NovelToon NovelToon

Menikahi Bos Perawan Tua

1. Mbak Bos

Meski pengunjung restoran sama padatnya dengan malam-malam kemarin, ruangan VVIP ini sama sekali tidak terpengaruh dengan suara-suara di luar yang memang tidak terlalu berisik. Namun, pelayan laki-laki itu malah berubah tuli mendadak, sehingga menuntut ucapan ulang dari pria senja yang dikenal sebagai ayah dari wanita pemilik restoran ini. 

"M—maaf. Apa, Pak?" tanya Ben. Raut wajahnya sama sekali tidak bisa berbohong, pria itu terkejut bercampur panik.

"Kamu mau menikahi putri saya?" Kahar—pria berkacamata persegi panjang itu, mengulang pertanyaannya. 

Jika pertanyaan pertama dengan kalimat sama, hanya mendapat respons berupa perhatian lima manusia di dalam ruangan ini menoleh pada Kahar, maka sekarang, 'putri' yang pria itu maksud langsung berdiri. Meski memiliki jarak satu meter dari si wanita, efek kejutnya tetap kuat pada Ben, hingga pemuda itu langsung mundur selangkah karena takut. Tidak lupa menjadikan nampan kosong sebagai pelindung dari amukan kuat sang Mbak bos. 

"Papa apa-apaan, sih? Papa bicara kayak nawarin barang ke orang sembarangan!" Wanita itu mengeluh, lalu melarikan lirik tajamnya pada Ben, membuat si pemuda langsung ciut hendak melarikan diri. "Aku nggak mau! Nggak mau! Aku bisa pilih suami sendiri!"

"Bentala jangan ke mana-mana." Kahar menahan, "Duduk di sini." Ia menunjuk melalui lirik matanya sebuah kursi yang berseberangan langsung sang putri. 

"Dengerin Papa dulu, De. Duduk sini, duduk." Kahar menenangkan putrinya itu. Ia turut melirik istrinya yang ada di sampingnya, serta kedua putra yang ada di hadapannya. "Papa nggak asal nawarin sembarangan gitu." Kahar melirik Ben lebih dulu, memastikan bahwa pria berseragam itu sudah duduk sempurna. "Papa sudah cari tahu tentang Ben sejak dua bulan lalu. Semua hal tentang dia, sudah Papa tahu. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Dia mungkin cuman mines di ekonomi—yang bisa kamu isi, sama kuliahnya ketunda. Urusan kepribadian, dia sangat dewasa walau usianya baru 22 tahun. Dia anak tunggal, orang tua meninggal—nggak ada tanggungan. Dia sudah putus dari pacar pertamanya enam tahun lalu, jadi Dea nggak perlu merasa tersaingi. Dia punya banyak penggemar, tapi yang Papa tahu, Ben ini hampir nggak pernah deketin cewek—kecuali ngantar pesanan ke meja pelanggan."

"Pa—"

"Apa? Atau kamu suka yang duda?" balas Kahar, saat Dea memanggil. 

"Aku tiga satu." Dea mengutarakan umurnya dengan nada malas. 

"Jadi?" Kahar tampak tenang menanggapi. "Prinsip Ben ini, dia nggak pandang umur kalau punya pasangan."

"Papa mana tau! Papa aja bilang dia nggak pernah deketin cewek! Pacaran terakhir kali enam tahun lalu. Yakin, dia bocah gagal move on! Ntar aku dibanding-bandingin lagi!"

"Nggak bakal." Kali ini, tidak seyakin sebelumnya. Kahar beralih pada Ben yang memandang bingung perdebatan di antara mereka berdua. "Kamu bertanggung jawab, pasti mau jaga hati anak saya, 'kan?"

"B—bentar, Pak. Saya belum paham, ini bahasannya apa?" Ben bertanya bingung. Langsung mendapat gelak tawa dari adik laki-laki Dea. "Saya ... 'nikah' ... sama putri Bapak?"

Kahar mengangguk. 

"Menikah, Pak?" Ben mengulang, tidak percaya. "Me-ni-kah?"

"Iya, menikah, Ben. Kawin. Kamu kawinin anak saya. Mau?"

Pemuda itu semakin terkejut, terbukti dari lebar matanya yang bertambah. Ia butuh beberapa detik untuk mencerna, lalu menormalkan ekspresi wajahnya, baru bisa membalas, "Pak ... Anda kenapa bisa tawarin saya buat nikahin anak Anda? Saya nggak pantas, Pak. Saya ...."

"Saya nggak bisa pilih orang yang lebih atau kurang dari Ben." Kahar sekali lagi menjelaskan. Melirik seluruh anggota keluarganya secara bergantian, lalu berhenti pada sang putri. "Bisa saja Papa pilihkan kamu laki-laki di atas usia kamu, yang lebih kaya, lebih hebat dalam urusan pekerjaan—tapi Papa takut. Laki-laki seperti itu, bisa pandang rendah ke Dea yang baru menikah di usia 31 tahun. Papa nggak mau putri Papa digituin."

"Kan ada, Pa, laki-laki di atas usia aku yang biasa aja. Miskin juga nggak papa. Asal—" Dea melirik sinis pada Ben, "jangan di bawah umur aku. Aku nggak suka anak kecil."

"Di atas usia kamu? 32 tahun? Biasa aja? Mungkin ada yang bertanggung jawab, tapi fakta di lapangan, kalau usia 32 hidupnya belum sejahtera, berarti ada masalah di pengaturan uang, atau tanggungannya. Papa nggak mau kamu nikah cuman nambah beban. Papa mau, kamu nikah cuman buat nikmati hasil jerih payah kamu selama ini." 

