NovelToon NovelToon

Suamiku Musuhku

Bab 1 : Dunia yang Selebar Daun Kelor

Kring~ Kring~

Suara alarm sudah sejak tadi memenuhi kamar berukuran 3x4 meter persegi dengan cat berwarna putih berpadu dengan warna abu-abu.

Di atas ranjang tidur berukuran sedang, masih dengan setia seorang wanita bergelung dengan selimut.

Namanya Sabrina Qirani Prima yang akrab disapa Sabrina. Wanita berusia dua puluh empat tahun itu memang memiliki kebiasaan bangun siang. Meskipun sudah menyetel alarm untuk dibangunkan pukul tujuh pagi, tapi tampaknya belaian bantal tidurnya lebih membuainya. Hari ini rencananya ia ada interview dengan perusahaan tempat sahabatnya bekerja, Delisa. Namun tampaknya interview dengan perusahaan tempat sahabatnya bekerja tidak bisa ia hadiri karena saat ini sudah menunjukkan pukul delapan. Sedangkan aturannya, pukul setengah delapan pagi ini ia harus sudah berada di lokasi interview.

Sabrina pasrah saja kalau memang sudah demikian. Apalagi saat ini kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja. Baru pekan kemarin dia harus kembali menelan pil pahit kehidupan karena untuk ketiga kalinya ia gagal menikah.

Padahal semua sudah dipersiapkan dengan matang dan sudah mencapai sembilan puluh persen. Sisa perintilan-perintilan kecil saja yang masih belum rampung. Tapi semuanya harus berakhir dengan kekecewaan saat sang calon suami memberitahu kalau ia tidak bisa meneruskan pernikahan dengan Sabrina. Bahkan alasannya hanya alasan kompleks—tidak ada kecocokan di antara mereka. Konyol memang, tapi itulah kenyataannya.

Maka dari itu beberapa malam terakhir, Sabrina memilih untuk menghabiskan waktu sendiri di apartemennya dengan minum-minum sampai mabuk.

Ia merasa dirinya tidak berharga sama sekali sehingga para pria yang dekat dengannya bisa seenaknya memutuskan hubungan.

Padahal selama ini, ia sudah banyak mentoleransi sikap semena-mena para mantannya yang terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi Sabrina. Namun yang terjadi tetap saja berakhir gagal.

Maka dari itu dia sudah bertekad tidak akan mau membuka hati untuk pria lagi. Lebih baik hidup sendiri. Single happy. Begitulah prinsip hidup yang Sabrina akan terapkan mulai sekarang.

"Argh, berisik banget sih!" gerutu Sabrina sambil menjulurkan tangan menjangkau jam weker di nakas.

Usai mematikan alarmnya, Sabrina berniat untuk melanjutkan tidurnya kembali, namun suara dering ponsel miliknya menginterupsi.

Dengan malas-malasan Sabrina meraih ponselnya dan melihat siapa gerangan yang menelpon.

Sejak semalam ia memang tidak peduli dengan benda pipih miliknya meskipun hampir setiap menit berdering.

Semalam ia tidak mau diganggu. Ia hanya mau menenangkan diri sejenak, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi dunia selanjutnya yang tentu saja sudah bersiap mencemooh dirinya dengan asumsi.

Utamanya dari pihak keluarga dan tetangga orang tuanya yang memang julid nauzubillah. Terkadang Sabrina saja heran dengan mereka yang selalu saja hobi mencampuri kehidupan orang lain. Padahal belum tentu juga kehidupan mereka lebih baik dibandingkan dengan kehidupan orang yang mereka gibahi.

"Ini nomor siapa ya?" ucap Sabrina ketika melihat nomor asing yang muncul pada layar sentuh di tangannya.

Penasaran, wanita itu pun memilih untuk menjawab teleponnya saja. "Halo," ucap Sabrina sesaat setelah ia menggeser tombol terima di layar.

"Halo, selamat pagi Bu Sabrina Qirani Prima. Kami dari PT. Ocean Tbk memberi tau kalau Bu Sabrina ditunggu hari ini di ruangan Pimpinan untuk bekerja sebagai sekretaris," ucap seorang wanita di seberang telepon.

Mendengarnya membuat Sabrina melonjak kaget. "Apa? Maksudnya saya langsung diterima gitu, Mbak?"

