Lamaran dan pertunangan Ben dan Dea berlangsung dengan aman. Dua bulan berikutnya, acara pernikahan sudah dilaksanakan dengan kemewahan atas permintaan keluarga Kahar, dan mereka yang memaksa Ben untuk membayar semua biaya resepsi, karena Ben yang mengurus akad nikah.
Meski pernikahan ini sepatutnya dianggap tidak serius, bahkan setara permainan, Dea masih mendapati bahwa tangan pria di sampingnya ini gemetar ketika menggenggam tangan Kahar. Beberapa kali, helaan napas panjang terdengar jelas, meski Ben menjauhkan mikrofon dari bibirnya.
Dea menunduk, mendengkus geli. Jelas, anak itu akan merasa gugup karena menjadi pusat perhatian, bukan karena pernikahan. Ia sendiri tampak tenang, meski tidak terlalu menunjukkan kebahagiaan. Wajahnya masih Radea Dasha biasa. Seolah tidak terlalu peduli dengan acara penting ini, dan memang begitulah yang dirasakan oleh Dea.
Meski demikian, gadis itu tetap saja tanpa sadar menahan napas ketika suara sang papa sudah terdengar.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Adam Bentala bin Zain Ahmad dengan puteri saya, Radea Dasha binti Kaharuddin, dengan maskawin seperangkat alat sholat serta emas dua puluh delapan gram, dan uang tunai dua belas juta rupiah, dibayar tunai!"
Dea langsung menoleh pada Ben yang tampak terkejut dan sempat memejam setelah jabatan tangan mereka dientak oleh Kahar.
"Saya terima nikah dan kawinnya Radea Dasha binti Kaharuddin dengan maskawin tersebut, dibayar tunai!"
"Sah?" Penghulu bertanya.
Seruan "sah" dari para saksi terdengar lirih dari keluarga Dea, tetapi sedikit ricuh dari pihak pegawai restoran.
Pembacaan doa berlangsung khidmat, tetapi karena Dea tidak terlalu menikmatinya, ia sesekali melirik pada Ben yang tampak memejam erat dengan napasnya terembus panjang beberapa kali. Dea sampai harus melipat bibirnya ke dalam, untuk mencegah senyum mengejek, karena mendapati tangan suaminya itu masih gemetar.
"Dasar bocah," gumam Dea lirih, saat doa diaminkan dan ia mengusap wajah.
Semua hal bisa dilalui Dea dengan tenang, kecuali ketika ia diminta untuk menyalimi sang suami. Terlalu awkward, sebab Ben jauh di bawah umurnya. Tambahan godaan dari para pegawai laknatnya yang sangat suka menggoda Dea di saat si bos tidak bisa berkutik, membuat gadis berkebaya itu semakin gugup.
Dea pada akhirnya hanya bisa menghela napas, kemudian mengulurkan tangan pada Ben. Lelaki yang duduk di sampingnya itu tampak mengusap telapak tangan lebih dulu, kemudian memberikannya pada Dea. Kulit Ben terasa sangat dingin ketika tangan mereka bertemu. Dea tersenyum, perlahan menundukkan kepala, dan menyentuhkan keningnya pada punggung tangan Ben.
Detak jantung Dea bekerja lebih keras dari biasanya. Ia bahkan sampai harus meremas roknya untuk menahan gejolak yang tiba-tiba ia rasakan agar bisa tetap santai selama pemotretan berlangsung. Setelah dapat aba-aba, Dea mulai mengangkat lagi kepalanya, dan memberikan senyum segaris melengkung pada Ben yang juga membalasnya sama.
Meski ini tanpa rasa, tidak sepatutnya mereka membuat foto pernikahan mereka buruk. Jadi, tanpa perjanjian atau saling berdiskusi, keduanya sepakat untuk menampilkan ekspresi bahagia.
Khusus hari ini.
*
Di kamarnya, Dea masuk lebih dulu setelah makan malam dibandingkan Ben. Wajahnya seketika kusut, setelah pegal tersenyum sepanjang hari. Ia duduk di sebuah sofa tanpa sandaran untuk melepas sepatunya.
"Mantannya cakep, Mbak. Kok putus?" tanya Ben, setelah dia menyusul masuk. Lelaki itu memilih duduk di samping sang istri, untuk ikut melepaskan sepatunya.
Dea melirik malas pada Ben. "Pacar kamu juga cantik, kenapa dia putusin kamu?"
Ini malam yang indah seharusnya bagi mereka berdua, tetapi obrolan pertama mereka tentang mantan masing-masing yang kebetulan datang hari ini.
