cuman mines di ekonomi—yang bisa kamu isi, sama kuliahnya ketunda. Urusan kepribadian, dia sangat dewasa walau usianya baru 22 tahun. Dia anak tunggal, orang tua meninggal—nggak ada tanggungan. Dia sudah putus dari pacar pertamanya enam tahun lalu, jadi Dea nggak perlu merasa tersaingi. Dia punya banyak penggemar, tapi yang Papa tahu, Ben ini hampir nggak pernah deketin cewek—kecuali ngantar pesanan ke meja pelanggan."
"Pa—"
"Apa? Atau kamu suka yang duda?" balas Kahar, saat Dea memanggil.
"Aku tiga satu." Dea mengutarakan umurnya dengan nada malas.
"Jadi?" Kahar tampak tenang menanggapi. "Prinsip Ben ini, dia nggak pandang umur kalau punya pasangan."
"Papa mana tau! Papa aja bilang dia nggak pernah deketin cewek! Pacaran terakhir kali enam tahun lalu. Yakin, dia bocah gagal move on! Ntar aku dibanding-bandingin lagi!"
"Nggak bakal." Kali ini, tidak seyakin sebelumnya. Kahar beralih pada Ben yang memandang bingung perdebatan di antara mereka berdua. "Kamu bertanggung jawab, pasti mau jaga hati anak saya, 'kan?"
"B—bentar, Pak. Saya belum paham, ini bahasannya apa?" Ben bertanya bingung. Langsung mendapat gelak tawa dari adik laki-laki Dea. "Saya ... 'nikah' ... sama putri Bapak?"
Kahar mengangguk.
"Menikah, Pak?" Ben mengulang, tidak percaya. "Me-ni-kah?"
"Iya, menikah, Ben. Kawin. Kamu kawinin anak saya. Mau?"
Pemuda itu semakin terkejut, terbukti dari lebar matanya yang bertambah. Ia butuh beberapa detik untuk mencerna, lalu menormalkan ekspresi wajahnya, baru bisa membalas, "Pak ... Anda kenapa bisa tawarin saya buat nikahin anak Anda? Saya nggak pantas, Pak. Saya ...."
"Saya nggak bisa pilih orang yang lebih atau kurang dari Ben." Kahar sekali lagi menjelaskan. Melirik seluruh anggota keluarganya secara bergantian, lalu berhenti pada sang putri. "Bisa saja Papa pilihkan kamu laki-laki di atas usia kamu, yang lebih kaya, lebih hebat dalam urusan pekerjaan—tapi Papa takut. Laki-laki seperti itu, bisa pandang rendah ke Dea yang baru menikah di usia 31 tahun. Papa nggak mau putri Papa digituin."
"Kan ada, Pa, laki-laki di atas usia aku yang biasa aja. Miskin juga nggak papa. Asal—" Dea melirik sinis pada Ben, "jangan di bawah umur aku. Aku nggak suka anak kecil."
"Di atas usia kamu? 32 tahun? Biasa aja? Mungkin ada yang bertanggung jawab, tapi fakta di lapangan, kalau usia 32 hidupnya belum sejahtera, berarti ada masalah di pengaturan uang, atau tanggungannya. Papa nggak mau kamu nikah cuman nambah beban. Papa mau, kamu nikah cuman buat nikmati hasil jerih payah kamu selama ini."
"Kenapa Ben?" Kakak Dea—Dion—menyela. Pria itu tampak dingin, seperti mendukung sikap yang Dea tunjukkan. "Anak-anak malah bisa bikin Dea terbebani. Belum lagi sifat petualang yang biasanya ada di laki-laki dalam masa pertumbuhan menuju kedewasaan. Dea malah jadi kayak ibunya nanti. Masih mending kalau patuh. Kalau keras kepala? Makan hati tiap hari si Dea, Pa."
