Sabrina baru saja membersihkan diri di kamar mandi dan bersiap melaksanakan salat Subuh.
Meskipun dia bukan wanita solehah banget, karena belum bisa menjalankan kewajiban sebagai muslimah sepenuhnya tapi untuk perkara ibadah salat tidak pernah ia tinggal.
Ya, walaupun terkadang masih sering kali tidak tepat waktu. Apalagi salat subuh, ia sering kesiangan karena susah bangun pagi. Tapi setidaknya tidak ia tinggalkan.
Usai pergulatan panas semalam bersama si Bos Suami membuat Sabrina merasakan pegal di hampir seluruh tubuhnya. Bagaimana tidak, si Bos Suami yang otaknya kotor itu menggarapnya habis-habisan.
Sabrina tidak menyangka kalau tenaga Evan tidak habis untuk bercinta. Dia saja sudah gantung handuk karena hampir pingsan.
Beruntung si Bos Suami mau menurutinya. Kalau tidak ia hari ini tidak bisa turun dari tempat tidur.
Beberapa saat kemudian, Sabrina sudah menyelesaikan ritual salatnya. Wanita itu pun merapikan alat salat dan ditaruh di tempat biasa.
Bersamaan dengan itu, Evan masuk kamar. Pria itu baru saja balik masjid untuk melaksanakan salat subuh.
Satu nilai plus lah buat pria itu. Walaupun di mata Sabrina, Evan adalah pria egois dan menyebalkan tapi melihat Evan menjaga ibadah wajibnya membuat Sabrina respek karenanya.
"Masih sakit ya?" tanya Evan ketika pria itu menaruh peci hitam miliknya di nakas samping ranjang tidur.
Mendengar pertanyaan dari suaminya membuat Sabrina hanya mendelik kesal seraya menggumam pelan.
'Pake nanya lagi. Dia pikir semalaman digarap tidak bikin gua hampir mokat apa!' Namun kalimat itu hanya bisa diucapkan Sabrina dalam hati oleh Sabrina.
Tanpa mengucap kata, Sabrina berniat untuk keluar kamar. Membantu ibunya untuk menyiapkan sarapan pagi ini. Seperti biasa, Sabrina kalau sedang pulang ke rumah orang tuanya selalu membantu pekerjaan ibunya. Bagi Sabrina, dengan melakukan itu ia bisa banyak berinteraksi dengan ibunya. Atau kalau tidak, Sabrina selalu menemani ayahnya untuk jalan-jalan pagi sekitar komplek perumahan tempat mereka tinggal.
Ketika Sabrina akan keluar kamar, Evan langsung menarik tangan wanita itu hingga membuat Sabrina berbalik badan dan menubruk tubuh tegap Evan.
"Aww!" keluh Sabrina merasa sakit di keningnya karena menabrak dada bidang san berotot milik suaminya.
"Maaf. Sakit ya? Aku gak sengaja." kata Evan. Ada kekhawatiran pada kalimat pria itu. Evan menunduk untuk melihat kening Sabrina yang sedikit memerah. Pria itu mengusap lembut kening Sabrina.
Mata Sabrina mengerjap beberapa kali saat Evan menatapnya lembut.
Deg!
'Eh, ngapain jantung gua dag dig dug kayak gini? Perasaan gua gak ada riwayat sakit jantung. Gua kenapa ya?" Sabrina membatin dan tenggelam dalam lamunannya.
Sementara Evan yang melihatnya jadi tersenyum simpul. Wanita di depannya memang terbilang unik dan selalu saja berhasil menarik perhatiannya.
Namun Evan masih belum tau seperti apa sebenarnya perasaannya ke Sabrina. Yang jelas ketika bersama Sabrina saja, seorang Evan bisa bangkit hasrat kelakiannya. Tidak dengan wanita lain.
Padahal sebenarnya Sabrina bukan tipe wanita yang Evan sukai. Sejak kuliah saja, pria itu kerap kali membully Sabrina karena penampilannya yang cupu dan tidak fashionable.
Adegan tatap-tatapan itu harus berakhir karena Sofie datang mengetuk pintu kamar pasangan pengantin baru itu.
"Brin, udah bangunkah?" ujar Sofie seraya mengetuk pintu.
