Ben sedang merapikan tempat tidur ketika ia menemui Dea sudah keluar dari kamar mandi. Ia berkacak pinggang memperhatikan perempuan itu dengan bibir menipis seolah sedang sibuk berpikir tentang tampilan Dea pagi ini.
"Kenapa, liat-liat?" sentak Dea dengan pertanyaannya.
Ben menggeleng beberapa kali, disertai decakan takjub yang bercampur frustrasi. Ia lalu melangkah tenang pada Dea yang menatapnya penuh waspada.
"Masuk lagi ke dalam, De!" kata Ben, sembari mendorong-dorong tubuh Dea memasuki kamar mandi.
Dea tampak kebingungan, bahkan menatap tajam ke arah Ben. Ia mencoba bertahan dengan meletakkan tangannya ke dinding.
"Basahin rambut, De."
"Saya nggak biasa keramas pagi-pagi!" balas Dea tegas, berbanding terbalik dengan kelembutan dalam permintaan Ben sebelumnya.
"Oke, Dea maksa saya buat lakuin ini."
Ben hanya perlu sedikit membungkuk untuk meletakkan kedua tangan pada masing-masing di bawah punggung dan bawah lutut sang istri. Dalam kilatan waktu, tubuh Dea sudah kehilangan pijakannya, dan telah berada di antara kedua lengan Ben.
"Ayo, saya ajarin gimana para pengantin baru di pagi hari, De." Ben memberitahu, tanpa lupa memamerkan sebuah senyum lembut di bibirnya. "Jangan protes. Saya juga nggak bakalan ngomong gini, selain buat bikin Pak Kahar tenang sama pernikahan kita." Ben melanjutkan ucapannya ketika Dea sudah membuka mulut hendak memaki.
Ben menurunkan sang istri di bawah shower. Masih dalam balutan handuk putih yang tebal, Ben membiarkan istrinya itu terkena air shower. Ketika Dea ingin keluar dari pancuran air, Ben segera mencegah, dengan menahan bahunya.
"Di situ aja, De. Sebentar doang," kata Ben.
Dea menatapnya tajam, dengan gigi yang saling menekan kuat, tetapi tidak mengurangi pertahanan Ben, bahkan lelaki itu menikmatinya. Tambahan serangan yang dilancarkan Dea ke tubuh Ben, membuat lelaki itu terkekeh pelan.
"Serang aja terus, De," kata Ben dengan nada santai, tetapi langsung memancing amarah Dea. "Kamu mirip kucing sekarang, jadi saya udah biasa."
Dea langsung merapatkan bibirnya yang mengerucut kesal. Ia masih menatap tajam pada suaminya, tetapi tidak ada perlawanan apa pun sekarang. Sampai Ben puas, mematikan shower, kemudian menarik perempuan itu agar keluar dari sekitaran shower.
Ben mengambil bathrobe-nya yang sudah terlipat rapi, dipersiapkan beberapa pasang kemarin. Ia awalnya ingin memberikan perhatian lebih dengan menarik tali bathrobe Dea, tetapi tangannya dipukul kuat sehingga terlepas.
"Keluar sana!" usir Dea dengan kasar.
Ben segera mematuhinya. Ia keluar sambil tersenyum puas. Sebelum menutup pintu kamar mandi, Ben masih sempat menoleh sebentar pada sang istri.
"Nanti, pas keringin rambut, jangan sampai terlalu kering ya, De. Biar kamu dikira abis mandi junub," kata Ben memberitahu, tanpa lupa memberikan kedipan pada sang istri, yang dibalas tunjukan kepalan tangan dari Dea.
...*...
Meski kesal dengan semua perlakuan Ben dari kemarin malam, Dea tetap mematuhi suaminya kali ini. Keluar dari kamar dengan rambut terurai sepunggung, dalam kondisi setengah basah. Dea berjalan menuju dapur, untuk membantu ibunya menyiapkan sarapan—sesuatu yang jarang dilakukan sejak semakin sibuk bekerja. Mumpung cuti, jadi digunakan sebaik mungkin untuk family time.
"Mama lagi masak apa?" tanya Dea ketika tiba di dapur.
Diana—sang mama—menoleh pada putrinya sebentar, dan langsung tersenyum melihat tampilan Dea pagi ini. Senyum bahagia, haru, dan puas.
"Kemarin abis makan daging banyak, jadi Mama cuman mau masak nasi goreng aja hari ini, De," kata Diana. "Kamu seharusnya nggak usah turun. Tungguin Ben gitu. Mama udah biasa selesaiin ini sendiri, kok."
Dea tidak langsung mengutarakan ketidaksukaannya pada Ben, tetapi ekspresi malasnya tidak bisa berbohong. Dea memilih bersandar pada kabinet bawah, sembari melipat tangan depan dada, hanya memperhatikan Diana memasak nasi goreng dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya. Tidak ada suara dalam ruangan, hanya pertemuan alat masak yang mengisi.