"Mas nggak usah ikut campur!" Dika membalas sang kakak. Si bungsu ini, sedari tadi menunjukkan raut mendukung pada sang papa. "Aku yang sudah cari tahu segalanya tentang si Ben ini. Dia pekerja keras, bertanggung jawab, nggak punya utang pay later, nggak ada utang pinjol ilegal—berarti dia nggak suka foya-foya. Dia nggak punya cewek, hidup mandiri. Dia bertanggung jawab, yang Mbak Dea harusnya bisa lihat sendiri value kerjanya."
Dea membuka mulut hendak membantah, tetapi ia hanya berakhir dengan pelototan pada sang adik, sementara telunjuknya mengarah lurus pada Dika. Seolah memperingatkan, 'Awas kamu! Nggak bakalan kukasih jajan lagi kamu!'
"Maaf, Pak." Ben sadar diri, jadi ia memundurkan kursi yang ia duduki menggunakan kaki, lalu berdiri. "Saya nggak pantas buat anak Anda. Semoga nanti ketemu jodoh yang sesuai dengan kriteria Mbak Dea."
"Kamu nyindir anak saya, Ben? Terlalu pemilih, sampai nggak laku-laku?"
"Enggak, Pak." Pemuda itu tanpa sadar menaikkan sedikit intonasi suaranya akibat panik. "Maksud saya," suaranya sedikit turun kali ini, kembali ke nada normal, "pasti ada laki-laki yang sesuai dengan apa yang Mbak Dea mau. Yang jelas, itu bukan saya."
Tidak ada lagi balasan, jadi pemuda itu berpikir bahwa ini sudah selesai.
"Permisi, Pak."
...*...
Berpikir bahwa semuanya selesai saat itu, adalah kesalahan besar untuk Ben. Hidup pemuda itu pada kenyataannya tidak semulus dulu. Setiap hari, saat keluarga Dea datang, Ben akan diberikan sapaan 'khusus' yang masing-masing berbeda dari tiap anggota lain.
Jika Kahar, istrinya, dan Dika begitu hangat, saat menghampiri Ben untuk memesan makanan, maka saat kedatangan Dion atau Dea, suasana langsung berubah suram.
Tambah risi lagi adalah, saat Kahar sesekali menghampiri Ben di kala pemuda itu sendiri. Ia menawarkan putrinya berulang kali dengan berbagai jenis kalimat perayu.
"Anak saya itu, masih gadis loh. Jadi, nggak ada bedanya sama cewek-cewek yang masih muda. Cantik—masih lah, ya? Nggak kelihatan umur 30-an. Rada cerewet, tapi itu karena dia teliti sama semua keputusan yang harus dia pilih."
"Dea cerdas, loh, Ben. Dia bisa belajar banyak hal dengan gampang. Dia bisa masak, dia bisa lakuin apa pun yang kamu mau."
"Dia gampang saya bujuk. Cuman kamu ini, saya harap banget, kamu mau mau nerima Dea. Kamu ini pantes banget kok, sama Dea. Masalah umur mah, cuman orang-orang yang permasalahkan. Padahal, nikah beda usia itu sudah lumrah. Dari zaman dahulu kala. Cuman baru sekarang aja, rada kayak aib, apa lagi kalau cewek."
Itulah sederet kalimat yang Kahar katakan padanya. Hingga entah hari ke berapa, Ben merasa muak. Bukan pada Kahar, tapi lebih ke bagaimana lelaki dewasa itu menunjukkan kelebihan putrinya seperti mempromosikan sebuah barang.
"Pak." Ben sampai harus menghentikan kegiatan mengelapnya demi menanggapi Kahar. Jika sebelumnya pemuda itu hanya bisa tersenyum canggung, lalu memberikan anggukan hormat—sekarang tidak lagi. Meski akan memprotes, nada bicaranya tetap dijaga rendah, karena bagaimanapun, lawan bicara Ben ini lebih tua darinya. "Putri Anda bukan barang, Pak. Tolong, jangan tawarkan Mbak Dea seperti itu. Coba ... Pak Kahar tanya laki-laki idaman Mbak Dea. Nanti Pak Kahar bisa mencarikan yang lebih daripada saya. Bahkan, kalau misal buka sayembara sejenis 'Take Me Out', yakin saya kalau bakalan banyak laki-laki yang mengantri buat putri Anda, Pak."
