Sabrina berjalan menuju toilet yang tersedia di lantai lima belas gedung Ocean Tbk usai bertemu dengan pria yang menjadi Bosnya.
Wanita itu benar-benar tidak menyangka kalau akan dipertemukan dengan Evan setelah sekian lama. Bahkan dalam daftar orang yang tidak ingin Sabrina temui lagi, Evan adalah orang pertama selain para mantan calon suaminya.
Tapi kenapa takdir malah membawa dirinya bertemu dengan Evan? Apa jalan hidupnya memang sudah ditentukan tidak bisa jauh dari yang namanya kesialan?
Sabrina menyalakan keran air wastafel untuk membasuh tangannya. Wanita itu menatap pantulan dirinya pada cermin segi empat yang terpasang di hadapannya. "Kenapa gua jadi terjebak dalam situasi canggung seperti ini sih?" gumamnya seraya menghela napas panjang.
Beberapa menit lalu di ruangan Evan...
"Kenapa kamu menolak jadi sekretaris saya?" tanya Evan dengan nada datar tapi tatapan matanya begitu mengintimidasi membuat Sabrina sedikit canggung.
"Gak ada alasan apa-apa. Saya nggak mau aja. Kenapa? Kamu kecewa ya karena saya tidak mau jadi sekretaris kamu?" ujar Sabrina membalasnya dengan dagu terangkat—sombong.
Evan tersenyum tipis, "Kalau saya jawab iya. Apa kamu mau mempertimbangkannya lagi?" kata pria itu yang bergeser mendekati Sabrina membuat wanita itu harus ikut bergeser ke tepi sofa panjang yang ia duduki karena tidak nyaman berada dalam jarak sedekat itu dengan musuh bebuyutannya.
"A-apaan sih kamu. Sana jauh-jauh dari saya. Kita ini adalah musuh. Ingat kita adalah musuh. Lantas bagaimana mungkin dua orang yang saling bermusuhan jadi Bos dan sekretaris? Helo pikiran kamu ini dimana sih?" seru Sabrina mengantarkan pendapatnya.
"Bilang aja kalau kamu itu takut sama saya. Atau semua profil tentang kamu yang disampaikan pada lembar lamaran pekerjaan yang kamu tulis itu bohong semua. Makanya kamu tidak mau menerima pekerjaan sebagai sekretaris saya?" ucap Evan terdengar meremehkan Sabrina. "Takut kalau sebenarnya kamu itu tidak punya skill apa-apa?" lanjut Evan memprovokasi Sabrina. Ia tau untuk wanita di hadapannya sangat tinggi gengsi dan harga dirinya.
Hal itu tentu saja membuat Sabrina sangat marah. Ia tidak terima kalau ada orang yang dengan seenaknya menilai dirinya rendah seperti itu. Terlebih lagi orang itu adalah musuhnya sejak dulu. Enak saja pria sok kecakepan itu mengatainya berbohong. Memang Sabrina belum pernah bekerja di perusahaan sebesar milik Evan. Tapi kalau bicara soal kemampuan, Sabrina termasuk sekretaris yang bisa diandalkan. Buktinya pemilik perusahaan tempatnya bekerja sebelumnya tidak rela saat dirinya menyampaikan resign. Hal itu karena memang kinerjanya yang bagus.
"Baik. Saya terima pekerjaan ini. Tapi kamu juga harus janji akan profesional dalam bekerja. Saya tidak mau kamu memanfaatkan posisimu sebagai atasan untuk menindas saya. Gimana?" cetus Sabrina merasa tertantang. Tapi tentu saja dia tidak mau gegabah menerimanya begitu saja.
Sabrina sangat mengenal Evan. Pria egois dan sombong itu akan selalu mencari celah untuk menindasnya.
"Oke. Kamu tenang saja. Saya ini orangnya profesional kok. Apalagi sama teman sendiri. Masa saya bersikap semena-mena?" Evan kembali mencondongkan wajahnya mendekat pada Sabrina membuat Sabrina jadi gugup karena ditatap sedemikian intens.