"Iya, Bu."

Sabrina masih belum percaya dengan apa yang baru ia dengar. "Serius nih, Mbak? Ini bukan prank, kan?" kata Sabrina lagi.

"Tidak, Bu. Kalau tidak percaya Ibu silakan datang langsung ke kantor hari ini. Nanti Ibu bisa bertanya langsung pada Pimpinan kami," sahut wanita di seberang telepon.

Sabrina memijit pelipisnya pusing. Ini terlalu mendadak. Dia tidak mengerti dengan birokrasi yang berlaku di perusahaan tempat ia memasukkan lamaran beberapa hari lalu.

Tapi ini sedikit aneh. Bahkan bisa ia langsung diterima tanpa ada tes seleksi. Padahal jelas-jelas jabatan yang akan ia isi adalah sekretaris Pimpinan perusahaan yang harus memiliki kemampuan mumpuni di bidangnya.

"Halo, halo Bu Sabrina anda masih di situ?" Suara wanita yang sedang menelpon Sabrina membuatnya kembali ke dunia nyata. Ia terkesiap sejenak kemudian menyahut dengan gumaman.

"Hari ini mungkin saya agak telat ke kantor, Mbak. Tidak apa-apa, kan? Soalnya ini dadakan, jadi saya belum ada persiapan," ujar Sabrina sejujurnya. Memang benar bukan kalau ia tidak ada persiapan sama sekali. Penampilannya masih nauzubillah seperti ayam yang baru lahiran, eh memang ayam lahiran ya? Ah, sudahlah. Pokoknya sekacau itulah penampilannya saat ini.

Masa bodo kalau Pimpinan perusahaan itu keberatan. Salah sendiri kenapa memberi tau tiba-tiba.

Namun ternyata pihak perusahaan itu mengiyakan perkataannya. Baru saja wanita yang mewakili perusahaan Ocean itu mengamini perkataan Sabrina. Sabrina jadi merasa tidak enak sendiri.

Akhirnya mau tidak mau Sabrina harus segera bersiap untuk mendatangi kantor PT. Ocean—bertemu dengan Pimpinannya. Ia penasaran seperti apa sosok Bos barunya. Syukur-syukur masih muda dan tampan, bisalah kalau dijadikan gebetan. "Lu mikir apa sih, Sabrina. Ingat enggak ada lagi yang namanya cowok dalam hidup lu. Lu itu sudah dikutuk jadi jomblo seumur hidup!" ujar Sabrina lantas bergegas masuk ke kamar mandi.

Hari patah hatinya terpaksa ditunda dulu. Ada yang lebih penting untuk dilakukan yakni meneruskan hidup dengan berkarir di perusahaan lain. Lebih tepatnya memulai hidup di tempat baru dan berharap bisa lepas dari bayang-bayang kegagalannya di masa lalu.

......................

Sabrina sudah berada di ruangan bernuansa pastel dan putih yang ukurannya kalau dikira-kira bisa dua kali lipat besarnya apartemen minimalis miliknya yang ia beli dengan susah payah itu.

Wanita berlesung pipi dengan rambut sampai siku itu pun menatap sekelilingnya dengan tatapan takjub. Memang sih, bukan kali pertama dia masuk ruangan Bos sebuah perusahaan. Tapi baru kali ini ia melihat ruangan yang seluas dan seestetik ini. Semua ornamennya pun terbilang unik.

Beberapa saat lalu, ia diberitahu untuk menunggu Bosnya di ruangan karena Bosnya sedang memimpin rapat dengan beberapa kepala tim pelaksana lapangan di ruang meeting. Alhasil, Sabrina harus bersabar saja menunggu. Toh, tempatnya adem begini.

Karena terlalu lama menunggu, Sabrina sampai ketiduran di sofa tamu ruangan Bosnya.

Seorang pria tampak memasuki ruangan itu didampingi seorang pria yang merupakan asistennya. Dia adalah Evan Wijaya.

"Kamu atur saja semua supa—" Ucapan Evan tertahan ketika pria itu melihat ada sosok wanita yang tertidur di ruangannya. Seutas senyum tercetak di wajahnya yang tampan.

