Suamiku Musuhku
Kring~ Kring~
Suara alarm sudah sejak tadi memenuhi kamar berukuran 3x4 meter persegi dengan cat berwarna putih berpadu dengan warna abu-abu.
Di atas ranjang tidur berukuran sedang, masih dengan setia seorang wanita bergelung dengan selimut.
Namanya Sabrina Qirani Prima yang akrab disapa Sabrina. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu memang memiliki kebiasaan bangun siang. Meskipun sudah menyetel alarm untuk dibangunkan pukul tujuh pagi, tapi tampaknya belaian bantal tidurnya lebih membuainya. Hari ini rencananya ia ada interview dengan perusahaan tempat sahabatnya bekerja, Delisa. Namun tampaknya interview dengan perusahaan tempat sahabatnya bekerja tidak bisa ia hadiri karena saat ini sudah menunjukkan pukul delapan. Sedangkan aturannya, pukul setengah delapan pagi ini ia harus sudah berada di lokasi interview.
Sabrina pasrah saja kalau memang sudah demikian. Apalagi saat ini kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja. Baru pekan kemarin dia harus kembali menelan pil pahit kehidupan karena untuk ketiga kalinya ia gagal menikah.
Padahal semua sudah dipersiapkan dengan matang dan sudah mencapai sembilan puluh persen. Sisa perintilan-perintilan kecil saja yang masih belum rampung. Tapi semuanya harus berakhir dengan kekecewaan saat sang calon suami memberitahu kalau ia tidak bisa meneruskan pernikahan dengan Sabrina. Bahkan alasannya hanya alasan kompleks—tidak ada kecocokan di antara mereka. Konyol memang, tapi itulah kenyataannya.
Maka dari itu beberapa malam terakhir, Sabrina memilih untuk menghabiskan waktu sendiri di apartemennya dengan minum-minum sampai mabuk.
Ia merasa dirinya tidak berharga sama sekali sehingga para pria yang dekat dengannya bisa seenaknya memutuskan hubungan.
Padahal selama ini, ia sudah banyak mentoleransi sikap semena-mena para mantannya yang terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi Sabrina. Namun yang terjadi tetap saja berakhir gagal.
Maka dari itu dia sudah bertekad tidak akan mau membuka hati untuk pria lagi. Lebih baik hidup sendiri. Single happy. Begitulah prinsip hidup yang Sabrina akan terapkan mulai sekarang.
"Argh, berisik banget sih!" gerutu Sabrina sambil menjulurkan tangan menjangkau jam weker di nakas.
Usai mematikan alarmnya, Sabrina berniat untuk melanjutkan tidurnya kembali, namun suara dering ponsel miliknya menginterupsi.
Dengan malas-malasan Sabrina meraih ponselnya dan melihat siapa gerangan yang menelpon.
Sejak semalam ia memang tidak peduli dengan benda pipih miliknya meskipun hampir setiap menit berdering.
Semalam ia tidak mau diganggu. Ia hanya mau menenangkan diri sejenak, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi dunia selanjutnya yang tentu saja sudah bersiap mencemooh dirinya dengan asumsi.
Utamanya dari pihak keluarga dan tetangga orang tuanya yang memang julid nauzubillah. Terkadang Sabrina saja heran dengan mereka yang selalu saja hobi mencampuri kehidupan orang lain. Padahal belum tentu juga kehidupan mereka lebih baik dibandingkan dengan kehidupan orang yang mereka gibahi.
"Ini nomor siapa ya?" ucap Sabrina ketika melihat nomor asing yang muncul pada layar sentuh di tangannya.
Penasaran, wanita itu pun memilih untuk menjawab teleponnya saja. "Halo," ucap Sabrina sesaat setelah ia menggeser tombol terima di layar.
"Halo, selamat pagi Bu Sabrina Qirani Prima. Kami dari PT. Ocean Tbk memberi tau kalau Bu Sabrina ditunggu hari ini di ruangan Pimpinan untuk bekerja sebagai sekretaris," ucap seorang wanita di seberang telepon.
Mendengarnya membuat Sabrina melonjak kaget. "Apa? Maksudnya saya langsung diterima gitu, Mbak?"
"Iya, Bu."
Sabrina masih belum percaya dengan apa yang baru ia dengar. "Serius nih, Mbak? Ini bukan prank, kan?" kata Sabrina lagi.
"Tidak, Bu. Kalau tidak percaya Ibu silakan datang langsung ke kantor hari ini. Nanti Ibu bisa bertanya langsung pada Pimpinan kami," sahut wanita di seberang telepon.
Sabrina memijit pelipisnya pusing. Ini terlalu mendadak. Dia tidak mengerti dengan birokrasi yang berlaku di perusahaan tempat ia memasukkan lamaran beberapa hari lalu.
Tapi ini sedikit aneh. Bahkan bisa ia langsung diterima tanpa ada tes seleksi. Padahal jelas-jelas jabatan yang akan ia isi adalah sekretaris Pimpinan perusahaan yang harus memiliki kemampuan mumpuni di bidangnya.
"Halo, halo Bu Sabrina anda masih di situ?" Suara wanita yang sedang menelpon Sabrina membuatnya kembali ke dunia nyata. Ia terkesiap sejenak kemudian menyahut dengan gumaman.
"Hari ini mungkin saya agak telat ke kantor, Mbak. Tidak apa-apa, kan? Soalnya ini dadakan, jadi saya belum ada persiapan," ujar Sabrina sejujurnya. Memang benar bukan kalau ia tidak ada persiapan sama sekali. Penampilannya masih nauzubillah seperti ayam yang baru lahiran, eh memang ayam lahiran ya? Ah, sudahlah. Pokoknya sekacau itulah penampilannya saat ini.