Elvan Dexter, mantan kekasih Dea, memiliki hubungan bisnis dengan Kahar, sehingga mustahil untuk tidak diundang. Hal itu juga yang menyebabkan Dea dan Elvan dekat, karena kecintaan mereka di dunia bisnis. Sayangnya, mereka harus berpisah karena Elvan dipaksa menikah untuk memiliki anak, sementara Dea masih fokus bisnis.
Sementara mantan pacar Ben: Bestari, diundang oleh salah satu staf restoran sebagai pasangan. Meski ketika dikonfirmasi mereka tidak memiliki hubungan, Ben sudah tahu betul bahwa rekan kerjanya ingin menggoda Ben.
Beruntung, Ben dan Bestari putus secara baik-baik, sehingga tidak ada masalah. Hanya Dea dan mantan kekasihnya yang tampak saling perang dingin.
"Kita putus karena beda tujuan, Mbak. Dia mau pindah sekolah di luar kota, dan nggak sanggup LDR, sementara saya juga nggak bisa nyusul karena kerja di sini. Jadilah, kita putuskan buat pisah secara baik-baik," jawab Dea.
"Pisah secara baik-baik, cuih." Dea mencibir. Ia bangkit dari posisi duduk, menuju kamar mandi. Namun, baru saja pintu ditutup rapat, gadis itu tiba-tiba mengeluarkan kepalanya melalui celah pintu. "Berhenti panggil saya 'mbak'!"
"Oke, Sayang."
"Jangan itu!" Dea menggeram dengan mata melotot. Ia tidak bisa memekik, karena rumahnya masih ramai karena kedatangan keluarga jauh untuk tinggal semalam.
"Terus apa, Mbak?"
"Nama. Panggil saya pake nama aja."
Ben tersenyum. "Oke, De." Lalu, ia tampak kebingungan sesaat. "Oke, De. Dek, adek."
Dea merotasi bola matanya malas.
"Pak Kahar pinter pilihin nama, Mbak. Mau tua sekalipun, Mbak tetep bakalan dipanggil 'De'. Sayangnya, nama saya nggak ada kata 'mas'-nya, biar kita serasi gitu." Ben sudah susah payah mencairkan suasana, bahkan tersenyum di akhir kalimat, tetapi yang ia dapatkan adalah ekspresi malas dari sang istri.
Bahkan, Dea mendecih sebelum menutup pintu.
"Wah, wah." Ben langsung berdiri, berjalan ke arah pintu kamar mandi. "Saya lagi usaha buat cairin suasana, dan ... Dea malah gitu? Saya tunggu di sini sampai Dea keluar. Biar saya kasih hukuman."
Ben tersenyum geli mendengar kalimatnya sendiri. Ia belum terbiasa menyebut secara langsung nama bosnya, sehingga ini akan menjadi hal yang sulit baginya.
Ben bersedekap, dengan jemari kanannya mengetuk secara teratur di atas lengan kirinya. Ia menunggu hingga merasa pegal. Lalu terpikirkan sesuatu, bahwa Dea di usia 31 tahun masih terlihat seperti gadis 20-an, jelas bukan tanpa alasan. Dea jelas rajin perawatan, dan mandi salah satunya.
Jadi, menunggu Dea mandi sama saja ingin membuat Ben pingsan karena kelelahan menunggu. Lelaki itu memilih untuk duduk, dan membaringkan tubuhnya pada ranjang dengan kedua kaki masih menempel di lantai.
Ben terpejam beberapa menit, bahkan hampir kehilangan kesadaran ketika ia mencium aroma semerbak yang didahului oleh bunyi pintu kamar mandi yang terbuka. Ia langsung duduk, dan tersenyum memandangi Dea sampai istrinya itu merasa tidak nyaman, kemudian masuk ke ruang ganti.
Setelah ruang ganti itu ditutup, Ben bergerak cepat ke arah pintu. Ia memainkan kunci selama beberapa menit, sampai Dea keluar dalam kondisi rapi. Lelaki itu menunjukkan senyum menyeringai, dan dengan sengaja mengunci pintu cukup keras. Sehingga suaranya bisa membuat sang istri melebarkan mata.
"De," panggil Ben sembari memamerkan kunci di tangannya.
"Ben, saya masih harus keluar!" Dea membalas dengan wajah malas.
Namun, suaminya itu malah semakin melebarkan senyum ejekan. Ben bergegas masuk ke kamar mandi. Pintu hampir ditutup sempurna, tetapi Ben malah menyelinapkan kepalanya keluar dengan tangannya yang memamerkan kunci.