Sang asisten yang akrab disapa Firman, ingin maju untuk membangunkan wanita yang lelap tertidur di sana tapi dicegah oleh Evan. Akhirnya pria berkulit sawo matang itu kembali mundur.

"Dia adalah calon sekretaris yang Pak Bos minta datang," ucap Firman memberi tau.

"Hmm. Kamu bisa keluar. Biar saya yang akan membangunkannya," kata Evan dengan ekspresi datar. Walaupun dalam hati ia merasa sangat senang bisa melihat kembali wanita yang sudah lama ia cari-cari sejak lulus kuliah.

Evan langsung mendekati sofa tempat Sabrina tertidur dan mengambil tempat duduk di sebelah wanita itu. 'Akhirnya aku nemuin kamu, Brin.' Evan berucap dalam hati.

Pria bermata cokelat itu berniat menyentuh puncak kepala Sabrina tapi ia urungkan dan memilih untuk berdehem cukup kencang agar wanita itu terbangun.

Evan sedikit merapikan jasnya yang sebenarnya tidak berantakan lalu menegakkan tubuhnya di sana. Pria itu memasang wajah datar ketika melihat Sabrina sudah membuka mata dan sadar kalau di ruangan itu ada orang lain selain dirinya.

Namun saat Sabrina memperjelas penglihatannya, wanita itu langsung melonjak kaget melihat sosok yang ada di depan matanya. Karena tidak yakin dengan apa yang ia lihat, maka Sabrina kembali menggosok-gosok matanya dengan telunjuknya.

"Lu... ngapain di sini?" ujar Sabrina dengan suara lantang seraya menunjuk pada Evan. Matanya membulat sempurna.

"Ini tempat saya. Justru saya yang bertanya sama kamu, ngapain kamu ada di ruangan saya?" Evan berujar—enteng saja, berpura-pura tidak tau menahu mengapa Sabrina ada di sana.

Sabrina mengurut pangkal hidungnya mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi di sini. Tadi oleh bagian personalia, ia diminta menunggu di ruangan Pimpinan perusahaan. Dan baru saja pria di depannya mengatakan kalau dirinya adalah pemilik ruangan tempat Sabrina berada saat ini.

"Tadi lu bilang kalau ini tempat lu—"

"Ini ruangan saya," potong Evan sebelum Sabrina menyelesaikan kalimatnya.

"Apa? Jadi lu hmm maksudnya saya, jadi anda adalah Bos yang dikatakan Mbak Devi?" ujar Sabrina masih dengan ekspresi terkejutnya.

Bukan apa-apa, dari sekian orang yang ada di muka bumi ini kenapa harus Evan si pria menyebalkan itu yang menjadi Bosnya? Apa dunia ini memang selebar daun kelor ya? Sampai-sampai dia harus ditakdirkan bertemu dengan orang yang paling ingin dimusnahkan di muka bumi ini. Saking Sabrina gedek dan jengkelnya pada sosok Evan yang sudah menjadi musuhnya sejak jaman kuliah dulu.

...----------------...

...--bersambung--...

Bab 2 : Harus Profesional

Sabrina berjalan menuju toilet yang tersedia di lantai lima belas gedung Ocean Tbk usai bertemu dengan pria yang menjadi Bosnya.

Wanita itu benar-benar tidak menyangka kalau akan dipertemukan dengan Evan setelah sekian lama. Bahkan dalam daftar orang yang tidak ingin Sabrina temui lagi, Evan adalah orang pertama selain para mantan calon suaminya.

Tapi kenapa takdir malah membawa dirinya bertemu dengan Evan? Apa jalan hidupnya memang sudah ditentukan tidak bisa jauh dari yang namanya kesialan?

Sabrina menyalakan keran air wastafel untuk membasuh tangannya. Wanita itu menatap pantulan dirinya pada cermin segi empat yang terpasang di hadapannya. "Kenapa gua jadi terjebak dalam situasi canggung seperti ini sih?" gumamnya seraya menghela napas panjang.

Beberapa menit lalu di ruangan Evan...

"Kenapa kamu menolak jadi sekretaris saya?" tanya Evan dengan nada datar tapi tatapan matanya begitu mengintimidasi membuat Sabrina sedikit canggung.