"Tapi, kamu memang idaman Dea sebenarnya, Ben. Semua kriteria yang Dea mau, ada dalam diri kamu. Cuman masalah umur, Dea jadi gengsi buat akui. Kamu nggak tau, kalau sebelum pernyataan saya tempo hari, dia itu sering ... muji cara kerja kamu ke keluarga lain. Dia kagum banget sama kamu. Cuman, gara-gara kemarin itu, dia jadi rada lebih dingin."
"Nah, pasti ada yang sama karakternya kayak saya di luaran sana, dan usianya lebih tua dari Mbak Dea, Pak. Saya bukannya nggak tertarik sama anak Anda, tapi ... saya beneran kayak debu di sepatunya Mbak Dea, Pak. Nggak pantas, dan kapan-kapan bisa aja diempaskan Mbak Dea." Ben terkekeh pelan di akhir kalimat, antara ingin mencairkan suasana, juga ingin merendahkan diri agar Kahar tidak tersinggung dengan penolakannya. "Pak Kahar tolong, jangan tawarin Mbak Dea kayak gitu. Perawan lah, patuh sama saya lah, atau apa pun itu. Saya nggak nyaman, maaf, Pak. Anak Pak Kahar ini terlalu berharga buat ditawarin ke orang kayak saya, Pak."
"Oke. Saya permisi kalau gitu." Kahar melunak, tetapi senyumnya menunjukkan optimisme—belum ingin kalah. Ia menepuk bahu Ben sekali, kemudian meninggalkan restoran.
...*...
Kahar memang tidak datang lagi esoknya, tetapi yang muncul adalah Dea langsung. Menghampiri Ben, dengan aura dingin kentara.
"Kamu ikut saya ke ruangan!" pinta Dea, dengan nada datar tanpa minat.
Ini gawat. Ben langsung mengekori di pemilik restoran dengan perasaan was-was. Pikirannya mulai membahas mengenai pekerjaan apa yang bisa Ben coba setelah keluar dari tempat ini. Yakin, bahwa Dea tidak akan membiarkan pemuda itu lebih lama di sini, karena—mungkin—sudah mengganggu ketenangan hidupnya.
Dea duduk di atas kursi putarnya, sementara Ben menutup pintu hati-hati. Ia berdiri sebentar di samping kursi, sampai dipersilakan untuk duduk.
"Jadi ...." Dea langsung membuka obrolan dengan nada masih sama datarnya. Tanpa minat menatap Ben. "Kamu mau menerima tawaran Papa saya atau tidak?"
Ben membulatkan mata, lalu menggeleng pelan setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya. "Nggak, Mbak. Saya nggak pantas—"
"Atau karena saya yang nggak pantas buat kamu?" potong Dea semena-mena saat ia melipat kedua tangan depan dada. Perempuan itu menempelkan punggung pada sandaran kursi, seolah ingin mengintimidasi pemuda di depannya.
"Nggak, Mbak. Sama sekali nggak. Masalah umur mah, nggak masalah. Mbak malah masih kelihatan muda banget—nggak sesuai umur. Kalau orang nggak deket sama Mbak, Mbak pasti dikira masih dua puluhan. Mbak pekerja keras, bahkan kalau kata Pak Kahar, uang pensiun Mbak sudah cukup buat nampung hidup Mbak walau nggak kerja. Mbak berpendidikan, kaya, cerdas. Sementara saya? Cuman debu di sepatu Mbak Dea. Nggak pantas sama sekali."
"Jangan bahas 'debu'. Ucapan kamu itu yang bikin Papa saya makin ngotot buat jodohin saya sama kamu."
"Eh?" Padahal, Ben ingin menunjukkan betapa rendah dirinya. Mengapa malah jadi seperti itu? "Maaf, Mbak."
