Hosh...
Hosh...
Hosh...
Nada terengah-engah dengan wajahnya yang pucat. Dia langsung masuk ke dalam rumah tanpa mampu mengucapkan salam terlebih dahulu.
Dia berlari ke arah dapur dan menuangkan air di teko ke gelas, yang ada di meja dapur. Dia minum beberapa kali dan mencoba mengatur nafasnya yang masih memburu.
Hah...
Hah...
Hem...
"Kamu kenapa Nada?" tanya ibunya bingung, melihat anaknya yang baru datang tidak seperti biasanya.
"Kamu dari mana magrib baru pulang?" tanya ibunya lagi, padahal pertanyaan yang diajukan tadi saja belum sempat Nada jawab.
Nada masih terlihat mengatur nafasnya yang memburu. Dia belum sanggup untuk bercerita tentang kejadian yang dia alami di kebun kelapa bapaknya.
Nada hanya mengeleng dan segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil wudhu. Dia harus segera berangkat ke mushola jika tidak ingin ketahuan bapaknya, pak Moh.
Ibunya mengeleng melihat tingkah anaknya yang sedikit berbeda dan susah diatur. Dia tidak tahu jika anaknya tadi, merasa ketakutan karena mendengar suara tanpa wujud di kebun. Apalagi waktunya memang menjelang magrib. Kata orang-orang tua, waktu seperti itu adalah waktu terbukanya gerbang dimensi lain.
***
Di mushola, adzan sudah berakhir dan disusul dengan iqomah. Para jamaah sudah berbaris rapi sesuai shof. Pak Moh juga tampak bersiap untuk maju menjadi imam shalat.
Nada yang baru saja datang, segera masuk barisan shof anak-anak perempuan lainnya. Dia ikut berjamaah magrib dengan hati yang masih diliputi rasa takut dan deg-degan.
Usai shalat magrib, anak-anak yang ikut mengaji malam segera menempatkan diri mereka. Meja kecil untuk pak Moh sudah tertata rapi di tengah-tengah. Mereka berbaris memanjang pada sisi kanan dan kiri.
Usai berzikir, pak Moh sholat sunah bakdiyah dua rokaat terlebih dahulu. Baru kemudian melanjutkan mengajar anak-anak yang lebih besar, daripada yang sore tadi.
Nada memang selalu ikut kapanpun bapaknya mengajar ngaji. Dia sendiri sebenarnya sudah bukan jilid lagi mengajinya, tapi sudah membaca Alquran dengan surat-surat pendek atau juz Amma.
"Tadi sore kamu kemana Mbak Nada?" tanya Karim. Dia ikut ngaji malam, sebab tadi sore belum sempat mengaji. Karena pak Moh ada urusan dengan dari pak Min.
"Jangan tanya-tanya," jawab Nada dengan berbisik-bisik.
"Kenapa?" tanya Karim tidak peka dengan larangan Nada.
"Ihs... Diem deh!" Nada sedikit marah.
Karim akhirnya diam dan tidak lagi bertanya-tanya. Dia melanjutkan kegiatannya, deres ngaji yang akan dia baca.
Setelah mengantri dengan tertib di barisan, kini tiba giliran Nada yang akan mengaji. Dengan gugup, Nada melantunkan ayat-ayat yang dia hafalkan seharian ini. Surat At-Takatsur yang terdiri dari delapan ayat dengan fasih.
* A'uudzubillaahiminasy syaithaanir rajiim
* Bismillahirrahmanirrahim
* Al Haakumut takaatsur
* Hattaa zurtumul maqaabir
* Kallaa saufa ta’lamuun
* Tsumma kallaa saufa ta’lamuun
* Kallaa lau ta’lamuuna ‘ilmal yaqiin
* Latarawunnal jahiima
* Tsumma latarawunnahaa ‘ainal yaqiin
* Tsumma latus-alunna yaumaidzin ‘anin na’iim
* Shodaqallahul 'azhim'.
"Bagus. Fasih juga kamu ngajinya malam ini." Pak Moh memuji anaknya, Nada.
"Tadi kemana, waktu sore tadi?" tanya pak Moh sebelum melanjutkan ngajinya.
Nada diam dan tidak berani menjawab pertanyaan bapaknya itu. Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kembali pucat karena merasa takut.
"Besok-besok jangan diulangi lagi. Nanti bukan hanya suara yang Kamu dengar, tapi wujud aslinya bisa menampakkan dirinya. Dan Kamu, bisa-bisa tidak akan diperbolehkan untuk pulang ke rumah lagi."
