Tatapan Dea hampir tidak pernah menghilangkan sisi tajam dan sinis, sejak kalimat ‘oleh-oleh’ berupa cucu dilontarkan oleh Ben. Mendapati hal itu, sang suami sama sekali tidak terlalu mempermasalahkan. Ben bahkan sengaja menunjukkan senyum tipis, sembari membalas tatap istrinya sampai Dea mengalah dan berdecak kesal. Wanita itu langsung memalingkan wajah ke arah lain.
“Kamu kenapa bukan kayak Ben yang saya kenal dulu?” tanya Dea, menyinggung masalah perubahan sikap Ben saat ini.
“Kenal?” Ben mengulang satu kata itu dengan nada menyindir. “Dea cuman ‘tahu’ saya doang, nggak kenal sama sekali.”
Wanita itu segera balas melirik sinis pada Ben, dan dibalas dengan pandangan yang berbanding terbalik. Ben tampak sangat lembut, tidak sejalan dengan sikapnya yang amat sangat menjengkelkan.
“Jawaban kamu bikin saya takut, Ben,” balas Dea. “Jadi, dalam arti kata lain, sifat kamu yang dulu, itu bukan seratus persen diri kamu? Siapa yang bisa jamin kalau kamu itu beneran terbaik buat saya?”
“Nggak tau. Papanya Dea tuh yang pilihin. Saya sendiri nggak bisa jamin kalau saya bisa jadi yang terbaik buat Dea.” Ben menjawab datar, tetap sibuk pada kemudi.
Dea mendecih lirih. Tatapnya penuh hinaan, ketika ia memindai sosok Ben di sampingnya, kemudian melarikan pandangan ke luar jendela. Tampak sangat masam, padahal mereka sedang dalam perjalanan menuju bandara.
“Belok kanan di pertigaan depan nanti, Ben.” Selang beberapa menit dalam keheningan, Dea memberikan arahan mendadak, memicu Ben meliriknya ragu.
“Kenapa?”
“Emang kamu mau lanjut keluar negeri buat bulan madu?”
Ben tanpa beban memberikan dua buah anggukan.
“Iya, kenapa enggak?”
Dea mendesis kesal. Ini baru hari pertama pernikahan, tetapi sudah banyak stok kesabaran yang Dea harus keluarkan hanya demi suaminya ini.
“Saya yang nggak mau!” balas Dea tegas. “Belok kanan! Saya mau ke apartemen saya.”
“Tapi, Mbak. Ini tiketnya mau diapain kalau nggak dipake? Mubazir, Mbak. Ini belinya pakai uang, bisa dipake buat makan saya selama tujuh hari, untuk per lembarnya. Sayang banget.”
“Pergi aja kalau mau. Saya mau ke apartemen. Belok kanan!”
“Mbak ....” Ben memelas, tetapi hal itu malah memancing kemarahan Dea lebih parah lagi.
“BELOK KANAN, BEN!” Kali ini Dea menaikkan intonasi suaranya secara maksimal, sudah kehabisan kesabaran dalam menghadapi suaminya.
Meski sudah diteriaki seperti itu, Ben masih tetap santai. Ia memenuhi perintah Dea, berbelok ke arah kanan, dan mengikuti semua petunjuk jalan yang perempuan itu maksud.
Setelah tiba di depan apartemen, Dea langsung turun dari mobil. Namun, ia hanya berdiri menghadap bangunan tingkat tinggi itu dengan tatap penuh keraguan. Seolah ini sebenarnya bukan pilihan tepat, tetapi Dea juga tidak punya jalan lain.
“Kenapa, De?” tanya Ben penasaran, setelah berhasil mendapatkan hal aneh dari wajah istrinya itu.
Dea menggeleng kasar, menolak menjawab jujur. Namun meski demikian, kegelisahan masih tampak jelas di wajahnya. Ia gegas ke bagasi mobil untuk mengeluarkan koper dan tasnya.
Ben datang membantu, menurunkan dua barang Dea lebih dulu. Namun saat ia juga akan menyentuh tas miliknya, Dea mencegah.
“Kamu lanjut aja kalau mau liburan ke luar negeri,” kata Dea datar. “Kapan lagi bisa liburan gratis, ya ‘kan? Andalkan gaji doang, entah kapan bisa cukup. Jadi, pakai aja.”
Dea mengatakan itu dengan nada angkuh, kemudian membawa kopernya yang telah ditumpuk bersama tas masuk ke area gedung.
Ben jelas tidak mau ditinggalkan begitu saja. Ia buru-buru menurunkan barangnya, dan tidak lupa mengunci mobil sebelum menyusul sang istri.
“Tugas utama saya itu, jadi suaminya Dea,” kata Ben setelah menyusul sang istri masuk ke lift.
Dea memasang wajah malas, dan berniat mendorong Ben, tetapi pertahanan kaki pria itu sangat tangguh hingga tidak bergeser sama sekali sampai pintu baja tertutup rapat.
Wanita itu hanya bisa menghela napas panjang.
“Kalau bukan sekarang, Ben, kamu nggak bakalan pernah bisa liburan ke luar negeri lagi. Yakin kamu mau buang-buang kesempatan?”
“Jakarta sama luar negeri masih di bumi yang sama, De, jadi bagi saya, ya nggak ada bedanya. Masih pijak tanah yang sama, cuman lingkungan aja yang beda. Nggak ada spesialnya kalau Dea nggak ikut. Semuanya bakalan kerasa flat tanpa Dea.”
