Sabrina terlihat merenggangkan otot tangannya usai menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Evan selaku atasannya yang rese dan sok kecakepan.
Sore ini Sabrina harus pulang ke rumah orang tuanya di kawasan Bintaro sesuai dengan permintaan Sofie—ibunya tempo hari.
Entah ada hal apa lagi yang akan disampaikan oleh ibunya nanti ketika ia tiba di rumah. Karena menurut yang sudah-sudah, Sofie kalau menyuruh Sabrina pulang ke rumah pasti ada-ada saja hal yang mengejutkan yang akan Sabrina hadapi.
"Semoga saja Ibu gak aneh-aneh kali ini," ucap Sabrina sambil merapikan kerjanya.
Sementara di dalam ruangan Bosnya masih belum ada pergerakan sama sekali. Entah penghuni ruangan itu molor atau masih bekerja. Yang jelas Sabrina mau pulang sekarang juga karena takut kemalaman tiba di kediaman orang tuanya.
Tidak terasa juga sudah dua pekan sejak kejadian batalnya pernikahannya yang sudah di depan mata.
Sabrina tau kalau kedua orang tuanya pasti sedih saat mengetahui fakta itu. Apalagi hal yang sama sampai berulang tiga kali.
Rasanya Sabrina ini bagai wanita yang tidak memiliki standar kualifikasi yang mumpuni untuk dijadikan istri seseorang.
Padahal kalau dari segi fisik apalagi wajah, dia tidak jelek-jelek amat. Masih bisa lah dibawa arisan, tidak malu-maluin.
Sabrina bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke arah pintu ruangan Evan yang masih tertutup.
Saat wanita itu menjulurkan tangannya untuk mengetuk pintu, Sabrina sudah lebih dulu muncul di hadapannya dan membuka pintu.
"Eh, maaf. Saya baru mau ngetuk," ucap Sabrina—hampir saja menyentuh wajah Evan dengan punggung tangannya yang siap mengetuk pintu.
"Kamu sudah mau pulang?" tanya Evan.
"Iya, Pak. Ini sudah jam pulang saya. Bisa?" kata Sabrina.
"Silakan," jawab Evan singkat.
Sabrina pun mengangguk paham kemudian langsung pamit dari hadapan Bosnya yang tampak aneh sore ini. Biasanya pria itu akan menyuruhnya mengerjakan banyak hal sebelum pulang. Tapi kali ini, Evan bersikap seperti atasan idaman dan baik hati.
Namun Sabrina tidak ambil pusing. Malah bagus kalau begitu, ia jadi bisa segera berangkat ke tempat orang tuanya.
Sabrina hanya berharap semoga saja sikap Evan yang barusan akan terus berlanjut ke depannya. Capek juga kalau setiap hari pria itu selalu saja mencari-cari celah untuk menindasnya meskipun dengan dalih kalau Sabrina harus dites kemampuannya selama bulan pertama bekerja sebagai sekretaris.
Selang empat puluh menit lamanya, Sabrina sudah tiba di depan rumah kedua orang tuanya.
Tapi ada yang aneh dengan keadaan di sana. Ada sanak keluarga Sabrina, juga beberapa sepupunya yang datang.
"Ada apa ya?" gumam Sabrina seraya mengayun langkah masuk rumah usai turun dari mobil.
Di sana sudah ada Sofie sang ibu yang menyambut kedatangan Sabrina dengan senyum merekah. "Akhirnya anak Ibu yang cantik dan manis ini datang. Lama banget sih?" ujar wanita paruh baya itu.
Sofie langsung menggandeng tangan Sabrina masuk rumah, menuju kamar tidur sang putri.
Sabrina jadi bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan ibunya. Dan... mengapa di rumah orang tuanya ada banyak orang?
Sebenarnya ada acara apa?
"Bu, ini kenapa jadi rame banget sih?" tanya Sabrina yang tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
Namun Sofie malah tersenyum simpul lalu segera membuka pintu kamar tidur putrinya dan mengkode Sabrina untuk masuk.
Sabrina menghela napas sejenak kemudian menurut saja apa perintah ibunya.
Di dalam, rupanya ada sejumlah orang yang tampaknya sudah menunggu Sabrina.
"Lo, mereka siapa Bu?" Sabrina jadi semakin penasaran dibuat ibunya.
Pertama ada banyak orang di rumah macam orang yang akan hajatan. Padahal kan rencana hajatan yang akan digelar sudah dibatalkan dua pekan lalu.
"Udah, sana kamu mandi dulu habis itu didandani sama Mbak Ajeng. Oke anak manis?" ujar Sofie yang menggiring putrinya masuk kamar mandi yang ada di kamar.
"Tapi Bu ini—" Sabrina tidak diberi kesempatan untuk memprotes.
"Udah sana, nurut sama ibu!" seru Sofie tidak mau dibantah membuat Sabrina tidak ada pilihan lain selain menurut saja.
Sambil menunggu Sabrina bersiap, Sofie meminta Ajeng, orang yang ditugaskan untuk mendandani Sabrina untuk memungut berdua dengan asistennya di kamar sementara Sofie pamit ke depan sebentar untuk memastikan semua sudah siap.
Sekitar lima puluh menit kemudian, Sabrina yang berada di kamar sudah cantik dengan balutan kebaya putih dan hiasan rambut simpel dengan bunga melati.