Pak Moh menasehati anaknya yang terus menunduk. Yang lain hanya diam mendengarkan, tanpa berani untuk bertanya.
"Kenapa tidak boleh pulang?" tanya Nada ingin tahu, tapi masih dengan wajah yang menunduk.
"Karena dia suka anak-anak yang bandel. Apalagi jika tidak mau mengaji. Waktunya juga pas itu, waktu dia baru keluar dari alamnya. Anak-anak seperti itu akan di culik dan dia ambil sebagai anaknya. Tidak bisa balik lagi kepada orang tuanya di rumah."
Keterangan pak Moh membuat Nada bergidik ngeri. Dia tentu tidak mau jika di culik bangsa lelembut, apalagi jika itu Gendruwo.
Kata orang Gendruwo itu menyeramkan dan bau badannya tidak enak. Jika sudah diselimuti pakaian miliknya, dipastikan tidak akan terlihat oleh siapa-siapa. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya.
"Bukan hanya Gendruwo yang suka anak-anak, tapi banyak juga makhluk lainnya. Banyak jenis dan macamnya, yang pasti mereka suka melihat anak-anak yang bermain-main menjelang magrib." Pak Moh menambahkan ceritanya.
"Pak Moh. Apakah itu benar? Kalau perginya ke mushola bagaimana?" tanya Karim ingin tahu.
"Meskipun tujuannya ke mushola, kalau perginya mampir-mampir, ya bisa jadi di culik juga. Makanya kalau mau pergi ke mushola, ya langsung ke mushola. Jangan belok ke mana-mana ya!" jawab pak Moh menasehati.
Nada merasa tersindir dengan nasehat bapaknya. Dia mengangguk sambil berdoa, semoga tidak bertemu lagi dengan makhluk yang menyeramkan, seperti dalam cerita-cerita tentang hantu dan setan lainnya.
"Ya sudah. Ayo di lanjut lagi ngajinya." Pak Moh memberikan instruksi pada anak-anak, agar berkonsentrasi lagi untuk mengaji.
"Yang merasa belum lancar, ayo deres yang banyak. Yang sudah selesai bisa bantu nyemak." Pak Moh mengingatkan kembali.
Anak-anak pun kembali mempersiapkan diri dengan belajar lagi, supaya lancar sewaktu mendapatkan giliran.
***
Di rumah, usai waktu shalat isya.
"Bu. Apa benar di kebun Bapak ada Gendruwo atau makhluk lain yang sejenisnya?" tanya Nada pada ibunya, yang sedang menyuapi adiknya, Nisa.
"Dari mana kamu tahu?" tanya ibunya balik bertanya.
"Tadi Nada dengar suaranya. Dia minta buah salam yang Nada petik di kebun kelapa bapak," jawab Nada polos.
"Kapan?" tanya ibunya lagi.
"Tadi sore waktu ngaji, bapak ada urusan sana pak Min. Gak tahu kemana. Terus kami ditinggal, disuruh belajar sendiri. Aku tinggal pergi jugalah ke kebun. Aku manjat pohon salam, kan banyak buahnya yang mateng. Eh, pas waktu udah mau penuh isi plastikku, malah ada suara yang mau minta buahnya."
Nada terus bercerita tentang kejadian sore tadi, di kebun kelapa milik bapaknya. Ibunya juga mendengarkan dengan seksama, sambil terus menyuapi Anisa, anaknya yang kedua. Sedangkan Wawa sudah tertidur di ranjang, tidak jauh dari tempatnya berada.
"Assalamualaikum Warahmatullah..." Pak Moh masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan salam.
"Waallaikumsalam Warahmatullah," jawab istrinya dan anaknya berbarengan.
"Ada apa? Kok kayaknya seru ini," tanya pak Moh ingin tahu.
"Itu lho Pak, Nada. Katanya dia dengar suara Gendruwo di kebun kelapa." Istrinya, Bu Aminah memberitahu.
"Oh, bukan Gendruwo itu," jawab pak Moh sambil terkekeh.
Nada dan bu Aminah bingung, melihat pak Moh. Yang sepertinya lebih tahu cerita yang sebenarnya tadi di kebun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Beast Writer
bukan genderuwo 🙄
2022-12-19
0
Lenkzher Thea
Mantap
2022-12-19
0
Bagus Effendik
nah loh mulai serem kan bentar thor mengopi dulu kita
2022-12-18
0