"Kenapa Ben?" Kakak Dea—Dion—menyela. Pria itu tampak dingin, seperti mendukung sikap yang Dea tunjukkan. "Anak-anak malah bisa bikin Dea terbebani. Belum lagi sifat petualang yang biasanya ada di laki-laki dalam masa pertumbuhan menuju kedewasaan. Dea malah jadi kayak ibunya nanti. Masih mending kalau patuh. Kalau keras kepala? Makan hati tiap hari si Dea, Pa."

"Mas nggak usah ikut campur!" Dika membalas sang kakak. Si bungsu ini, sedari tadi menunjukkan raut mendukung pada sang papa. "Aku yang sudah cari tahu segalanya tentang si Ben ini. Dia pekerja keras, bertanggung jawab, nggak punya utang pay later, nggak ada utang pinjol ilegal—berarti dia nggak suka foya-foya. Dia nggak punya cewek, hidup mandiri. Dia bertanggung jawab, yang Mbak Dea harusnya bisa lihat sendiri value kerjanya."

Dea membuka mulut hendak membantah, tetapi ia hanya berakhir dengan pelototan pada sang adik, sementara telunjuknya mengarah lurus pada Dika. Seolah memperingatkan, 'Awas kamu! Nggak bakalan kukasih jajan lagi kamu!'

"Maaf, Pak." Ben sadar diri, jadi ia memundurkan kursi yang ia duduki menggunakan kaki, lalu berdiri. "Saya nggak pantas buat anak Anda. Semoga nanti ketemu jodoh yang sesuai dengan kriteria Mbak Dea."

"Kamu nyindir anak saya, Ben? Terlalu pemilih, sampai nggak laku-laku?"

"Enggak, Pak." Pemuda itu tanpa sadar menaikkan sedikit intonasi suaranya akibat panik. "Maksud saya," suaranya sedikit turun kali ini, kembali ke nada normal, "pasti ada laki-laki yang sesuai dengan apa yang Mbak Dea mau. Yang jelas, itu bukan saya."

Tidak ada lagi balasan, jadi pemuda itu berpikir bahwa ini sudah selesai.

"Permisi, Pak." 

...*...

Berpikir bahwa semuanya selesai saat itu, adalah kesalahan besar untuk Ben. Hidup pemuda itu pada kenyataannya tidak semulus dulu. Setiap hari, saat keluarga Dea datang, Ben akan diberikan sapaan 'khusus' yang masing-masing berbeda dari tiap anggota lain. 

Jika Kahar, istrinya, dan Dika begitu hangat, saat menghampiri Ben untuk memesan makanan, maka saat kedatangan Dion atau Dea, suasana langsung berubah suram. 

Tambah risi lagi adalah, saat Kahar sesekali menghampiri Ben di kala pemuda itu sendiri. Ia menawarkan putrinya berulang kali dengan berbagai jenis kalimat perayu.

"Anak saya itu, masih gadis loh. Jadi, nggak ada bedanya sama cewek-cewek yang masih muda. Cantik—masih lah, ya? Nggak kelihatan umur 30-an. Rada cerewet, tapi itu karena dia teliti sama semua keputusan yang harus dia pilih."

"Dea cerdas, loh, Ben. Dia bisa belajar banyak hal dengan gampang. Dia bisa masak, dia bisa lakuin apa pun yang kamu mau."

"Dia gampang saya bujuk. Cuman kamu ini, saya harap banget, kamu mau mau nerima Dea. Kamu ini pantes banget kok, sama Dea. Masalah umur mah, cuman orang-orang yang permasalahkan. Padahal, nikah beda usia itu sudah lumrah. Dari zaman dahulu kala. Cuman baru sekarang aja, rada kayak aib, apa lagi kalau cewek."

Itulah sederet kalimat yang Kahar katakan padanya. Hingga entah hari ke berapa, Ben merasa muak. Bukan pada Kahar, tapi lebih ke bagaimana lelaki dewasa itu menunjukkan kelebihan putrinya seperti mempromosikan sebuah barang. 

"Pak." Ben sampai harus menghentikan kegiatan mengelapnya demi menanggapi Kahar. Jika sebelumnya pemuda itu hanya bisa tersenyum canggung, lalu memberikan anggukan hormat—sekarang tidak lagi. Meski akan memprotes, nada bicaranya tetap dijaga rendah, karena bagaimanapun, lawan bicara Ben ini lebih tua darinya. "Putri Anda bukan barang, Pak. Tolong, jangan tawarkan Mbak Dea seperti itu. Coba ... Pak Kahar tanya laki-laki idaman Mbak Dea. Nanti Pak Kahar bisa mencarikan yang lebih daripada saya. Bahkan, kalau misal buka sayembara sejenis 'Take Me Out', yakin saya kalau bakalan banyak laki-laki yang mengantri buat putri Anda, Pak."

"Tapi, kamu memang idaman Dea sebenarnya, Ben. Semua kriteria yang Dea mau, ada dalam diri kamu. Cuman masalah umur, Dea jadi gengsi buat akui. Kamu nggak tau, kalau sebelum pernyataan saya tempo hari, dia itu sering ... muji cara kerja kamu ke keluarga lain. Dia kagum banget sama kamu. Cuman, gara-gara kemarin itu, dia jadi rada lebih dingin."