Sabrina langsung mendorong tubuh Evan menjauh kemudian segera membuka pintu kamar. Tapi sebelumnya, ia harus merapikan rambutnya dan juga tampilannya.
Sabrina tidak mau jadi bahan ledekan ibunya pagi ini. Apalagi di dalam kamar tidak hanya ada dia saja. Ada Evan juga.
Klek— pintu dibuka oleh Sabrina dengan senyum mengembang.
"Ada apa, Bu?" tanya Sabrina pada ibunya.
"Selamat pagi dulu dong buat pengantin baru, hehehe," ucap Sofie, mengedip mata pada putrinya.
"Gak usah lebay deh, Bu. Biasa aja," delik Sabrina tidak semangat. "Ibu mau dibantu masak kan? Yuk!" ujar Sabrina kemudian yang berniat menarik tangan ibunya ke dapur bersama.
"Eh, bukan. Ibu mau ngasih tau kalau ibu sama bapak mau ke tempatnya Budhe Jum di Tangerang. Semalam udah janjian sama keluarga lain buat nengokin. Jadi kalian gak apa-apa kan di rumah saja?" kata Sofie.
"Memang Budhe Jum kambuh lagi sakitnya?" tanya Sabrina ingin tau. Dibalas anggukan oleh Sofie. "Aku mau ikut nengokin tapi—"
"Eh, gak usah. Lain kali aja. Kamu sama Nak Evan di rumah saja. Itung-itung bulan madu," ucap Sofie dengan suara pelan, lalu lanjut berkata. "Eh, semalam berapa ronde jadinya, Brin?"
Sabrina langsung membulat mata mendengar pertanyaan ibunya yang kepo bukan main. "Ish, apaan sih Bu. Nanya kok gitu!"
Sofie hanya terkekeh melihat reaksi putrinya. Tapi sebenarnya ia dalam hati senang dan bersyukur karena akhirnya bisa melihat putri semata wayangnya menikah.
Ya, meskipun terkesan mendadak. Tapi yang jelas pernikahannya berjalan dengan lancar. Tidak ada cancel lagi. Bagaimana pun juga Sofie ada trauma yang ia pendam setelah tiga kali putrinya gagal menikah.
Sebagai seorang ibu, tentu saja dia tidak mau putri semata wayangnya jadi bahan olok-olok tetangga yang julid nauzubillah.
Makanya saat Evan datang dengan niat baik meminang Sabrina serta menyampaikan dengan gamblang latar belakang keluarga dan pendidikan sang calon menantu, membuat Sofie dan Andri yakin dengan Evan.
Di tengah obrolan ibu dan anak itu, Evan muncul dari belakang Sabrina dan menyapa sang ibu mertua. "Eh, ibu. Kok gak masuk?" ucapnya.
"Nggak usah, Nak. Ibu cuman mau pamitan mau ke tempatnya sodara yang lagi sakit. Ini juga sudah mau berangkat." Sofie langsung bergegas pergi usai berkata itu pada menantunya.
Sabrina langsung keluar kamar menuju dapur setelah melihat kedua orang tuanya berangkat ke tempat saudara mereka. Sabrina mau melihat apa yang bisa dimasak pagi ini sebagai sarapan.
Perutnya sudah keroncongan. Bagaimana tidak, semalam ia digarap habis-habisan oleh suaminya tanpa ampun.
Ini saja jalannya sudah seperti keong. Tidak bisa gerak cepat karena sakit di sekita area selanggkangann.
"Brin, biar kita pesan makanan aja untuk sarapan. Gak apa-apa. Lagi pula kamu masih rasa sakit kan?" ujar Evan, tumben kali ini begitu pengertian.
Biasa juga di kantor pria itu selalu menindas Sabrina.
"Memang kamu nggak apa-apa sarapan dari luar?"
"Terpaksa. Tidak ada pilihan lain. Di sini gak ada Bibi yang bantu-bantu kan? Masa kamu yang lagi sakit gitu harus masak? Aku nikahi kamu untuk dijadikan istri—pendamping aku, bukan pembantu atau tukang masak. Ngerti?" jelas Evan.