"Gak ada alasan apa-apa. Saya nggak mau aja. Kenapa? Kamu kecewa ya karena saya tidak mau jadi sekretaris kamu?" ujar Sabrina membalasnya dengan dagu terangkat—sombong.

Evan tersenyum tipis, "Kalau saya jawab iya. Apa kamu mau mempertimbangkannya lagi?" kata pria itu yang bergeser mendekati Sabrina membuat wanita itu harus ikut bergeser ke tepi sofa panjang yang ia duduki karena tidak nyaman berada dalam jarak sedekat itu dengan musuh bebuyutannya.

"A-apaan sih kamu. Sana jauh-jauh dari saya. Kita ini adalah musuh. Ingat kita adalah musuh. Lantas bagaimana mungkin dua orang yang saling bermusuhan jadi Bos dan sekretaris? Helo pikiran kamu ini dimana sih?" seru Sabrina mengantarkan pendapatnya.

"Bilang aja kalau kamu itu takut sama saya. Atau semua profil tentang kamu yang disampaikan pada lembar lamaran pekerjaan yang kamu tulis itu bohong semua. Makanya kamu tidak mau menerima pekerjaan sebagai sekretaris saya?" ucap Evan terdengar meremehkan Sabrina. "Takut kalau sebenarnya kamu itu tidak punya skill apa-apa?" lanjut Evan memprovokasi Sabrina. Ia tau untuk wanita di hadapannya sangat tinggi gengsi dan harga dirinya.

Hal itu tentu saja membuat Sabrina sangat marah. Ia tidak terima kalau ada orang yang dengan seenaknya menilai dirinya rendah seperti itu. Terlebih lagi orang itu adalah musuhnya sejak dulu. Enak saja pria sok kecakepan itu mengatainya berbohong. Memang Sabrina belum pernah bekerja di perusahaan sebesar milik Evan. Tapi kalau bicara soal kemampuan, Sabrina termasuk sekretaris yang bisa diandalkan. Buktinya pemilik perusahaan tempatnya bekerja sebelumnya tidak rela saat dirinya menyampaikan resign. Hal itu karena memang kinerjanya yang bagus.

"Baik. Saya terima pekerjaan ini. Tapi kamu juga harus janji akan profesional dalam bekerja. Saya tidak mau kamu memanfaatkan posisimu sebagai atasan untuk menindas saya. Gimana?" cetus Sabrina merasa tertantang. Tapi tentu saja dia tidak mau gegabah menerimanya begitu saja.

Sabrina sangat mengenal Evan. Pria egois dan sombong itu akan selalu mencari celah untuk menindasnya.

"Oke. Kamu tenang saja. Saya ini orangnya profesional kok. Apalagi sama teman sendiri. Masa saya bersikap semena-mena?" Evan kembali mencondongkan wajahnya mendekat pada Sabrina membuat Sabrina jadi gugup karena ditatap sedemikian intens.

Sabrina sontak mendorong tubuh Evan agar menjauh darinya lalu ia segera bangkit dari duduknya. "Saya izin ke toilet sebentar, kebelet pipis."

Bahkan sebelum Evan menyahut, Sabrina sudah ngacir dari hadapan Evan. Sabrina butuh menghirup udara bebas sejenak di luar ruangan itu sebelum kembali menghadapi si pria menyebalkan yang sayangnya akan menjadi Bosnya di masa depan.

Mau mundur tidak bisa—ia tidak mau dikatai pengecut atau pembohong karena menolak menjadi sekretaris Evan. Pasrah dan hadapi. Hanya itu yang bisa dilakukan Sabrina saat ini.

......................

Sabrina ditarik dari lamunannya saat ponselnya berdering dalam saku blazer yang ia kenakan.

Huuft!

Wanita itu mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya merogoh saku blazer untuk mengambil ponsel.

Di sana ada nama Ibunya—Sofie.

Meski ragu-ragu, Sabrina pun akhirnya menjawab telepon ibunya. "Halo, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Brin. Kamu ini kenapa gak jawab telpon Ibu dari semalam?" Sabrina hanya mendengarkan saja perkataan ibunya dan menyahut dengan gumaman saja.

"Sabrina lagi tidur, Bu. Jadi gak denger," ucap Sabrina—berdusta. Tidak mungkin dia mengatakan pada ibunya kalau dia mabuk. Auto dipecat jadi anak oleh Sofie. Sabrina sangat paham kalau ibunya sangat tidak suka kalau dia menyentuh minuman tidak berfaedah itu.