"Nah, pasti ada yang sama karakternya kayak saya di luaran sana, dan usianya lebih tua dari Mbak Dea, Pak. Saya bukannya nggak tertarik sama anak Anda, tapi ... saya beneran kayak debu di sepatunya Mbak Dea, Pak. Nggak pantas, dan kapan-kapan bisa aja diempaskan Mbak Dea." Ben terkekeh pelan di akhir kalimat, antara ingin mencairkan suasana, juga ingin merendahkan diri agar Kahar tidak tersinggung dengan penolakannya. "Pak Kahar tolong, jangan tawarin Mbak Dea kayak gitu. Perawan lah, patuh sama saya lah, atau apa pun itu. Saya nggak nyaman, maaf, Pak. Anak Pak Kahar ini terlalu berharga buat ditawarin ke orang kayak saya, Pak."

"Oke. Saya permisi kalau gitu." Kahar melunak, tetapi senyumnya menunjukkan optimisme—belum ingin kalah. Ia menepuk bahu Ben sekali, kemudian meninggalkan restoran. 

...*...

Kahar memang tidak datang lagi esoknya, tetapi yang muncul adalah Dea langsung. Menghampiri Ben, dengan aura dingin kentara. 

"Kamu ikut saya ke ruangan!" pinta Dea, dengan nada datar tanpa minat. 

Ini gawat. Ben langsung mengekori di pemilik restoran dengan perasaan was-was. Pikirannya mulai membahas mengenai pekerjaan apa yang bisa Ben coba setelah keluar dari tempat ini. Yakin, bahwa Dea tidak akan membiarkan pemuda itu lebih lama di sini, karena—mungkin—sudah mengganggu ketenangan hidupnya. 

Dea duduk di atas kursi putarnya, sementara Ben menutup pintu hati-hati. Ia berdiri sebentar di samping kursi, sampai dipersilakan untuk duduk. 

"Jadi ...." Dea langsung membuka obrolan dengan nada masih sama datarnya. Tanpa minat menatap Ben. "Kamu mau menerima tawaran Papa saya atau tidak?"

Ben membulatkan mata, lalu menggeleng pelan setelah berhasil mengendalikan keterkejutannya. "Nggak, Mbak. Saya nggak pantas—"

"Atau karena saya yang nggak pantas buat kamu?" potong Dea semena-mena saat ia melipat kedua tangan depan dada. Perempuan itu menempelkan punggung pada sandaran kursi, seolah ingin mengintimidasi pemuda di depannya. 

"Nggak, Mbak. Sama sekali nggak. Masalah umur mah, nggak masalah. Mbak malah masih kelihatan muda banget—nggak sesuai umur. Kalau orang nggak deket sama Mbak, Mbak pasti dikira masih dua puluhan. Mbak pekerja keras, bahkan kalau kata Pak Kahar, uang pensiun Mbak sudah cukup buat nampung hidup Mbak walau nggak kerja. Mbak berpendidikan, kaya, cerdas. Sementara saya? Cuman debu di sepatu Mbak Dea. Nggak pantas sama sekali."

"Jangan bahas 'debu'. Ucapan kamu itu yang bikin Papa saya makin ngotot buat jodohin saya sama kamu." 

"Eh?" Padahal, Ben ingin menunjukkan betapa rendah dirinya. Mengapa malah jadi seperti itu? "Maaf, Mbak."

Dea mengibaskan tangan, seolah tidak ingin membahas ini lagi. "Saya sebenarnya nggak butuh laki-laki. Saya bisa mengatasi semua hal sendiri. Uang, kebahagiaan. Masalah anak, bisa adopsi. Kalau urusan cinta ... bisa saya dapat dari keluarga saya. Hampir nggak ada gunanya seorang laki-laki asing dalam hidup saya. Cuman ... saya mau bungkam mulut Papa saya, dan orang-orang Dajjal yang selalu menghina saya sebagai perawan tua. Jadi ...."

Dea mengeluarkan sebuah map dari tas laptopnya. "Saya buat perjanjian pra-nikah." Ia meletakkannya di atas meja, lalu melirik fokus pada Ben. "Saya susah percaya sama orang lain. Jadi, di situ saya sudah tulis secara jelas, kalau kamu melanggar aturan, beberapa di antaranya; selingkuh, melakukan KDRT, menghina saya, atau melaporkan perjanjian ini ke keluarga saya—saya akan langsung menggugat cerai kamu dengan semua kekayaan kamu yang nggak seberapa itu, bakalan jatuh ke tangan saya."

"Nggak, Mbak." Ben mendorong kertas itu pada Dea dengan tatap lurus mengarah pada wanita di hadapannya. "Saya ... beneran nggak pantas nikah sama Mbak Dea. Jangankan berguna, Mbak, saya kayaknya cuman jadi bebannya Mbak Dea aja." Pemuda itu melirik kertas tanpa minat, membaca sekilas isinya. Sedikit berkerut saat ia menemukan sebuah paragraf. Ia menahan Dea yang hendak menarik lagi kertas itu. 

Dea mendengkus geli—meremehkan. Sudah tahu jelas, bahwa pemuda itu akan luluh dengan tawaran yang ia berikan. Sangat yakin, bahwa Ben pasti tengah membaca nominal rupiah yang Dea janjikan. "Kamu bakalan saya kasih uang perbulan sebesar—"

"Pernikahannya cuman setahun, Mbak?"

Dea langsung mengerutkan kening. Ia merasa aneh dengan pemuda ini. "Kenapa? Mau diperlama biar dapat banyak uang jajan?"

"Saya nggak perlu uang jajan, Mbak. Saya bisa kerja sendiri." Ben mengalihkan fokusnya dari kertas ke Dea lagi. "Satu tahun, ya, Mbak? Mbak emang nggak papa, jadi janda gitu?"

"Mending status janda daripada perawan tua, Ben." Dea menghela napas gusar. "Setelah jadi janda, dan Papa lihat kamu kayak mainin pernikahan, beliau seharusnya kapok buat maksa saya nikah lagi."