"Iya... iya. Istri ya. Ngerti Bapak Evan Wijaya yang terhormat!" sahut Sabrina penuh penekanan. Kemudian memilih untuk berjalan ke arah meja makan.
Di sana, rupanya sudah ada sarapan tersaji. Ibunya sudah menyiapkan untuk mereka.
'Dasar ibu, kenapa coba gak ngomong kalau sudah ada sarapannya,' gumam Sabrina dalam hati.
Ia kemudian menoleh ke arah Evan yang sedang berjalan ke arahnya. "Gak perlu repot-repot pesan makan. Ibu sudah nyiapin. Nih!" tunjuk Sabrina pada makanan yang tertutup tudung saji di depannya.
"Wah, baik banget ibu. Sampe nyiapin sarapan segala," ucap Evan dengan mata berbinar menatap masakan rumahan yang tersaji di meja.
Sabrina memutar bola matanya malas. Memang ibunya sudah kebiasaan menyiapkan sarapan di rumah ini. Secara, di rumah tidak ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan karena memang Sofie yang tidak mau.
Meskipun Sabrina sudah berulang kali menawarkan untuk ibunya mengambil ART untuk bantu-bantu di rumah. Tapi, ya itu tadi. Sofie yang tidak mau.
"Maaf, kalo menunya sederhana. Di sini gak ada koki khusus untuk masak!" kata Sabrina.
Evan tersenyum mendengar itu. "Bagiku, ini makanan lebih lezat ketimbang makanan koki hotel bintang lima sekalipun," tandas Evan lalu langsung mengamankan makanan untuk ditaruh di piringnya.
Sabrina juga melakukan hal yang sama. Ia butuh tenaga untuk menghadapi kehidupannya setelah ini yang pasti akan menguras tenaga juga pikiran.
"Habis ini, kita bicarakan rencana kehidupan kita ke depan," ujar Evan yang langsung membuat Sabrina tersedak.
Sontak Evan berdiri dan tempatnya dan mengambil minum untuk Sabrina. "Hati-hati makannya, Brin. Jadi tersedak kan?"
'Demi apa coba dia perhatian banget!' Sabrina menatap heran pada suaminya seraya meneguk air putih dalam gelas yang Evan berikan.
"Maksudnya, rencana kehidupan kita? Memang kamu rencanain apa lagi sama aku? Gak cukup apa kita nikah dadakan gitu?" Sabrina berkomentar di sana.
Evan lantas kembali ke tempatnya. "Lebih tepatnya planning kita setelah menikah. Dan aku mau mulai besok balik ke rumahku."
"Maksudnya rumah kamu? Kita balik ke rumah kamu?" ucap Sabrina ingin memperjelas.
"Hem. Kenapa? Kamu keberatan tinggal di rumahku? Atau kamu akan kita beli rumah baru untuk tinggal?" sahut Evan, menunda menyuap makanannya.
Ia menatap Sabrina, menunggu tanggapan wanita itu.
"Bukan itu, Evan. Tapi—"
"Tapi apa?"
"Nggak jadi. Nggak ada apa-apa. Aku setuju aja. Tapi nanti kita mampir ke apartemen aku buat ambil barang-barangku. Bisa kan?" pinta Sabrina.
"Bisa. Ehm, ada lagi?"
"Ada. Tentang kontrak kerjaku dengan perusahaan. Di sana kan menyebut kalau aku gak boleh punya pasangan selama kontrak berjalan?"
Evan tersenyum menanggapi. Pria itu mengunyah makanan yang baru dia suap ke mulut. "Tenang aja. Aku gak akan nuntut kamu kok soal itu. Karena aku udah nyiapin kontrak baru buat kamu. Nanti aku kasih lihat ke kamu begitu kita tiba di rumah, oke?"
Sabrina mengangguk saja. Toh, jawaban Evan barusan cukup membuatnya lega. "Sepakat ya kalau kamu gak bakalan nuntut saya karena udah ngelanggar kontrak?"
"Tergantung sih."
"Tergantung apa?"
"Tergantung pada performa kamu saat kita—" Evan tidak meneruskan kalimatnya namun ia mengedip mata menggoda Sabrina.
"Dasar otak mesuuumm!" seru Sabrina seraya mendelik kesal pada Evan yang sudah terbahak di tempatnya.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments