Karena Warisan
Desa Gantang adalah sebuah desa di kaki pegunungan kota Rawa. Suasana desa yang masih kental dengan sawah-sawah berundak, karena ketinggian tanah yang berbeda-beda, membuat pemandangannya menjadi sangat indah.
Dengan adanya sungai-sungai kecil yang ada di tengah persawahan, membuat pemandangan tersebut bak lukisan yang abadi di kanvas sang Pencipta.
"Ayo pergi ngaji Cung! Ini sudah selesai waktunya ashar lho!" Suara bu Nur, memberi peringatan pada anaknya yang masih asyik membuat ketapel dari ranting pohon salam.
"Sebentar lagi Bu! Tanggung ini," jawab anaknya, Karim, tanpa menoleh.
"Awas nanti kalau telat, bisa-bisa Kamu di suruh nyapu kebun kelapa sama pak Moh lho Cung!" ancam bu Nur mengingatkan.
*Cung adalah sebutan untuk anak laki-laki.
Mungkin Bu Nur ingat, jika sebulan yang lalu, anaknya itu di hukum menyapu kebun kelapa miliknya pak Moh. Karena pada saat itu, Karim terlambat datang ngaji, dan tidak bisa fasih saat gilirannya tiba.
***
Pak Moh, begitu biasanya dia dipanggil. Nama aslinya adalah Mohammad Suyuti Abdullah. Putra pertama dari kyai haji Muhammad Abdullah Ghoni.
Tapi penampilannya jauh, jika dibandingkan dengan penampilan para ustadz ataupun kyai.
Dia juga tidak mau jika di panggil dengan sebutan seperti itu. Bahkan saat masih muda, dia juga tidak mau dipanggil dengan sebutan Gus. Tapi lebih suka dipanggil lek Moh, atau kang Moh.
Sekarang Pak Moh, berprofesi sebagai seorang petani biasa, yang kadang kala bekerja sebagai tukang kayu. Kadang-kadang juga membuat jenang, jika ada penduduk yang punya hajat, atau mantu.
Pak Moh memang tidak berdomisili di tempat bapaknya. Meskipun masih sama-sama di kota Rawa, tapi mereka beda kecamatan.
Sedari muda, dia sudah diminta untuk ikut mengurus pondok pesantren milik bapaknya. Tapi dia menolaknya.
Pak Moh muda lebih suka berkelana, dari pondok pesantren satu ke pondok pesantren lain di daerah Jawa Timur. Mengabdi di berbagai ponpes yang dia singgahi adalah hobinya dulu.
Terakhir kali, pak Moh mengabdikan diri di ponpes milik kyai haji Kholil, yang ada di daerah kota Rembang. Kemudian menikah dengan salah satu santriwati, yang ada di daerah itu juga. Namanya Siti Aminah.
Siti Aminah adalah anak seorang janda tua, yang kebetulan sering membantu di dapur ponpes jika ada acara besar, di ponpes kyai Kholil.
***
"Yang sudah belajar dan fasih maju lebih dulu, yang belum di belakangnya, sekalian deres biar lancar," kata pak Moh, di saat mulai mengajar ngaji pada anak-anak di sebuah mushola kecil di samping rumahnya.
*Deres adalah belajar mengeja huruf Hijaiyah.
Bangunan Mushola itu didirikan Pak Moh, dengan seadanya. Masih berupa bata merah, dengan papan-papan yang disusun pada bagian depannya.
Pak Moh biasa mengajar ngaji sewaktu lepas ashar. Mereka yang mengaji adalah anak-anak, baik anak laki-laki dan juga perempuan.
Mereka mempunyai buku, untuk mengetahui sejauh mana kemampuan belajar mengaji mereka. Jika ada yang kurang besoknya harus bisa memperbaiki.
Lima hari mengaji dibagi menjadi dua metode belajar. Untuk periode pertama, Ahad, Senin dan Selasa, mereka mengaji huruf Hijaiyah dan mengeja Al-Qur'an bersama tajwidnya.
Periode kedua, Rabu, kamis belajar huruf latin untuk menunjang belajar mengaji mereka. Sebab huruf latin juga menunjang kefasihan ejaan huruf Hijaiyah, yang akan mereka pelajari saat sudah mulai belajar Al-Qur'an nantinya.
Anak-anak yang sudah besar dan bisa membaca huruf latin serta Hijaiyah, waktu mengajinya selepas Maghrib. Mereka sudah membaca Al-Qur'an setiap harinya, meskipun kadang diselingi dengan belajar tafsir dan juga shorof.
Waktu libur mengaji ada di hari Jumat dan Sabtu. Ini digunakan anak-anak yang tidak biasa bermain, untuk latihan rebana dengan alat seadanya.