Sabrina sontak mendorong tubuh Evan agar menjauh darinya lalu ia segera bangkit dari duduknya. "Saya izin ke toilet sebentar, kebelet pipis."
Bahkan sebelum Evan menyahut, Sabrina sudah ngacir dari hadapan Evan. Sabrina butuh menghirup udara bebas sejenak di luar ruangan itu sebelum kembali menghadapi si pria menyebalkan yang sayangnya akan menjadi Bosnya di masa depan.
Mau mundur tidak bisa—ia tidak mau dikatai pengecut atau pembohong karena menolak menjadi sekretaris Evan. Pasrah dan hadapi. Hanya itu yang bisa dilakukan Sabrina saat ini.
......................
Sabrina ditarik dari lamunannya saat ponselnya berdering dalam saku blazer yang ia kenakan.
Huuft!
Wanita itu mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya merogoh saku blazer untuk mengambil ponsel.
Di sana ada nama Ibunya—Sofie.
Meski ragu-ragu, Sabrina pun akhirnya menjawab telepon ibunya. "Halo, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Brin. Kamu ini kenapa gak jawab telpon Ibu dari semalam?" Sabrina hanya mendengarkan saja perkataan ibunya dan menyahut dengan gumaman saja.
"Sabrina lagi tidur, Bu. Jadi gak denger," ucap Sabrina—berdusta. Tidak mungkin dia mengatakan pada ibunya kalau dia mabuk. Auto dipecat jadi anak oleh Sofie. Sabrina sangat paham kalau ibunya sangat tidak suka kalau dia menyentuh minuman tidak berfaedah itu.
"Alasan saja kamu. Ini ibu mau kasih tau kalau akhir pekan ini kamu pulang ke rumah. Ibu sama Bapak kangen," cetus Sofie—terdengar tegas seolah itu adalah titah yang tidak bisa dibantah.
Lalu tanpa ba-bi-bu, teleponnya terputus secara sepihak.
Sabrina mendesah pelan. Kebiasaan ibunya seperti itu. Entah apa lagi yang akan direncanakan Ibunya kali ini. Sabrina berharap ibunya sudah tidak lagi mencoba menjodohkannya lagi dengan seseorang. Karena untuk kali ini Sabrina sudah tidak mau menikah ataupun memiliki pasangan. Ia mau fokus berkarir dan menunjukkan pada mantannya kalau ia baik-baik saja setelah ditinggalkan.
......................
Evan yang sedang duduk di kursi kebesarannya tampak memandangi sebuah foto usang yang sudah lama ia simpan di laci meja kerjanya. Namun ketika pintu ruangannya diketuk, Evan langsung menyimpan kembali foto di tangannya ke laci lalu menguncinya dengan memakai kombinasi angka yang hanya ia sendiri yang tau.
"Masuk."
Setelahnya, pintu terbuka dan tidak lama muncul di hadapannya. Sabrina yang wajahnya tampak segar.
"Silakan duduk, Brin."
'Apa? Dia manggil gua dengan sebutan Brin? Kita tidak sedekat itu!' gumam Sabrina dalam hati. Walau pada akhirnya dia menurut dan duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Evan.
Evan menarik garis lurus pada kedua sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis dan itu tertangkap oleh Sabrina. "Ngapain kamu senyum-senyum? Senang banget ya ketemu sama saya?" sengal Sabrina terdengar ketus.
'Tentu saja aku seneng, Brin.' Kalimat itu hanya bisa diucapkan Evan dalam hati.
"Jangan geer deh. Lagi pula mau saya senyum atau apalah itu namanya, terserah saya dong. Dan ya... satu lagi. Jangan lupa kalau saat ini kamu sedang berada di lingkungan kantor. Jadi setidaknya kamu memiliki yang namanya sopan santun terhadap pimpinan. Mengerti?" ujar Sabrina tegas mengingatkan walaupun dengan wajah datar.