"Alasan saja kamu. Ini ibu mau kasih tau kalau akhir pekan ini kamu pulang ke rumah. Ibu sama Bapak kangen," cetus Sofie—terdengar tegas seolah itu adalah titah yang tidak bisa dibantah.

Lalu tanpa ba-bi-bu, teleponnya terputus secara sepihak.

Sabrina mendesah pelan. Kebiasaan ibunya seperti itu. Entah apa lagi yang akan direncanakan Ibunya kali ini. Sabrina berharap ibunya sudah tidak lagi mencoba menjodohkannya lagi dengan seseorang. Karena untuk kali ini Sabrina sudah tidak mau menikah ataupun memiliki pasangan. Ia mau fokus berkarir dan menunjukkan pada mantannya kalau ia baik-baik saja setelah ditinggalkan.

......................

Evan yang sedang duduk di kursi kebesarannya tampak memandangi sebuah foto usang yang sudah lama ia simpan di laci meja kerjanya. Namun ketika pintu ruangannya diketuk, Evan langsung menyimpan kembali foto di tangannya ke laci lalu menguncinya dengan memakai kombinasi angka yang hanya ia sendiri yang tau.

"Masuk."

Setelahnya, pintu terbuka dan tidak lama muncul di hadapannya. Sabrina yang wajahnya tampak segar.

"Silakan duduk, Brin."

'Apa? Dia manggil gua dengan sebutan Brin? Kita tidak sedekat itu!' gumam Sabrina dalam hati. Walau pada akhirnya dia menurut dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Evan.

Evan menarik garis lurus pada kedua sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis dan itu tertangkap oleh Sabrina. "Ngapain kamu senyum-senyum? Senang banget ya ketemu sama saya?" sengal Sabrina terdengar ketus.

'Tentu saja aku seneng, Brin.' Kalimat itu hanya bisa diucapkan Evan dalam hati.

"Jangan geer deh. Lagi pula mau saya senyum atau apalah itu namanya, terserah saya dong. Dan ya... satu lagi. Jangan lupa kalau saat ini kamu sedang berada di lingkungan kantor. Jadi setidaknya kamu memiliki yang namanya sopan santun terhadap pimpinan. Mengerti?" ujar Sabrina tegas mengingatkan walaupun dengan wajah datar.

Melihat raut wajah kesal Sabrina di sana sebenarnya membuat Evan ingin terbahak. Sejak dulu Evan memang senang membuat Sabrina kesal sampai di ubun-ubun.

"Maaf, Bapak Evan ." Sabrina menyahut dengan nada penuh penekanan di setiap kata.

Evan melipat bibirnya menahan senyum, tapi buru-buru pria itu berdehem sekali. "Oke. Kali ini kamu saya maafkan. Nah, sekarang silakan baca dulu kontrak kerja kamu. Kalau ada yang kurang jelas bisa kamu tanyakan," ucap Evan seraya menyodorkan kontrak kerja pada Sabrina.

Sabrina mulai membaca kontrak kerja yang disodorkan Evan. Keningnya terlihat mengerut saat membaca salah satu poin yang tertera di sana.

"Kenapa ada poin kalau selama bekerja dan terikat kontrak dengan perusahaan, saya tidak boleh memiliki pacar atau kekasih?" tanya Sabrina. Wanita itu tertera sumbang. "Bukankah itu adalah urusan pribadi saya, kenapa perusahaan harus mengatur-atur?" lanjutnya kemudian. Sabrina tidak habis pikir dengan orang yang membuat aturan itu.

"Karena saya tidak mau pekerjaan sekretaris saya terganggu hanya karena hubungannya dengan pasangan. Hal itu untuk mengantisipasi hal yang sama terjadi lagi. Sekretaris saya yang sebelumnya tiba-tiba saja resign karena pasangannya mengajaknya untuk hijrah ke kota lain. Tau dong gimana kacaunya jadwal kerja saya? Makanya sekarang saya mau mengantisipasi hal itu terjadi. Untuk itu perusahaan akan memberikan benefit yang pantas untuk orang yang menjadi sekretaris saya. Perusahaan akan memberikan gaji tinggi disertai fasilitas yang mumpuni," jelas Sabrina.