"Saya yang harus kelihatan mainin pernikahan ya, Mbak?" Ben tertegun karena kalimat itu, tetapi tidak lama. Ia tersenyum setelah itu. "Oke, Mbak." Ia mengambil pulpen dengan mudah, "Tanda tangan di sini, 'kan, Mbak?" 

Tanpa menunggu jawaban, sebuah coretan di kertas kontrak sudah tersedia. "Nanti saya yang datang buat lamar Mbak Dea."

Dea mengambil kertas itu dengan alis mengerut dalam. Matanya terpaku pada tanda tangan yang dibubuhkan pada kertas di atas nama Adam Bentala. 

Kenapa ... sangat mudah? Setelah pemuda itu tahu durasi pernikahan mereka hanya satu tahun?

Bahkan, bersedia jika namanya tercemari karena dia yang akan dianggap mempermainkan perempuan dan pernikahan di sini.

2. Beda Jiwa

Lamaran dan pertunangan Ben dan Dea berlangsung dengan aman. Dua bulan berikutnya, acara pernikahan sudah dilaksanakan dengan kemewahan atas permintaan keluarga Kahar, dan mereka yang memaksa Ben untuk membayar semua biaya resepsi, karena Ben yang mengurus akad nikah.

Meski pernikahan ini sepatutnya dianggap tidak serius, bahkan setara permainan, Dea masih mendapati bahwa tangan pria di sampingnya ini gemetar ketika menggenggam tangan Kahar. Beberapa kali, helaan napas panjang terdengar jelas, meski Ben menjauhkan mikrofon dari bibirnya.

Dea menunduk, mendengkus geli. Jelas, anak itu akan merasa gugup karena menjadi pusat perhatian, bukan karena pernikahan. Ia sendiri tampak tenang, meski tidak terlalu menunjukkan kebahagiaan. Wajahnya masih Radea Dasha biasa. Seolah tidak terlalu peduli dengan acara penting ini, dan memang begitulah yang dirasakan oleh Dea.

Meski demikian, gadis itu tetap saja tanpa sadar menahan napas ketika suara sang papa sudah terdengar.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Adam Bentala bin Zain Ahmad dengan puteri saya, Radea Dasha binti Kaharuddin, dengan maskawin seperangkat alat sholat serta emas dua puluh delapan gram, dan uang tunai dua belas juta rupiah, dibayar tunai!"

Dea langsung menoleh pada Ben yang tampak terkejut dan sempat memejam setelah jabatan tangan mereka dientak oleh Kahar.

"Saya terima nikah dan kawinnya Radea Dasha binti Kaharuddin dengan maskawin tersebut, dibayar tunai!"

"Sah?" Penghulu bertanya.

Seruan "sah" dari para saksi terdengar lirih dari keluarga Dea, tetapi sedikit ricuh dari pihak pegawai restoran.

Pembacaan doa berlangsung khidmat, tetapi karena Dea tidak terlalu menikmatinya, ia sesekali melirik pada Ben yang tampak memejam erat dengan napasnya terembus panjang beberapa kali. Dea sampai harus melipat bibirnya ke dalam, untuk mencegah senyum mengejek, karena mendapati tangan suaminya itu masih gemetar.

"Dasar bocah," gumam Dea lirih, saat doa diaminkan dan ia mengusap wajah.

Semua hal bisa dilalui Dea dengan tenang, kecuali ketika ia diminta untuk menyalimi sang suami. Terlalu awkward, sebab Ben jauh di bawah umurnya. Tambahan godaan dari para pegawai laknatnya yang sangat suka menggoda Dea di saat si bos tidak bisa berkutik, membuat gadis berkebaya itu semakin gugup.

Dea pada akhirnya hanya bisa menghela napas, kemudian mengulurkan tangan pada Ben. Lelaki yang duduk di sampingnya itu tampak mengusap telapak tangan lebih dulu, kemudian memberikannya pada Dea. Kulit Ben terasa sangat dingin ketika tangan mereka bertemu. Dea tersenyum, perlahan menundukkan kepala, dan menyentuhkan keningnya pada punggung tangan Ben.

Detak jantung Dea bekerja lebih keras dari biasanya. Ia bahkan sampai harus meremas roknya untuk menahan gejolak yang tiba-tiba ia rasakan agar bisa tetap santai selama pemotretan berlangsung. Setelah dapat aba-aba, Dea mulai mengangkat lagi kepalanya, dan memberikan senyum segaris melengkung pada Ben yang juga membalasnya sama.

Meski ini tanpa rasa, tidak sepatutnya mereka membuat foto pernikahan mereka buruk. Jadi, tanpa perjanjian atau saling berdiskusi, keduanya sepakat untuk menampilkan ekspresi bahagia.

Khusus hari ini.

*

Di kamarnya, Dea masuk lebih dulu setelah makan malam dibandingkan Ben. Wajahnya seketika kusut, setelah pegal tersenyum sepanjang hari. Ia duduk di sebuah sofa tanpa sandaran untuk melepas sepatunya.

"Mantannya cakep, Mbak. Kok putus?" tanya Ben, setelah dia menyusul masuk. Lelaki itu memilih duduk di samping sang istri, untuk ikut melepaskan sepatunya.

Dea melirik malas pada Ben. "Pacar kamu juga cantik, kenapa dia putusin kamu?"

Ini malam yang indah seharusnya bagi mereka berdua, tetapi obrolan pertama mereka tentang mantan masing-masing yang kebetulan datang hari ini.