"Alip, Bak..." Anas, salah satu anak yang mengaji mulai membaca.
"Alief. Bukan Alip." Pak Moh membetulkan ejaan yang salah pada huruf pertama Al-Qur'an.
Anas yang masih berumur 8 tahun, melongo melihat ke arah pak Moh. Mungkin saat belajar di rumah tadi, dia terbiasa dengan menyebut Alip, dan tidak ada yang menegurnya untuk memberitahu.
"Tadi di rumah belajar tidak?" tanya pak Moh pelan.
"Belajar," jawab Anas polos.
"Tidak ada yang mengingatkan?" tanya pak Moh lagi.
Anas tampak mengelengkan kepalanya. Dia tadi memang belajar di rumah. Tapi sendirian dan tidak ada orang yang mengingatkan, apalagi membimbingnya.
Bapaknya yang bekerja sebagai karyawan pembuat tahu, sering pulang malam. Sedangkan ibunya bekerja di kebun dan sawahnya sendiri, juga orang awam yang tidak bisa melafalkan huruf Hijaiyah dengan baik dan benar.
"Besok belajarnya sesuai yang pak Moh ajarkan ya! Terus Kamu yang rajin ngajinya, biar cepat bisa dan menyusul teman yang lain ke jilid yang berikutnya."
Anas mengangguk senang. Dia tidak malu saat diingatkan oleh pak Moh. Dia terlihat sangat bersemangat saat dibilang bisa menyusul temannya yang sudah jilid berikutnya.
Pak Moh biasa mengatakan itu untuk memberikan semangat pada anak didiknya yang agak lamban. Karena Anas memang tidak seperti anak-anak pada umumnya.
"Pak Moh. Pak Moh!"
Seseorang datang memanggil dari arah luar musholla.
"Sebentar ya anak-anak," kata pak Moh meminta anak-anak yang ngaji diam, dan tidak membuat keributan saat dia keluar menemui orang yang sedang memangilnya.
"Assalamualaikum... Ada apa Pak Min?" Pak Moh sudah sampai diluar, dan menemui pak Min yang tadi memanggil namanya.
"Waallaikumsalam. Maaf Pak Moh, saya terburu-buru jadi lupa mengucapkan salam," jawab pak Min terlihat rikuh karena malu.
"Tidak apa-apa. Tadi kenapa, kok memanggil-manggil dan terburu-buru?" tanya pak Moh menanyakan tujuan pak Min mencarinya.
"Oh itu. Ada ular besar masuk ke kandang sapi Saya pak Moh. Saya kuatir, kalau ular itu membuat sapi Saya mati nantinya," jawab pak Min, menjelaskan tentang tujuannya datang mencari pak Moh.
"Ular besar?" tanya pak Moh kaget.
"Iya. Mungkin sebesar kaki sapi saya," jawab pak Min dengan wajah cemas.
"Apa sapinya sudah diamankan?" tanya pak Moh ingin tahu.
"Justru itu pak Moh. Sapinya ada di pojok kandang, sedangkan ularnya ada di tengah-tengah kandang. Kami semua takut masuk kandang," jawab pak Min dengan wajah yang terlihat semakin cemas.
Pak Moh berpikir sejenak, kemudian bertanya, "Ada berapa orang di sana?"
Mungkin dengan adanya orang-orang yang ada di sana, dia bisa meminta bantuan untuk menangani masalah ular yang ada di kandang sapi milik pak Min.
"Ada tiga orang Pak," jawab pak Min setelah berpikir beberapa detik.
"Baiklah. Pak Min balik dulu. Saya akan meminta anak-anak untuk belajar sendiri sebentar."
Pak Min mengangguk, kemudian melangkah untuk pulang terlebih dahulu. Pak Moh kembali ke dalam Mushola, dan berpesan pada anak-anak yang sedang mengaji. "Kalian belajar sendiri dulu ya. Yang sudah bisa, nyemak temannya. Saling semak saja biar adil. Bapak mau ada urusan sebentar."
*Nyemak atau semaan adalah tradisi membaca, menyimak dan mendengarkan pembacaan Al quran.
Anak-anak mengangguk mengerti. Mereka tidak banyak bertanya apa yang sebenarnya dilakukan oleh pak Moh, yang tiba-tiba meninggalkan tempat mengaji dan berpesan jika ini hanya sebentar saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
like and favorit ❤️👍
2023-07-12
0
Be___Mei
lah kami di pondok kalo kaga sholat di hukum pacul 😅 kalo cowok di hukum gundul
2022-12-21
1
Spyro
Pak Moh macam damkar, yang serba bisa 😂 bisa jdi guru ngaji, bisa juga nangkep ular kayaknya...
2022-12-18
0