"Jadi maksudnya selama dua tahun kontrak kerja saya di sini maka selama itu pula saya tidak boleh punya pasangan gitu?" ujar Sabrina memperjelas peraturan di perusahaan itu.

"Iya, kenapa? Apa kamu keberatan atau saat ini kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang?" cecar Sabrina tidak tau. Meskipun ia tau kalau saat ini Sabrina sedang tidak bersama dengan siapapun.

Kalau ditanya dari mana Evan tau itu, maka jawabannya adalah dari kedua orang tua Sabrina sendiri.

Sabrina mendengkus mendengar penuturan Evan. Ia tidak mau kalau sampai musuhnya itu tau kemalangan yang sudah ia alami.

Bagaimana pun juga harga dirinya setinggi langit. Sabrina tidak mau dicap sebagai wanita apes karena sudah gagal menikah tiga kali. Itu adalah aib bagi Sabrina. Terlebih lagi itu di depan Sabrina yang pasti akan menertawakan dirinya kalau tau apa yang sudah ia alami.

"Kenapa diam?" tegur Sabrina.

"Nggak kok. Saya setuju dengan aturannya," jawab Sabrina cepat kemudian tanpa lanjut membaca kontraknya langsung membubuhkan tanda tangan di sana.

Pikirnya, aturannya sama dengan keinginannya saat ini. Setelah gagal menikah tiga kali, Sabrina hanya ingin fokus pada diri sendiri. Lagi pula gaji dan fasilitas yang ditawarkan cukup menggiurkan.

Namun bagi Evan, dengan Sabrina menandatangani kontrak kerja dengan perusahaannya, hal itu sama saja Sabrina memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu pada wanita itu.

Kesalahan yang membuat Evan merasa berutang maaf pada Sabrina hingga detik ini.

...----------------...

...--bersambung--...

Bab 3 : Mendadak Jadi Istri

Sabrina terlihat merenggangkan otot tangannya usai menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Evan selaku atasannya yang rese dan sok kecakepan.

Sore ini Sabrina harus pulang ke rumah orang tuanya di kawasan Bintaro sesuai dengan permintaan Sofie—ibunya tempo hari.

Entah ada hal apa lagi yang akan disampaikan oleh ibunya nanti ketika ia tiba di rumah. Karena menurut yang sudah-sudah, Sofie kalau menyuruh Sabrina pulang ke rumah pasti ada-ada saja hal yang mengejutkan yang akan Sabrina hadapi.

"Semoga saja Ibu gak aneh-aneh kali ini," ucap Sabrina sambil merapikan kerjanya.

Sementara di dalam ruangan Bosnya masih belum ada pergerakan sama sekali. Entah penghuni ruangan itu molor atau masih bekerja. Yang jelas Sabrina mau pulang sekarang juga karena takut kemalaman tiba di kediaman orang tuanya.

Tidak terasa juga sudah dua pekan sejak kejadian batalnya pernikahannya yang sudah di depan mata.

Sabrina tau kalau kedua orang tuanya pasti sedih saat mengetahui fakta itu. Apalagi hal yang sama sampai berulang tiga kali.

Rasanya Sabrina ini bagai wanita yang tidak memiliki standar kualifikasi yang mumpuni untuk dijadikan istri seseorang.

Padahal kalau dari segi fisik apalagi wajah, dia tidak jelek-jelek amat. Masih bisa lah dibawa arisan, tidak malu-maluin.

Sabrina bangkit dari duduknya kemudian berjalan ke arah pintu ruangan Evan yang masih tertutup.

Saat wanita itu menjulurkan tangannya untuk mengetuk pintu, Sabrina sudah lebih dulu muncul di hadapannya dan membuka pintu.

"Eh, maaf. Saya baru mau ngetuk," ucap Sabrina—hampir saja menyentuh wajah Evan dengan punggung tangannya yang siap mengetuk pintu.

"Kamu sudah mau pulang?" tanya Evan.

"Iya, Pak. Ini sudah jam pulang saya. Bisa?" kata Sabrina.

"Silakan," jawab Evan singkat.