Sampai tiba kedatangan seseorang yang menyebabkan riuh dalam dapur karena bersatu dengan ruang makan.
"Ecie ... yang abis wik—"
Pendaratan sempurna telah dilakukan oleh sandal rumahan Dea ke wajah sang adik. Memotong ucapan Dika begitu saja.
"Belum kapok kamu, jajannya Mbak potong? Mau dipotong lagi?!" ucap Dea tegas, dengan mata melotot.
"Astaga, tuh sifat sama suara, redam dikit kek. Congek si Ben tiap hari dengerin kamu, Mbak."
Dea menggeram rendah sembari menunjukkan kepalan tangannya. Ia bahkan melotot, hanya bisa menyembunyikan segala amarah dalam diri. Tidak mungkin baginya memberitahu keluarga bahwa Ben lah yang membuat telinga Dea selalu berdenging karena terlalu banyak bicara.
Ben masuk ke ruang makan tidak lama kemudian, hampir bersamaan dengan selesaikan masakan. Dea kebagian tugas menyajikan makanan, dan terpaksa harus melayani Ben juga. Ketika Dea memberikan piring untuk suaminya, Dika langsung berdeham kiat seolah tersedak tulang.
Dea segera menyelinap di antara kursi Ben dan Dika, lalu dengan sekali dorongan ke belakang, kepalanya bisa bertemu dengan kepala sang adik. Meski keduanya yang kesakitan, hanya Dika yang meringis sakit sebab dapat tambahan bonus berupa jatuh dari kursi. Dea mengibaskan rambut, merasa penuh kemenangan.
Ben terkekeh pelan, bahkan menunduk melihat bagaimana sikap kakak dan adik itu.
"Dika," panggil Diana. "Panggil Papa sama Mas-mu sana!"
Sembari mengusap keningnya, Dika langsung menuruti perintah sang mama. Dea juga baru saja ingin beranjak ke kursinya yang bersebelahan dengan Dion, tetapi Diana mencegah.
"Di kursinya Dika aja mulai sekarang, De," kata Diana. "Nanti Dika yang duduk di kursi kamu."
"Ma ...." Dea melayangkan protes, tetapi tangannya segera ditarik kuat oleh Ben untuk mengikuti perintah Diana tadi. Alhasil, pria itu—entah sudah berapa kali—mendapatkan pelototan lagi dari sang istri.
"Kamu tiga-satu beneran, De?" tanya Ben. Ia hampir mendapatkan geplakan dari sang istri, tetapi berhasil dicegah oleh Ben. "Kok kayak anak umur 3 setengah tahun?"
Dea semakin melotot.
"Imut, lucu, cantik ... istri aku."
Perempuan itu semakin melebarkan mata, jadi Ben segera mengarahkan telapak tangannya ke depan mata Dea, sampai kelopak istrinya tertutup.
"Nah, gitu, De," ucap Ben setelah menurunkan tangannya.
Ben sudah menutup obrolannya. Entah karena sudah datang anggota keluarga lain, atau sebab ingatan larangan dari sang istri semalam. Lelaki itu menjadi wakil Dea ketika mendapat pertanyaan mengenai sifat perempuan itu.
"Kok nanyain gitu doang, Pa?" Dion bertanya tidak suka. "Dea nyaman abis nikah sama Ben? Gimana sama sifatnya?" Dion memberikan pertanyaan pada sang adik, tetapi hanya dijawab gelengan pelan.
"Nggak papa, Mas," kata Dea dengan lemah.
"Tapi Dea murung—" Ucapan Dion terhenti ketika disenggol kecil oleh Kahar.
"Dia capek, kekurangan tidur semalam. Kamu jangan recoki lagi," kata Kahar.
Dea baru saja akan menggeleng, tetapi Kahar sudah menyodorkan sesuatu ke atas meja.
"Tiket, bulan madu kalian," ucap Kahar dengan senyum puas. "Bilang makasih sama Mas-mu, karena dia yang beliin."
Dea langsung melirik heran pada Dion yang tampak malas. Si sulung langsung makan tanpa memedulikan yang lain.
"Terima kasih, Pak," kata Ben. Ia menerima tiket, dan mengamankannya di atas pangkuan.
Dea melirik sinis pada suaminya, dan dibalas lembut oleh Ben.
"Nanti pasti," kata Ben, seolah ingin menantang sang istri, "Kami bawain oleh-oleh berupa calon cucu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
RATNA RACHMAN
jangan menyerah ya Ben..entar juga Dea bakaln bucin banget..ya.kan author 🤭😁😁
2023-03-30
0
Sita Kirana
ben gemoy banget ya pepet terus ben sampek dea klepek2
2023-03-08
0
💖Yanti Amira 💖
lanjut thorrr masih penasaran dengan cerita
2023-02-20
0