Elvan Dexter, mantan kekasih Dea, memiliki hubungan bisnis dengan Kahar, sehingga mustahil untuk tidak diundang. Hal itu juga yang menyebabkan Dea dan Elvan dekat, karena kecintaan mereka di dunia bisnis. Sayangnya, mereka harus berpisah karena Elvan dipaksa menikah untuk memiliki anak, sementara Dea masih fokus bisnis.

Sementara mantan pacar Ben: Bestari, diundang oleh salah satu staf restoran sebagai pasangan. Meski ketika dikonfirmasi mereka tidak memiliki hubungan, Ben sudah tahu betul bahwa rekan kerjanya ingin menggoda Ben.

Beruntung, Ben dan Bestari putus secara baik-baik, sehingga tidak ada masalah. Hanya Dea dan mantan kekasihnya yang tampak saling perang dingin.

"Kita putus karena beda tujuan, Mbak. Dia mau pindah sekolah di luar kota, dan nggak sanggup LDR, sementara saya juga nggak bisa nyusul karena kerja di sini. Jadilah, kita putuskan buat pisah secara baik-baik," jawab Dea.

"Pisah secara baik-baik, cuih." Dea mencibir. Ia bangkit dari posisi duduk, menuju kamar mandi. Namun, baru saja pintu ditutup rapat, gadis itu tiba-tiba mengeluarkan kepalanya melalui celah pintu. "Berhenti panggil saya 'mbak'!"

"Oke, Sayang."

"Jangan itu!" Dea menggeram dengan mata melotot. Ia tidak bisa memekik, karena rumahnya masih ramai karena kedatangan keluarga jauh untuk tinggal semalam.

"Terus apa, Mbak?"

"Nama. Panggil saya pake nama aja."

Ben tersenyum. "Oke, De." Lalu, ia tampak kebingungan sesaat. "Oke, De. Dek, adek."

Dea merotasi bola matanya malas.

"Pak Kahar pinter pilihin nama, Mbak. Mau tua sekalipun, Mbak tetep bakalan dipanggil 'De'. Sayangnya, nama saya nggak ada kata 'mas'-nya, biar kita serasi gitu." Ben sudah susah payah mencairkan suasana, bahkan tersenyum di akhir kalimat, tetapi yang ia dapatkan adalah ekspresi malas dari sang istri.

Bahkan, Dea mendecih sebelum menutup pintu.

"Wah, wah." Ben langsung berdiri, berjalan ke arah pintu kamar mandi. "Saya lagi usaha buat cairin suasana, dan ... Dea malah gitu? Saya tunggu di sini sampai Dea keluar. Biar saya kasih hukuman."

Ben tersenyum geli mendengar kalimatnya sendiri. Ia belum terbiasa menyebut secara langsung nama bosnya, sehingga ini akan menjadi hal yang sulit baginya.

Ben bersedekap, dengan jemari kanannya mengetuk secara teratur di atas lengan kirinya. Ia menunggu hingga merasa pegal. Lalu terpikirkan sesuatu, bahwa Dea di usia 31 tahun masih terlihat seperti gadis 20-an, jelas bukan tanpa alasan. Dea jelas rajin perawatan, dan mandi salah satunya.

Jadi, menunggu Dea mandi sama saja ingin membuat Ben pingsan karena kelelahan menunggu. Lelaki itu memilih untuk duduk, dan membaringkan tubuhnya pada ranjang dengan kedua kaki masih menempel di lantai.

Ben terpejam beberapa menit, bahkan hampir kehilangan kesadaran ketika ia mencium aroma semerbak yang didahului oleh bunyi pintu kamar mandi yang terbuka. Ia langsung duduk, dan tersenyum memandangi Dea sampai istrinya itu merasa tidak nyaman, kemudian masuk ke ruang ganti.

Setelah ruang ganti itu ditutup, Ben bergerak cepat ke arah pintu. Ia memainkan kunci selama beberapa menit, sampai Dea keluar dalam kondisi rapi. Lelaki itu menunjukkan senyum menyeringai, dan dengan sengaja mengunci pintu cukup keras. Sehingga suaranya bisa membuat sang istri melebarkan mata.

"De," panggil Ben sembari memamerkan kunci di tangannya.

"Ben, saya masih harus keluar!" Dea membalas dengan wajah malas.

Namun, suaminya itu malah semakin melebarkan senyum ejekan. Ben bergegas masuk ke kamar mandi. Pintu hampir ditutup sempurna, tetapi Ben malah menyelinapkan kepalanya keluar dengan tangannya yang memamerkan kunci.

"Ayo masuk sini, De, kalau mau ambil kuncinya."

Dea semakin memperjelas ekspresi malasnya. Ia mengangkat kepalan tangan hingga sejajar dengan wajah, dan bibirnya menipis karena marah.

"Mau tinju?"

"Ah, takut ...." Ben lalu menutup kamar mandi.

Dea merenggangkan semua jarinya, lalu memijit pelipis. Ini baru malam pertama, dan ia mulai mengumpulkan sakit di kepalanya karena sikap kekanak-kanakan suaminya. Gadis itu berjalan ke pinggir tempat tidur untuk duduk. Ponsel dari laci nakas turut dikeluarkan.

Awalnya ingin membuka aplikasi perpesanan, karena di sana ada banyak pesan selamat yang masuk. Namun, Dea malah membuka aplikasi tersembunyi yang membutuhkan pin untuk bisa diakses. Di sana, beberapa fotonya bersama Elvan masih tersimpan.

Ada alasan mengapa Dea sangat sulit menemukan pengganti Elvan. Hanya lelaki itu yang bisa mengerti apa yang Dea perlukan dan yang tidak. Di saat tertentu, Dea butuh sandaran, Elvan langsung datang. Di beberapa kesempatan, Dea merasa muak dengan semua orang, sehingga butuh ketenangan. Elvan tidak pernah bertanya kondisi Dea, tetapi saat butuh ketenangan itu, Elvan juga tidak banyak menghubunginya hingga Dea merasa sangat nyaman terhadapnya.