Sabrina pun mengangguk paham kemudian langsung pamit dari hadapan Bosnya yang tampak aneh sore ini. Biasanya pria itu akan menyuruhnya mengerjakan banyak hal sebelum pulang. Tapi kali ini, Evan bersikap seperti atasan idaman dan baik hati.

Namun Sabrina tidak ambil pusing. Malah bagus kalau begitu, ia jadi bisa segera berangkat ke tempat orang tuanya.

Sabrina hanya berharap semoga saja sikap Evan yang barusan akan terus berlanjut ke depannya. Capek juga kalau setiap hari pria itu selalu saja mencari-cari celah untuk menindasnya meskipun dengan dalih kalau Sabrina harus dites kemampuannya selama bulan pertama bekerja sebagai sekretaris.

Selang empat puluh menit lamanya, Sabrina sudah tiba di depan rumah kedua orang tuanya.

Tapi ada yang aneh dengan keadaan di sana. Ada sanak keluarga Sabrina, juga beberapa sepupunya yang datang.

"Ada apa ya?" gumam Sabrina seraya mengayun langkah masuk rumah usai turun dari mobil.

Di sana sudah ada Sofie sang ibu yang menyambut kedatangan Sabrina dengan senyum merekah. "Akhirnya anak Ibu yang cantik dan manis ini datang. Lama banget sih?" ujar wanita paruh baya itu.

Sofie langsung menggandeng tangan Sabrina masuk rumah, menuju kamar tidur sang putri.

Sabrina jadi bertanya-tanya dalam hati, ada apa dengan ibunya. Dan... mengapa di rumah orang tuanya ada banyak orang?

Sebenarnya ada acara apa?

"Bu, ini kenapa jadi rame banget sih?" tanya Sabrina yang tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

Namun Sofie malah tersenyum simpul lalu segera membuka pintu kamar tidur putrinya dan mengkode Sabrina untuk masuk.

Sabrina menghela napas sejenak kemudian menurut saja apa perintah ibunya.

Di dalam, rupanya ada sejumlah orang yang tampaknya sudah menunggu Sabrina.

"Lo, mereka siapa Bu?" Sabrina jadi semakin penasaran dibuat ibunya.

Pertama ada banyak orang di rumah macam orang yang akan hajatan. Padahal kan rencana hajatan yang akan digelar sudah dibatalkan dua pekan lalu.

"Udah, sana kamu mandi dulu habis itu didandani sama Mbak Ajeng. Oke anak manis?" ujar Sofie yang menggiring putrinya masuk kamar mandi yang ada di kamar.

"Tapi Bu ini—" Sabrina tidak diberi kesempatan untuk memprotes.

"Udah sana, nurut sama ibu!" seru Sofie tidak mau dibantah membuat Sabrina tidak ada pilihan lain selain menurut saja.

Sambil menunggu Sabrina bersiap, Sofie meminta Ajeng, orang yang ditugaskan untuk mendandani Sabrina untuk memungut berdua dengan asistennya di kamar sementara Sofie pamit ke depan sebentar untuk memastikan semua sudah siap.

Sekitar lima puluh menit kemudian, Sabrina yang berada di kamar sudah cantik dengan balutan kebaya putih dan hiasan rambut simpel dengan bunga melati.

Meskipun awalnya Sabrina menolak dengan tegas untuk didandani ala pengantin itu, namun pada akhirnya Sabrina kalah karena Sofie yang memintanya sampai memohon.

Kalau sudah begitu, Sabrina tidak bisa apa-apa. Meskipun ia bukan anak yang soleha amat, namun Sabrina sangat menyayangi ibu dan bapaknya. Bagi Sabrina, melihat kebahagiaan di wajah orang tuanya adalah hal yang berharga dan tidak ternilai harganya.

Diminta pulang ke rumah hanya untuk dinikahkan dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, membuat Sabrina harus berlapang dada.

Ia tidak ada pilihan. Sabrina hanya berharap kalau pria yang dijodohkan oleh orang tuanya bukanlah bandot tua yang sudah uzur. Atau duda dengan banyak anak.

Sabrina bisa mengerti bagaimana perasaan orang tuanya. Tiga kali anak gadis mereka harus mengalami gagal menikah, tentu saja satu pukulan berat bagi Sofie dan Andri. Belum lagi cemoohan dari keluarga dan tetangga yang mulutnya pedas mengalahkan pedasnya Boncabe level sepuluh.