"Ayo masuk sini, De, kalau mau ambil kuncinya."
Dea semakin memperjelas ekspresi malasnya. Ia mengangkat kepalan tangan hingga sejajar dengan wajah, dan bibirnya menipis karena marah.
"Mau tinju?"
"Ah, takut ...." Ben lalu menutup kamar mandi.
Dea merenggangkan semua jarinya, lalu memijit pelipis. Ini baru malam pertama, dan ia mulai mengumpulkan sakit di kepalanya karena sikap kekanak-kanakan suaminya. Gadis itu berjalan ke pinggir tempat tidur untuk duduk. Ponsel dari laci nakas turut dikeluarkan.
Awalnya ingin membuka aplikasi perpesanan, karena di sana ada banyak pesan selamat yang masuk. Namun, Dea malah membuka aplikasi tersembunyi yang membutuhkan pin untuk bisa diakses. Di sana, beberapa fotonya bersama Elvan masih tersimpan.
Ada alasan mengapa Dea sangat sulit menemukan pengganti Elvan. Hanya lelaki itu yang bisa mengerti apa yang Dea perlukan dan yang tidak. Di saat tertentu, Dea butuh sandaran, Elvan langsung datang. Di beberapa kesempatan, Dea merasa muak dengan semua orang, sehingga butuh ketenangan. Elvan tidak pernah bertanya kondisi Dea, tetapi saat butuh ketenangan itu, Elvan juga tidak banyak menghubunginya hingga Dea merasa sangat nyaman terhadapnya.
Sementara Ben? Dea menatap malas ke arah pintu kamar mandi.
Sikap pengganggu Ben sama sekali tidak dibutuhkan oleh perempuan dewasa seperti Dea. Meski niatan suaminya itu baik, agar mereka cepat akrab sebagai suami-istri, Dea tetap tidak suka dicecar banyak hal ketika lelah. Sementara Ben, hampir tidak memiliki rem di mulutnya.
Dea menutup aplikasi di ponselnya, dan memilih pelarian pada perpesanan. Dari puluhan ucapan selamat, hanya kurang dari sepuluh yang dibalas karena datang dari keluarga yang tidak sempat hadir. Sisanya hanya rekan kerja, yang sifatnya malah menggoda Dea karena akan membuka 'segel karatannya'.
Ponsel menjadi tempat pelampiasan. Dea melemparnya ke nakas, lalu berjalan ke arah pintu. Sempat terluka bahwa kuncinya diambil Ben. Dea memijit pangkal hidungnya.
Malam ini saja, ia belum tentu bisa bertahan dari sifat Ben. Apa lagi sampai setahun ke depan. Jadi, untuk meminimalisir depresi yang mungkin Dea rasakan, gadis itu harus memutuskan sesuatu.
Ben keluar dari kamar mandi, memancing perhatian Dea mengarah padanya. Masih dengan ekspresi seperti kemarin.
"Ben," panggil Dea, tetapi terjeda sejenak. "Nanti deh. Kamu pakai baju dulu. Saya mau bicara penting sama kamu."
Cara bicara Dea masih terdengar bossy, dan Ben tampak tidak terpengaruh dengan hal itu. Senyumnya masih bertahan, sampai lelaki itu memasuki ruang ganti yang memang sudah disediakan beberapa pakaian di sana.
Dea duduk di sofa tanpa sandaran, selama menunggu Ben berganti pakaian. Ekspresinya tampak dingin, dan semakin didukung dari gesturnya yang melipat tangan depan dada.
Setelah Ben keluar dari ruang ganti, ia sempat melirik Dea, tetapi tidak mendekat pada istrinya itu. Ben duduk tempat tidur dalam posisi bersila menghadap lurus pada sang istri.
"Saya mau bicara, Ben."
"Ya udah. Sini, Mbak." Ben memanggil, sembari menepuk tempat tidur yang kosong di sampingnya.
"Ben ...." Dea menggunakan jurus andalannya ketika di restoran: memanggil nama pegawai dengan panjang dan lemah, agar memberikan kesan marah yang dingin. Namun, kali ini tidak berlaku untuk suaminya.
"De, di sini, saya bukan bawahan kamu lagi, tapi suaminya Dea. Jadi, sesekali, dengerin kata suami ya, De? Ayo sini-sini. Duduk sini." Ben semakin terlihat menggelikan di mata Dea. "Atau mau saya gendong ala bridal-style?"
Dea sempat mendesis pelan, lalu berjalan ke arah Ben. Duduk di tempat yang suaminya maksud, tetapi tetap memberikan jarak dua jengkal.