Melihat raut wajah kesal Sabrina di sana sebenarnya membuat Evan ingin terbahak. Sejak dulu Evan memang senang membuat Sabrina kesal sampai di ubun-ubun.
"Maaf, Bapak Evan ." Sabrina menyahut dengan nada penuh penekanan di setiap kata.
Evan melipat bibirnya menahan senyum, tapi buru-buru pria itu berdehem sekali. "Oke. Kali ini kamu saya maafkan. Nah, sekarang silakan baca dulu kontrak kerja kamu. Kalau ada yang kurang jelas bisa kamu tanyakan," ucap Evan seraya menyodorkan kontrak kerja pada Sabrina.
Sabrina mulai membaca kontrak kerja yang disodorkan Evan. Keningnya terlihat mengerut saat membaca salah satu poin yang tertera di sana.
"Kenapa ada poin kalau selama bekerja dan terikat kontrak dengan perusahaan, saya tidak boleh memiliki pacar atau kekasih?" tanya Sabrina. Wanita itu tertera sumbang. "Bukankah itu adalah urusan pribadi saya, kenapa perusahaan harus mengatur-atur?" lanjutnya kemudian. Sabrina tidak habis pikir dengan orang yang membuat aturan itu.
"Karena saya tidak mau pekerjaan sekretaris saya terganggu hanya karena hubungannya dengan pasangan. Hal itu untuk mengantisipasi hal yang sama terjadi lagi. Sekretaris saya yang sebelumnya tiba-tiba saja resign karena pasangannya mengajaknya untuk hijrah ke kota lain. Tau dong gimana kacaunya jadwal kerja saya? Makanya sekarang saya mau mengantisipasi hal itu terjadi. Untuk itu perusahaan akan memberikan benefit yang pantas untuk orang yang menjadi sekretaris saya. Perusahaan akan memberikan gaji tinggi disertai fasilitas yang mumpuni," jelas Sabrina.
"Jadi maksudnya selama dua tahun kontrak kerja saya di sini maka selama itu pula saya tidak boleh punya pasangan gitu?" ujar Sabrina memperjelas peraturan di perusahaan itu.
"Iya, kenapa? Apa kamu keberatan atau saat ini kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang?" cecar Sabrina tidak tau. Meskipun ia tau kalau saat ini Sabrina sedang tidak bersama dengan siapapun.
Kalau ditanya dari mana Evan tau itu, maka jawabannya adalah dari kedua orang tua Sabrina sendiri.
Sabrina mendengkus mendengar penuturan Evan. Ia tidak mau kalau sampai musuhnya itu tau kemalangan yang sudah ia alami.
Bagaimana pun juga harga dirinya setinggi langit. Sabrina tidak mau dicap sebagai wanita apes karena sudah gagal menikah tiga kali. Itu adalah aib bagi Sabrina. Terlebih lagi itu di depan Sabrina yang pasti akan menertawakan dirinya kalau tau apa yang sudah ia alami.
"Kenapa diam?" tegur Sabrina.
"Nggak kok. Saya setuju dengan aturannya," jawab Sabrina cepat kemudian tanpa lanjut membaca kontraknya langsung membubuhkan tanda tangan di sana.
Pikirnya, aturannya sama dengan keinginannya saat ini. Setelah gagal menikah tiga kali, Sabrina hanya ingin fokus pada diri sendiri. Lagi pula gaji dan fasilitas yang ditawarkan cukup menggiurkan.
Namun bagi Evan, dengan Sabrina menandatangani kontrak kerja dengan perusahaannya, hal itu sama saja Sabrina memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu pada wanita itu.
Kesalahan yang membuat Evan merasa berutang maaf pada Sabrina hingga detik ini.
...----------------...
...--bersambung--...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
martina melati
hahaha... modus nih terbaca aromany (dplesetin... alur)
2024-10-24
0
martina melati
teman ato teman dlm selimut /Facepalm/
2024-10-24
0
martina melati
bukan takdir tp sdh drencana dr awal...
2024-10-24
0