Sabrina bisa memahami kondisi orang tuanya. Ia berharap dengan menuruti permintaan mereka, Sabrina bisa sedikit mengurangi beban mental yang ditanggung oleh kedua orang tuanya.

Dan... di sinilah Sabrina berada. Di depan penghulu dan saksi ijab kabul yang sebentar lagi akan dilaksanakan.

"Brin, kamu jangan tegang dong, Nak. Santai saja," ucap Sofie menenangkan putrinya.

"Bagaimana aku gak tegang, Bu. Ini saja aku gak tau lo calon suamiku gimana bentukannya?" balas Sabrina dengan suara pelang agar orang di sekitarnya tidak mendengarkan percakapannya dengan Sofie.

"Tenang saja. Pokoknya pilihan ibu sama bapak kamu itu gak akan mengecewakan!" ujar Sofie kemudian menepuk pundak sang putri pelan. Setelahnya Sofie kembali ke tempatnya duduk—bergabung bersama sanak keluarga yang lain.

Beberapa saat kemudian, Andri—Bapaknya Sabrina sudah mengambil tempat duduk di sebelah penghulu.

Sabrina meremas ujung kebayanya saat mendengar sang calon mempelai pria sudah tiba dan sebentar lagi akan duduk di sebelahnya untuk melaksanakan ijab kabul.

Wanita yang tampak cantik meskipun dengan riasan sederhana saja itu tidak mau mengangkat wajahnya sedikit pun saat merasakan seseorang duduk di sebelahnya yang tidak lain adalah calon suaminya.

Sabrina pasrah saja. Apapun bentukannya, Sabrina akan ikhlas menerima.

Dan seperti berada dalam mimpi, tiba-tiba saja Sabrina mendengar seruan yang mengatakan 'SAH' di ruangan itu.

Benarkah saat ini ia sudah benar-benar menjadi istri? Apa ini bukan mimpi? Secepat dan semendadak itu dia langsung menyandang status sebagai istri?

Lalu tiba-tiba saja Sabrina baru ingat kalau ia beberapa hari lalu menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan milik Evan yang menyebutkan bahwa ia tidak boleh punya pasangan selama masa kontrak.

'Aduh, Sabrina. Gimana ini, lu kok bisa seceroboh ini sih?" ucap Sabrina dalam hati merutuki dirinya sendiri. Bagaimana ia menjelaskan pada pria yang sudah jadi suaminya soal kontrak kerjanya?

Apa suaminya ini bersedia untuk menyembunyikan hubungan mereka selama kontrak kerja. Sabrina masih berjalan?

Wanita itu berdecak kesal. Ini semua gara-gara ibunya yang mendadak menikahkannya tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu.

"Nah sekarang waktunya saling bertukar cincin!" Perkataan salah satu orang yang dituakan di sana membuat Sabrina kembali ke dunia nyata setelah sejak tadi ia sibuk dengan pemikirannya sendiri.

Sabrina sampai lupa kalau dia saat ini tengah berada di acara ijab kabulnya.

Namun saat Sabrina mengangkat wajahnya, betapa wanita itu tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

Apa belum cukup kejutan yang terjadi malam ini di rumah orang tuanya dengan memaksanya untuk menikah?

Ini... ada sosok pria yang sangat ia benci dan sama sekali tidak ada daftar pria di muka bumi ini yang akan ia jadikan pasangan.

"Ka-kamu... eh maksudnya Pak Evan kenapa bisa ada di sini?" tanya Sabrina dengan mata melotot—syok.

"Saya adalah pria yang baru saja mengucap ijab kabul di depan Bapakmu dan juga semua orang yang ada di sini. Kita suami istri sekarang," jelas pria tampan yang mengenakan jas hitam dan memakai peci hitam itu.

Sabrina langsung menganga—tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

Pria itu bilang apa tadi? Mereka adalah suami istri sekarang? Dalam semalam ia mendadak menikah dan parahnya lagi dia menjadi istri dari Evan. Musuhnya!

Apa hidupnya se-drama ini ya?

Mendadak kepala Sabrina pusing, lalu... Sabrina pun langsung jatuh pingsan di sana.

...----------------...

...--bersambung--...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!