Sementara Ben? Dea menatap malas ke arah pintu kamar mandi.

Sikap pengganggu Ben sama sekali tidak dibutuhkan oleh perempuan dewasa seperti Dea. Meski niatan suaminya itu baik, agar mereka cepat akrab sebagai suami-istri, Dea tetap tidak suka dicecar banyak hal ketika lelah. Sementara Ben, hampir tidak memiliki rem di mulutnya.

Dea menutup aplikasi di ponselnya, dan memilih pelarian pada perpesanan. Dari puluhan ucapan selamat, hanya kurang dari sepuluh yang dibalas karena datang dari keluarga yang tidak sempat hadir. Sisanya hanya rekan kerja, yang sifatnya malah menggoda Dea karena akan membuka 'segel karatannya'.

Ponsel menjadi tempat pelampiasan. Dea melemparnya ke nakas, lalu berjalan ke arah pintu. Sempat terluka bahwa kuncinya diambil Ben. Dea memijit pangkal hidungnya.

Malam ini saja, ia belum tentu bisa bertahan dari sifat Ben. Apa lagi sampai setahun ke depan. Jadi, untuk meminimalisir depresi yang mungkin Dea rasakan, gadis itu harus memutuskan sesuatu.

Ben keluar dari kamar mandi, memancing perhatian Dea mengarah padanya. Masih dengan ekspresi seperti kemarin.

"Ben," panggil Dea, tetapi terjeda sejenak. "Nanti deh. Kamu pakai baju dulu. Saya mau bicara penting sama kamu."

Cara bicara Dea masih terdengar bossy, dan Ben tampak tidak terpengaruh dengan hal itu. Senyumnya masih bertahan, sampai lelaki itu memasuki ruang ganti yang memang sudah disediakan beberapa pakaian di sana.

Dea duduk di sofa tanpa sandaran, selama menunggu Ben berganti pakaian. Ekspresinya tampak dingin, dan semakin didukung dari gesturnya yang melipat tangan depan dada.

Setelah Ben keluar dari ruang ganti, ia sempat melirik Dea, tetapi tidak mendekat pada istrinya itu. Ben duduk tempat tidur dalam posisi bersila menghadap lurus pada sang istri.

"Saya mau bicara, Ben."

"Ya udah. Sini, Mbak." Ben memanggil, sembari menepuk tempat tidur yang kosong di sampingnya.

"Ben ...." Dea menggunakan jurus andalannya ketika di restoran: memanggil nama pegawai dengan panjang dan lemah, agar memberikan kesan marah yang dingin. Namun, kali ini tidak berlaku untuk suaminya.

"De, di sini, saya bukan bawahan kamu lagi, tapi suaminya Dea. Jadi, sesekali, dengerin kata suami ya, De? Ayo sini-sini. Duduk sini." Ben semakin terlihat menggelikan di mata Dea. "Atau mau saya gendong ala bridal-style?"

Dea sempat mendesis pelan, lalu berjalan ke arah Ben. Duduk di tempat yang suaminya maksud, tetapi tetap memberikan jarak dua jengkal.

"Saya nggak suka orang yang berisik, Ben," kata Dea langsung pada inti masalah. Ia tidak bisa menahan dirinya lagi. "Setelah malam ini, kita bakalan tinggal di rumah yang sudah Papa hadiahkan. Di sana, kalau kamu bikin saya nggak nyaman, saya nggak bakalan pulang ke rumah."

"Kirain bakalan usir saya, De." Ben menyengir, masih terlihat kekanakan.

"Selama pernikahan berlangsung, saya yang bakalan mengalah kalau nggak nyaman sama sesuatu. Jadi, tolong kerjasamanya, kalau masih mau hubungan kita tetap baik sebagai sesama manusia setelah pisah nanti."

"Oke, De. Ada lagi?"

Dea tampak diam selama beberapa saat seolah berpikir. Ia juga menggunakan tatapnya untuk memindai Ben, mencari sesuatu yang harus ia hapus dari suaminya. Namun, sekarang belum ada hal buruk dari Ben kecuali sikap cerewetnya.

"Nggak ada," jawab Dea. "Kunci kamar?"

Senyum Ben semakin melebar, hingga matanya membentuk bulan sabit.

"Nggak ada aturan yang larang saya buat kayak gini sama Dea, kan?" Ben bertanya. Ia tidak membiarkan istirnya kebingungan lebih sedetik, langsung memajukan wajah hingga Dea segera mundur secara otomatis. "Malam pertama kita, Mbak," bisik Ben.

Semakin Dea melotot, intensitas senyum Ben juga perlahan menurun hingga menyisakan smirk yang tampak berbahaya bagi anak gadis. Dea berusaha untuk terus menjauhkan kepalanya, tetapi sulit bergeser karena ia duduk tidak jauh dari pinggir tempat tidur.

"Kita udah makan malam, dan keluarga jelas nggak bakalan ganggu malam pertama kita, jadi ... mulai sekarang aja kali ya, De?"

Ben mengulurkan tangannya dengan sangat perlahan ke arah wajah Dea. Matanya silih berganti bertemu tatap dengan sang istri, atau melirik bibir Dea yang tampak berwarna pink segar. Ia baru saja menyentuh kulit lembut Dea, ketika gadis itu berbaring menyamping, hingga kepalanya mengenai bantal. Tidak menunggu Ben mengajukan protes, Dea langsung menarik selimut hingga menutupi separuh wajahnya.

"Tidur! Besok saya sibuk."