Dea mengibaskan tangan, seolah tidak ingin membahas ini lagi. "Saya sebenarnya nggak butuh laki-laki. Saya bisa mengatasi semua hal sendiri. Uang, kebahagiaan. Masalah anak, bisa adopsi. Kalau urusan cinta ... bisa saya dapat dari keluarga saya. Hampir nggak ada gunanya seorang laki-laki asing dalam hidup saya. Cuman ... saya mau bungkam mulut Papa saya, dan orang-orang Dajjal yang selalu menghina saya sebagai perawan tua. Jadi ...."
Dea mengeluarkan sebuah map dari tas laptopnya. "Saya buat perjanjian pra-nikah." Ia meletakkannya di atas meja, lalu melirik fokus pada Ben. "Saya susah percaya sama orang lain. Jadi, di situ saya sudah tulis secara jelas, kalau kamu melanggar aturan, beberapa di antaranya; selingkuh, melakukan KDRT, menghina saya, atau melaporkan perjanjian ini ke keluarga saya—saya akan langsung menggugat cerai kamu dengan semua kekayaan kamu yang nggak seberapa itu, bakalan jatuh ke tangan saya."
"Nggak, Mbak." Ben mendorong kertas itu pada Dea dengan tatap lurus mengarah pada wanita di hadapannya. "Saya ... beneran nggak pantas nikah sama Mbak Dea. Jangankan berguna, Mbak, saya kayaknya cuman jadi bebannya Mbak Dea aja." Pemuda itu melirik kertas tanpa minat, membaca sekilas isinya. Sedikit berkerut saat ia menemukan sebuah paragraf. Ia menahan Dea yang hendak menarik lagi kertas itu.
Dea mendengkus geli—meremehkan. Sudah tahu jelas, bahwa pemuda itu akan luluh dengan tawaran yang ia berikan. Sangat yakin, bahwa Ben pasti tengah membaca nominal rupiah yang Dea janjikan. "Kamu bakalan saya kasih uang perbulan sebesar—"
"Pernikahannya cuman setahun, Mbak?"
Dea langsung mengerutkan kening. Ia merasa aneh dengan pemuda ini. "Kenapa? Mau diperlama biar dapat banyak uang jajan?"
"Saya nggak perlu uang jajan, Mbak. Saya bisa kerja sendiri." Ben mengalihkan fokusnya dari kertas ke Dea lagi. "Satu tahun, ya, Mbak? Mbak emang nggak papa, jadi janda gitu?"
"Mending status janda daripada perawan tua, Ben." Dea menghela napas gusar. "Setelah jadi janda, dan Papa lihat kamu kayak mainin pernikahan, beliau seharusnya kapok buat maksa saya nikah lagi."
"Saya yang harus kelihatan mainin pernikahan ya, Mbak?" Ben tertegun karena kalimat itu, tetapi tidak lama. Ia tersenyum setelah itu. "Oke, Mbak." Ia mengambil pulpen dengan mudah, "Tanda tangan di sini, 'kan, Mbak?"
Tanpa menunggu jawaban, sebuah coretan di kertas kontrak sudah tersedia. "Nanti saya yang datang buat lamar Mbak Dea."
Dea mengambil kertas itu dengan alis mengerut dalam. Matanya terpaku pada tanda tangan yang dibubuhkan pada kertas di atas nama Adam Bentala.
Kenapa ... sangat mudah? Setelah pemuda itu tahu durasi pernikahan mereka hanya satu tahun?
Bahkan, bersedia jika namanya tercemari karena dia yang akan dianggap mempermainkan perempuan dan pernikahan di sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
inggrid LARUSITA Nganjuk
bagus
2023-06-11
0
RATNA RACHMAN
hadir author..lagi nyimak ini🤭
2023-03-26
0
Aspri Yuliatii
aku mampir mbak,masih nyimak
salam kenal dari gairah hasrat istri kecil ku dan terjerat cinta wanita malam
2023-03-17
0