Masa bodo kalau Pimpinan perusahaan itu keberatan. Salah sendiri kenapa memberi tau tiba-tiba.
Namun ternyata pihak perusahaan itu mengiyakan perkataannya. Baru saja wanita yang mewakili perusahaan Ocean itu mengamini perkataan Sabrina. Sabrina jadi merasa tidak enak sendiri.
Akhirnya mau tidak mau Sabrina harus segera bersiap untuk mendatangi kantor PT. Ocean—bertemu dengan Pimpinannya. Ia penasaran seperti apa sosok Bos barunya. Syukur-syukur masih muda dan tampan, bisalah kalau dijadikan gebetan. "Lu mikir apa sih, Sabrina. Ingat enggak ada lagi yang namanya cowok dalam hidup lu. Lu itu sudah dikutuk jadi jomblo seumur hidup!" ujar Sabrina lantas bergegas masuk ke kamar mandi.
Hari patah hatinya terpaksa ditunda dulu. Ada yang lebih penting untuk dilakukan yakni meneruskan hidup dengan berkarir di perusahaan lain. Lebih tepatnya memulai hidup di tempat baru dan berharap bisa lepas dari bayang-bayang kegagalannya di masa lalu.
......................
Sabrina sudah berada di ruangan bernuansa pastel dan putih yang ukurannya kalau dikira-kira bisa dua kali lipat besarnya apartemen minimalis miliknya yang ia beli dengan susah payah itu.
Wanita berlesung pipi dengan rambut sampai siku itu pun menatap sekelilingnya dengan tatapan takjub. Memang sih, bukan kali pertama dia masuk ruangan Bos sebuah perusahaan. Tapi baru kali ini ia melihat ruangan yang seluas dan seestetik ini. Semua ornamennya pun terbilang unik.
Beberapa saat lalu, ia diberitahu untuk menunggu Bosnya di ruangan karena Bosnya sedang memimpin rapat dengan beberapa kepala tim pelaksana lapangan di ruang meeting. Alhasil, Sabrina harus bersabar saja menunggu. Toh, tempatnya adem begini.
Karena terlalu lama menunggu, Sabrina sampai ketiduran di sofa tamu ruangan Bosnya.
Seorang pria tampak memasuki ruangan itu didampingi seorang pria yang merupakan asistennya. Dia adalah Evan Wijaya.
"Kamu atur saja semua supa—" Ucapan Evan tertahan ketika pria itu melihat ada sosok wanita yang tertidur di ruangannya. Seutas senyum tercetak di wajahnya yang tampan.
Sang asisten yang akrab disapa Firman, ingin maju untuk membangunkan wanita yang lelap tertidur di sana tapi dicegah oleh Evan. Akhirnya pria berkulit sawo matang itu kembali mundur.
"Dia adalah calon sekretaris yang Pak Bos minta datang," ucap Firman memberi tau.
"Hmm. Kamu bisa keluar. Biar saya yang akan membangunkannya," kata Evan dengan ekspresi datar. Walaupun dalam hati ia merasa sangat senang bisa melihat kembali wanita yang sudah lama ia cari-cari sejak lulus kuliah.
Evan langsung mendekati sofa tempat Sabrina tertidur dan mengambil tempat duduk di sebelah wanita itu. 'Akhirnya aku nemuin kamu, Brin.' Evan berucap dalam hati.
Pria bermata cokelat itu berniat menyentuh puncak kepala Sabrina tapi ia urungkan dan memilih untuk berdehem cukup kencang agar wanita itu terbangun.
Evan sedikit merapikan jasnya yang sebenarnya tidak berantakan lalu menegakkan tubuhnya di sana. Pria itu memasang wajah datar ketika melihat Sabrina sudah membuka mata dan sadar kalau di ruangan itu ada orang lain selain dirinya.
Namun saat Sabrina memperjelas penglihatannya, wanita itu langsung melonjak kaget melihat sosok yang ada di depan matanya. Karena tidak yakin dengan apa yang ia lihat, maka Sabrina kembali menggosok-gosok matanya dengan telunjuknya.
"Lu... ngapain di sini?" ujar Sabrina dengan suara lantang seraya menunjuk pada Evan. Matanya membulat sempurna.
"Ini tempat saya. Justru saya yang bertanya sama kamu, ngapain kamu ada di ruangan saya?" Evan berujar—enteng saja, berpura-pura tidak tau menahu mengapa Sabrina ada di sana.
Sabrina mengurut pangkal hidungnya mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tadi oleh bagian personalia, ia diminta menunggu di ruangan Pimpinan perusahaan. Dan baru saja pria di depannya mengatakan kalau dirinya adalah pemilik ruangan tempat Sabrina berada saat ini.
"Tadi lu bilang kalau ini tempat lu—"
"Ini ruangan saya," potong Evan sebelum Sabrina menyelesaikan kalimatnya.
"Apa? Jadi lu hmm maksudnya saya, jadi anda adalah Bos yang dikatakan Mbak Devi?" ujar Sabrina masih dengan ekspresi terkejutnya.
Bukan apa-apa, dari sekian orang yang ada di muka bumi ini kenapa harus Evan si pria menyebalkan itu yang menjadi Bosnya? Apa dunia ini memang selebar daun kelor ya? Sampai-sampai dia harus ditakdirkan bertemu dengan orang yang paling ingin dimusnahkan di muka bumi ini. Saking Sabrina gedek dan jengkelnya pada sosok Evan yang sudah menjadi musuhnya sejak jaman kuliah dulu.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
martina melati
maaf y thor... gagal nikah ini apa krn adany kontroversial dari evan
2024-10-24
0