Ben tersenyum geli. Ia menuruti permintaan Dea: berbaring dalam posisi telentang. Ben sempat menoleh sesaat untuk melihat Dea sudah memejam.

"Sebenarnya, saya tuh terbiasa pendiam kok, De. Bisa nilai sendiri di tempat kerja. Cuman, saya rada bosan hidup sepi gini, yang kayaknya berbanding terbalik sama kehidupannya Dea. Saya pikir, yang santai kayak tadi bisa bikin Dea nyaman. Maaf, kalau bikin kesel, ya?"

Dea tidak membalas ucapan Ben, meski ia masih belum terlelap sama sekali.

"Lain kali, bicara terus terang aja kayak gini kalau Dea nggak nyaman. Saya bisa ubah sikap sesuai keadaan kok. Jangan keluar rumah, nanti Pak Kahar kecewa, rumah untuk putrinya malah nggak ditinggali sama Dea."

Sama sekali tidak tersentuh dengan cara bicara Ben yang sangat lembut, Dea malah menyinyir tanpa suara. Hanya bibirnya yang tertutupi selimut, bergerak dengan cepat. Merutuk suaminya yang sok dramatis.

Pergerakan bibir Dea terhenti mendadak ketika sebuah beban berat terasa di pinggangnya, lalu punggung ikut terdorong ke depan hingga menabrak dada Ben yang tertutupi kaus. Gadis itu sontak melotot, dan siap melakukan protes. Namun, dengan cepat dibungkam Ben yang memejam malas.

"Nggak ada larangan buat meluk, kan, De?"

Dea mendesis lirih, tapi tidak berdaya. Ia sendiri memang tidak memasukkan larangan bersentuhan di dalam kontrak, karena merasa bocah di depannya ini mustahil bertindak lebih jika Dea sudah memelototinya.

Namun faktanya ....

"Anak zaman sekarang memang nggak ada sopan-sopannya ke yang lebih tua!" ucap Dea.

Ben terkekeh.

3. Keramasin Istri

Ben sedang merapikan tempat tidur ketika ia menemui Dea sudah keluar dari kamar mandi. Ia berkacak pinggang memperhatikan perempuan itu dengan bibir menipis seolah sedang sibuk berpikir tentang tampilan Dea pagi ini.

"Kenapa, liat-liat?" sentak Dea dengan pertanyaannya.

Ben menggeleng beberapa kali, disertai decakan takjub yang bercampur frustrasi. Ia lalu melangkah tenang pada Dea yang menatapnya penuh waspada.

"Masuk lagi ke dalam, De!" kata Ben, sembari mendorong-dorong tubuh Dea memasuki kamar mandi.

Dea tampak kebingungan, bahkan menatap tajam ke arah Ben. Ia mencoba bertahan dengan meletakkan tangannya ke dinding.

"Basahin rambut, De."

"Saya nggak biasa keramas pagi-pagi!" balas Dea tegas, berbanding terbalik dengan kelembutan dalam permintaan Ben sebelumnya.

"Oke, Dea maksa saya buat lakuin ini."

Ben hanya perlu sedikit membungkuk untuk meletakkan kedua tangan pada masing-masing di bawah punggung dan bawah lutut sang istri. Dalam kilatan waktu, tubuh Dea sudah kehilangan pijakannya, dan telah berada di antara kedua lengan Ben.

"Ayo, saya ajarin gimana para pengantin baru di pagi hari, De." Ben memberitahu, tanpa lupa memamerkan sebuah senyum lembut di bibirnya. "Jangan protes. Saya juga nggak bakalan ngomong gini, selain buat bikin Pak Kahar tenang sama pernikahan kita." Ben melanjutkan ucapannya ketika Dea sudah membuka mulut hendak memaki.

Ben menurunkan sang istri di bawah shower. Masih dalam balutan handuk putih yang tebal, Ben membiarkan istrinya itu terkena air shower. Ketika Dea ingin keluar dari pancuran air, Ben segera mencegah, dengan menahan bahunya.

"Di situ aja, De. Sebentar doang," kata Ben.

Dea menatapnya tajam, dengan gigi yang saling menekan kuat, tetapi tidak mengurangi pertahanan Ben, bahkan lelaki itu menikmatinya. Tambahan serangan yang dilancarkan Dea ke tubuh Ben, membuat lelaki itu terkekeh pelan.

"Serang aja terus, De," kata Ben dengan nada santai, tetapi langsung memancing amarah Dea. "Kamu mirip kucing sekarang, jadi saya udah biasa."

Dea langsung merapatkan bibirnya yang mengerucut kesal. Ia masih menatap tajam pada suaminya, tetapi tidak ada perlawanan apa pun sekarang. Sampai Ben puas, mematikan shower, kemudian menarik perempuan itu agar keluar dari sekitaran shower.

Ben mengambil bathrobe-nya yang sudah terlipat rapi, dipersiapkan beberapa pasang kemarin. Ia awalnya ingin memberikan perhatian lebih dengan menarik tali bathrobe Dea, tetapi tangannya dipukul kuat sehingga terlepas.

"Keluar sana!" usir Dea dengan kasar.

Ben segera mematuhinya. Ia keluar sambil tersenyum puas. Sebelum menutup pintu kamar mandi, Ben masih sempat menoleh sebentar pada sang istri.

"Nanti, pas keringin rambut, jangan sampai terlalu kering ya, De. Biar kamu dikira abis mandi junub," kata Ben memberitahu, tanpa lupa memberikan kedipan pada sang istri, yang dibalas tunjukan kepalan tangan dari Dea.

...*...