Meskipun awalnya Sabrina menolak dengan tegas untuk didandani ala pengantin itu, namun pada akhirnya Sabrina kalah karena Sofie yang memintanya sampai memohon.
Kalau sudah begitu, Sabrina tidak bisa apa-apa. Meskipun ia bukan anak yang soleha amat, namun Sabrina sangat menyayangi ibu dan bapaknya. Bagi Sabrina, melihat kebahagiaan di wajah orang tuanya adalah hal yang berharga dan tidak ternilai harganya.
Diminta pulang ke rumah hanya untuk dinikahkan dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, membuat Sabrina harus berlapang dada.
Ia tidak ada pilihan. Sabrina hanya berharap kalau pria yang dijodohkan oleh orang tuanya bukanlah bandot tua yang sudah uzur. Atau duda dengan banyak anak.
Sabrina bisa mengerti bagaimana perasaan orang tuanya. Tiga kali anak gadis mereka harus mengalami gagal menikah, tentu saja satu pukulan berat bagi Sofie dan Andri. Belum lagi cemoohan dari keluarga dan tetangga yang mulutnya pedas mengalahkan pedasnya Boncabe level sepuluh.
Sabrina bisa memahami kondisi orang tuanya. Ia berharap dengan menuruti permintaan mereka, Sabrina bisa sedikit mengurangi beban mental yang ditanggung oleh kedua orang tuanya.
Dan... di sinilah Sabrina berada. Di depan penghulu dan saksi ijab kabul yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
"Brin, kamu jangan tegang dong, Nak. Santai saja," ucap Sofie menenangkan putrinya.
"Bagaimana aku gak tegang, Bu. Ini saja aku gak tau lo calon suamiku gimana bentukannya?" balas Sabrina dengan suara pelang agar orang di sekitarnya tidak mendengarkan percakapannya dengan Sofie.
"Tenang saja. Pokoknya pilihan ibu sama bapak kamu itu gak akan mengecewakan!" ujar Sofie kemudian menepuk pundak sang putri pelan. Setelahnya Sofie kembali ke tempatnya duduk—bergabung bersama sanak keluarga yang lain.
Beberapa saat kemudian, Andri—Bapaknya Sabrina sudah mengambil tempat duduk di sebelah penghulu.
Sabrina meremas ujung kebayanya saat mendengar sang calon mempelai pria sudah tiba dan sebentar lagi akan duduk di sebelahnya untuk melaksanakan ijab kabul.
Wanita yang tampak cantik meskipun dengan riasan sederhana saja itu tidak mau mengangkat wajahnya sedikit pun saat merasakan seseorang duduk di sebelahnya yang tidak lain adalah calon suaminya.
Sabrina pasrah saja. Apapun bentukannya, Sabrina akan ikhlas menerima.
Dan seperti berada dalam mimpi, tiba-tiba saja Sabrina mendengar seruan yang mengatakan 'SAH' di ruangan itu.
Benarkah saat ini ia sudah benar-benar menjadi istri? Apa ini bukan mimpi? Secepat dan semendadak itu dia langsung menyandang status sebagai istri?
Lalu tiba-tiba saja Sabrina baru ingat kalau ia beberapa hari lalu menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan milik Evan yang menyebutkan bahwa ia tidak boleh punya pasangan selama masa kontrak.
'Aduh, Sabrina. Gimana ini, lu kok bisa seceroboh ini sih?" ucap Sabrina dalam hati merutuki dirinya sendiri. Bagaimana ia menjelaskan pada pria yang sudah jadi suaminya soal kontrak kerjanya?
Apa suaminya ini bersedia untuk menyembunyikan hubungan mereka selama kontrak kerja. Sabrina masih berjalan?
Wanita itu berdecak kesal. Ini semua gara-gara ibunya yang mendadak menikahkannya tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu.
"Nah sekarang waktunya saling bertukar cincin!" Perkataan salah satu orang yang dituakan di sana membuat Sabrina kembali ke dunia nyata setelah sejak tadi ia sibuk dengan pemikirannya sendiri.
Sabrina sampai lupa kalau dia saat ini tengah berada di acara ijab kabulnya.
Namun saat Sabrina mengangkat wajahnya, betapa wanita itu tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Apa belum cukup kejutan yang terjadi malam ini di rumah orang tuanya dengan memaksanya untuk menikah?
Ini... ada sosok pria yang sangat ia benci dan sama sekali tidak ada daftar pria di muka bumi ini yang akan ia jadikan pasangan.
"Ka-kamu... eh maksudnya Pak Evan kenapa bisa ada di sini?" tanya Sabrina dengan mata melotot—syok.
"Saya adalah pria yang baru saja mengucap ijab kabul di depan Bapakmu dan juga semua orang yang ada di sini. Kita suami istri sekarang," jelas pria tampan yang mengenakan jas hitam dan memakai peci hitam itu.
Sabrina langsung menganga—tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
Pria itu bilang apa tadi? Mereka adalah suami istri sekarang? Dalam semalam ia mendadak menikah dan parahnya lagi dia menjadi istri dari Evan. Musuhnya!
Apa hidupnya se-drama ini ya?
Mendadak kepala Sabrina pusing, lalu... Sabrina pun langsung jatuh pingsan di sana.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
martina melati
terkejut langsung syok... akhirny jd pingsan deh... gk dsangka2...
2024-10-24
0
JR Rhna
bingung deh..
2023-03-03
0
Mariam R RIa
suka ceritanya Thor
2023-01-06
2