"Saya nggak suka orang yang berisik, Ben," kata Dea langsung pada inti masalah. Ia tidak bisa menahan dirinya lagi. "Setelah malam ini, kita bakalan tinggal di rumah yang sudah Papa hadiahkan. Di sana, kalau kamu bikin saya nggak nyaman, saya nggak bakalan pulang ke rumah."
"Kirain bakalan usir saya, De." Ben menyengir, masih terlihat kekanakan.
"Selama pernikahan berlangsung, saya yang bakalan mengalah kalau nggak nyaman sama sesuatu. Jadi, tolong kerjasamanya, kalau masih mau hubungan kita tetap baik sebagai sesama manusia setelah pisah nanti."
"Oke, De. Ada lagi?"
Dea tampak diam selama beberapa saat seolah berpikir. Ia juga menggunakan tatapnya untuk memindai Ben, mencari sesuatu yang harus ia hapus dari suaminya. Namun, sekarang belum ada hal buruk dari Ben kecuali sikap cerewetnya.
"Nggak ada," jawab Dea. "Kunci kamar?"
Senyum Ben semakin melebar, hingga matanya membentuk bulan sabit.
"Nggak ada aturan yang larang saya buat kayak gini sama Dea, kan?" Ben bertanya. Ia tidak membiarkan istirnya kebingungan lebih sedetik, langsung memajukan wajah hingga Dea segera mundur secara otomatis. "Malam pertama kita, Mbak," bisik Ben.
Semakin Dea melotot, intensitas senyum Ben juga perlahan menurun hingga menyisakan smirk yang tampak berbahaya bagi anak gadis. Dea berusaha untuk terus menjauhkan kepalanya, tetapi sulit bergeser karena ia duduk tidak jauh dari pinggir tempat tidur.
"Kita udah makan malam, dan keluarga jelas nggak bakalan ganggu malam pertama kita, jadi ... mulai sekarang aja kali ya, De?"
Ben mengulurkan tangannya dengan sangat perlahan ke arah wajah Dea. Matanya silih berganti bertemu tatap dengan sang istri, atau melirik bibir Dea yang tampak berwarna pink segar. Ia baru saja menyentuh kulit lembut Dea, ketika gadis itu berbaring menyamping, hingga kepalanya mengenai bantal. Tidak menunggu Ben mengajukan protes, Dea langsung menarik selimut hingga menutupi separuh wajahnya.
"Tidur! Besok saya sibuk."
Ben tersenyum geli. Ia menuruti permintaan Dea: berbaring dalam posisi telentang. Ben sempat menoleh sesaat untuk melihat Dea sudah memejam.
"Sebenarnya, saya tuh terbiasa pendiam kok, De. Bisa nilai sendiri di tempat kerja. Cuman, saya rada bosan hidup sepi gini, yang kayaknya berbanding terbalik sama kehidupannya Dea. Saya pikir, yang santai kayak tadi bisa bikin Dea nyaman. Maaf, kalau bikin kesel, ya?"
Dea tidak membalas ucapan Ben, meski ia masih belum terlelap sama sekali.
"Lain kali, bicara terus terang aja kayak gini kalau Dea nggak nyaman. Saya bisa ubah sikap sesuai keadaan kok. Jangan keluar rumah, nanti Pak Kahar kecewa, rumah untuk putrinya malah nggak ditinggali sama Dea."
Sama sekali tidak tersentuh dengan cara bicara Ben yang sangat lembut, Dea malah menyinyir tanpa suara. Hanya bibirnya yang tertutupi selimut, bergerak dengan cepat. Merutuk suaminya yang sok dramatis.
Pergerakan bibir Dea terhenti mendadak ketika sebuah beban berat terasa di pinggangnya, lalu punggung ikut terdorong ke depan hingga menabrak dada Ben yang tertutupi kaus. Gadis itu sontak melotot, dan siap melakukan protes. Namun, dengan cepat dibungkam Ben yang memejam malas.
"Nggak ada larangan buat meluk, kan, De?"
Dea mendesis lirih, tapi tidak berdaya. Ia sendiri memang tidak memasukkan larangan bersentuhan di dalam kontrak, karena merasa bocah di depannya ini mustahil bertindak lebih jika Dea sudah memelototinya.
Namun faktanya ....
"Anak zaman sekarang memang nggak ada sopan-sopannya ke yang lebih tua!" ucap Dea.
Ben terkekeh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Badar Iah
malu malu kucing mbak dea
2023-04-16
0
💖Yanti Amira 💖
cie malu tapi mau🤭
2023-02-20
0