Meski kesal dengan semua perlakuan Ben dari kemarin malam, Dea tetap mematuhi suaminya kali ini. Keluar dari kamar dengan rambut terurai sepunggung, dalam kondisi setengah basah. Dea berjalan menuju dapur, untuk membantu ibunya menyiapkan sarapan—sesuatu yang jarang dilakukan sejak semakin sibuk bekerja. Mumpung cuti, jadi digunakan sebaik mungkin untuk family time.

"Mama lagi masak apa?" tanya Dea ketika tiba di dapur.

Diana—sang mama—menoleh pada putrinya sebentar, dan langsung tersenyum melihat tampilan Dea pagi ini. Senyum bahagia, haru, dan puas.

"Kemarin abis makan daging banyak, jadi Mama cuman mau masak nasi goreng aja hari ini, De," kata Diana. "Kamu seharusnya nggak usah turun. Tungguin Ben gitu. Mama udah biasa selesaiin ini sendiri, kok."

Dea tidak langsung mengutarakan ketidaksukaannya pada Ben, tetapi ekspresi malasnya tidak bisa berbohong. Dea memilih bersandar pada kabinet bawah, sembari melipat tangan depan dada, hanya memperhatikan Diana memasak nasi goreng dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya. Tidak ada suara dalam ruangan, hanya pertemuan alat masak yang mengisi.

Sampai tiba kedatangan seseorang yang menyebabkan riuh dalam dapur karena bersatu dengan ruang makan.

"Ecie ... yang abis wik—"

Pendaratan sempurna telah dilakukan oleh sandal rumahan Dea ke wajah sang adik. Memotong ucapan Dika begitu saja.

"Belum kapok kamu, jajannya Mbak potong? Mau dipotong lagi?!" ucap Dea tegas, dengan mata melotot.

"Astaga, tuh sifat sama suara, redam dikit kek. Congek si Ben tiap hari dengerin kamu, Mbak."

Dea menggeram rendah sembari menunjukkan kepalan tangannya. Ia bahkan melotot, hanya bisa menyembunyikan segala amarah dalam diri. Tidak mungkin baginya memberitahu keluarga bahwa Ben lah yang membuat telinga Dea selalu berdenging karena terlalu banyak bicara.

Ben masuk ke ruang makan tidak lama kemudian, hampir bersamaan dengan selesaikan masakan. Dea kebagian tugas menyajikan makanan, dan terpaksa harus melayani Ben juga. Ketika Dea memberikan piring untuk suaminya, Dika langsung berdeham kiat seolah tersedak tulang.

Dea segera menyelinap di antara kursi Ben dan Dika, lalu dengan sekali dorongan ke belakang, kepalanya bisa bertemu dengan kepala sang adik. Meski keduanya yang kesakitan, hanya Dika yang meringis sakit sebab dapat tambahan bonus berupa jatuh dari kursi. Dea mengibaskan rambut, merasa penuh kemenangan.

Ben terkekeh pelan, bahkan menunduk melihat bagaimana sikap kakak dan adik itu.

"Dika," panggil Diana. "Panggil Papa sama Mas-mu sana!"

Sembari mengusap keningnya, Dika langsung menuruti perintah sang mama. Dea juga baru saja ingin beranjak ke kursinya yang bersebelahan dengan Dion, tetapi Diana mencegah.

"Di kursinya Dika aja mulai sekarang, De," kata Diana. "Nanti Dika yang duduk di kursi kamu."

"Ma ...." Dea melayangkan protes, tetapi tangannya segera ditarik kuat oleh Ben untuk mengikuti perintah Diana tadi. Alhasil, pria itu—entah sudah berapa kali—mendapatkan pelototan lagi dari sang istri.

"Kamu tiga-satu beneran, De?" tanya Ben. Ia hampir mendapatkan geplakan dari sang istri, tetapi berhasil dicegah oleh Ben. "Kok kayak anak umur 3 setengah tahun?"

Dea semakin melotot.

"Imut, lucu, cantik ... istri aku."

Perempuan itu semakin melebarkan mata, jadi Ben segera mengarahkan telapak tangannya ke depan mata Dea, sampai kelopak istrinya tertutup.

"Nah, gitu, De," ucap Ben setelah menurunkan tangannya.

Ben sudah menutup obrolannya. Entah karena sudah datang anggota keluarga lain, atau sebab ingatan larangan dari sang istri semalam. Lelaki itu menjadi wakil Dea ketika mendapat pertanyaan mengenai sifat perempuan itu.

"Kok nanyain gitu doang, Pa?" Dion bertanya tidak suka. "Dea nyaman abis nikah sama Ben? Gimana sama sifatnya?" Dion memberikan pertanyaan pada sang adik, tetapi hanya dijawab gelengan pelan.

"Nggak papa, Mas," kata Dea dengan lemah.

"Tapi Dea murung—" Ucapan Dion terhenti ketika disenggol kecil oleh Kahar.

"Dia capek, kekurangan tidur semalam. Kamu jangan recoki lagi," kata Kahar.

Dea baru saja akan menggeleng, tetapi Kahar sudah menyodorkan sesuatu ke atas meja.

"Tiket, bulan madu kalian," ucap Kahar dengan senyum puas. "Bilang makasih sama Mas-mu, karena dia yang beliin."

Dea langsung melirik heran pada Dion yang tampak malas. Si sulung langsung makan tanpa memedulikan yang lain.

"Terima kasih, Pak," kata Ben. Ia menerima tiket, dan mengamankannya di atas pangkuan.

Dea melirik sinis pada suaminya, dan dibalas lembut oleh Ben.

"Nanti pasti," kata Ben, seolah ingin menantang sang istri, "Kami bawain oleh-oleh berupa calon cucu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!