Bukannya tersanjung mendapat pujian demikian, Dea tampak semakin masam. Dua perempuan yang berada di lift menatap penuh takjub pada pasangan tersebut, sambil berbisik iri. Dea sempat mendengarnya, dan semakin membuat wanita itu kian jengkel.
Dea berdecak malas, merotasi bola mata, dan memilih tidak peduli.
“Jangan bikin masalah kalau ikut saya!” kata Dea usai keluar lebih dulu dari lift. “Di tempat ini, semua perintah saya adalah mutlak, dan kamu nggak bisa membangkang kayak di rumah! Kalau kamu melanggar ....” Dea berbalik untuk mengarahkan telunjuknya pada Ben, membuat pemuda itu segera mengerem langkah dengan ekspresi pura-pura ketakutan. “Awas kamu!”
Ben mengangkat tangannya seolah menyerah, lalu lanjut mengikuti Dea masuk ke apartemen wanita itu. Ia memilih duduk di sofa, ketika sang istri sedang memasukkan koper dan tas ke sebuah lemari.
“Yang sebelah sini punya kamu,” kata Dea memberitahu sembari memukul pelan dua kali pintu lemari sebelah tempat pakaiannya berada. Ia sama sekali tidak peduli, karena yakin bahwa Ben sudah memperhatikannya. “Jangan pernah buka atau bahkan sentuh gagang pintu lemari saya!”
“Oke, De.” Ben menjawab santai, sama sekali tidak menemukan masalah dalam aturan tersebut.
“Kamu tidur di sofa, karena saya alergi tidur sama kamu.”
“Alergi?” Ben langsung tercengang mendengar hal itu. Tatapnya berubah horor ketika melirik Dea meminta penjelasan lanjutan dari wanita itu.
Dea tanpa beban mengangkat dagu penuh keangkuhan hendak meninggalkan depan lemari untuk ke kamar mandi, tetapi sebelum kakinya sempat melewati perbatasan ambang pintu, seruan Ben menghentikan pergerakannya.
“Alergi sejenis ... yang bisa bikin bunting sembilan bulan, ya, De?”
Dea mendesis. Tatapnya berubah nyalang ketika ia menoleh tajam pada sosok Ben yang masih sangat santai.
“Alergi orang miskin,” balas Dea, sinis.
“Astaga, kirain Dea cuman tua di umur, ternyata pikiran juga kolot. Kalah sama pak Kahar yang awet muda di pikiran.”
Kali ini, Dea berbalik sempurna pada Ben, dengan kepala sedikit teleng, dan tangan terlipat di depan dada—sinyal tantangan pada sang suami sekaligus tanda bahaya dari makhluk berjenis perempuan. Sayangnya, Ben tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang sinyal dari Dea, dan tetap lanjut membalas sang istri.
“Dari zaman dahulu kala, De, yang namanya miskin itu bukan sebuah kejahatan yang harus dihindari. Cuman zaman dulu, karena ada raja—status tertinggi dalam sejarah manusia—dan rakyat biasa, sehingga miskin dan kaya dibedakan. Cuman di zaman sekarang udah ada kesetaraan derajat antara si miskin dan si kaya, nggak ada sistem kerajaan di mana si miskin harus tunduk pada raja. Jadi, ya ... kolot banget kalau kamu masih pake sistem perbedaan derajat antara sesama manusia.” Ben mengawalinya dengan kalimat bijak tanpa lupa memberikan senyum di akhir kalimat, tetapi lanjutan ucapannya adalah awal perang sengit antara mereka. “Dea jangan cuman rawat badan biar awet muda, dong, otak juga.”
Dea menggeram kuat, tidak terima dengan pernyataan tersebut.
“Ben kampret!” maki perempuan itu, kemudian melepas sepatu hak tingginya untuk dilempar pada Ben.
“Shit!” Dea semakin geram ketika benda itu ditangkap dengan mudah oleh Ben, memancingnya untuk melepas sepatu sebelah sembari mengambil ancang-ancang untuk melempari pria itu.
Ben turut lari, bersama gelak tawanya yang puas membalas Dea.
Namun, suara pintu dibuka segera menghentikan pergerakan Ben hanya hampir menaiki tempat tidur, pun Dea yang telah mengangkat rok selututnya. Mereka kompak melirik ke arah pintu, di mana seseorang membukanya dengan mudah.
Pria itu dikenali oleh Ben meski mereka belum berkenalan. Bernama Elvan Dexter, pria blasteran sukses itu adalah mantan kekasih Dea.
Ben tidak masalah dengan fakta ‘mantan’ itu. Ia hanya tercengang melirik Dea, yang membiarkan kunci pintu apartemennya masih diketahui oleh si mantan.
Ah, bahkan fakta buruk yang membuat Ben menuntut jawaban dari Dea melalui tatapnya adalah ... mengapa pria itu bisa tahu bahwa Dea akan ke sini? Atau ... mereka memang membuat perjanjian untuk berjumpa di sini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
ana kristianti123
asem bikin ngakak
2023-06-18
0
💖Yanti Amira 💖
lanjut Thor penasaran banget sama kisahnya mereka
2023-05-03
1
Samsul Hidayati
ini cewek tdk ada terimaksihx sdh di selamatkan dr rumor perawan tua, msh berhubungan dgn mantan
2023-04-05
0